“Darimana kamu?” cecar Daffa dengan mata menyorot tajam pada Mas Heru. Aku yang berada di tengah-tengah mereka, memandang keduanya bergantian. “Mas, kamu pulang aja,” ujarku lirih. Ya, dia memang harus segera pulang, pasalnya hal buruk bisa saja terjadi jika dia tetap di sini.
“Oke. Mas pulang, ya,” pamitnya yang segera kubalas dengan anggukan singkat.Sepeninggal Mas Heru, Daffa menarikku memasuki rumah kemudian menutup pintu hingga menimbulkan suara keras. Wajahnya tampak mengencang dengan kedua tangan mengepal sempurna.“Kamu ketemu dia? Kenapa gak izin dulu? Saya ini suami kamu, Kelana,” cerocos Daffa.Untuk beberapa detik, aku tak menanggapi ucapannya, membiarkan dia mengatakan apa yang ingin dikatakan.“Bahkan selangkah pun kamu keluar dari rumah ini, itu harus seizin saya.” Nada bicaranya semakin tidak santai. Aku masih diam, menunggu waktu yang tepat untuk menghentikan lelaki tersebut.“Saya gak suka kamu pergi dengan lelaki lain!”“PlayUsai kejadian malam itu, Daffa tidak pulang sampai pagi, aku pun tak mencari. Sebab sudah bisa menebak, kemana lelaki tersebut pergi. Rumah ini terasa damai tanpa kehadirannya. Ya, meskipun sudut hatiku menginginkan dia berada di tengah-tengah kami. Namun lagi-lagi, bagian terpentingnya bukan itu, ada hal lain yang harus kuperjuangkan lebih dari sekadar urusan perasaan. “Bunda lagi apa?” Lintang yang baru tiba duduk di sampingku. “Lagi take video, Sayang,” jawabku tanpa mengalihkan pandangan. Aku yang sedang giat-giatnya membuat konten promosi produk, tanpa sadar mengabaikan kehadiran Lintang. Dia mengamati aktivitas bundanya yang berpindah dari satu posisi ke posisi lain demi mendapat tangkapan layar terbaik. “Biar Lintang bantu pegangin HPnya, Bun.”“Gak usah, Sayang, Lintang ganti baju, makan, terus istirahat aja. Pasti capek kan seharian di sekolah?” tolakku sambil tersenyum dan mengusap surainya lembut. “Lintang mau bantuin Bunda,” pintanya.
“Waduh, Mbak Kelana, pagi-pagi sudah rapi. Apa ndak bosen kerja terus? Mbak kan masih muda, menikah lagi saja, supaya ada yang nafkahin,” kelakar wanita yang kuketahui bernama Ratna. Ia mengenakan daster rumahan yang sisi kanan dan kirinya robek. “Lihat saya, tiap hari dimanjain suami, uang belanja cukup, semua kebutuhan terpenuhi, mau beli apa-apa tinggal minta, gak perlu capek-capek kerja. Nikmat sekali,” sambungnya.Aku membalas ucapan tersebut dengan senyum lebar, sambil bertanya-tanya dalam hati, apa Buk Ratna tak malu berkata demikian? Padahal, aku sering mendapati ia dan suaminya berdebat perihal gaji yang tidak cukup memenuhi kebutuhan mereka yang sudah memiliki anak dua.“Nggak, Buk, saya malah seneng,” jawabku seadanya.Netra Buk Ratna tak lepas memandangku, seakan tengah menilai penampilanku pagi ini. “Saya punya sepupu, kerja kantoran, kebetulan lagi nyari perempuan untuk diajak serius. Kalau Mbak Kelana mau, saya bisa…”“Maaf, saya buru-buru, mau buka toko,” selaku sambil
Mataku mengerjap beberapa kali, memastikan benarkah sosok yang saat ini berada tak jauh dari posisiku adalah dia yang kurindukan? Ternyata benar, lelaki itu terlihat sangat nyata, memandang ke arahku seraya menggerakkan mulut, menyebut susunan huruf hingga membentuk satu nama. “Kelana.”“Daffa,” lirihku.Sejenak dua jenak, kami bertatapan, hingga wanita yang amat familier mendekat dan bergelayut manja di lengannya.“Kamu ngapain sih, katanya cuma mampir bentar, kok lama banget? Perutku sakit,” rengekan wanita tersebut terdengar jelas. “Astaga, temen kamu kenapa babak belur gitu? Kalian berantem? Kamu gimana? Ada yang luka?” Dia menyentuh wajah Daffa seraya mencari-cari bekas luka di sana.“Aku gak apa-apa, Mona,” jawab Daffa lembut.“Syukurlah, aku panik banget.” Wanita itu menghela napas lega dan kembali memeluk Daffa.Aku merasa seperti obat nyamuk di antara mereka. Saat itulah, melalui gerakan mata Daffa menginsyaratkan tentang kehadiranku pada wanita tersebut. Sampai akhirnya, wa
“Waktu kamu habis! Sekarang pergi!” usirku kemudian berlalu meninggalkan Sean.“Kamu mau kemana? Aku temenin, ya,” ujarnya seraya mencekal pergelangan tanganku.“Aku gak mau lihat muka kamu, Sean!”Sean menyugar rambut sembari melayangkan tatapan tak percaya. Mungkin dia berpikir, setelah mendengar informasi tersebut aku akan memaafkan, atau paling tidak berterima kasih. Oh tunggu dulu! Tentu saja tak semudah itu. Lagipula, aku akan tetap datang ke pengadilan agama dengan atau tanpa informasi darinya.“Baiklah, semoga setelah ini mata dan hati kamu bisa lebih terbuka dan menerima kenyataan!”Usai berucap demikian, dia benar-benar pergi. Seiring punggungnya yang menjauh, tubuhku limbung. Mataku berair seketika, kalimat demi kalimat yang ia lontarkan terngiang-ngiang di kepala, kemudian berganti dengan suara tegas Daffa saat mengucap ijab qabul tiga tahun silam.Sisi lain hatiku ingin menyangkal segala hal yang dikatakan Sean. Tapi, hampir tak ada alasan untuk melakukan itu. Sebab, sela
“Semua keputusan ada di tangan kamu. Saya cuma minta waktu dua bulan, pikirkan baik-baik atau kamu akan kehilangan!Dari nada bicaranya, Daffa kelihatan sangat menikmati peran. Sungguh, andai bukan dia, aku tidak akan sebimbang ini.“Jangankan dua bulan, satu hari pun terlalu lama jika dihabiskan dengan laki-laki bajingan seperti kamu!”“Saya minta maaf atas kekacauan yang pernah saya sebabkan. Tapi, kamu harus percaya, ada alasan dibalik semua peristiwa dan keputusan yang saya ambil selama ini.”Cih! Lagu lama keset kusut! Begitulah yang aku pikirkan tentang penjelasan singkatnya. Kalau benar apa yang dia lakukan itu ada dasarnya, mengapa tidak memberitahuku sejak awal? Bukankah yang terpenting dari hubungan adalah komunikasi?“Simpan saja semua narasi itu!”Ya, aku merasa lebih baik tak mendengar apa pun. Sebab, sekarang bukan lagi waktunya. Jika dia memang punya niat kembali, seharusnya ia lakukan itu sejak lama. Bukan tiba-tiba datang, apalagi menggunakan sertifikat rumah untuk me
Pagi harinya, saat aku tengah mengepel lantai, terdengar suara ketukan dari luar. Bergegas aku menarik handel tanpa memeriksa sosok di baliknya lebih dulu. Detik itu juga, aku menyesal melakukan hal tersebut. Ketika hendak menutup pintu, sosok tersebut menahan sembari tersenyum lebar. “Selamat pagi, istri.” “Saya bukan istri kamu!” tekanku. “Kamu masih istri saya,” balas tamu tak diundang yang tak lain adalah Daffa. Aku mengedarkan pandangan, sembari berusaha menahan diri untuk tak memukul kepala lelaki tersebut. Bersamaan dengan itu, netraku menangkap dua koper besar yang berada di sisinya. Aku memicingkan mata, untuk apa lelaki itu membawa koper? Jangan-jangan… “Mulai sekarang saya akan tinggal di sini, lebih tepatnya di rumah lama kamu. Siap-siap, gih, kita berangkat sebentar lagi,” ujarnya dengan senyum mengembang. Enteng sekali dia bicara demikian. Ingin rasanya kubenturkan kepala lelaki itu ke dinding, agar ia tak menolak lupa pada sikap dan tindakannya menelantarkan aku ju
“Lintang tunggu sebentar, ya,” ucapku seraya menggeser kursi dan bangkit. “Bunda mau ke mana?” tanya Lintang ikut berdiri. Pandanganku yang semula mengarah pada titik di mana sosok misterius itu berada, kini beralih menatap Lintang. “Ke sana sebentar,” jawabku sambil menunjuk bangunan kosong yang berada tak jauh dari posisi kami. “Ngapain, itukan rumah kosong?” Lintang bertanya-tanya. Sesaat setelah pertanyaan itu terlontar, netraku tak lagi menangkap sosok tersebut. Aku memindai segala arah untuk mencari keberadaannya, namun nihil, tak kutemui siapa pun di sana. “Bunda cari siapa?” tanya Lintang lagi. “Bukan siapa-siapa. Ayo kita pulang,” ajakku sembari menarik pergelangannya. Kami berjalan perlahan dalam keheningan, disertai isi kepala yang tak bisa tenang. Hanya suara derap langkah dari sepasang sepatu dan sandal jepit yang terdengar, hingga kontrakan bercat pudar terlihat di depan mata. Belum reda keresahan dalam hati akibat kejadian tadi, netraku membola sempurna kala melih
Setelah punggung Daffa menjauh, aku menghentikan aktivitas dan duduk sejenak di tempat yang tadi dia duduki sembari menghela napas pelan. Kulihat sekeliling, tak kutemui apa pun selain kekosongan, sama seperti sudut hatiku yang mendadak tak nyaman saat ia pergi. Bertepatan dengan itu, ponsel yang kuletakkan di atas nakas berdering keras hingga membuyarkan lamunan. “Sean, mau apa lagi dia?” gumamku sembari menggeser layar, mereject panggilan tersebut. Akan tetapi, dering yang sama kembali terdengar. Kuputuskan menjawab panggilan tersebut, barangkali ada hal penting yang ingin dia sampaikan. “Ada apa?” tanyaku to the point.“Kata Lintang kalian pindah. Kenapa gak bilang?”Dengan kening berkerut, kujauhkan ponsel dari telinga. Kenapa gak bilang? Untuk apa juga bilang, memangnya dia siapa? Suara hatiku meronta-ronta. “Halo, Lan, kamu masih di sana?”“Hmm,” balasku singkat. “Sharelock, aku ke sana sekarang.”“Gak usah!” sahutku cepat.Tentu saja aku menolak. Selain karena ta