Satu minggu berlalu, baik Louis maupun Indira kembali disibukkan dengan pekerjaannya masing-masing. Indira harus ke luar kota dan mereka tidak sempat berbagi kemesraan lagi.
Begitu juga dengan Hanna yang sibuk menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Ia berdebar setiap hari takut Indira akan membahas tentang dirinya yang datang bulan dan gagal hamil, tapi anehnya, Indira tidak membahasnya sama sekali dan malah pergi ke luar kota begitu lama.Namun, Hanna juga tidak memikirkannya lagi karena ada masalah yang lebih serius untuk ia pikirkan."Permisi, Bu Hanna! Ada pesan dari administrasi untuk melunasi tagihan rumah sakit," seru seorang suster saat Hanna menjenguk Gio malam itu.Kondisi Gio membaik dengan cepat. Setelah Gio dipindahkan dari ICU ke kamar rawat inap biasa, Gio pun dengan cepat diijinkan untuk rawat jalan. Hanya saja, Hanna belum bisa melunasi tagihan rumah sakitnya."Ah, iya, aku akan ke sana nanti.""Baiklah, per"Apa hari ini Nadine jadi pindah ke gudang?" Hanna dan Susan sudah duduk berdua di ruang kerja Hanna pagi itu. Perasaan Hanna begitu gelisah karena memikirkan Nadine yang dipindahkan divisi. "Kudengar dia sudah ada di sana sejak pagi tadi." Hanna mengembuskan napas panjangnya. "Ya ampun, aku merasa tidak enak hati. Seolah karena aku, dia dipindahkan." "Hei, mengapa harus kau yang tidak enak hati? Dia itu calon pelakor, Hanna. Aku tahu Pak Louis itu tampan. Banyak orang mengidolakan dia, termasuk para karyawannya sendiri. Tapi tidak ada yang tidak tahu malu seperti Nadine sampai berani mendekati Pak Louis secara terang-terangan!" "Tapi dia tidak benar-benar melakukannya, Susan. Maksudku ... setiap kali dia mencari Louis, itu memang ada tugas yang mengharuskan mereka bekerja bersama." "Justru itulah, Hanna. Keputusan yang paling bijak adalah memindahkannya ke divisi lain yang jauh dari Pak Louis. Dan gudang adalah pilihan terbaik karena gudang kan beda gedung dengan kita." "Ya, a
"Samuel, Mama menunggumu sejak tadi. Apa kau membeli makanan di Amerika, hah? Lama sekali!" Samuel langsung disambut omelan Sena begitu ia pulang. Setelah berdebat dengan Nadine tadi, Samuel yang kesal pun memutuskan untuk pergi dari sana. Namun, di tengah jalan, ia baru ingat pesanan Sena dan ia kembali ke restoran. Sialnya, restoran sudah makin ramai saat itu dan Samuel harus menunggu lama sebelum makanannya jadi. "Maafkan aku, Ma. Tadi ada sedikit masalah." "Masalah apa? Kasihan Hanna sudah kelaparan." "Haha, tidak apa, Ma. Aku sudah makan kenyang sekarang," seru Hanna yang sudah duduk berdua dengan Louis sambil makan. "Lain kali, kalau mau beli apa-apa, Mama suruh Refi saja, mungkin Samuel sedang sibuk kan," timpal Louis juga. Sena hanya memukul gemas lengan anaknya itu, hal biasa yang ia lakukan kalau sedang gemas pada anak-anaknya. Biasanya, Samuel akaan berakhir tertawa dan makin menggoda ibunya itu. Namun, hari ini tidak. Samuel malah tidak bisa tertawa dan hanya terus
Samuel melangkah ke restoran malam itu untuk membelikan pesanan Sena. Baru saja ia membuka pintu untuk masuk, tapi sebuah kejadian langsung menarik perhatiannya. Tersengar keributan antara satu wanita dan dua orang yang lain. Awalnya, Samuel tidak peduli dan langsung berjalan menyamping sampai duduk di mejanya sendiri. Namun, saat ia mendengar nama Nadine disebut, Samuel pun menoleh. Dan ia membelalak saat mengenali wanita di sana benar-benar Nadine. Perdebatan mereka cukup keras sampai Samuel bisa mendengarnya dari posisinya duduk. Nadine terus dihajar oleh ucapan sinis dan direndahkan, tapi wanita itu tidak babak belur. Bahkan, ia bisa menghadapinya dengan tetap tenang. Samuel bahkan sampai menganga saat Nadine menyiram si wanita dengan jus semangka dan menendang kebanggaan sang pria. Dalam hatinya, ia kagum melihat wanita tangguh yang tidak menyerah saat direndahkan, tapi tetap saja bukan berarti ia menyukai Nadine. "Dia barbar sekali!" gumam Samuel yang memutuskan hanya mel
"Apa? Dia minta uang satu milyar?"Tama memekik tidak percaya saat Samuel menceritakan pertemuannya dengan Nadine. "Ya! Sialan! Dia benar-benar wanita mata duitan! Ternyata semua hanya demi uang, Tama! Dia mendekati kakakku karena kakakku kaya! Dasar tidak tahu malu!" Tama tertawa kesal. "Rasanya aku ingin sekali melemparnya dari perusahaan saat ini, Tama! Dia mencari masalah dengan orang yang salah! Awas saja kalau dia berani mengusik adikku! Dan berani sekali dia minta satu milyar! Apa dia pikir dirinya terlalu berharga, hah?" Samuel mengembuskan napas kesalnya. "Entahlah, Tama! Yang penting kita sudah tahu motifnya. Apa pun itu, jangan sampai kita membiarkan dia mendekati Kak Louis!" "Ya, lalu apa rencanamu sekarang?" "Kalau memecatnya tiba-tiba terlalu berlebihan, berarti kita harus melakukan sesuatu agar dia terlihat buruk dan dipecat, atau lebih bagus lagi kalau dia mengundurkan diri dengan sendirinya." Tama mengangguk. "Apa yang akan kau lakukan, Samuel?" "Aku belum tahu
"Dia sudah menemuimu? Apa katanya, Kak?" "Dia tidak terima. Tapi aku tidak peduli, Samuel! Aku bosnya, aku akan tetap melakukan apa yang sudah aku putuskan. Aku masih berharap dia bisa bekerja dengan baik karena sungguh, dia wanita yang sangat kompeten." Samuel yang menemui Louis di ruangan Louis pun mengangguk. "Aku juga berharap dia bisa bekerja dengan lebih baik dan fokus setelah ini. Tapi baiklah, aku akan menyapa Hanna dulu sebelum aku pergi." "Baiklah, Samuel." Samuel dan Louis berpamitan. Samuel pun segera mencari Hanna ke ruangannya, tapi Samuel mengernyit melihat pintu ruangan Hanna yang tidak tertutup rapat. Susan tidak ada di sana, hanya ada dua pegawai yang sudah saling berbisik sampai Samuel makin mengernyit. "Ada apa?" "Sepertinya Nadine sedang marah-marah di dalam, tapi kami tidak bisa mendengar dengan jelas, Pak." Samuel langsung membelalak mendengarnya. "Nadine? Marah-marah? Sial!" geram Samuel yang langsung saja melangkah ke ruangan Hanna. Sekilas ia bisa m
"Kau pulang saja, Hanna, istirahatlah, aku akan menjaga Pak Louis untukmu!" "Biar aku yang membawa kopinya!" "Aku akan menemani Pak Louis ...." Beberapa waktu berlalu dan Nadine makin menunjukkan maksudnya untuk mendekati Louis. Jawaban-jawaban itulah yang sering Hanna dan yang lainnya dengar, seolah Nadine menginginkan Louis untuk dirinya sendiri. Awalnya, Hanna masih berpikir positif, tapi lama-kelamaan, Hanna mulai insecure pada Nadine. Susan sendiri sudah melarang Hanna makan siang bersama Nadine lagi dan tidak usah berteman dengannya, walaupun Nadine masih tetap memasang wajah bersahabatnya. Sikap Nadine sama sekali tidak seperti tukang tikung. Ia masih menunjukkan sikap hormatnya dan caranya bicara juga sangat profesional, seolah ia memang peduli pada Hanna dan Louis. Namun, semua orang yang mengerti maksud Nadine malah muak sendiri. "Melihatnya setiap hari membuatku mau muntah, Hanna! Apa kau tidak pernah bicara pada Pak Louis untuk memecatnya saja?" omel Susan hari itu.