"Apa? Kok bisa?" pekik Agung saat istrinya membuat pengakuan mengejutkan.
"Apa kamu gak sadar, Mas, kalau kamu sudah lebih dari setahun kerja serabutan? Anak kita sudah dua, Mas! Kebutuhan kita tambah banyak. Belum lagi untuk bayar tagihan listrik, kontrakan, wifi dan lain-lain," jawab Intan tanpa melihat ke mata Agung karena dia takut.***Sudah lebih dari satu tahun yang lalu Intan bermain dengan aplikasi pinjaman online. Yang awalnya hanya sembilan ratus ribu, kini hutang Intan mencapai puluhan juta.Sungguh Intan tak menyangka jika yang awalnya hanya satu aplikasi kini berubah menjadi beberapa aplikasi. Itu terjadi karena Intan hanya melakukan gali lubang tutup lubang.Di saat Intan menjumlahkan jumlah hutang di beberapa aplikasi tersebut dia sangat terkejut karena tak menyangka sebanyak itu. Ada dua aplikasi yang akan jatuh tempo dua hari lagi dan saat ini di dompetnya hanya ada uang lima puluh ribu.Intan kalut dan kebingungan karena tak ada uang. Dia pun mencoba mencari-cari aplikasi online lainnya untuk kembali meminjam uang. Tapi beberapa aplikasi pinjaman online legal yang Intan unduh nyatanya tidak bisa membantunya karena skor kredit Intan tidak memenuhi syarat."Sekarang aku harus bagaimana?" tanya Intan pada dirinya sendiri.Waktu itu Intan sudah diteror oleh penagih pinjaman online tersebut agar Intan segera membayar karena sudah hampir jatuh tempo. Intan semakin kalut kala penagih hutang mulai mengancam menyebarkan data pribadi milik Intan.Intan menangis sendirian di dalam kamar. Dia membiarkan kedua anaknya bermain sendiri di ruang tengah. Hidupnya seketika langsung hancur karena keb*dohannya sendiri.Sebenarnya Intan berhutang bukan untuk foya-foya atau gaya-gayaan. Hutang-hutang tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya karena sudah setahun terakhir pekerjaan suaminya tak menentu."Ya Allah, kenapa jadi begini?" Intan meratapi nasibnya seorang diri.[Lia, apa kamu sibuk? Aku mau pinjam uang lima juta kamu ada gak?] Intan mengirim pesan kepada teman baiknya.Intan sebenarnya malu. Tapi dia sudah tidak ada jalan keluar lainnya. Mau pinjam online lagi pun sudah tak bisa. Yang ada dia nanti terjebak lagi di pinjaman online lainnya.Dia menunggu balasan dari Lia dengan harap-harap cemas. Hanya Lia saat ini yang bisa dia mintai bantuan. Tak ada teman lain yang bisa menolongnya.[Aku gak ada uang sebanyak itu, Mam. Memangnya untuk apa? Aku hanya diberi uang belanja saja sama suamiku.] Balasan dari Lia setelah sepuluh menit menunggu.[Ada perlu, Mam. Kamu bisa pinjamkan sama suami kamu gak, Mam? Aku lagi butuh banget soalnya.] Intan berusaha membujuk Lia agar mau memberinya pinjaman.[Aku gak berani, Mam. Maaf, ya. Memangnya untuk apa uang sebanyak itu?]Akhirnya Intan menceritakan semuanya kepada Lia. Lia sangat syok karena tak menyangka jika Intan akan terjebak di lingkungan s*tan pinjaman online. Jika saja dia ada uang, pasti dengan senang hati akan membantu Intan.[Lebih baik kamu jujur sama suamimu, Mam. Biar bukan hanya kamu saja yang memikirkan jalan keluarnya. Toh kamu melakukan itu untuk memenuhi kebutuhan keluargamu.] Lia mulai memberikan sarannya.[Aku takut, Mam. Salahku juga coba-coba pinjaman online. Aku gak nyangka bakalan seperti ini.][Bilang saja sama suami kamu agar dia juga memikirkan jalan keluarnya. Kamu pinjam juga bukan untuk yang aneh-aneh. Coba bicara dulu sama suami kamu. Aku yakin dia akan mengerti.] Lia kembali menyarankan pada Intan untuk jujur pada suaminya.[Terima kasih, Mam. Maaf, ya, sudah mengganggu kamu.]Akhirnya Intan mengakhiri percakapannya dengan Lia tanpa hasil. Dia masih kebingungan mencari uang. Otaknya terus berpikir keras hingga sampai hari pun berganti.***[Sepertinya aku memang harus jujur sama suamiku, Mam. Aku sudah gak tau lagi harus gimana.] Intan kembali mengirim pesan pada Lia untuk meminta pendapat.[Ya memang kamu seharusnya jujur, Mam. Rumah tangga itu yang paling utama kejujuran dan komunikasi. Katakan semuanya pada suamimu agar kamu bisa dapat solusi,] balas Lia.[Iya. Nanti malam aku coba bicara sama suamiku. Makasih, ya, Mam, karena kamu gak menjauh dariku.][Ya enggaklah. Aku doakan semoga masalahmu cepat selesai. Aamiin!][Aamiin.]Sepanjang hari Intan tak bisa fokus dalam mengerjakan apapun. Dia sedang memikirkan kalimat yang tepat untuk bicara dengan suaminya nanti malam.Intan terpaksa melakukan pinjaman karena semakin hari pendapatan suaminya yang bernama Agung semakin tak menentu. Bahkan pernah Intan hendak beli gas untuk memasak saja tidak ada uang.Cincin pernikahan mereka sudah terjual sebelumnya untuk kebutuhan hidup juga. Semenjak Agung di phk karena corona dulu, sampai sekarang Agung belum mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Saat ini Agung hanya bekerja serabutan membantu temannya yang punya usaha sablon kaos."Assalamualaikum!" Pintu rumah Intan terbuka dan bersamaan dengan itu Agung masuk. Dia baru saja pulang dan terlihat sangat lelah."Waalaikumsalam. Ayah sudah pulang? Bagaimana hari ini, Yah?" tanya Intan sambil sibuk membuatkan minuman hangat untuk Agung."Capek, Bu. Hari ini banyak banget kiriman kaosnya. Alhamdulillah ada rejeki lebih hari ini untuk kita," jawab Agung."Alhamdulillah, Yah."Segelas teh hangat sudah ada di depan Agung. Intan menatap lekat wajah lelah suaminya itu. Dia tak tega jika harus membebankan Agung dengan masalah yang dia buat sendiri. Tapi, Intan juga sudah tidak sanggup jika harus berpikir sendirian lagi."Kenapa lihat ayah begitu, Bu? Ada yang aneh?" tanya Agung yang membuat Intan terkejut."Eng—enggak apa-apa, Yah," jawab Intan terbata.Debaran jantung Intan terasa sangat cepat kala berada di samping Agung. Perasaan bersalah dan takut bercampur menjadi satu."Anak-anak mana, Bu? Tumben gak ada suaranya," tanya Agung."Lagi tidur, Yah," jawab Intan singkat.Waktu pun cepat berlalu dan malam pun tiba. Tepat pukul delapan malam Intan membawa kedua anaknya masuk ke dalam kamar untuk tidur. Sambil menepuk-nepuk anak-anaknya, Intan memikirkan kalimat yang tepat untuk bicara dengan suaminya. Bahkan Intan sempat berubah pikiran untuk tidak mengatakannya pada Agung."Yah, aku mau bicara. Tapi Ayah jangan marah, ya," ucap Intan. Setelah anak-anaknya tidur, Intan menyusul Agung yang masih menonton televisi."Bicara apa, sih, Bu? Ibu mau minta itu, ya?" jawab Agung dengan candaan."Aku serius, Yah! Ayah janji jangan marah, ya?"Agung mulai memperhatikan istrinya yang memang terlihat serius. Dia pun kemudian mematikan televisi agar istrinya bisa bicara dengan leluasa."Sudah. Sekarang katakan saja Ibu mau bicara apa," kata Agung sambil menatap lekat mata istrinya.Intan menatap sebentar ke mata Agung lalu dia menunduk. Dia memejamkan mata sebelum mengatakan kebenaran kepada suaminya."Aku terlilit hutang di pinjol, Yah!"Masih menjadi pertanyaan bagi Bagas kepada Intan berubah pikiran. Ibu Lastri sama sekali tidak membantunya mendapat jawaban. “Dapat kerjaan? Dapat dimana? Kenapa bisa cepat sekali dapat kerjanya?” gumam Bagas saat di dalam mobil. “Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Ponsel yang aku berikan saja sampai dikembalikan. Aku harus cari tahu ada apa!” “Assalamualaikum!” Bagas masuk ke dalam rumah sambil mengucap salam. Ibu Dewi yang tengah bersantai pun menjawab dan melihat ke arah anaknya yang baru saja pulang. “Waalaikumsalam. Lho … kenapa kamu murung, Sayang? Ada masalah, kah, di rumah sakit?” tanya Ibu Dewi setelah menjawab salam. Hati dan pikiran Bagas lelah. Dia langsung berbaring di dekat Ibu Dewi. Kepalanya dia letakkan dipangkuan sang ibu. Tempat ternyaman yang Bagas punya saat ini. Matanya terpejam beberapa detik. “Kamu kenapa, Gas? Cerita sama bunda,” ucap Ibu Dewi lirih. “Bagas capek, Bun.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Setelah beberapa saat ada di pangkuan ibunya
Tak ada hanya didorong, Intan dijambak orang itu. Seorang perempuan berambut panjang dan berkulit putih. Intan sama sekali tidak mengenal perempuan yang ada di depannya itu. Sungguh sadis perbuatan perempuan itu karena dilakukan di depan anak Intan. Bahkan anak Intan sampai menangis melihat ibunya dianiaya orang asing. “Hey, perempuan gak tahu diri … jangan ganggu tunangan orang kamu, ya!” katanya. “Ganggu tunangan orang? Siapa? Aku saja tidak kenal kamu,” jawab Intan sembari menahan sakit dibagian telapak tangan yang lecet karena kena batu. “Jangan pura-pura gak ngerti kamu! Kamu, kan, yang kemarin bikin Bagas gak pulang tepat waktu?” sahut perempuan itu. Yap! Perempuan itu adalah Sintia, tunangan dari Bagas. Intan tidak tahu karena memang belum pernah bertemu dengan Sintia sebelumnya. “Astaghfirullah! Jadi Mas Bagas maksud kamu? Maaf, ya, aku gak meminta dia untuk menungguku. Aku juga tidak tahu kalau kamu tunangannya,” jelas Intan. “Satu lagi, aku tidak merebut Mas Bagas dar
“Jangan menuduh sembarangan kamu! Kalau tidak tahu ceritanya, gak usah sok tahu! Udahlah aku lagi males berdebat sama kamu.” Bagas mematikan teleponnya dengan perasaan kesal. Baru saja Sintia meneleponnya dan menuduh dirinya tengah berselingkuh. Tentu saja Bagas marah karena tuduhan itu tidak berdasar. Memang akhir-akhir ini hubungan mereka sedang tidak baik. Ada saja hal membuat keduanya bertengkar. Kata Ibu Dewi, itu merupakan ujian saat seseorang hendak menikah. Tapi, yang dirasakan Bagas bukan seperti itu. Sintia semakin semena-mena dan terkesan seperti anak kecil. Dia selalu ingin diprioritaskan tanpa mengerti kesibukan Bagas. Selesai menelepon Bagas duduk-duduk dulu di depan ruangan Intan. Dia mengontrol emosinya lebih dulu di sana sambil memikirkan permintaan Intan. Setelah dipikirkan, memang seharusnya Bagas sudah pulang. Tugasnya sebagai dokter tidak bisa ditinggalkan lama begitu saja.“Halo, Bay …” Bagas menelepon Bayu. “Ada apa, Gas? Intan gak apa-apa?” tanya Bayu. Sa
Bagas dan Bayu terkejut melihat beberapa polisi yang ikut masuk ke dalam bangunan kosong tersebut. Mereka bahkan tak tahu darimana arah polisi-polisi itu datang. “Berarti di dalam gawat, Gas. Kita tunggu saja sampai Sandi dan timnya selesai, ya,” ujar Bayu pada Bagas yang masih ingin masuk ke dalam menyusul Sandi. Setelah dipikir-pikir, Bayu ada benarnya juga. Biar bagaimanapun dia tak memiliki basic beladiri. Apalagi jika di dalam ada orang yang bersenjata. Memang lebih baik menunggu Sandi di luar. Tak berselang lama, ada suara tembakan yang membuat Bagas dan Bayu terkejut. Keduanya saling memandang dan menelan ludah. Situasi semakin menegangkan kala mereka mendengar suara tembakan untuk yang kedua kalinya. “Gimana ini, Bay? Aku tetap ingin masuk ke sana,” ujar Bagas. “Bahaya, Gas! Nyawamu bisa jadi taruhannya. Kita tunggu saja di sini,” jawab Bayu. Bagas menuruti ucapan Bayu walaupun dia sebenarnya tak tenang. Tapi, lima belas menit kemudian dia sudah tidak tahan dan memilih
Agung sudah hampir sampai di rumah Dona. Tapi, saat dia sudah dekat, Agung melihat ada polisi tengah berdiri di depan rumah Dona. Sontak saja hal itu membuat Agung takut. Dia bersiap untuk lari. Namun naasnya, dia menginjak botol air mineral yang dia jatuhkan sendiri sampai menimbulkan bunyi. “Tangkap dia, Pak!” Kalimat ini yang didengar Agung berulang kali. Agung berlari tak tentu arah. Dia sama sekali tidak berani menoleh ke belakang. Dia terus saja berlari walaupun sebenarnya kakinya sudah capek. Setelah berlari hampir setengah jam, akhirnya Agung bisa tertangkap juga. Dia menyerah karena benar-benar sudah tidak kuat berlari lagi. Dua polisi tersebut langsung membawa Agung ke mobil polisi lalu diinterogasi. Terlihat Bayu dan Bagas sudah menunggu di sana. “Mana Intan?!” seru Bagas. Bogem mentah hampir saja melayang di pipi Agung kalau tidak dicegah pak polisi.“Sabar! Belum tentu juga mas ini tersangkanya. Dengarkan dulu saja,” ucap Bayu. Dia juga ikut menenangkan Bagas. Walau
“Ada apa, Bay?” tanya Bagas yang sudah menyusul. “Intan dibawa mobil itu, Gas. Ayo kita kejar mereka!” Bayu dan Bagas langsung berlari menuju mobil. Secepat kilat Bayu berusaha mengejar mobil berwarna hitam yang membawa Intan. Keduanya sama-sama tegang dan fokus ke depan. “Cepat kejar, Bay! Jangan sampai kita kehilangan mereka!” Bayu mengangguk dan tetap fokus mengemudi. Di tengah-tengah pengejaran, ponsel Bagas selalu berbunyi. Ada pesan masuk yang sangat banyak dan juga panggilan dari Sintia. Tak ingin terganggu dengan panggilan Sintia itu, Bagas memutuskan untuk menonaktifkan ponselnya. “Kok aku ada firasat kalau itu suaminya Intan, ya, Gas,” kata Bayu di sela-sela mengemudi. “Aku gak tahu, Bay. Tapi, kenapa dia melakukan itu? Apa alasannya?”Keduanya terus bicara. Semakin mereka banyak bicara membuat Bayu tidak konsentrasi hingga dirinya menabrak tiang listrik di pinggir jalan. Karena hal itu, mereka kehilangan jejak mobil yang membawa Nirmala. “Maafin aku, Gas,” ucap Bayu