"Zie aku antar kamu, ya?" tawar Derry menghentikan motornya di hadapan sang wanita. Kemudian melepas helm.
Pemuda itu menunjukkan wajah tampannya, rambut disugar ke belakang. Kemeja putih didobel jaket dengan resleting terbuka, dipadupadankan celana kain hitam, menambah penampilan sang pria kian menawan.
Gagah kesan yang Zie tangkap pada diri Derry, apalagi duduk di jok tunggangan bermerk ternama, ditambah senyuman manis mengalahkan sari madu, hati wanita mana yang tidak akan meleleh dibuatnya.
"Gak usah, Der. Aku bisa naik ojol." Zie menolak halus ajakan putra kedua dari Bu Laila.
"Mau sampai kapan kamu nolak ajakanku terus, Zie. Aku gak bakal ngapa-ngapain kamu, sungguh." Derry setengah becanda, tapi Zie berpraduga lain.
"Eh, bu-bukan begitu. Aku cuma gak mau ngerepotin kamu. Kita kan, beda arah, kalau kamu nganterin aku dulu nanti kamu harus putar balik, bisa terlambat masuk kerja."
"Aku gak merasa direpotkan, aku malah senang bisa nganterin bundanya Alana. Sekali-kali berkorban buat cal ...."
Derry menggantungkan kalimat, rasa kikuk disertai lidah kelu menyergapnya, dan selalu begitu jika berhadapan dengan Zie, di saat bibir terlepas melontarkan isi hati.
Tanpa Zie bertanya kenapa rangkaian lisan itu terpangkas, ia sudah bisa menebak ke mana arah tujuannya. Dia pun tidak ingin larut memberi harapan palsu, kakinya mulai dilangkahkan.
"Zie, ayolah! Sekali ini saja aku anterin kamu!" Derry tidak mau kalah, memburu Zie setengah menyeret tunggangannya.
Mereka menghentikan percakapan saat terdengar suara Bu Laila dari ambang pintu sambil memangku Alana. "Kalian belum berangkat? Nanti bisa terlambat, lho."
"Ini juga mau berangkat, Bu. Nunggu Zie naik ke motor," sanggah Derry, memanahkan tatapan sayu pada Zie.
"Ya sudah, Zie, biar Derry anter kamu dulu, supaya kamu gak kesiangan, kalau Derry masih banyak waktu, beda sama kamu jam kerjanya." Suara lembut serupa perintah Bu Laila membuntukan alasan penolakan Zie.
Merasa ada orang penting memihaknya, kedua sudut bibir Derry tertarik, menyerupai senyum kemenangan. Zie menghela napas. Terus-terusan menolak rasanya percuma, bisa-bisa tiba di kantor tengah hari.
Zie menaruh pantatnya di jok belakang, duduk menyamping. Selepas pamit pada wanita yang disegani mereka, Derry meluncurkan kendaraan roda duanya.
Zie berusaha menjaga tubuhnya tidak terlalu mepet di punggung Derry. Namun, jok belakang yang sedikit menukik ke depan membuatnya kesulitan untuk tidak berjarak.
Genggaman kuat di besi samping motor pun tidak membantu, selain licin, Zie takut bilamana banyak bergerak bisa terhempas ke aspal.
Lain halnya dengan Derry, ribuan euforia menggelitik rongga dada. Gurat bahagia tidak dapat ia sembunyikan, terpancar begitu jelas. Ini pertama kali bisa satu tumpangan dengan si penghuni singgasana hatinya.
Zie kerap kali menolak setiap Derry menawarkan jasa mengantarkan ke kantor. Adanya Rena yang satu perjalanan dengan Zie, cukup membungkam sang pemuda tidak lagi banyak meminta.
Namun, untuk kali ini, Rena sudah meninggalkan kontrakan sedari pagi buta. Sang kekasih menjemputnya, sekaligus mengajak sarapan bersama di luar rumah sehingga kesendirian Zie merupakan kesempatan emas bagi Derry. Dia tidak ingin mengabaikannya begitu saja.
Hanya berselang lima belas menit, motor berdominasi warna hitam dan merah itu tiba di pelataran tempat Zie mengorek rupiah. Gadis bersurai hitam legam itu akhirnya bisa bernapas lega.
Derry membantu melepaskan tautan gesper di helm yang digunakan Zie. Menimbulkan gempa tektonik bersakala rendah di dalam dada sang pemuda dalam jarak sedekat ini.
"Zie, lain waktu bisakah kita keluar bersama? Yaah, untuk mencari udara segar di luar kota yang penuh polusi ini."
Zie tertegun, permintaan Derry rasanya berat untuk diangguki. Mengingat dirinya kerap kali diserang lelah, akibat dikuras pekerjaan yang menghabiskan energi dan tenaga.
Mempunyai sedikit waktu ia gunakan merehatkan raga, tidak untuk pelesiran bersama pria yang menaruh asa berupa cinta tanpa sanggup membalasnya.
Di waktu libur ia luahkan bersama si buah hati. Berhubung selama enam hari merepotkan Bu Laila, setidaknya ada satu hari terjeda bagi wanita paruh baya itu tanpa dibebani mengasuh Alana.
Ikhlas, tanpa pamrih pedoman yang Bu Laila ikrarkan saat meminta sang buah hati diasuh olehnya, tapi tetap saja Zie tidak bisa membombardir pengurusan Alana padanya. Dia cukup tahu diri.
"Bagaimana, Zie, mau, kan?" Derry kembali mengajukan tanya, tersebab Zie melamun.
"Kamu gak malu ngajak aku yang memiliki status tidak jelas?" Zie memutar balik tanya.
Derry tertawa seringan tirai yang bertandak ditiup sang bayu. Tangannya terulur mengacak lembut anak rambut bagian depan milik Zie.
"Aku tidak peduli akan hal itu. Bagiku kamu dan Alana adalah permata yang paling berharga, dan harus dijaga keindahannya."
Zie terdiam. Pikirannya sibuk mengartikan deretan kalimat puitis yang terucap dari mulut Derry.
"Ziiie, kata Pak Bos waktunya kerjaaa!" Seruan Rena dari dalam gedung menghenyakan sepasang anak manusia yang saling tolak belakang baik hati maupun pemikirannya.
Zie refleks melihat jam tangan, astaga sudah lewat lima menit waktu kerja! Pekiknya dalam hati.
"Derry, aku harus pergi, terima kasih sudah mengantarkan aku!" Tanpa menunggu jawaban sang pemuda, Zie setengah berlari memasuki gedung.
Di salah satu lantai atas, sepasang bola mata menghunus, selaksa ujung tombak siap meluncur menembus inti jantung dua insan yang sedang bercakap di pelataran luar gedung.
Tangan mengepal menggenggam bara. Detak jantung kehilangan iramanya, sesak mendera dikarenakan menahan amarah yang menderas. Kecemburuan tersirat jelas di kedua netra legamnya.
Sang pria berjas hitam beranjak setelah yakin sasaran tatapannya sudah menghilang, ditelan bangunan megah milik Pranajaya dan si pemuda meluncur dengan tunggangannya.
Andra menelpon kepala HRD, meminta data formulir para karyawan yang masuk dari dua tahun yang lalu sampai yang terbaru.
**
"Ini data-data yang Tuan minta," ucap wanita yang menjabat sebagai kepala HRD sambil menyerahkan tumpukan map berbagai warna.
Andra meraihnya. Setelah mengucapkan terima kasih wanita itu pamit keluar dengan perasaan heran kenapa sang bos meminta data-data karyawan.
Dengan tidak sabar, pria berambut hitam dan tebal itu mencari yang jadi tujuannya. Setelah menemukan dengan sangat teliti membaca rangkaian kata yang tercantum dalam lembaran putih tersebut.
Ekspresi Andra terlihat kesal campur bingung, kemudian membanting map berisi formulir tentang riwayat hidup Zievana Khairunisa ke atas meja. Sesekali dengkusan kesal memecah keheningan di dalam kantornya.
Dalam data Zievana tidak dinyatakan sudah menikah, tapi Andra tidak mungkin salah menangkap kata, saat gadis itu berbincang dengan teman wanitanya, kemarin sore saat bubar karyawan.
"Anak! Jelas sekali aku mendengar kata itu. Zie memiliki anak, itu tandanya Zie sudah menikah, dan kemungkinan pria yang tadi bersamanya adalah suaminya, tapi dalam data ini status Zie belum menikah!"
Andra membuang napas kasar. Kembali otaknya merangkai praduga seputar Zie. Tidak menikah, memiliki anak, melamar pekerjaan di perusahaan Pranajaya setahun yang lalu.
"Aaargh! Zievana, lagi-lagi kamu membuatku frustasi!"
Bersambung
"Zie dipanggil Pak Andra ke ruangannya," ucap Pak Gayus.Zie terang saja terkejut, seketika bergemuruhlah dalam dadanya. Rena yang duduk tidak jauh dari Zie ikut mendengarkan juga heran."M-mau apa, Pak?" Kegugupan tidak dapat Zie kendalikan.Pak Gayus sedikit mencebik sambil menjengkitkan bahu. "Bapak juga kurang tau. Ayo, cepetan ke sana. Pak Andra tidak suka menunggu lama.""I-iya, Pak."Pria tambun berusia setengah abad itu meninggalkan Zie dalam kegamangan. Menggigit kuku ibu jari atau bibir bawah adalah suatu kebiasaan gadis berhidung mancung itu di kala bingung merecokinya.Zie meratap sial, kenapa zona damainya tidak bisa ditawar kembali ke semula, di kala Andra belum menginjakkan kaki di pelataran gedung megah Pranajaya Jakarta.Kenapa pria tersebut tidak berdiam di Semarang saja, tempatnya meraja sebagai direktur perusahan cabang. Kenapa Pak Anjay harus menyerahkan jabatannya pada anak kedua, lalu anak pertama di mana?Kenapa, kenapa, kenapa?Zie merafal istighfar dalam hati
Zie kembali ke ruang kerja dengan wajah yang ditekuk. Lemas bagai raga habis dilolosi tulang, dan tentu saja mengundang tanya sang ratu kepo Rena. Gadis mungil itu langsung menghampiri, dengan menggeser kursi berodanya saat Zie tiba di meja kerja."Kamu kenapa kok, murung, Zie?" Rena siku di meja, tangan yang digunakan untuk menopang dagu. Mengamati raut yang berlapis mendung sang sahabat.Zie menghela napas, kemudian menjatuhkan telengkup, kening menempel di lengan yang saling tumpang tindih di atas meja. erangan resah, menambah keheranan Rena semakin memenuhi pikiran."Zie, hei, Zie! Jangan bikin aku cemas, dong! Sikapmu kek abis dilamar buaya darat bangkotan."Ucapan konyol Rena menggerakkan kepala Zie, sehingga sedikit mendongak. "Aarrrggghh!" pekik Zie tiba-tiba sambil mengacak rambut.Rena terlonjak sampai mundur bersama kursinya, meraba dada merasakan detak jantung yang tidak beraturan. Wajah merengut. Karyawan di dekat mereka langsung terkejut, lantas membocorkan aneh penuh
Meskipun Andra tidak ingin ikut campur permasalahan sakitnya Alana, tapi ia seolah ditarik masuk dalam kecemasan seperti yang Zie dan Bu Laila rasakan.Pria yang memiliki postur tinggi itu bergeming tidak jauh dari ambang pintu, mengamati Zie dengan wajah khawatir mengambil Alana dari gendongan Bu Laila.Bayi berusia tiga belas bulan itu menangis, Zie nampak kesulitan meredakan sambil menimang-nimang. Sesekali melirik pria yang datang bersamanya, seolah menyampaikan kata melalui pancaran mata bahwa ia membutuhkannya."Apa kamu tidak mau menyusuinya?" Andra buka suara, dari nadanya terdengar agak jengkel, tersebab prihatin dengan kondisi malaikat kecil yang terus mendengungkan tangis sampai suaranya parau."Aku sudah tidak menyusui ASI, Alana minum susu formula. Karena ASI-ku sedikit, tidak memuaskannya, lalu dia berhenti sendiri."Pantas, bagian dada Zie normal-normal saja, pikir Andra.Pria berambut cepak itu masuk lebih dalam lagi, mendekati Zie. Tangannya lantas menyentuh kening Al
Rena berlari dari arah kontrakannya yang berada di seberang."Hai, Ren." Zie melempar senyum pada sahabat baiknya itu."Eh, Pak Andra. Selamat malam, Pak." Meskipun dari kejauhan sudah melihat Zie ditemani bos mereka, perasaan kikuk tetap hinggap di hati Rena saat berhadapan."Malam." Andra mengangguk kecil, seraya menyunggingkan senyum tipis.Rena mengalihkan perhatian kembali ke tujuan utama, menanyakan kabar buah hati sahabatnya. "Gimana keadaan Alana, dia baik-baik saja, kan?" Meraba kening sang bayi, panasnya mulai sedikit reda."Alana baik-baik saja.""Ah, syukurlah. Ya, udah deh, bawa masuk gih, udara malam gak bagus buat Alana.""Kamu masuk dulu, Ren," tawar Zie, berharap Rena mau menemaninya di dalam. Perasaan tidak enak menyapa jika harus berduaan dengan Andra nantinya.Rena melirik sang pria yang hanya diam membisu seperti patung manekin tampan. Gadis mungil itu menggeleng, tanda menolak tawaran sahabatnya. Zie mendesah pelan."Aku lagi ada kerjaan, Zie. Biar Pak Andra aja
"Dia?" Andra menunggu Zie melanjutkan kata-katanya dengan rasa penasaran tinggi. "Bukan suamiku."Andra diam, lebih intens masuk ke netra bening Zie, mencoba berenang di kedalamannya demi menemukan sebuah fakta dari dua kata yang meluncur melalui bibir semerah delima."Derry... dia hanya berusaha jadi pria yang melindungiku juga Alana. Hanya itu."Andra mendesah pelan, lalu menertawakan diri sendiri. Dari hari ke hari membiarkan diri jadi manusia bodoh. Praduga yang dikuasi tidak jelas dan kecemburuan tidak beralasan. Bukannya menemukan kebenaran malah berkubang dengan lara.Tangan kanan Andra terangkat, menyentuh pipi selembut kapas, sedingin es karena diterpa angin malam. Mengelus, mengalirkan kehangatan disertai sensasi yang tidak biasa.Andra mendorong sedikit tubuh Zie hingga bersandar di mobil. Mereka berdiri tanpa jarak, sehingga napas panas saling menyapu wajah. "Aku mau kamu ... jadi milikku, Zievana.""Pak Andra...." Bibir Zie tertarik kelu. Tenggorokan seperti ada yang me
Jantung Zie serasa terlempar dari tempatnya, wajah pucat kesi, melihat sosok gagah berdiri menjulang di hadapan dengan senyum manis terukir di bibirnya. Sebuah rasa sakit dan kecewa merangsek masuk tanpa aba-aba. Zie tidak tahu bagaimana cara menggambarkan kedua rasa itu. Demi Tuhan, Pak Andra adalah calon suami Mbak Syahra--si wanita berhati Malaikat, jerit hati Zievana.Wanita berambut panjang hitam bergelombang itu mencoba memunguti kepingan-kepingan indah saat bersama Andra. Meskipun singkat, tapi sangat membekas. Barisan aksara yang mengalun merdu dua hari lalu tentang 'Kamu Milikku', masih segar diingatan, bahkan di abadikan di memory otak paling terdalam. Namun, baru saja Zie mencecap manisnya cinta, kini langsung dihempas badai nestapa."Zie, kamu baik-baik saja?" Syahra menyentuh tangan Zie yang dingin.Zievana tersadar dari angan yang melambungkannya. Andra sudah duduk di dekat Syahra tanpa Zie tahu kapan bergeraknya. Tanpa disadari oleh kedua wanita itu, sang pria sedang
"Pak Andra kenapa, Zie?" Rena dibuat penasaran oleh kata-kata Zie."Pak Andra adalah ayah kandung Alana.""Apaa?"Zie secepat kilat membungkam mulut Rena dengan tangan kanan, tangan kiri depan di bibir itu sendiri. Kepalanya celingak-celinguk, takut pekikan Rena mengundang perhatian.Beberapa orang terpancing, menoleh ke arah dua gadis yang terlihat seperti sedang berseteru itu dengan rasa curiga. Zie mengangguk sopan sebagai kode permintaan maaf, mereka menanggapi dengan gelengan kepala.kebiasaan! Pikir mereka."Jangan teriak napa, Dodol Bulukan! Noh, orang-orang pada curiga."Rena mengacungkan dua jari, membentuk huruf 'V'. Zie menurunkan tangan dari wajah gadis itu."Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah, kamu gak lagi ngelindur kan, Zie?" Ekspresi Rena kentara sekali dengan keterkejutan. matanya melotot sempurna."Kamu bisa melihat wajah anakku mirip siapa?" Suara Zie sendu sambil memandang manik mata sahabatnya."Gila! Jika aku inget-inget lagi, Alana dan Pak Andra waja
Zie membocorkan lekat sang pria lalu berkata, "Untuk apa Pak Andra ingin tahu siapa ayah Alana?"Andra perhatiannya kepada arah sang wanita. Dia bangkit, berjalan mendekati Zie yang mulai mundur dan berahkir dengan punggung menempel di dinding kamar."Dia putriku? Dia darah dagingku, kan?" Andra berjarak di antara mereka. Menempelkan telapaknya di kiri kanan tembok, wajah Zie.Zie merasakan embusan napas panas Andra di wajah dan sedikit pengalaman. Aroma maskulin merangsek indera penciumannya sehingga sel-sel dalam tubuh mulai bereaksi tegang."Katakan, Zie? Jelaskan yang kamu sembunyikan dariku?"Keheningan ruangan. Andra menunggu penjelasan dari bibir semerah delima yang justru sedang hanyut dalam kebingungan."Aku menunggu, Zievana." Andra mendesis."Ka-kalau Alana p-putrimu, apa yang akan Pak Andra l-lakukan?" Zie kepayahan tanya. Tenggorokan bagai tercekik sesuatu tidak kasat mata."Jadi... benar, Alana hasil perbuatan kita di malam itu?"Zie tidak menjawab lalu, menutup mata, me