Semua orang masih terdiam saat melihat Indira berhasil menusukkan pisaunya. "Akhh! Akhh!" Terdengar teriakan Hanna yang begitu ketakutan. "Nadine! Nadine!" Ya, Nadine. Nadine tidak tahu apa yang sebenarnya ia lakukan. Sejak awal semua orang meninggalkannya, ia sudah panik, ia dilanda kebingungan harus melakukan apa, tapi satu hal yang ia tahu pasti, ia tidak bisa tinggal diam. Saat semua orang berkelahi, Nadine menyusup perlahan. Tidak ada yang melihatnya sampai ia bisa masuk melalui celah kecil di sudut yang tetap tidak terlihat. Nadine sempat menahan napasnya melihat Bu Bos benar-benar di sana. Hati Nadine tertusuk melihat Hanna ditangkap dan ia merasa sangat bersalah, seolah semuanya karena dirinya. Nadine putus asa dan ia pikir kalau terjadi sesuatu pada Hanna, ia mungkin akan mati dalam penyesalan. Lalu ia melihat sebuah tongkat tergeletak tidak jauh darinya. Ia tahu ia harus melakukan sesuatu. Entah bagaimana tepatnya, tapi ia berhasil melangkah cepat, mengambil tongkat
"Di mana lokasi itu? Cepat, Tama! Cepat!" Jantung Louis memacu makin kencang saat jalan yang mereka lewati sudah memasuki kawasan gudang kosong yang luas. Ada beberapa konstruksi terbengkalai di sana.Dan makin dalam masuk ke kawasan itu, perasaannya makin kuat mengatakan bahwa Hanna benar-benar ada di sana. Louis pun terus mendesak Tama mempercepat laju mobilnya. "Aku sudah cepat, Louis! Di mana titiknya?" "Lurus lagi, Tama! Lurus lagi!" Semua orang terus mengedarkan pandangan ke sekelilingnya sampai akhirnya mereka menemukan beberapa mobil dan sepeda motor terparkir di depan sebuah bangunan. Jantung Louis makin memacu kencang."Sial! Itu titiknya! Itu pasti mereka! Hanna!" geram Louis. Tama pun langsung menghentikan mobilnya asal. Mereka terlalu panik untuk menyusun rencana atau sekedar mengintai karena Louis langsung berlari menyerang. "Sial, Louis! Belum ada polisi atau anak buah yang bersama kita!" teriak Tama. Namun, terlambat. Louis sudah dihadang dua pria yang mendadak
"Ada apa di sana? Ada kecelakaan? Sial! Mengapa harus sekarang?" Tama dan Louis tidak berhenti mengumpat saat melihat kecelakaan beruntun di jalan yang mereka lewati. Dua mobil polisi yang mengikutinya terpaksa harus berhenti. Kaca mobil mereka dipukul-pukul oleh pengguna jalan yang meminta tolong karena kecelakaan baru saja terjadi dan belum ada polisi yang menghandle di sana. Mereka mulai sibuk menelepon pihak terkait dan memberikan bantuan untuk tiga mobil yang mengalami kecelakaan beruntun itu. "Ada korban di sana yang sesak napas. Tolong bantu di sini, Pak Polisi!" "Di sini juga, Pak Polisi! Tolong, korbannya tidak bisa bangun!" "Sial! Bagaimana ini?" geram Tama. "Aku akan menelepon Refi, sementara cari jalan untuk tetap ke sana, Tama!" sahut Louis. "Ke kanan, Tama! Lewat kanan ada celah!" seru Samuel juga yang fokus menatap jalan di depannya. Tama mengangguk dan tetap melajukan mobilnya lagi walau keadaan di jalanan sangat kacau. Refi sendiri yang ditelepon Louis pun l
"Halo, Pak Xander!" "Ah, Pak Hendra, apa kabar?" Xander masih menenangkan Sena di rumah sambil menunggu kabar dari Louis saat tiba-tiba ponselnya berbunyi dan mantan besannya menelepon. Xander begitu kaget, tapi ia mengangkatnya dengan nada bicara yang tetap tenang. "Baik, Pak Xander. Maafkan aku meneleponmu karena aku tidak bisa menghubungi Louis." Xander langsung menegang mendengarnya. "Maaf, ada apa, Pak Hendra?" Hendra, ayah Indira, mengembuskan napas beratnya, sebelum ia mulai berbicara. "Ini tentang Indira, Pak. Indira ... kabur." Seketika Xander menahan napasnya. Awalnya, Xander hanya tahu tentang Hanna yang menghilang di mall. Kecurigaan pada Nadine yang pernah mencoba mendekati Louis. Semua orang menyebut nama Indira, tapi belum ada yang bisa membuktikannya. Bagi Xander, itu hanya kecurigaan semata yang belum tentu benar. Tapi mendapat telepon dari Hendra yang memberitahu Indira kabur, debar jantung Xander memacu tidak karuan. "Katakan dengan jelas, Pak Hendra! Apa
Suasana masih begitu hening saat semua mendengar kata Bu Bos, hanya isakan Nadine yang terdengar di sana, tapi ada satu nama yang langsung muncul di otak semua orang. "Bu Bos?" lirih Louis. "Itu pasti Indira kan? Pasti Indira kan?" Tama menarik kerah Nadine lagi sampai Nadine berjinjit terangkat. "Indira pernah melakukan yang sama dan menyuruhku menyakiti Hanna! Itu pasti Indira kan?" "Katakan, Nadine! Katakan apa Bu Bos itu Indira?" desak Samuel juga. Tatapan Nadine goyah. "Itu ... namanya Indira! Ya, namanya Indira! Bu Bos adalah mantan istri Pak Louis! Dia terus mencuci otakku dan mengatakan bahwa Hanna merebut suaminya, Hanna jahat, dan Hanna harus dipisahkan dari Pak Louis!" Mendadak tangisan Nadine makin deras mengingat bagaimana ia salah sangka pada Hanna selama ini. "Apa? Indira benar-benar otak dari semua ini? Dia tidak puas juga setelah melakukan semuanya?" geram Louis frustasi. "Dengar ya! Adikku tidak pernah merebut Louis darinya! Adikku itu korban dari Indira dan s
Tubuh Nadine gemetar saat menatap Samuel yang sangat marah di hadapannya. Jantungnya memacu kencang, lengannya perih, dan kepalanya sakit karena jambakan Samuel, tapi ketakutan mendominasinya saat ini. "P-Pak Samuel?" "Jangan banyak basa-basi, Nadine! Katakan di mana Hanna dan apa yang kau lakukan padanya?" ulang Samuel membentak sampai membuat Nadine makin menciut. Namun, Nadine menggeleng. "Aku tidak tahu apa yang Anda katakan. Apa maksudnya?" "Sudah kubilang jangan basa-basi, Nadine! Kupikir kau hanya wanita murahan perusak rumah tangga orang lain, tapi ternyata kau juga wanita jahat!" Ucapan Samuel benar-benar menusuk hati Nadine, tapi ia berusaha tegar. "Aku tidak mengerti, Pak! Apa Anda marah karena masalah obat itu? Aku minta maaf, aku juga tidak tahu apa isi obat itu! Aku benar-benar mengira obat itu adalah obat tidur! Tapi apa yang Anda lakukan padaku juga keterlaluan! Aku bahkan sakit setelah semalaman tidur di kamar mandi!" bentak Nadine balas. "Brengsek, Nadine! Ini