Beberapa hari kembali berlalu dan kondisi Indira makin memburuk. Kali ini, Hendra dan Linda sudah ditemani oleh Xander dan Sena. Ada Joseph juga di sana dan semua orang saling menguatkan. "Kita harus ikhlas. Kita harus ikhlas, Bu Linda." Sena terus menguatkan Linda. "Aku sudah ikhlas! Aku sudah ikhlas, Bu Sena, tapi rasanya tetap menyakitkan, menyakitkan sekali!" Sena memeluk Linda dan Sena bisa merasakan kesedihan Linda. Semua orang tua berharap mereka akan pergi duluan daripada anaknya, bukan sebaliknya. Sena sangat memahami perasaannya. Hari itu, keluarga diijinkan masuk ke ruangan Indira karena kondisi Indira sudah sangat buruk. Tanda vitalnya terus menurun dan semua perawat sudah meminta keluarga untuk mengikhlaskan Indira. Hendra dan Linda berusaha untuk tegar. "Indira, Ibu sudah ikhlas kalau kau harus pergi, Sayang! Ibu ikhlas! Kau hanya belum melihat kalau semua orang ada di sini. Semua sudah memaafkanmu dan sudah mengikhlaskanmu." "Maafkan Ibu, Sayang! Maafkan Ibu, In
"Nadine?" Setelah kondisi Nadine dinyatakan stabil, ia pun akhirnya meminta untuk menjenguk Hanna di kamarnya. Samuel membantu mendorong kursi roda Nadine dan Hanna langsung menitikkan air matanya melihat temannya itu. "Hanna, kau baik-baik saja?" "Nadine! Nadine! Kemarilah!" Hanna merentangkan kedua tangannya dari ranjangnya. Samuel pun mendorong kursi roda Nadine mendekat dan mereka berpelukan dengan posisi yang sama sekali tidak nyaman, tapi pelukan itu sangat hangat. Keduanya menangis bersamaan dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Keduanya berasal dari keluarga yang sama, tekanan yang sama, sama-sama berjuang demi keluarganya, sama-sama pernah terjerumus dalam perjanjian gila dengan Indira, tapi berakhir selamat. "Maafkan aku yang pernah menjadi kaki tangan Bu Indira untuk merusak rumah tanggamu dan Pak Louis, Hanna! Maafkan aku yang sudah menempatkanmu dalam bahaya! Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan kalau kau celaka waktu itu! Maafkan aku, Hanna! Maafkan
"Selamat, Hanna! Selamat, Sayang!" Sena dan yang lain akhirnya diijinkan melihat Hanna saat Hanna sudah dipindahkan ke ruang rawat inap biasa. Kondisi Hanna dinyatakan stabil dan sudah lewat dari masa kritisnya. "Mama! Papa!" "Selamat, Hanna!" kata Xander juga. "Terima kasih, Ma, Pa! Apa semua sudah melihat bayinya? Aku ingin sekali melihat mereka." "Tunggu sebentar! Kata suster, mereka akan meminta ASI darimu, sekaligus nanti kita akan melihat bagaimana kedua bayi mungil itu minum." Tatapan Hanna berbinar-binar mendengarnya. "Aku bisa memberikan ASI-ku?" "Tentu saja, Hanna! Kau Mamanya! Kau bisa memberikan ASI-mu seperti dulu yang Mama lakukan pada bayi kembar Mama. Oh, kau hebat, Sayang! Kau luar biasa!" Sena memeluk Hanna begitu sayang, menantunya benar-benar sudah melalui hal sulit untuk melahirkan cucunya ke dunia ini. Sena benar-benar bangga pada Hanna. Tidak lama kemudian, dua orang suster masuk ke kamar Hanna. Mereka membawa alat pompa ASI dan botol kecil steril. "Ba
Louis terus berjalan mondar-mandir di depan kamar operasi, tangannya terkepal erat dan otaknya tidak bisa berpikir lagi. Yang ada di otak dan hatinya hanyalah doa yang tidak pernah putus untuk Hanna dan kedua anak kembarnya yang harus lahir sebelum waktunya. "Louis, tenanglah! Duduklah dulu bersama Mama!" "Aku tidak bisa, Ma! Aku tidak bisa!" "Semuanya akan baik-baik saja!" Louis mengangguk. Ya, semua akan baik-baik saja. Itu juga yang ia katakan berulang kali pada Hanna, tapi nyatanya, ia sendiri yang gelisah tidak karuan. "Iya, Ma! Semua akan baik-baik saja! Hanna dan anak-anakku ...," ucap Louis akhirnya dengan air mata yang terus berlinang. Semua orang pun menunggu dengan harap-harap cemas. Waktu menunggu lagi-lagi terasa begitu menyiksa sampai setelah menunggu cukup lama, akhirnya dokter pun keluar dari dalam ruangan dengan wajah yang lelah, tapi dihiasi senyuman kecil. "Dokter! Bagaimana, Dokter? Bagaimana istri dan anak-anakku?" "Selamat, Pak! Anda sudah menjadi Papa
"Indira!!!!" Linda berteriak histeris saat melihat mobil Indira tertabrak truk besar. Ia langsung turun dari mobilnya dan mencoba berlari mendekat, tapi polisi langsung memeluk dan menghentikannya. "Tahan, Bu! Tahan!" "Tidak! Anakku! Anakku!" teriak Linda dengan air mata yang bercucuran. Hendra sendiri yang baru keluar dari mobilnya pun masih syok melihat mobil Indira di sana."Anakku! Tolong anakku, cepat!" Para polisi baru berani mendekat setelah mobil Indira dan truk benar-benar berhenti bergerak. Semua menghambur mendekat untuk menyelamatkan mobil yang sudah berputar-putar di jalan, mengeluarkan percikan api dan asap itu. Hendra dan Linda pun akhirnya mendekat dengan jantung yang berdebar kencang. "Masih hidup!" Sang polisi berteriak setelah memeriksa Indira sampai Linda hampir pingsan mendengarnya. Seluruh tubuhnya gemetar akan ketakutan sekaligus kelegaan. Tangisannya pun meledak lagi saat melihat kondisi Indira saat dikeluarkan dari mobil. Anaknya itu kritis dan tidak
Semua orang masih terdiam saat melihat Indira berhasil menusukkan pisaunya. "Akhh! Akhh!" Terdengar teriakan Hanna yang begitu ketakutan. "Nadine! Nadine!" Ya, Nadine. Nadine tidak tahu apa yang sebenarnya ia lakukan. Sejak awal semua orang meninggalkannya, ia sudah panik, ia dilanda kebingungan harus melakukan apa, tapi satu hal yang ia tahu pasti, ia tidak bisa tinggal diam. Saat semua orang berkelahi, Nadine menyusup perlahan. Tidak ada yang melihatnya sampai ia bisa masuk melalui celah kecil di sudut yang tetap tidak terlihat. Nadine sempat menahan napasnya melihat Bu Bos benar-benar di sana. Hati Nadine tertusuk melihat Hanna ditangkap dan ia merasa sangat bersalah, seolah semuanya karena dirinya. Nadine putus asa dan ia pikir kalau terjadi sesuatu pada Hanna, ia mungkin akan mati dalam penyesalan. Lalu ia melihat sebuah tongkat tergeletak tidak jauh darinya. Ia tahu ia harus melakukan sesuatu. Entah bagaimana tepatnya, tapi ia berhasil melangkah cepat, mengambil tongkat