Agung mematung sejenak. Dia mencoba mencerna ucapan Intan yang baru saja keluar dari mulut.
"Pinjol? Kok bisa?" Pertanyaan itulah yang pertama kali diucapkan oleh Agung."Karena semakin hari kebutuhan kita semakin banyak. Aku juga gak mengira bisa terjebak di lingkaran ini, Yah. Maafin aku, Yah!" Intan selalu meminta maaf di setiap kalimat yang dia katakan."Berapa hutangnya?" tanya Agung dengan raut wajah yang jelas sangat kecewa dengan Intan."Tiga puluh juta, Yah," jawab Intan. Kepalanya masih menunduk. Dia sangat ketakutan sekali jika Agung marah padanya.Sungguh Intan tak menyangka jika angka hutangnya menyentuh angka besar. Dia selama ini tidak pernah menghitungnya. Dan kemarin dia dengan iseng menulis dan menjumlahkan semuanya. Tentu saja Intan terkejut. Dia semakin pusing karena tidak tahu bagaimana akan membayarnya."Apa? Astaga! Uang sebanyak itu kamu buat apa? Gak habis pikir aku sama kamu!" Agung pun juga terkejut.Tiga puluh juta itu bukan nominal yang kecil. Agung saja belum pernah melihat uang sebesar itu. Tapi sekarang dia dihadapkan dengan hutang istrinya yang banyak."Buat rumah, Yah. Setahun terakhir ini Ayah pendapatannya tidak menentu. Tapi kebutuhan kita semakin hari semakin banyak. Belum lagi harga kebutuhan pokok yang semakin naik dan harga kontrakan juga naik. Tapi benar, Yah, aku gak nyangka akan jadi sebanyak ini. Sekarang aku bingung harus bagaimana, Yah."Intan mulai menangis. Agung tampak kecewa sekali dengan Intan. Dia sama sekali tak merespon Intan. Agung pergi begitu saja meninggalkan Intan di sana. Agung butuh udara segar agar pikirannya jernih.Dia mengambil kunci motor dan pergi keluar tanpa berpamitan dengan Intan. Intan berusaha mengejar tapi Agung sudah lebih dulu pergi dari rumah kontrakan mereka."Yah, kenapa kamu malah pergi? Kamu pasti kecewa sama aku, kan, Yah." Menahan tangis agar tidak bersuara itu sangatlah tidak enak. Dan ini yang sekarang dilakukan oleh Intan.Intan masuk kembali ke dalam rumah dan pergi ke kamar menyusul kedua anaknya. Dalam benaknya sempat terbersit untuk mengakhiri hidup. Tapi ketika melihat wajah kedua anaknya, Intan mengurungkan niatnya itu."Maafkan Ibu, ya, Le. Ibu tahu kalau ibu salah. Hanya kalian yang saat ini bisa membuat Ibu kuat. Doakan Ibu semoga bisa segera keluar dari masalah Ibu. Masa depan kalian masih panjang, Nak. Maafkan Ibu!"Intan menggenggam tangan kedua anaknya dan menciuminya. Air matanya terus saja mengalir karena banyak sekali yang dia pikirkan. Andai Intan bisa memutar waktu, dia tidak akan bermain-main dengan pinjaman online. Tapi semuanya sudah terlanjur. Bukan waktunya untuk menyesali perbuatan yang sudah dia lakukan.Rumah tangganya kini tengah diuji masalah ekonomi karena dirinya. Atau mungkin lebih tepatnya oleh mereka berdua. Apakah nantinya rumah tangganya akan baik-baik saja? Entahlah!***Sudah pukul sembilan malam tapi belum ada tanda-tanda Agung pulang. Intan tampaknya tak bisa berharap banyak pada suaminya itu. Dia yakin jika suaminya tak memiliki jalan keluar.Sembari menunggu Agung pulang, Intan membuka media sosial lewat ponselnya. Tiba-tiba saja ada iklan yang mengklaim bisa mengatasi masalah seseorang yang sedang terlilit pinjaman online. Dan Intan yang tengah kalut pun mencoba menghubungi nomor w******p yang tertera di sana.[Selamat malam. Maaf mau tanya apa benar ini bisa membantu mengatasi masalah pinjol?] Bunyi pesan yang dikirim oleh Intan.[Benar, Kak. Apa Kakak sedang terlilit hutang dengan pinjol?] Balasannya cukup cepat padahal hari sudah malam.[Iya, Kak. Apa Kakak bisa bantu saya? Saya sudah tidak punya uang dan bingung harus bayar pakai apa.][Baik, Kak. Sebelumnya boleh perkenalkan diri Kakak terlebih dahulu dan boleh Kakak tuliskan besaran pinjaman online yang Kakak miliki beserta dengan nama aplikasinya?][Nama saya Intan. Domisili ada di tangerang, Kak.]Intan pun terus intens berbalas pesan dengan nomor yang mengaku bisa membantunya. Intan juga merincikan aplikasi apa saja yang dia pakai dan jumlah hutangnya. Total ada tiga belas aplikasi dan jumlahnya tiga puluh satu juta dia ratus lima puluh ribu rupiah.[Baik, Kakak. Apakah dari kesemua itu sudah ada yang lewat jatuh tempo?][Belum ada sama sekali, Kak. Ada dua aplikasi yang jatuh temponya dua hari lagi. Tolong bantu saya, Kak!] iba Intan.[Baik, Kakak. Sebelumnya apakah Kakak sudah tahu tentang joki pinjol? Atau Kakak sudah pernah memakai joki pinjol?]Sembari membalas pesan dari orang itu, Intan mencoba mencari informasi tentang joki pinjol di internet. Tapi entah kenapa dia tidak menemukan keterangan apapun. Mungkin karena pikirannya sudah kalut. Yang dia temukan hanya kesaksian demi kesaksian orang-orang yang sudah dibantu oleh joki pinjol.[Belum pernah dan belum tahu apa itu joki pinjol, Kak.]Intan pun dijelaskan jika joki pinjol nanti tugasnya adalah melakukan pinjaman di beberapa aplikasi ilegal dengan identitas palsu. Dengan begitu orang yang menggunakan joki pinjol itu tidak perlu khawatir dengan tagihan-tagihan karena identitasnya bukan identitas dirinya sendiri.Tentu saja Intan tergiur. Itu berarti dia bisa mendapatkan uang tanpa harus membayarnya kembali. Dan uang yang didapatkannya itu bisa digunakan untuk membayar pinjaman online miliknya.[Untuk identitas palsunya Kakak harus membelinya terlebih dahulu. Tapi Kakak tidak perlu khawatir karena kami menyediakannya. Harga untuk identitas palsunya adalah lima ratus ribu. Jika Kakak minat silakan langsung transfer ke bank B*I atas nama Rian Purnama dengan nomor rekening 137xxxxx.]Intan tampak ragu karena harus ada transaksi lebih dulu. Sedangkan dia tidak punya uang. Dia pun semakin bingung. Intan kembali membuka beberapa aplikasi pinjaman online miliknya. Ternyata masih ada satu pinjaman yang masih bisa digunakan untuk meminjam.Tanpa pikir panjang, Intan pun melakukan pinjaman kembali agar bisa membeli identitas palsu. Setelah pinjaman disetujui dan uangnya masuk ke dalam rekening miliknya, Intan berniat segera mentransfer sejumlah uang yang diminta."Kok gak bisa, ya? Padahal nomor rekeningnya benar. Apa aku salah? Coba sekali lagi, ah!" gumamnya seorang diri.Namun tetap saja Intan tidak bisa melakukan transfer ke nomor tersebut. Intan pun menghubungi kembali nomor itu.[Kok tidak bisa ditransfer, ya, Kak? Ada tulisan begini.] kata Intan sambil mengirim foto tangkapan layar miliknya.[Coba sekali lagi, Kak. Itu nomornya sudah benar kok.][Baik.]Intan kembali mencobanya tapi tetap saja tidak bisa. Sampai-sampai dia frustasi sendiri karena hal itu.[Maaf, Kak, ternyata nomor rekening itu sudah habis limitnya. Sekarang coba Kakak transfer ke rekening B*I kami atas nama Aldo Sentosa dengan nomor rekening 137xxxx.] Pesan dari orang yang tadi.Intan sebenarnya ragu karena dia pernah kena tipu dengan metode transfer lebih dulu. Lalu, apakah Intan akan mentransfernya? Dan apakah joki itu benar-benar akan membantu Intan?Satu jam lamanya Intan berpikir antara maju dan mundur. Selama itu pula tidak ada tanda-tanda kepulangan dari Agung. Hingga akhirnya jari lentiknya mentransfer uang lima ratus ribu kepada joki pinjol. [Sudah saya transfer, Kak. Ini buktinya!] Intan mengirim pesan beserta bukti transfer pada jasa pinjol. [Baik, Kak, akan kami proses. Mohon menunggu sebentar.] balas joki itu dengan cepat. Intan kembali menunggu sambil harap-harap cemas. Dia takut kalau dia tertipu lagi. Tak sampai sepuluh menit joki itu kembali mengirim pesan kepada Intan. Inti dari pesan itu adalah keharusan memilih paket yang isinya jumlah uang yang akan cair. Paket itu mulai dari satu setengah juta rupiah hingga dua belas juta. Menurut joki itu uang yang ditransfer itu hanyalah sebagai deposit yang nantinya akan ditransfer kembali saat uang yang dijanjikan cair. [Memangnya harus deposit, ya, Kak? Saya sudah tidak punya uang lagi, Kak. Tolong saya, Kak!] Intan kembali mengiba dan merengek kepada joki pinjol. [Mo
"Ya Allah, aku memang salah dalam hal ini. Tapi, aku juga melakukan ini untuk keluargaku. Aku tahu caranya salah. Kenapa sikap suamiku seperti itu, Ya Allah? Apakah dia akan menceraikan aku? Harusnya dia juga introspeksi diri kenapa sampai bisa istrinya punya hutang banyak begini. Aku harus bagaimana, Ya Allah?" Intan menangis karena ditinggal sendirian oleh Agung. Tak berselang lama kedua anaknya pun bertengkar berebut mainan dan menangis. Intan tambah stres dibuatnya. Dia membiarkan kedua anaknya menangis karena dia juga belum bisa mengontrol dirinya sendiri. "Apa aku minta bantuan sama Ibu, ya? Tapi, selama ini aku belum bisa memberikan apapun pada mereka. Apakah aku tega membuat mereka menderita? Tidak! Aku tak boleh melakukan itu!" "Bu! Ibu! Adik jatuh, Bu!" teriak anaknya yang pertama. Intan langsung lari ke dalam kamar dan mendapati jidat anak keduanya sudah benjol karena jatuh membentur lantai. Tangan Intan sigap mengambil anaknya lalu memeluknya erat. "Maafkan Ibu, Nak! I
Bruk! Agung pulang dan langsung meletakkan amplop cokelat di atas meja. Hari ini dia pulang lebih malam daripada biasanya. Intan yang mendengar suara keras pun langsung bergegas keluar. Mata Intan menyipit ketika melihat amplop cokelat itu. Dia pun bertanya pada Agung. "Apa itu, Yah?""Besok bayar semua hutang-hutang kamu tanpa ada yang tersisa sedikitpun!" jawab Agung sambil berlalu meninggalkan Intan di sana. Intan belum paham maksud dari ucapan Agung itu. Dia penasaran dan kemudian membuka amplop cokelat itu. Mata Intan membulat sempurna melihat tumpukan uang berwarna merah dan juga biru itu. Dia sampai berkedip beberapa kali karena takut jika itu hanya mimpi. "Ini benar-benar uang? Tapi darimana Ayah dapat uang sebanyak ini dalam waktu yang singkat?" tanya Intan dalam hati. Agung selesai mandi dan dia pun duduk di kasur depan televisi sambil memainkan ponselnya. Sesekali Agung terlihat tertawa dan tersenyum. "Uang darimana itu, Yah?" tanya Intan. Tumpukan uang itu masih ada d
Agung terpaksa menolong wanita yang menjadi pelanggannya tadi. Tak tega juga rasanya meninggalkan dia dalam kondisi sakit. “Di sini saja, Mas!” ucap wanita yang bernama Dona itu. Perlahan, Agung menurunkan Dona di atas tempat tidur. Karena merasa sudah tidak dibutuhkan lagi bantuannya, Agung pamit untuk pulang. “Tunggu, Mas! Bukankah tadi aku sudah bilang akan membayar kamu karena pertolonganmu ini. Kenapa mau pergi begitu saja?” Dona mencoba menghalangi Agung agar tidak pulang lebih dulu. “Tidak usah, Mbak. Saya ikhlas menolong Mbak. Gak enak juga lama-lama di sini. Nanti takutnya timbul fitnah, Mbak,” sahut Agung dengan kepala menunduk. “Gak usah takut, Mas. Di lingkungan sini aman kok. Dan tidak ada yang terlalu ‘kepo’ dengan urusan orang lain.” Seulas senyum centil ditunjukkan oleh Dona. Dona terlihat sibuk dengan ponselnya. Dia menelpon seseorang untuk membelikan obat pijat untuk kakinya. Agung pun hanya diam mendengarkan. “Saya harus upah dengan apa, Mas? Katakan saya pad
“Kok tanya mau kemana, sih? Aku, kan, sudah memberimu uang yang kau minta. Jadi, sekarang giliran kamu untuk memenuhi kesepakatan kita,” sahut Dona.Gleg! Agung menelan ludahnya. Dia masih mengira jika Dona tidak sungguh-sungguh ingin dinikahi. Tapi, nyatanya sekarang dia menagih kesepakatan yang sudah dia buat bersama Dona. “Siapkah aku punya dua istri? Bagaimana nanti aku mencukupi keduanya? Satu saja aku masih tidak mampu,” tanya Agung dalam hatinya yang kembali ragu. “Kamu gak berubah pikiran, kan?” “Kalau sampai kamu berubah pikiran, aku akan menagih uang yang aku beri dengan bunga seratus persen!” ucap Dona seraya ada ancaman di kalimatnya. “Ti—tidak. Tentu saja tidak. Saya siap dan sangat siap!” Buru-buru Agung menjawabnya walaupun sedikit terbata. Dona tersenyum hingga menampilkan deretan giginya yang putih bersih. “Bagus! Kamu tidak perlu takut, nanti setelah menikah aku menuntutmu macam-macam. Aku hanya ingin kamu ada saat aku butuh. Soal biaya hidup, aku yang tanggung.
“Bukankah dia temannya Intan? Iya, bukan, sih?” gumam Agung. Dona tak sengaja mendengar gumaman Agung walaupun tak begitu jelas. “Kamu kenapa? Lihat siapa?” tanya Dona karena penasaran. “Oh enggak. Aku mau tanya, apa yang datang ini semua kenal dengan kamu? Semua teman kamu?” Dona menganggukkan kepala. Mereka bicara berbisik sambil menyalami tamu undangan yang naik ke atas panggung pelaminan. “Jadi, kamu tahu siapa perempuan yang pakai baju batik coklat itu?”“Batik coklat? Yang mana?” Kepala Dona mendongak dan berusaha mencari orang yang dimaksud oleh Agung. “Itu dia yang lagi berjalan ke arah sini. Dia pakai batik coklat dan bawahan yang senada. Itu teman istriku. Gawat kalau dia sampai tahu aku disini!” Agung mulai panik karena dia sekarang yakin jika benar kalau perempuan itu temannya Intan. Mereka pernah bertemu saat tak sengaja berpapasan di minimarket. “Oh itu!” Dona menunjuk ke arah perempuan yang dimaksud Agung. Agung pun membenarkannya dengan menganggukkan kepala. “Di
“Kesalahan apa yang aku buat sehingga kamu tega menyakitiku? Tidak ingatkah kamu jika kamu sudah ada Abid dan Aldo?” Dada Intan terasa sesak karena menahan air mata sejak tadi. Agung pun tak menyangka jika Intan tahu soal pernikahannya dengan Dona secepat ini. Dia tak tahu Intan dapat foto pernikahannya dengan Dona dari siapa. Tapi, Agung bisa menebak jika itu dari teman Intan. “Sudahlah aku mau istirahat saja. Toh aku mau bicara kamu juga tidak mau mendengar,” ucap Agung. Dia pun pergi masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam. Niat hati dia pulang ingin melepas rindu pada istri dan anaknya tapi malah berujung keributan. Waktu yang diberikan Dona untuknya hanya dua hari. Sehingga Agung harus bisa memanfaatkan waktu itu dengan baik. Sekarang dirinya sudah tidak bisa sebebas dulu jika ingin bersama dengan Intan. Hidupnya sudah separuh dikendalikan oleh Dona. Jika dia tidak menurut sedikit saja, Dona bisa-bisa marah besar dan mengusirnya dari rumahnya. Yang itu berarti dia har
“Ibu?” lirih Intan saat melihat mertuanya datang membawa tas besar. “Agung mana? Ibu mau minta uang. Kamu juga sekarang susah sekali dimintai uang. Apa jangan-jangan kamu lagi yang hasut anakku agar tidak memberikan Ibu uang lagi?” tuduh Ibu Siti begitu saja tanpa ba-bi-bu. “Mas Agung sedang tidak ada di rumah, Bu. Kami memang sedang kesusahan, Bu. Bukan maksud aku menghalang-halangi Mas Agung memberikan Ibu uang,” sanggah Intan dengan kepala tertunduk. “Alah itu bisa-bisanya kamu saja, kan? Kamu dan anak-anakmu itu memang bisanya nyusahin aja! Andai dulu anakku tidak menikah dengan kamu, pasti hidupnya tidak seperti ini!” Bukan hanya sekali dua kali Intan mendengar keluhan mertuanya yang seperti itu. Wajar saja jika Ibu Siti tidak suka dengan Intan. Pasalnya, dulu Ibu Siti hendak menjodohkan Agung dengan perempuan kaya raya. Tapi sayang, Agung lebih memilih Intan daripada perempuan yang bahkan Agung belum sempat melihatnya. “Kami memang seda—”“Minggir!” Intan didorong begitu sa