Zie melangkah tergesa begitu turun dari ojek online, ingin lekas memburu sang buah hati. Kakinya ia arahkan ke rumah induk pemilik kontrakan, sebab di sanalah Alana, putrinya dititipkan.
Sedangkan Rena memilih langsung menuju kamar kontrakannya. Mereka terbiasa pulang-pergi bersama, meskipun beda menaiki tumpangan.
"Assalamualaikum, Bu!" panggil Zie. Meskipun pintu sedikit terbuka, ia tidak berani seenaknya masuk tanpa diperintah.
"Waalaikumsallam, masuk aja, Zie!" suara berat wanita menyahut dari dalam.
Barulah Zie melangkah pasti memasuki rumah setelah mendapat izin. Di ruang tamu, wanita berusia setengah abad yang biasa dipanggil Bu Laila, tengah mencandai bayi perempuan yang montok menggemaskan.
"Tuh, Bundanya datang!" ucap wanita tersebut, mengarahkan sang bayi supaya menghadap Zie. Seolah mengerti bayi perempuan cantik berkulit putih bak pualam itu tersenyum lebar.
"Hallo, putrinya bunda." Zie meraup sang buah hati, mencium gemas pipi gembil nan lembut, hingga sang bayi menderaikan tawa, kegelian.
"Sebaiknya kamu membersihkan dulu, Zie. Nanti debu dan peluh yang kamu bawa nempel ke tubuh Alana. Virus lho, itu."
"Ah, iya, Bu. Mmm, Zie titip lagi Alana sebentar mau mandi dulu." Suara Zie terdengar segan. Tidak enak terlalu sering merepotkan.
"Sini sama nenek, Sayang." Bu Laila mengambil alih kembali Alana, tanpa ada gurat keberatan. "Dan kamu, Zie, masih saja segan sama ibu. Padahal Alana sudah ibu anggap cucu sendiri," sambungnya berupa teguran, tidak lupa disertai senyuman, agar tidak terkesan intimidasi.
Zie tersenyum simpul. "Zie takut bikin ibu repot, nanti ibu kelelahan mengurus Alana. Padahal Zie bisa sewa pengasuh buat jagain Alana, supaya ibu gak capek."
"Sudah ibu bilang puluhan kali, ibu tidak keberatan mengasuh Alana, dari pada nyewa pengasuh, belum tentu bisa dipercaya. Lagi pula bayi cantik ini sangat menghibur kesepian ibu, dan pelebur rindu akan cucu. Kamu tidak perlu khawatir, ibu tidak repot, tidak capek."
Zie mengembuskan napas panjang. Ia sangat beruntung, pemilik rumah kontrakan sangat baik terhadapnya, menyayangi Alana layaknya cucu sendiri, mengingat beliau sangat menginginkan cucu dari putra-putrinya.
Setiap Zie kerja, Bu Laila yang mengasuh Alana tanpa pamrih. Wanita itu seumpama orang tua sendiri, banyak tahu bagaimana Zie di masa lalu hingga lahirnya Alana.
Bu Laila memiliki putra-putri yang usianya sudah dewasa. Anak pertama seorang perempuan yang belum lama ini dihalalkan sang pujaan, lantas diboyongnya ke rumah mereka yang berada diluar daerah ibukota.
Anak kedua laki-laki, berusia satu tahun lebih dewasa dari Zie. Derry, hingga kini masih memilih lajang. Pemuda itu yang kesehariannya menemani sang ibu sebagai pengganti ayah yang sudah menempati alam baka beberapa tahun silam.
Zie meninggalkan Bu Laila bersama putrinya. Dia kembali keluar, menuju kediamannya yang disewa dari wanita berhati malaikat yang sedang mengasuh Alana.
**
Di malam beranjak larut, ditemani senandung binatang malam yang berpusat di halaman belakang rumah sewaannya, Zie tengah menidurkan sang buah hati hingga benar-benar terbuai dalam mimpi.
Tatapan Zie enggan beralih dari pesona yang begitu memukau dari makhluk mungil berusia satu tahun di sampingnya. Sungguh ciptaan Tuhan yang tidak dapat wanita itu sanggah, paras pualamnya sangat menggetarkan palung jiwa.
Alana Malaika Azzahra, tumbuh berkembang tidak terduga di dalam rahim Zievana, berawal dari asmara terlarang di malam pertama bersama pria tidak dikenal.
Sekian purnama terjerat dalam lara, menjejak hari dengan raga antara ada dan tiada. Hingga langkah berpijak di persinggahan jauh dari manusia-manusia panutannya.
Namun, yang dia lakukan atas keinginan orang-orang tercinta, karena dirinya telah menciptakan cendala yang tidak mudah dihapus sekalipun oleh air mata darah. Zie sadar merasa hina, memilih enyah dari hadapan mereka.
Memory dua tahun silam kembali membayang ....
"Tidak! Ini tidak mungkin!" gumam Zie seraya melempar alat tes kehamilan yang kelima ke sembarang tempat di dalam kamar mandi.
Semua tespack itu sudah dia coba, bahkan dari barang biasa sampai yang termahal, hasilnya tetap sama bergaris dua.
Zie kalut, bagaimana menghadapi orang tuanya jika tahu putri kesayangannya hamil sebelum menikah, bahkan kekasih pun tidak punya, sebab dia bukan type gadis yang suka pacaran.
"Ya Tuhan, kenapa harus hamil?" Tubuh gadis itu luruh di lantai kamar mandi, meratapi sesal atas kejadian malam terkutuk itu.
~~
Ah, sial! Umpat hati Zie, mendapati Meylan tidak masuk kuliah. Dia mencoba menghubunginya lewat ponsel, tapi kembali harus menelan kecewa, nomor yang dihubunginya tidak aktif. Gadis berbulu mata lentik itu semakin frustasi.
Zie meninggalkan gedung tempatnya kuliah dengan langkah lesu. Dia memilih pulang lagi ketimbang mengikuti mata pelajaran yang bikin kepalanya semakin pening. Ditambah efek kehamilan membuatnya enggan melakukan apapun.
Taksi membawa Zie kembali ke rumah. Baru saja kakinya menginjak ruang tamu yang hendak dilewatinya, suara yang cukup menggelegar menahan langkahnya.
"Apa ini, Zievana?!" Pak Rudi melemparkan sesuatu pada Zie, dan mendarat tepat di depan kakinya.
Gemetar seketika tubuh Zie, wajah yang sudah pucat, semakin pias. Gadis itu tidak berani mengangkat kepala, tatapan tertuju pada tespeck yang teronggok manis di lantai marmer.
Kenapa dia begitu ceroboh tidak langsung membuang alat sialan itu ke tempat sampah yang ada diluar rumah, malah dibiarkan berserak di kamar mandi.
Plaaak!
"Kamu sudah mencoreng nama baik orang tuamu, Zievana!" Pak Rudi membentak geram. Wajah legam diselimuti angkara.
Plaaak!
Dua kali tamparan mendarat di pipi kiri-kanan Zie, meninggalkan lukisan merah lima jari dengan sempurna. Rasa pening di kepala sang gadis bertambah dahsyat, sampai dirinya tersungkur, menangis sesunggukan.
Zie mengesot untuk memeluk kaki sang papah. Namun, Pak Rudi mundur, sehingga gadis itu meraih tempat kosong.
"Maafkan Zie, Pah, Mah," ucapnya menangis pilu.
Di sofa, Bu Hani hanya bisa menangis. Terluka, kecewa, marah, adalah emosi yang berkolaborasi membuatnya tidak sanggup mengeluarkan kata-kata. Wanita itu menekan dadanya, shock dengan temuan yang sangat mengejutkan ini.
"Apa yang sudah kamu lakukan, hah?! Ingin dapat uang banyak? Kurang apa papah sama mamahmu, sampai kamu m e l a c u rkan diri?!" pertanyaan yang beruntun dari mulut Pak Rudi seumpama rentetan peluru menebus inti jantung Zie, sakit dan mematikan.
"Siapa laki-laki yang sudah menghamili kamu? Jawab, Zievana?!" sarkas Pak Rudi, semakin meninggikan intonasi suaranya.
Zie tidak menjawab, hanya suara tangisan yang keluar, sebab tidak tahu nama dan status pria yang menodainya itu.
"Jawab pertanyaan papah, Zievana? Siapa laki-laki yang menaburkan benih di rahim kamu? Kalau kamu diam saja, papah akan menyeretmu keluar dari rumah ini!"
Ancaman sang papah membuat otak Zie semakin kacau, sebab tidak tahu harus menjawab apa.
Melihat putrinya diam saja, Pak Rudi semakin kalap, menyeret Zie ke kamar, lalu membanting tubuh ramping itu di atas tempat tidur sambil berteriak, "Kemasi barang-barangmu, pergi dari sini, papah tidak sudi punya anak macam kamu!!!"
Ucapan terakhir sang papah bagaikan lahar panas, membuat tubuh Zie bergetar hebat. Dia sadar bahwa semua ini salahnya, dan pantas mendapat hukuman yang setimpal.
Zie menutup kembali tayangan pilu dalam benaknya. Cairan tidak berwarna jatuh dari telaga, bergulir di lembah pipi dan akhirnya bermuara di atas bantal berbungkus kain biru muda bercorak bunga cendana.
Sejujurnya Zie rindu mamah sama papah.
Bersambung
"Zie aku antar kamu, ya?" tawar Derry menghentikan motornya di hadapan sang wanita. Kemudian melepas helm.Pemuda itu menunjukkan wajah tampannya, rambut disugar ke belakang. Kemeja putih didobel jaket dengan resleting terbuka, dipadupadankan celana kain hitam, menambah penampilan sang pria kian menawan. Gagah kesan yang Zie tangkap pada diri Derry, apalagi duduk di jok tunggangan bermerk ternama, ditambah senyuman manis mengalahkan sari madu, hati wanita mana yang tidak akan meleleh dibuatnya. "Gak usah, Der. Aku bisa naik ojol." Zie menolak halus ajakan putra kedua dari Bu Laila."Mau sampai kapan kamu nolak ajakanku terus, Zie. Aku gak bakal ngapa-ngapain kamu, sungguh." Derry setengah becanda, tapi Zie berpraduga lain."Eh, bu-bukan begitu. Aku cuma gak mau ngerepotin kamu. Kita kan, beda arah, kalau kamu nganterin aku dulu nanti kamu harus putar balik, bisa terlambat masuk kerja.""Aku gak merasa direpotkan, aku malah senang bisa nganterin bundanya Alana. Sekali-kali berkorban
"Zie dipanggil Pak Andra ke ruangannya," ucap Pak Gayus.Zie terang saja terkejut, seketika bergemuruhlah dalam dadanya. Rena yang duduk tidak jauh dari Zie ikut mendengarkan juga heran."M-mau apa, Pak?" Kegugupan tidak dapat Zie kendalikan.Pak Gayus sedikit mencebik sambil menjengkitkan bahu. "Bapak juga kurang tau. Ayo, cepetan ke sana. Pak Andra tidak suka menunggu lama.""I-iya, Pak."Pria tambun berusia setengah abad itu meninggalkan Zie dalam kegamangan. Menggigit kuku ibu jari atau bibir bawah adalah suatu kebiasaan gadis berhidung mancung itu di kala bingung merecokinya.Zie meratap sial, kenapa zona damainya tidak bisa ditawar kembali ke semula, di kala Andra belum menginjakkan kaki di pelataran gedung megah Pranajaya Jakarta.Kenapa pria tersebut tidak berdiam di Semarang saja, tempatnya meraja sebagai direktur perusahan cabang. Kenapa Pak Anjay harus menyerahkan jabatannya pada anak kedua, lalu anak pertama di mana?Kenapa, kenapa, kenapa?Zie merafal istighfar dalam hati
Zie kembali ke ruang kerja dengan wajah yang ditekuk. Lemas bagai raga habis dilolosi tulang, dan tentu saja mengundang tanya sang ratu kepo Rena. Gadis mungil itu langsung menghampiri, dengan menggeser kursi berodanya saat Zie tiba di meja kerja."Kamu kenapa kok, murung, Zie?" Rena siku di meja, tangan yang digunakan untuk menopang dagu. Mengamati raut yang berlapis mendung sang sahabat.Zie menghela napas, kemudian menjatuhkan telengkup, kening menempel di lengan yang saling tumpang tindih di atas meja. erangan resah, menambah keheranan Rena semakin memenuhi pikiran."Zie, hei, Zie! Jangan bikin aku cemas, dong! Sikapmu kek abis dilamar buaya darat bangkotan."Ucapan konyol Rena menggerakkan kepala Zie, sehingga sedikit mendongak. "Aarrrggghh!" pekik Zie tiba-tiba sambil mengacak rambut.Rena terlonjak sampai mundur bersama kursinya, meraba dada merasakan detak jantung yang tidak beraturan. Wajah merengut. Karyawan di dekat mereka langsung terkejut, lantas membocorkan aneh penuh
Meskipun Andra tidak ingin ikut campur permasalahan sakitnya Alana, tapi ia seolah ditarik masuk dalam kecemasan seperti yang Zie dan Bu Laila rasakan.Pria yang memiliki postur tinggi itu bergeming tidak jauh dari ambang pintu, mengamati Zie dengan wajah khawatir mengambil Alana dari gendongan Bu Laila.Bayi berusia tiga belas bulan itu menangis, Zie nampak kesulitan meredakan sambil menimang-nimang. Sesekali melirik pria yang datang bersamanya, seolah menyampaikan kata melalui pancaran mata bahwa ia membutuhkannya."Apa kamu tidak mau menyusuinya?" Andra buka suara, dari nadanya terdengar agak jengkel, tersebab prihatin dengan kondisi malaikat kecil yang terus mendengungkan tangis sampai suaranya parau."Aku sudah tidak menyusui ASI, Alana minum susu formula. Karena ASI-ku sedikit, tidak memuaskannya, lalu dia berhenti sendiri."Pantas, bagian dada Zie normal-normal saja, pikir Andra.Pria berambut cepak itu masuk lebih dalam lagi, mendekati Zie. Tangannya lantas menyentuh kening Al
Rena berlari dari arah kontrakannya yang berada di seberang."Hai, Ren." Zie melempar senyum pada sahabat baiknya itu."Eh, Pak Andra. Selamat malam, Pak." Meskipun dari kejauhan sudah melihat Zie ditemani bos mereka, perasaan kikuk tetap hinggap di hati Rena saat berhadapan."Malam." Andra mengangguk kecil, seraya menyunggingkan senyum tipis.Rena mengalihkan perhatian kembali ke tujuan utama, menanyakan kabar buah hati sahabatnya. "Gimana keadaan Alana, dia baik-baik saja, kan?" Meraba kening sang bayi, panasnya mulai sedikit reda."Alana baik-baik saja.""Ah, syukurlah. Ya, udah deh, bawa masuk gih, udara malam gak bagus buat Alana.""Kamu masuk dulu, Ren," tawar Zie, berharap Rena mau menemaninya di dalam. Perasaan tidak enak menyapa jika harus berduaan dengan Andra nantinya.Rena melirik sang pria yang hanya diam membisu seperti patung manekin tampan. Gadis mungil itu menggeleng, tanda menolak tawaran sahabatnya. Zie mendesah pelan."Aku lagi ada kerjaan, Zie. Biar Pak Andra aja
"Dia?" Andra menunggu Zie melanjutkan kata-katanya dengan rasa penasaran tinggi. "Bukan suamiku."Andra diam, lebih intens masuk ke netra bening Zie, mencoba berenang di kedalamannya demi menemukan sebuah fakta dari dua kata yang meluncur melalui bibir semerah delima."Derry... dia hanya berusaha jadi pria yang melindungiku juga Alana. Hanya itu."Andra mendesah pelan, lalu menertawakan diri sendiri. Dari hari ke hari membiarkan diri jadi manusia bodoh. Praduga yang dikuasi tidak jelas dan kecemburuan tidak beralasan. Bukannya menemukan kebenaran malah berkubang dengan lara.Tangan kanan Andra terangkat, menyentuh pipi selembut kapas, sedingin es karena diterpa angin malam. Mengelus, mengalirkan kehangatan disertai sensasi yang tidak biasa.Andra mendorong sedikit tubuh Zie hingga bersandar di mobil. Mereka berdiri tanpa jarak, sehingga napas panas saling menyapu wajah. "Aku mau kamu ... jadi milikku, Zievana.""Pak Andra...." Bibir Zie tertarik kelu. Tenggorokan seperti ada yang me
Jantung Zie serasa terlempar dari tempatnya, wajah pucat kesi, melihat sosok gagah berdiri menjulang di hadapan dengan senyum manis terukir di bibirnya. Sebuah rasa sakit dan kecewa merangsek masuk tanpa aba-aba. Zie tidak tahu bagaimana cara menggambarkan kedua rasa itu. Demi Tuhan, Pak Andra adalah calon suami Mbak Syahra--si wanita berhati Malaikat, jerit hati Zievana.Wanita berambut panjang hitam bergelombang itu mencoba memunguti kepingan-kepingan indah saat bersama Andra. Meskipun singkat, tapi sangat membekas. Barisan aksara yang mengalun merdu dua hari lalu tentang 'Kamu Milikku', masih segar diingatan, bahkan di abadikan di memory otak paling terdalam. Namun, baru saja Zie mencecap manisnya cinta, kini langsung dihempas badai nestapa."Zie, kamu baik-baik saja?" Syahra menyentuh tangan Zie yang dingin.Zievana tersadar dari angan yang melambungkannya. Andra sudah duduk di dekat Syahra tanpa Zie tahu kapan bergeraknya. Tanpa disadari oleh kedua wanita itu, sang pria sedang
"Pak Andra kenapa, Zie?" Rena dibuat penasaran oleh kata-kata Zie."Pak Andra adalah ayah kandung Alana.""Apaa?"Zie secepat kilat membungkam mulut Rena dengan tangan kanan, tangan kiri depan di bibir itu sendiri. Kepalanya celingak-celinguk, takut pekikan Rena mengundang perhatian.Beberapa orang terpancing, menoleh ke arah dua gadis yang terlihat seperti sedang berseteru itu dengan rasa curiga. Zie mengangguk sopan sebagai kode permintaan maaf, mereka menanggapi dengan gelengan kepala.kebiasaan! Pikir mereka."Jangan teriak napa, Dodol Bulukan! Noh, orang-orang pada curiga."Rena mengacungkan dua jari, membentuk huruf 'V'. Zie menurunkan tangan dari wajah gadis itu."Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah, kamu gak lagi ngelindur kan, Zie?" Ekspresi Rena kentara sekali dengan keterkejutan. matanya melotot sempurna."Kamu bisa melihat wajah anakku mirip siapa?" Suara Zie sendu sambil memandang manik mata sahabatnya."Gila! Jika aku inget-inget lagi, Alana dan Pak Andra waja