Satu jam lamanya Intan berpikir antara maju dan mundur. Selama itu pula tidak ada tanda-tanda kepulangan dari Agung. Hingga akhirnya jari lentiknya mentransfer uang lima ratus ribu kepada joki pinjol.
[Sudah saya transfer, Kak. Ini buktinya!] Intan mengirim pesan beserta bukti transfer pada jasa pinjol.[Baik, Kak, akan kami proses. Mohon menunggu sebentar.] balas joki itu dengan cepat.Intan kembali menunggu sambil harap-harap cemas. Dia takut kalau dia tertipu lagi. Tak sampai sepuluh menit joki itu kembali mengirim pesan kepada Intan.Inti dari pesan itu adalah keharusan memilih paket yang isinya jumlah uang yang akan cair. Paket itu mulai dari satu setengah juta rupiah hingga dua belas juta. Menurut joki itu uang yang ditransfer itu hanyalah sebagai deposit yang nantinya akan ditransfer kembali saat uang yang dijanjikan cair.[Memangnya harus deposit, ya, Kak? Saya sudah tidak punya uang lagi, Kak. Tolong saya, Kak!] Intan kembali mengiba dan merengek kepada joki pinjol.[Mohon maaf, Kak, kami tidak bisa membantu mencairkan dana tanpa Kakak deposit lebih dahulu. Tenang saja, Kak, karena nantinya uang deposit itu akan dikembalikan bersamaan dengan dana yang sudah kakak pilih. Kami real 100% amanah, Kak. Jadi Kakak tidak perlu khawatir. Bisa Kakak lihat testimoni dari para nasabah kami sebelumnya.]Penjelasan dari joki pinjol itu begitu menyakinkan hingga Intan mentransfer kembali uang satu setengah juta rupiah yang sebelumnya dia dapat dari sisa pinjaman lima ratus ribu tadi.[Sudah, Kak.] Tulis Intan pada pesan berikutnya.[Baik, Kak. Silahkan tunggu satu hingga dua jam, ya, Kak. Nanti saya akan kabari lagi jika sudah selesai.] balas si Joki.Sembari menunggu kabar dari si joki Intan kembali berselancar di dunia maya. Lebih tepatnya berselancar ke hal-hal yang berkaitan dengan pinjaman online.Pikiran Intan makin kacau karena sudah lebih dari satu jam dia belum juga mendapat kepastian. Namun beberapa menit kemudian joki itu mengirim pesan pada Intan.[Alhamdulillah dananya sudah cair dengan total tiga puluh sembilan juta lima ratus ribu rupiah, Kak. Untuk dapat melakukan pencairan dana, Kakak hanya perlu deposit lagi dana sebesar tujuh juta rupiah. Dana itu nantinya akan langsung ditransfer lagi ke rekening Kakak.]Intan syok dan dia sadar kalau dia sudah kena tipu. Dia menangis tanpa suara. Tangannya gemetar dan kepalanya menjadi berdenyut. Sungguh malang nasib Intan. Alih-alih ingin melunasi hutang tapi dia malah kena tipu.[Apa tidak bisa langsung ditransfer saja ke rekening saya, Kak? Toh nanti uangnya itu juga akan kembali ke saya. Mohon maaf saya sudah tidak ada uang lagi. Apalagi uang sebesar itu, Kak.] Intan mencoba untuk negosiasi siapa tahu bisa dan dia tidak ditipu. Walaupun sebenarnya Intan sudah yakin dia ditipu.[Tidak bisa, Kak. Itu sudah menjadi syarat untuk pencairan dana agar bisa ditransfer ke rekening Kakak. Coba dulu cari uangnya, Kak. Kita tunggu sampai malam ini.]Sudah pukul sebelas malam. Intan sudah pasrah dan ikhlas harus kehilangan uang dua juta hanya dalam hitungan jam saja. Bukannya berkurang tapi hutangnya kini semakin bertambah karena keb*dohannya.[Terima kasih, ya, Kak, sudah menipu saya. Semoga uang dari saya berkah untuk Kakak dan tim. Tapi perlu Kakak tahu jika saya tidak ikhlas sampai m*ti sekalipun. Semoga kalian semua akan menerima ganjaran yang setimpal.] Pesan terakhir yang Intan kirimkan ke joki itu sebelum akhirnya Intan memblokir nomor joki tersebut.***Sepanjang malam Intan terjaga. Dia sendirian memikirkan cara agar bisa membayar hutang yang dua hari lagi kena jatuh tempo."Kamu b*doh banget, sih, Tan! Bisa-bisanya kena tipu lagi. Dimana akal sehatmu?" umpat Intan untuk dirimu sendiri.Kumandang adzan subuh mulai terdengar. Bersamaan dengan itu suara motor Agung terdengar. Intan sadar tapi dia enggan untuk menyambut Agung. Pikiran Intan sudah kalut lebih dulu.Agung masuk ke dalam kamar dengan wajah lesu dan matanya yang merah karena dia juga tidak tidur semalaman. Agung mengambil baju dan segera pergi mandi."Tulis semua hutangmu di sini. Nama aplikasi dan jumlahnya," kata Agung sambil memberikan buku dan bolpoin pada Intan.Setelah memberikan itu Agung keluar kamar untuk mandi. Tujuannya untuk menyegarkan pikirannya. Agung sama sekali tidak menyangka jika istrinya berani dan nekat meminjam uang secara online.Sudah jauh sebelum hal ini terjadi Agung selalu mengatakan pada Intan agar berhati-hati dalam menggunakan media sosial. Dia juga sudah mewanti-wanti Intan agar tidak sembarangan memberikan identitas diri. Tapi nyatanya semua itu tidak didengarkan oleh Intan.Di satu sisi Agung kecewa dengan Intan. Tapi di sisi lain Agung juga menyadari kesalahannya karena belum bisa memberikan nafkah yang layak untuk istri dan anaknya.Intan membuka satu per satu aplikasi pinjaman online yang ada di ponselnya. Dia menulis hutangnya sambil menangis. Sikap suaminya langsung berubah kepada dirinya. Padahal saat ini yang Intan butuhkan adalah pelukan dari Agung. Paling tidak Intan merasa ada suaminya yang bisa memberikannya kenyamanan walaupun tidak bisa mencari solusi.Lima belas menit sudah berlalu. Agung sudah selesai mandi dan Intan menghampiri Agung untuk menyerahkan catatan yang diminta oleh Agung.Melihat angka dalam catatan itu membuat kepala Agung hampir pecah. Rumah tangga yang sudah dia jalani hampir sepuluh tahun itu nyatanya tak membuat istrinya mau terbuka dengannya."Dari semua ini kapan tagihan terdekat?" tanya Agung datar.Intan menunjuk dua aplikasi yang dia catat. Dia tak berani menatap mata suaminya itu. "Besok tanggal 30, Yah.""Dua hari lagi? G*la kamu, ya! Hutang sebanyak ini buat apa aja? Gak habis pikir aku sama kamu!" ungkap Agung."Ya buat kebutuhan rumah dan biaya hidup, Yah," jawab Intan."Kok bisa sebesar ini? Jangan-jangan kamu main j*di?" tuduh Agung."Astaghfirullah, Yah! Kok bisa berpikiran begitu? Mana ngerti aku soal begituan," sanggah Intan.Intan sangat kecewa dengan tuduhan Agung. Padahal dia berusaha membantu Agung walaupun caranya salah. Selama ini jika Intan selalu mengeluh uang kurang Agung tak pernah menanggapinya dengan serius.Agung juga jarang sekali menghadapi pemilik kontrakan yang marah ketika mereka telat membayar kontrakan. Belum lagi kebutuhan kedua anaknya yang baru berusia lima tahun dan juga dua tahun.Menjadi istri itu ternyata tidak mudah. Istri harus dituntut bisa segala hal. Bukan hanya bisa mengurus rumah dan juga anak, tapi istri juga harus bisa menyulap uang yang kurang menjadi cukup tanpa mengurangi jatah dari setiap porsi."Kamu mau kemana, Yah?" seru Intan saat Agung pergi begitu saja tanpa pamit kepadanya padahal mereka tengah mengobrol."Astaghfirullah hal adzim! Ya Allah ...."Masih menjadi pertanyaan bagi Bagas kepada Intan berubah pikiran. Ibu Lastri sama sekali tidak membantunya mendapat jawaban. “Dapat kerjaan? Dapat dimana? Kenapa bisa cepat sekali dapat kerjanya?” gumam Bagas saat di dalam mobil. “Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Ponsel yang aku berikan saja sampai dikembalikan. Aku harus cari tahu ada apa!” “Assalamualaikum!” Bagas masuk ke dalam rumah sambil mengucap salam. Ibu Dewi yang tengah bersantai pun menjawab dan melihat ke arah anaknya yang baru saja pulang. “Waalaikumsalam. Lho … kenapa kamu murung, Sayang? Ada masalah, kah, di rumah sakit?” tanya Ibu Dewi setelah menjawab salam. Hati dan pikiran Bagas lelah. Dia langsung berbaring di dekat Ibu Dewi. Kepalanya dia letakkan dipangkuan sang ibu. Tempat ternyaman yang Bagas punya saat ini. Matanya terpejam beberapa detik. “Kamu kenapa, Gas? Cerita sama bunda,” ucap Ibu Dewi lirih. “Bagas capek, Bun.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Setelah beberapa saat ada di pangkuan ibunya
Tak ada hanya didorong, Intan dijambak orang itu. Seorang perempuan berambut panjang dan berkulit putih. Intan sama sekali tidak mengenal perempuan yang ada di depannya itu. Sungguh sadis perbuatan perempuan itu karena dilakukan di depan anak Intan. Bahkan anak Intan sampai menangis melihat ibunya dianiaya orang asing. “Hey, perempuan gak tahu diri … jangan ganggu tunangan orang kamu, ya!” katanya. “Ganggu tunangan orang? Siapa? Aku saja tidak kenal kamu,” jawab Intan sembari menahan sakit dibagian telapak tangan yang lecet karena kena batu. “Jangan pura-pura gak ngerti kamu! Kamu, kan, yang kemarin bikin Bagas gak pulang tepat waktu?” sahut perempuan itu. Yap! Perempuan itu adalah Sintia, tunangan dari Bagas. Intan tidak tahu karena memang belum pernah bertemu dengan Sintia sebelumnya. “Astaghfirullah! Jadi Mas Bagas maksud kamu? Maaf, ya, aku gak meminta dia untuk menungguku. Aku juga tidak tahu kalau kamu tunangannya,” jelas Intan. “Satu lagi, aku tidak merebut Mas Bagas dar
“Jangan menuduh sembarangan kamu! Kalau tidak tahu ceritanya, gak usah sok tahu! Udahlah aku lagi males berdebat sama kamu.” Bagas mematikan teleponnya dengan perasaan kesal. Baru saja Sintia meneleponnya dan menuduh dirinya tengah berselingkuh. Tentu saja Bagas marah karena tuduhan itu tidak berdasar. Memang akhir-akhir ini hubungan mereka sedang tidak baik. Ada saja hal membuat keduanya bertengkar. Kata Ibu Dewi, itu merupakan ujian saat seseorang hendak menikah. Tapi, yang dirasakan Bagas bukan seperti itu. Sintia semakin semena-mena dan terkesan seperti anak kecil. Dia selalu ingin diprioritaskan tanpa mengerti kesibukan Bagas. Selesai menelepon Bagas duduk-duduk dulu di depan ruangan Intan. Dia mengontrol emosinya lebih dulu di sana sambil memikirkan permintaan Intan. Setelah dipikirkan, memang seharusnya Bagas sudah pulang. Tugasnya sebagai dokter tidak bisa ditinggalkan lama begitu saja.“Halo, Bay …” Bagas menelepon Bayu. “Ada apa, Gas? Intan gak apa-apa?” tanya Bayu. Sa
Bagas dan Bayu terkejut melihat beberapa polisi yang ikut masuk ke dalam bangunan kosong tersebut. Mereka bahkan tak tahu darimana arah polisi-polisi itu datang. “Berarti di dalam gawat, Gas. Kita tunggu saja sampai Sandi dan timnya selesai, ya,” ujar Bayu pada Bagas yang masih ingin masuk ke dalam menyusul Sandi. Setelah dipikir-pikir, Bayu ada benarnya juga. Biar bagaimanapun dia tak memiliki basic beladiri. Apalagi jika di dalam ada orang yang bersenjata. Memang lebih baik menunggu Sandi di luar. Tak berselang lama, ada suara tembakan yang membuat Bagas dan Bayu terkejut. Keduanya saling memandang dan menelan ludah. Situasi semakin menegangkan kala mereka mendengar suara tembakan untuk yang kedua kalinya. “Gimana ini, Bay? Aku tetap ingin masuk ke sana,” ujar Bagas. “Bahaya, Gas! Nyawamu bisa jadi taruhannya. Kita tunggu saja di sini,” jawab Bayu. Bagas menuruti ucapan Bayu walaupun dia sebenarnya tak tenang. Tapi, lima belas menit kemudian dia sudah tidak tahan dan memilih
Agung sudah hampir sampai di rumah Dona. Tapi, saat dia sudah dekat, Agung melihat ada polisi tengah berdiri di depan rumah Dona. Sontak saja hal itu membuat Agung takut. Dia bersiap untuk lari. Namun naasnya, dia menginjak botol air mineral yang dia jatuhkan sendiri sampai menimbulkan bunyi. “Tangkap dia, Pak!” Kalimat ini yang didengar Agung berulang kali. Agung berlari tak tentu arah. Dia sama sekali tidak berani menoleh ke belakang. Dia terus saja berlari walaupun sebenarnya kakinya sudah capek. Setelah berlari hampir setengah jam, akhirnya Agung bisa tertangkap juga. Dia menyerah karena benar-benar sudah tidak kuat berlari lagi. Dua polisi tersebut langsung membawa Agung ke mobil polisi lalu diinterogasi. Terlihat Bayu dan Bagas sudah menunggu di sana. “Mana Intan?!” seru Bagas. Bogem mentah hampir saja melayang di pipi Agung kalau tidak dicegah pak polisi.“Sabar! Belum tentu juga mas ini tersangkanya. Dengarkan dulu saja,” ucap Bayu. Dia juga ikut menenangkan Bagas. Walau
“Ada apa, Bay?” tanya Bagas yang sudah menyusul. “Intan dibawa mobil itu, Gas. Ayo kita kejar mereka!” Bayu dan Bagas langsung berlari menuju mobil. Secepat kilat Bayu berusaha mengejar mobil berwarna hitam yang membawa Intan. Keduanya sama-sama tegang dan fokus ke depan. “Cepat kejar, Bay! Jangan sampai kita kehilangan mereka!” Bayu mengangguk dan tetap fokus mengemudi. Di tengah-tengah pengejaran, ponsel Bagas selalu berbunyi. Ada pesan masuk yang sangat banyak dan juga panggilan dari Sintia. Tak ingin terganggu dengan panggilan Sintia itu, Bagas memutuskan untuk menonaktifkan ponselnya. “Kok aku ada firasat kalau itu suaminya Intan, ya, Gas,” kata Bayu di sela-sela mengemudi. “Aku gak tahu, Bay. Tapi, kenapa dia melakukan itu? Apa alasannya?”Keduanya terus bicara. Semakin mereka banyak bicara membuat Bayu tidak konsentrasi hingga dirinya menabrak tiang listrik di pinggir jalan. Karena hal itu, mereka kehilangan jejak mobil yang membawa Nirmala. “Maafin aku, Gas,” ucap Bayu