Gairah Suami Kedua

Gairah Suami Kedua

By:  Danea  Updated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
1 rating
17Chapters
692views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Demi selembar sertifikat, Kelana terpaksa mengizinkan Daffa—suami yang sudah tiga tahun pergi dan membuat kecewa, serta trauma tinggal bersamanya. Namun, siapa sangka jika lelaki tak bertanggungjawab itu mampu mengembalikan debar-debar di dada sekaligus gejolak rasa yang telah lama hilang. Di sisi lain, Lintang, anak semata wayang Kelana menolak mentah-mentah kehadiran Daffa. Bahkan, dia terus mendesak agar sang bunda menikah dengan Sean dan melupakan masa lalu serta kenangan lama. Bagaimana akhir kisah mereka? Akankah Kelana mengorbankan perasaannya demi memenuhi keinginan Lintang yang menderita gangguan mental? Mungkinkah Sean menyerah dan memilih mundur saat Kelana yang mengakui tak lagi mencintai Daffa malah terciduk tidur bersama? Pecundang seperti Daffa tidak pantas bersanding dengan Kelana—Seano Adiyatama Sekuat apapun kau menggenggam, masalalu akan tetap jadi pemenang—Daffa Mahendra Ini lebih kompleks dari sekadar aku memilih siapa. Sebab, kalian berdua sama pentingnya—Kelana Maharani

View More
Gairah Suami Kedua Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
user avatar
Aulia Zahra
hayuukkk mana teruskan kak
2024-04-21 16:50:41
0
17 Chapters
Insiden
“Waduh, Mbak Kelana, pagi-pagi sudah rapi. Apa ndak bosen kerja terus? Mbak kan masih muda, menikah lagi saja, supaya ada yang nafkahin,” kelakar wanita yang kuketahui bernama Ratna. Ia mengenakan daster rumahan yang sisi kanan dan kirinya robek. “Lihat saya, tiap hari dimanjain suami, uang belanja cukup, semua kebutuhan terpenuhi, mau beli apa-apa tinggal minta, gak perlu capek-capek kerja. Nikmat sekali,” sambungnya.Aku membalas ucapan tersebut dengan senyum lebar, sambil bertanya-tanya dalam hati, apa Buk Ratna tak malu berkata demikian? Padahal, aku sering mendapati ia dan suaminya berdebat perihal gaji yang tidak cukup memenuhi kebutuhan mereka yang sudah memiliki anak dua.“Nggak, Buk, saya malah seneng,” jawabku seadanya.Netra Buk Ratna tak lepas memandangku, seakan tengah menilai penampilanku pagi ini. “Saya punya sepupu, kerja kantoran, kebetulan lagi nyari perempuan untuk diajak serius. Kalau Mbak Kelana mau, saya bisa…”“Maaf, saya buru-buru, mau buka toko,” selaku sambil
Read more
Fakta
Mataku mengerjap beberapa kali, memastikan benarkah sosok yang saat ini berada tak jauh dari posisiku adalah dia yang kurindukan? Ternyata benar, lelaki itu terlihat sangat nyata, memandang ke arahku seraya menggerakkan mulut, menyebut susunan huruf hingga membentuk satu nama. “Kelana.”“Daffa,” lirihku.Sejenak dua jenak, kami bertatapan, hingga wanita yang amat familier mendekat dan bergelayut manja di lengannya.“Kamu ngapain sih, katanya cuma mampir bentar, kok lama banget? Perutku sakit,” rengekan wanita tersebut terdengar jelas. “Astaga, temen kamu kenapa babak belur gitu? Kalian berantem? Kamu gimana? Ada yang luka?” Dia menyentuh wajah Daffa seraya mencari-cari bekas luka di sana.“Aku gak apa-apa, Mona,” jawab Daffa lembut.“Syukurlah, aku panik banget.” Wanita itu menghela napas lega dan kembali memeluk Daffa.Aku merasa seperti obat nyamuk di antara mereka. Saat itulah, melalui gerakan mata Daffa menginsyaratkan tentang kehadiranku pada wanita tersebut. Sampai akhirnya, wa
Read more
Dilema
“Waktu kamu habis! Sekarang pergi!” usirku kemudian berlalu meninggalkan Sean.“Kamu mau kemana? Aku temenin, ya,” ujarnya seraya mencekal pergelangan tanganku.“Aku gak mau lihat muka kamu, Sean!”Sean menyugar rambut sembari melayangkan tatapan tak percaya. Mungkin dia berpikir, setelah mendengar informasi tersebut aku akan memaafkan, atau paling tidak berterima kasih. Oh tunggu dulu! Tentu saja tak semudah itu. Lagipula, aku akan tetap datang ke pengadilan agama dengan atau tanpa informasi darinya.“Baiklah, semoga setelah ini mata dan hati kamu bisa lebih terbuka dan menerima kenyataan!”Usai berucap demikian, dia benar-benar pergi. Seiring punggungnya yang menjauh, tubuhku limbung. Mataku berair seketika, kalimat demi kalimat yang ia lontarkan terngiang-ngiang di kepala, kemudian berganti dengan suara tegas Daffa saat mengucap ijab qabul tiga tahun silam.Sisi lain hatiku ingin menyangkal segala hal yang dikatakan Sean. Tapi, hampir tak ada alasan untuk melakukan itu. Sebab, sela
Read more
Penolakan
“Semua keputusan ada di tangan kamu. Saya cuma minta waktu dua bulan, pikirkan baik-baik atau kamu akan kehilangan!Dari nada bicaranya, Daffa kelihatan sangat menikmati peran. Sungguh, andai bukan dia, aku tidak akan sebimbang ini.“Jangankan dua bulan, satu hari pun terlalu lama jika dihabiskan dengan laki-laki bajingan seperti kamu!”“Saya minta maaf atas kekacauan yang pernah saya sebabkan. Tapi, kamu harus percaya, ada alasan dibalik semua peristiwa dan keputusan yang saya ambil selama ini.”Cih! Lagu lama keset kusut! Begitulah yang aku pikirkan tentang penjelasan singkatnya. Kalau benar apa yang dia lakukan itu ada dasarnya, mengapa tidak memberitahuku sejak awal? Bukankah yang terpenting dari hubungan adalah komunikasi?“Simpan saja semua narasi itu!”Ya, aku merasa lebih baik tak mendengar apa pun. Sebab, sekarang bukan lagi waktunya. Jika dia memang punya niat kembali, seharusnya ia lakukan itu sejak lama. Bukan tiba-tiba datang, apalagi menggunakan sertifikat rumah untuk me
Read more
Siapa Dia?
Pagi harinya, saat aku tengah mengepel lantai, terdengar suara ketukan dari luar. Bergegas aku menarik handel tanpa memeriksa sosok di baliknya lebih dulu. Detik itu juga, aku menyesal melakukan hal tersebut. Ketika hendak menutup pintu, sosok tersebut menahan sembari tersenyum lebar. “Selamat pagi, istri.” “Saya bukan istri kamu!” tekanku. “Kamu masih istri saya,” balas tamu tak diundang yang tak lain adalah Daffa. Aku mengedarkan pandangan, sembari berusaha menahan diri untuk tak memukul kepala lelaki tersebut. Bersamaan dengan itu, netraku menangkap dua koper besar yang berada di sisinya. Aku memicingkan mata, untuk apa lelaki itu membawa koper? Jangan-jangan… “Mulai sekarang saya akan tinggal di sini, lebih tepatnya di rumah lama kamu. Siap-siap, gih, kita berangkat sebentar lagi,” ujarnya dengan senyum mengembang. Enteng sekali dia bicara demikian. Ingin rasanya kubenturkan kepala lelaki itu ke dinding, agar ia tak menolak lupa pada sikap dan tindakannya menelantarkan aku ju
Read more
Kejanggalan
“Lintang tunggu sebentar, ya,” ucapku seraya menggeser kursi dan bangkit. “Bunda mau ke mana?” tanya Lintang ikut berdiri. Pandanganku yang semula mengarah pada titik di mana sosok misterius itu berada, kini beralih menatap Lintang. “Ke sana sebentar,” jawabku sambil menunjuk bangunan kosong yang berada tak jauh dari posisi kami. “Ngapain, itukan rumah kosong?” Lintang bertanya-tanya. Sesaat setelah pertanyaan itu terlontar, netraku tak lagi menangkap sosok tersebut. Aku memindai segala arah untuk mencari keberadaannya, namun nihil, tak kutemui siapa pun di sana. “Bunda cari siapa?” tanya Lintang lagi. “Bukan siapa-siapa. Ayo kita pulang,” ajakku sembari menarik pergelangannya. Kami berjalan perlahan dalam keheningan, disertai isi kepala yang tak bisa tenang. Hanya suara derap langkah dari sepasang sepatu dan sandal jepit yang terdengar, hingga kontrakan bercat pudar terlihat di depan mata. Belum reda keresahan dalam hati akibat kejadian tadi, netraku membola sempurna kala melih
Read more
Rumit
Setelah punggung Daffa menjauh, aku menghentikan aktivitas dan duduk sejenak di tempat yang tadi dia duduki sembari menghela napas pelan. Kulihat sekeliling, tak kutemui apa pun selain kekosongan, sama seperti sudut hatiku yang mendadak tak nyaman saat ia pergi. Bertepatan dengan itu, ponsel yang kuletakkan di atas nakas berdering keras hingga membuyarkan lamunan. “Sean, mau apa lagi dia?” gumamku sembari menggeser layar, mereject panggilan tersebut. Akan tetapi, dering yang sama kembali terdengar. Kuputuskan menjawab panggilan tersebut, barangkali ada hal penting yang ingin dia sampaikan. “Ada apa?” tanyaku to the point.“Kata Lintang kalian pindah. Kenapa gak bilang?”Dengan kening berkerut, kujauhkan ponsel dari telinga. Kenapa gak bilang? Untuk apa juga bilang, memangnya dia siapa? Suara hatiku meronta-ronta. “Halo, Lan, kamu masih di sana?”“Hmm,” balasku singkat. “Sharelock, aku ke sana sekarang.”“Gak usah!” sahutku cepat.Tentu saja aku menolak. Selain karena ta
Read more
Maaf
“Bunda nyium wangi parfum perempuan?”Pertanyaan Lintang menari-nari di kepala, membuatku sulit memejamkan mata dan berakhir gulang-guling ke sana ke mari karena gelisah.“Kamu belum tidur?”Aku melirik sekilas, kemudian membalik badan, memunggungi lelaki tersebut. “Kenapa belum tidur?” tanyanya lagi. “Bukan urusan kamu!” ketusku. Tak berselang lama, tempat tidur bergoyang, pertanda seseorang naik ke atasnya. Dan benar saja, Daffa sudah berada di sampingku.“Pergi!” usirku tanpa melihat wajahnya. Bukannya menuruti ucapan tersebut, tangan besarnya malah melingkari pinggangku. Darahku berdesir, disertai degup jantung yang bertalu-talu di dalam sana. Tuhan, perasaan apa ini?Tidak-tidak, aku tidak boleh menikmati sentuhannya. Sontak, segera kulepas kasar tangan tersebut. “Jangan sentuh saya!” “Kenapa? Bukannya menyentuh istri dan melayani suami merupakan pahala?” Daffa men
Read more
Good Job
Punggung itu kian menjauh kemudian hilang, bersamaan dengan roda mobil sedan hitam yang berputar membelah jalanan. Aku termangu di tempat, masih tak percaya dengan yang terjadi barusan. Dia berkata ingin memperbaiki hubungan, sementara antara ucapan dan tindakannya tidak sejalan. Lantas, bagian mana yang harus kupercaya? Sepertinya tidak ada, dia benar-benar pembual! Berbagai asumsi memenuhi kepala tanpa bisa dicegah. Mataku menatap ke arah taman, namun pikiranku tidak di sana, melanglangbuana entah ke mana. Sampai akhirnya, tepukan pelan di pundak mengembalikanku pada realita. Aku berbalik dan mendapati Mas Heru—mantan suami pertamaku berdiri tegap sambil tersenyum lebar. “Pagi-pagi udah ngelamun, mikirin apa, hmm?” “Bukan apa-apa,” balasku. Meskipun sudah berpisah sejak bertahun-tahun silam, hubunganku dengannya terbilang cukup baik, kami masih sering berkomunikasi untuk sekadar membahas soal Lintang. Sesekali dia juga datang berkunjung guna bertemu putri semata wayangnya. “Lint
Read more
Penjelasan
PoV DaffaAku berjalan dengan langkah lebar, tak sabar ingin bicara pada Kelana, mumpung di rumah ini hanya ada kami berdua. Harapanku, semoga, setelah mendengar segala hal yang kukatakan, dia bisa bersikap lebih baik. Kalaupun tidak, tak apa, aku masih punya waktu seratus sembilan belas hari. Aku yakin bisa meluluhkan hatinya, sama seperti dulu. Ceklek!Saat pintu terbuka, mataku memintas sekeliling, mencari keberadaan Kelana. Di teras tidak ada, di ruang tamu juga tidak ada. Di mana dia? Apa di kamar? Atau dapur?“Kelana, saya sudah pulang, kamu di mana?” tanyaku setengah berteriak. Akan tetapi, sampai beberapa detik lamanya tak ada sahutan. Kubuka pintu kamar barangkali dia ada di sana. Tapi, nihil, kamar tersebut kosong. Hanya suara detak jarum jam yang memenuhi ruangan. Begitupun di dapur yang suasananya lebih hening dan lengang. “Ke mana dia?” batinku sembari merogoh ponsel, kemudian mengotak-atik benda pipih tersebut. “Angkat, Lan,” guma
Read more
DMCA.com Protection Status