"Ya Allah, aku memang salah dalam hal ini. Tapi, aku juga melakukan ini untuk keluargaku. Aku tahu caranya salah. Kenapa sikap suamiku seperti itu, Ya Allah? Apakah dia akan menceraikan aku? Harusnya dia juga introspeksi diri kenapa sampai bisa istrinya punya hutang banyak begini. Aku harus bagaimana, Ya Allah?" Intan menangis karena ditinggal sendirian oleh Agung.
Tak berselang lama kedua anaknya pun bertengkar berebut mainan dan menangis. Intan tambah stres dibuatnya. Dia membiarkan kedua anaknya menangis karena dia juga belum bisa mengontrol dirinya sendiri."Apa aku minta bantuan sama Ibu, ya? Tapi, selama ini aku belum bisa memberikan apapun pada mereka. Apakah aku tega membuat mereka menderita? Tidak! Aku tak boleh melakukan itu!""Bu! Ibu! Adik jatuh, Bu!" teriak anaknya yang pertama.Intan langsung lari ke dalam kamar dan mendapati jidat anak keduanya sudah benjol karena jatuh membentur lantai. Tangan Intan sigap mengambil anaknya lalu memeluknya erat."Maafkan Ibu, Nak! Ibu lalai menjagamu. Maafkan ibumu ini, Nak!" Berulang kali Intan meminta maaf sambil memeluk anak keduanya.Abid anak pertamanya ikutan menangis dan ikut memeluk ibunya. Ketiganya sama-sama menangis sambil berpelukan."Sudah. Kakak berhenti, ya, nangisnya. Biar adiknya juga ikut berhenti. Kita obati adik dulu, ya, Kak," ucap Intan. Abid mengangguk pelan.Intan mengolesi luka benjolan anaknya dengan minyak yang dia punya. Dia merasa sangat bersalah karena terlalu memikirkan masalahnya sehingga anak-anaknya terabaikan.Karena merasa bersalah, Intan menemani anak-anaknya bermain sampai mereka tertidur. Air mata Intan kembali menetes ketika melihat kedua wajah polos mereka. Perasaan bersalah kepada mereka semakin besar.Entah berapa jam Intan menemani kedua anaknya tertidur sampai dia juga ikut tidur. Ketika bangun, hari sudah sore dan Intan segera memandikan kedua anaknya yang juga sudah bangun.Setelah selesai mandi, Intan memasak lalu menyuapi anaknya yang kedua karena anak yang pertama sudah bisa makan sendiri. Hari sudah sore tapi Agung belum pulang juga."Mas Agung kok belum pulang, ya? Tadi apa dia kerja atau kemana? Dia juga tidak memberi kabar seperti biasanya. Pasti dia masih marah padaku," gumam Intan yang saat ini tengah berada di depan pintu sambil melihat rintik-rintik hujan yang turun."Bu, kok Ayah belum pulang?" celetuk Abid yang ikut menyusul Intan ke depan.Seperti biasanya Abid selalu menunggu kepulangan ayahnya. Abid dan adiknya Aldo memang dekat dengan Agung."Mungkin di tempat Ayah kerja hujan deras, Kak. Jadi Ayah menunggu hujannya agak reda. Kakak main saja dulu sama adik, ya!" jawab Intan yang memaksakan senyum untuk anaknya. Abid mengangguk dan kembali masuk ke dalam untuk bermain bersama dengan Aldo.Agung sebenarnya suami yang baik dan bertanggungjawab. Dia rela bekerja apapun agar istri dan anak-anaknya tidak kekurangan. Tapi, ada satu hal yang Agung tidak tahu soal keuangan rumah tangganya dan Intan belu menceritakan hal itu kepadanya."Maafkan aku, Mas!" batin Intan berkata.***Di tempat lain, Agung tengah kebingungan mencari uang pinjaman kepada teman-temannya agar hutang istrinya yang dua hari lagi jatuh tempo bisa terbayarkan."Aduh maaf, ya, Gung, bukannya saya tidak mau bantu kamu tapi gimana ya, soalnya saya juga lagi butuh uang.""Maaf, Mas Agung, saya tidak bisa.""Saya lagi gak punya uang, Gung."Dan masih banyak lagi jawaban teman-teman Agung yang tidak bisa meminjaminya uang. Agung tidak bisa memaksa mereka karena itu hak mereka. Agung mengacak rambutnya kasar. Dia sudah buntu pikirannya.Jika dipikir-pikir, Agung selama ini memberikan nafkah yang cukup untuk bayar kontrakan dan juga makan. Bahkan kadang dia lebihkan untuk kebutuhan kedua anaknya. Tapi dia bingung kenapa Intan bisa sampai terlilit hutang pinjaman online dengan jumlah yang begitu besar?Sebegitu kecewanya Agung pada Intan hingga dia mendiamkan Intan. Bahkan semalam dia tidak pulang ke rumah demi untuk menenangkan diri. Intan tak tahu jika sebenarnya Agung punya banyak pekerjaan yang dia jalani. Bahkan tak jarang Agung harus bekerja sampai malam jika uang yang dia dapatkan belum cukup untuk keluarga. Itu semua Agung lakukan karena harus mengirim uang juga kepada ibunya.Agung mengaku kepada Intan bekerja serabutan di tukang sablon kaos. Memang benar seperti itu tapi Agung juga punya pekerjaan lainnya seperti jadi tukang ojek anak sekolah dan juga kurir paket paruh waktu.Hari ini Agung tidak ada panggilan di tukang sablon. Masih beruntung karena ada beberapa paket yang harus dia antarkan. Nasib baik masih memihak pada dirinya. Walaupun hanya sedikit, paling tidak ada hasil yang dia bawa pulang."Permisi! Paket!" teriak Agung khas seperti kurir pada umumnya.Kali ini dia mengantarkan paket di perumahan mewah. Baru pertama kali Agung mengantarkan paket ke alamat tersebut. Jika dia beruntung, biasanya penerima barang akan memberikan uang tips kepada dirinya."Ya sebentar!" jawaban dari dalam rumah.Agung menunggu sekitar lima menitan baru ada seseorang yang keluar dari rumah. Seorang wanita cantik keluar untuk menerima paket dari Agung. Untuk sesaat Agung terkesima akan kecantikan wanita tersebut. Tapi dengan cepat Agung memalingkan wajahnya."Makasih, ya, Mas. Ini COD, ya? Berapa, ya? Soalnya aku lupa," ucap wanita itu."Seratus lima ribu, Mbak," jawab Agung singkat.Wanita itu merogoh sakunya dan mengambil uang seratus dua puluh ribu lalu memberikannya kepada Agung."Gak usah kembali, Mas," kata wanita itu."Yang benar, Mbak? Tapi kembaliannya banyak lho?""Iya benar, Mas." Wanita itu tersenyum manis kepada Agung."Terima kasih, ya, Mbak. Semoga rejekinya selalu lancar.""Aamiin."Agung pun memasukkan uang ke dalam tas kecilnya dan wanita itu masuk ke dalam rumahnya. Tapi, saat hendak pergi, tiba-tiba saja Agung mendengar suara teriakan dari wanita itu."Tolong! Tolong!" Suara wanita itu jelas sekali di telinga Agung.Tanpa berpikir panjang Agung turun dari motor dan masuk ke dalam rumah wanita itu. Saat Agung masuk, wanita tadi sudah jatuh tersungkur karena terpeleset."Tolong, Mas! Kakiku sakit sekali rasanya," rintih wanita itu sambil memegang kaki sebelah kirinya.Agung menolong wanita tersebut karena merasa tidak tega. Dia memapah wanita itu menuju ke sofa."Mas, boleh minta tolong lagi gak?" ucap wanita itu sembari meringis menahan sakit."Minta tolong apa, Mbak?" sahut Agung."Tolong bawa saya ke kamar, Mas. Kamar saya ada di lantai dua."Agung menelan ludahnya. Dia takut dan bingung hendak menjawab apa. Dia sama sekali tidak tahu wanita tersebut. Agung hanya takut nantinya akan ada orang yang datang dan salah paham. Biar bagaimanapun laki-laki dan wanita berduaan itu tidak dibenarkan. Apalagi Agung tidak tahu di rumah itu ada siapa saja."Aduh gimana, ya, Mbak? Saya —""Tolong saya, Mas! Saya di rumah sendirian, Mas. Nanti saya kasih upah, Mas. Gimana?"Masih menjadi pertanyaan bagi Bagas kepada Intan berubah pikiran. Ibu Lastri sama sekali tidak membantunya mendapat jawaban. “Dapat kerjaan? Dapat dimana? Kenapa bisa cepat sekali dapat kerjanya?” gumam Bagas saat di dalam mobil. “Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Ponsel yang aku berikan saja sampai dikembalikan. Aku harus cari tahu ada apa!” “Assalamualaikum!” Bagas masuk ke dalam rumah sambil mengucap salam. Ibu Dewi yang tengah bersantai pun menjawab dan melihat ke arah anaknya yang baru saja pulang. “Waalaikumsalam. Lho … kenapa kamu murung, Sayang? Ada masalah, kah, di rumah sakit?” tanya Ibu Dewi setelah menjawab salam. Hati dan pikiran Bagas lelah. Dia langsung berbaring di dekat Ibu Dewi. Kepalanya dia letakkan dipangkuan sang ibu. Tempat ternyaman yang Bagas punya saat ini. Matanya terpejam beberapa detik. “Kamu kenapa, Gas? Cerita sama bunda,” ucap Ibu Dewi lirih. “Bagas capek, Bun.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Setelah beberapa saat ada di pangkuan ibunya
Tak ada hanya didorong, Intan dijambak orang itu. Seorang perempuan berambut panjang dan berkulit putih. Intan sama sekali tidak mengenal perempuan yang ada di depannya itu. Sungguh sadis perbuatan perempuan itu karena dilakukan di depan anak Intan. Bahkan anak Intan sampai menangis melihat ibunya dianiaya orang asing. “Hey, perempuan gak tahu diri … jangan ganggu tunangan orang kamu, ya!” katanya. “Ganggu tunangan orang? Siapa? Aku saja tidak kenal kamu,” jawab Intan sembari menahan sakit dibagian telapak tangan yang lecet karena kena batu. “Jangan pura-pura gak ngerti kamu! Kamu, kan, yang kemarin bikin Bagas gak pulang tepat waktu?” sahut perempuan itu. Yap! Perempuan itu adalah Sintia, tunangan dari Bagas. Intan tidak tahu karena memang belum pernah bertemu dengan Sintia sebelumnya. “Astaghfirullah! Jadi Mas Bagas maksud kamu? Maaf, ya, aku gak meminta dia untuk menungguku. Aku juga tidak tahu kalau kamu tunangannya,” jelas Intan. “Satu lagi, aku tidak merebut Mas Bagas dar
“Jangan menuduh sembarangan kamu! Kalau tidak tahu ceritanya, gak usah sok tahu! Udahlah aku lagi males berdebat sama kamu.” Bagas mematikan teleponnya dengan perasaan kesal. Baru saja Sintia meneleponnya dan menuduh dirinya tengah berselingkuh. Tentu saja Bagas marah karena tuduhan itu tidak berdasar. Memang akhir-akhir ini hubungan mereka sedang tidak baik. Ada saja hal membuat keduanya bertengkar. Kata Ibu Dewi, itu merupakan ujian saat seseorang hendak menikah. Tapi, yang dirasakan Bagas bukan seperti itu. Sintia semakin semena-mena dan terkesan seperti anak kecil. Dia selalu ingin diprioritaskan tanpa mengerti kesibukan Bagas. Selesai menelepon Bagas duduk-duduk dulu di depan ruangan Intan. Dia mengontrol emosinya lebih dulu di sana sambil memikirkan permintaan Intan. Setelah dipikirkan, memang seharusnya Bagas sudah pulang. Tugasnya sebagai dokter tidak bisa ditinggalkan lama begitu saja.“Halo, Bay …” Bagas menelepon Bayu. “Ada apa, Gas? Intan gak apa-apa?” tanya Bayu. Sa
Bagas dan Bayu terkejut melihat beberapa polisi yang ikut masuk ke dalam bangunan kosong tersebut. Mereka bahkan tak tahu darimana arah polisi-polisi itu datang. “Berarti di dalam gawat, Gas. Kita tunggu saja sampai Sandi dan timnya selesai, ya,” ujar Bayu pada Bagas yang masih ingin masuk ke dalam menyusul Sandi. Setelah dipikir-pikir, Bayu ada benarnya juga. Biar bagaimanapun dia tak memiliki basic beladiri. Apalagi jika di dalam ada orang yang bersenjata. Memang lebih baik menunggu Sandi di luar. Tak berselang lama, ada suara tembakan yang membuat Bagas dan Bayu terkejut. Keduanya saling memandang dan menelan ludah. Situasi semakin menegangkan kala mereka mendengar suara tembakan untuk yang kedua kalinya. “Gimana ini, Bay? Aku tetap ingin masuk ke sana,” ujar Bagas. “Bahaya, Gas! Nyawamu bisa jadi taruhannya. Kita tunggu saja di sini,” jawab Bayu. Bagas menuruti ucapan Bayu walaupun dia sebenarnya tak tenang. Tapi, lima belas menit kemudian dia sudah tidak tahan dan memilih
Agung sudah hampir sampai di rumah Dona. Tapi, saat dia sudah dekat, Agung melihat ada polisi tengah berdiri di depan rumah Dona. Sontak saja hal itu membuat Agung takut. Dia bersiap untuk lari. Namun naasnya, dia menginjak botol air mineral yang dia jatuhkan sendiri sampai menimbulkan bunyi. “Tangkap dia, Pak!” Kalimat ini yang didengar Agung berulang kali. Agung berlari tak tentu arah. Dia sama sekali tidak berani menoleh ke belakang. Dia terus saja berlari walaupun sebenarnya kakinya sudah capek. Setelah berlari hampir setengah jam, akhirnya Agung bisa tertangkap juga. Dia menyerah karena benar-benar sudah tidak kuat berlari lagi. Dua polisi tersebut langsung membawa Agung ke mobil polisi lalu diinterogasi. Terlihat Bayu dan Bagas sudah menunggu di sana. “Mana Intan?!” seru Bagas. Bogem mentah hampir saja melayang di pipi Agung kalau tidak dicegah pak polisi.“Sabar! Belum tentu juga mas ini tersangkanya. Dengarkan dulu saja,” ucap Bayu. Dia juga ikut menenangkan Bagas. Walau
“Ada apa, Bay?” tanya Bagas yang sudah menyusul. “Intan dibawa mobil itu, Gas. Ayo kita kejar mereka!” Bayu dan Bagas langsung berlari menuju mobil. Secepat kilat Bayu berusaha mengejar mobil berwarna hitam yang membawa Intan. Keduanya sama-sama tegang dan fokus ke depan. “Cepat kejar, Bay! Jangan sampai kita kehilangan mereka!” Bayu mengangguk dan tetap fokus mengemudi. Di tengah-tengah pengejaran, ponsel Bagas selalu berbunyi. Ada pesan masuk yang sangat banyak dan juga panggilan dari Sintia. Tak ingin terganggu dengan panggilan Sintia itu, Bagas memutuskan untuk menonaktifkan ponselnya. “Kok aku ada firasat kalau itu suaminya Intan, ya, Gas,” kata Bayu di sela-sela mengemudi. “Aku gak tahu, Bay. Tapi, kenapa dia melakukan itu? Apa alasannya?”Keduanya terus bicara. Semakin mereka banyak bicara membuat Bayu tidak konsentrasi hingga dirinya menabrak tiang listrik di pinggir jalan. Karena hal itu, mereka kehilangan jejak mobil yang membawa Nirmala. “Maafin aku, Gas,” ucap Bayu
“Kamu kenapa, sih, Gas? Memangnya aku salah omong, ya?” tanya Bayu sesaat setelah Intan pergi. Bagas berdecak. “Aku tahu kamu, Bay. Gak usah aneh-aneh, deh, kamu itu! Intan itu perempuan baik-baik, Bay.”“Astaga! Jadi kamu mikir aku mau aneh-aneh sama, Intan? Ya enggak lah, Gas! G*la aja kamu! Aku cuma kasihan aja sama dia,” bantah Bayu cepat. Sudah berteman lama membuat Bagas tahu sifat Bayu. Sejak dulu memang Bayu suka menggoda dan merayu perempuan hanya untuk mainan. Makanya sampai saat ini Bayu juga belum menikah karena dia masih ingin menikmati hidup dengan bersenang-senang. “Aku tahu kamu, Bay. Makanya aku ingatkan kamu jangan macam-macam dengan Intan. Kasihan dia dan anak-anaknya nanti.” Nasehat Bagas kali ini mengena di hati Bayu. “Gak, Gas. Aku sekarang gak begitu. Sudah capek aku, Gas. Aku sudah berubah dan gak mau main-main lagi, Gas.”Setelah ibunya meninggal, Bayu memang berubah drastis. Dia menjadi pekerja keras dan jarang sekali mendekati perempuan seperti dulu. Bay
“Halo, Bro! Tumben kamu telepon. Pasti ada maunya, ya?” “Iya, Bro. Aku butuh bantuanmu di Pengadilan Agama Tangerang sekarang. Bisa, kan?”“Wait! Wait! Ada apa nih? Kok ke pengadilan agama? Ada urusan apa kamu di sana?”Seperti itulah awal mula percakapan Bagas dan Bayu di telepon. Yap! Bagas meminta bantuan pada Bayu temannya yang berprofesi sebagai pengacara untuk mendampingi Intan. Ide itu muncul dari Ibu Dewi yang merasa iba pada Intan. Awalnya Bagas memang terlihat cuek. Tapi pada saat dia mengantar Intan, hatinya merasa tersentuh. “Jangan salah sangka dulu. Aku minta kamu dampingi temanku di sana. Dia sekarang lagi ada sidang cerai dengan suaminya,” ujar Bagas menjelaskan. “Teman apa teman? Memangnya kamu sudah putus sama Sintia, Bro? Bukannya sebentar lagi kalian menikah?” tanya Bayu. “Sudah kamu gak usah banyak tanya dulu. Kasihan dia di sana sendirian dan pasti bingung. Nanti kapan-kapan aku ceritakan sama kamu. Namanya Intan. Dia teman kecilku dulu. Tolong bantu dia, ya
Sesampainya Intan di pengadilan, dia langsung masuk ke dalam ruang sidang. Intan tampak percaya diri walaupun tanpa didampingi pengacara. Jelas kontras sekali dengan Agung yang masuk dengan Dona serta pengacara. “Yakin tidak didampingi pengacara?” tanya Dona dengan suara pelan. Dona sengaja menghampiri Intan yang duduk di sebelah kiri. Sedangkan Agung dan pengacaranya duduk di sebelah kanan. Intan diam tak menjawab. Dia merasa tak perlu menanggapi pertanyaan dari Dona tersebut. Bahkan Intan sama sekali tidak melihat ataupun melirik ke arah Dona. Dia menganggap seolah-olah Dona tidak ada di sana. “Oke kalau itu maumu, Intan. Tapi aku kasih tahu sama kamu, ya … kalau ini belum ada apa-apanya. Kamu akan lebih menderita lagi!” ucap Dona lagi. Dona kembali duduk bersama dengan Agung. Dia terlihat tengah bicara sesuatu dengan Agung dan juga pengacara yang sudah disewanya. Persidangan pun dimulai. Semuanya berjalan dengan lancar di awal-awal. Tapi, di pertengahan sidang, emosi Intan tak