Happy Ending ya.... ♡
Pak Budi memberanikan diri bicara, “Tapi Pak, bukannya rumah ada smart lock pakai sidik jari?” Reval mendadak berhenti bernapas sejenak, lalu mengembuskan napas lega. “Ya ampun, Pak Budi. Anda pahlawan!” Setibanya di rumah, Reval lari ke kamar seperti disambar petir. Dia membuka lemari dan langsung menarik koper warna biru dengan hiasan bebek kecil. “Oke, ini koper bayi. Sekarang koper Naura…” Matanya menelusuri kamar. “Yang pink! Yang pink! Pink tua atau pink muda ya?” Dia meraih koper pink muda, lalu membuka. Isinya… setrika uap dan baju olahraga. “Ya ampun ini koper laundry!” serunya frustrasi. Akhirnya, setelah menggali seluruh isi lemari dan kolong tempat tidur, Reval berhasil menemukan semua keperluan yang dikemas Naura jauh-jauh hari. Dia menyeret koper bayi, koper ibu, tas selempang berisi dokumen, dan bantal menyusui bergambar boneka domba. “Oke, sekarang kita kembali ke rumah sakit!” Kembali ke rumah sakit, Reval langsung berlari masuk, membawa semua tas dan koper s
Naura menggigit bibirnya, lalu mengaduh lagi. “Aaakh! Ini sakit banget! Kayaknya air ketubanku rembes deh… Val! Kaki aku dingin!” Reval langsung melepaskan jasnya, “Nih, nih, pakai ini dulu. Aduh jangan jambak lagi, ya? Aku masih butuh rambut buat tampil kece sebagai ayah masa depan!” Naura menatapnya, mata berkaca-kaca. “Reval…” Reval langsung panik, “Iya, iya, aku di sini, Sayang. Kamu kuat. Nggak apa-apa, kita sebentar lagi sampai, ya?” “Kalau anak kita lahir sekarang… di mobil… aku nggak siap, Val…” Reval menggenggam tangannya, hangat dan kuat. “Tidak. Nggak usah takut. Aku bakal ada di samping kamu terus.” Naura menggigit bibir bawahnya, kali ini bukan karena sakit, tapi karena matanya mulai buram oleh air mata. “Kamu suami paling norak tapi paling aku cinta.” Reval tertawa kecil, meski wajahnya masih tegang. “Norak tapi tampan, kan?” Naura mengangguk lemah dan di tengah ketegangan, mereka berdua tertawa pelan. Tiba-tiba, Naura kembali meringis. “Aaaakh! Kontraksinya dat
Kehamilan Naura telah memasuki bulan kesembilan. Perutnya yang membuncit membuat geraknya menjadi semakin terbatas. Reval pun menjadi sangat protektif. Setiap langkah Naura selalu diawasi, setiap makanan yang masuk selalu diperiksa gizi dan porsinya. Pagi itu, mereka menerima sebuah undangan cantik berwarna peach keemasan. Nama Dinda dan Ervan tertera di sana dengan elegan. “Kita diundang ke pernikahan Dinda dan Ervan,” ucap Naura sambil duduk di sofa, tangannya mengelus perutnya dengan lembut. Reval mengambil undangan itu, membaca sebentar, lalu menatap Naura khawatir. “Sayang, usia kandungan kamu kan udah sembilan bulan. Lebih baik kita kirimkan hadiah saja. Kamu istirahat di rumah.” Naura menggeleng pelan. “Aku pengen datang. Dinda itu teman yang selalu ada. Dia sering nemenin aku saat kamu kerja, jalan-jalan ke taman, bahkan pernah nganterin aku ke dokter waktu kamu dinas luar kota. Aku nggak mau absen di hari bahagianya.” Reval menghela napas panjang. Ia tahu ketika Naura
Air hangat mulai mengalir dari pancuran saat Reval menarik tangan Naura menuju kamar mandi. Ia menatap istrinya dengan senyum penuh cinta, lalu meraih handuk lembut dan memakaikannya ke tubuh Naura. “Kita bersih-bersih dulu, ya?” ucapnya sambil mencubit lembut ujung hidung Naura. Naura terkekeh, mengangguk manja. “Aku nggak bisa mandi sendiri, dong, sekarang.” Reval mengangkat alis, pura-pura serius. “Makanya suamimu ikut. Supaya kamu nggak kesepian.” Mereka berdiri di bawah pancuran air hangat. Uap tipis memenuhi ruangan, membalut tubuh mereka yang kini saling bersentuhan dengan begitu lembut dan hati-hati. Reval mengusap bahu Naura perlahan, lalu menurunkan tangannya ke lengan istrinya, memijatnya dengan sabun wangi melati. “Hmm, wangi kamu sekarang tambah enak,” gumam Reval, mencium pelipis Naura. Naura terkikik kecil. “Wangi sabun, Reval.” “Buat aku, semuanya dari kamu itu wangi,” bisiknya lagi. Mereka tak banyak bicara, hanya saling membersihkan tubuh dengan penuh kelemb
Pagi menyusup pelan lewat tirai tipis kamar. Sinar matahari yang lembut membias ke dinding, menciptakan suasana hangat. Di dalam selimut tebal, Naura menggeliat pelan sambil menguap. “Selamat pagi, Nyonya Reval,” bisik suara berat yang sangat dikenalnya. Naura membuka mata dan mendapati Reval sudah menatapnya dengan senyum yang kelewat manis. Rambutnya berantakan, tapi entah kenapa justru itu yang membuatnya makin tampan di mata Naura. “Selamat pagi, Tuan Ganteng,” balasnya sambil menyembunyikan wajah di bantal karena malu. Reval tertawa, lalu menarik Naura mendekat dan mendaratkan ciuman lembut di pipinya. “Gimana tidurnya, ibu dari anakku?” Naura tersenyum malu. “Tidur paling nyenyak seumur hidup.” Reval mengusap perut Naura perlahan. “Kamu harus makan dulu pagi ini. Anak kita pasti lapar.” Tak lama kemudian, mereka sudah berada di dapur. Naura mengenakan daster panjang dan celemek, rambutnya diikat sembarangan. Reval dengan kaus abu-abu dan celana pendek santai membantu
Naura mengerutkan dahi, tapi mengangguk. Ia menatap punggung suaminya yang keluar dari kamar. Beberapa menit kemudian, Reval muncul lagi. Kali ini dengan nampan berisi makanan kecil. Cokelat hangat, stroberi celup cokelat, dan... satu mangkuk mi instan. Naura langsung tertawa. “Mi instan? Serius?” “Yang terakhir spesial. Ini... buat kita yang dulu pernah makan ini bareng waktu kamu—” Naura memejamkan mata sejenak, tertawa haru. “Waktu itu kamu juga yang masakin!” potong Naura sebelum Reval menyelesaikan kalimatnya. Reval duduk di sebelahnya. “Dan malam ini, mi instan akan jadi saksi kita udah nggak perlu nangis sendirian lagi.” Mereka menikmati makanan ringan sambil bercerita masa lalu. Setiap kalimat seolah menjahit luka-luka yang dulu terbuka, menjadi kenangan yang kini tak lagi menyakitkan. Setelah semua santapan habis, Reval menarik Naura berdiri. “Ayo, aku mau ajak kamu lihat sesuatu.” Mereka berjalan menyusuri lorong hotel menuju pantai. Ternyata di pasir putih itu, Reval