Share

Bab 4. Meratapi Nasib

"Ya Allah, aku memang salah dalam hal ini. Tapi, aku juga melakukan ini untuk keluargaku. Aku tahu caranya salah. Kenapa sikap suamiku seperti itu, Ya Allah? Apakah dia akan menceraikan aku? Harusnya dia juga introspeksi diri kenapa sampai bisa istrinya punya hutang banyak begini. Aku harus bagaimana, Ya Allah?" Intan menangis karena ditinggal sendirian oleh Agung.

Tak berselang lama kedua anaknya pun bertengkar berebut mainan dan menangis. Intan tambah stres dibuatnya. Dia membiarkan kedua anaknya menangis karena dia juga belum bisa mengontrol dirinya sendiri.

"Apa aku minta bantuan sama Ibu, ya? Tapi, selama ini aku belum bisa memberikan apapun pada mereka. Apakah aku tega membuat mereka menderita? Tidak! Aku tak boleh melakukan itu!"

"Bu! Ibu! Adik jatuh, Bu!" teriak anaknya yang pertama.

Intan langsung lari ke dalam kamar dan mendapati jidat anak keduanya sudah benjol karena jatuh membentur lantai. Tangan Intan sigap mengambil anaknya lalu memeluknya erat.

"Maafkan Ibu, Nak! Ibu lalai menjagamu. Maafkan ibumu ini, Nak!" Berulang kali Intan meminta maaf sambil memeluk anak keduanya.

Abid anak pertamanya ikutan menangis dan ikut memeluk ibunya. Ketiganya sama-sama menangis sambil berpelukan.

"Sudah. Kakak berhenti, ya, nangisnya. Biar adiknya juga ikut berhenti. Kita obati adik dulu, ya, Kak," ucap Intan. Abid mengangguk pelan.

Intan mengolesi luka benjolan anaknya dengan minyak yang dia punya. Dia merasa sangat bersalah karena terlalu memikirkan masalahnya sehingga anak-anaknya terabaikan.

Karena merasa bersalah, Intan menemani anak-anaknya bermain sampai mereka tertidur. Air mata Intan kembali menetes ketika melihat kedua wajah polos mereka. Perasaan bersalah kepada mereka semakin besar.

Entah berapa jam Intan menemani kedua anaknya tertidur sampai dia juga ikut tidur. Ketika bangun, hari sudah sore dan Intan segera memandikan kedua anaknya yang juga sudah bangun.

Setelah selesai mandi, Intan memasak lalu menyuapi anaknya yang kedua karena anak yang pertama sudah bisa makan sendiri. Hari sudah sore tapi Agung belum pulang juga.

"Mas Agung kok belum pulang, ya? Tadi apa dia kerja atau kemana? Dia juga tidak memberi kabar seperti biasanya. Pasti dia masih marah padaku," gumam Intan yang saat ini tengah berada di depan pintu sambil melihat rintik-rintik hujan yang turun.

"Bu, kok Ayah belum pulang?" celetuk Abid yang ikut menyusul Intan ke depan.

Seperti biasanya Abid selalu menunggu kepulangan ayahnya. Abid dan adiknya Aldo memang dekat dengan Agung.

"Mungkin di tempat Ayah kerja hujan deras, Kak. Jadi Ayah menunggu hujannya agak reda. Kakak main saja dulu sama adik, ya!" jawab Intan yang memaksakan senyum untuk anaknya. Abid mengangguk dan kembali masuk ke dalam untuk bermain bersama dengan Aldo.

Agung sebenarnya suami yang baik dan bertanggungjawab. Dia rela bekerja apapun agar istri dan anak-anaknya tidak kekurangan. Tapi, ada satu hal yang Agung tidak tahu soal keuangan rumah tangganya dan Intan belu menceritakan hal itu kepadanya.

"Maafkan aku, Mas!" batin Intan berkata.

***

Di tempat lain, Agung tengah kebingungan mencari uang pinjaman kepada teman-temannya agar hutang istrinya yang dua hari lagi jatuh tempo bisa terbayarkan.

"Aduh maaf, ya, Gung, bukannya saya tidak mau bantu kamu tapi gimana ya, soalnya saya juga lagi butuh uang."

"Maaf, Mas Agung, saya tidak bisa."

"Saya lagi gak punya uang, Gung."

Dan masih banyak lagi jawaban teman-teman Agung yang tidak bisa meminjaminya uang. Agung tidak bisa memaksa mereka karena itu hak mereka. Agung mengacak rambutnya kasar. Dia sudah buntu pikirannya.

Jika dipikir-pikir, Agung selama ini memberikan nafkah yang cukup untuk bayar kontrakan dan juga makan. Bahkan kadang dia lebihkan untuk kebutuhan kedua anaknya. Tapi dia bingung kenapa Intan bisa sampai terlilit hutang pinjaman online dengan jumlah yang begitu besar?

Sebegitu kecewanya Agung pada Intan hingga dia mendiamkan Intan. Bahkan semalam dia tidak pulang ke rumah demi untuk menenangkan diri. Intan tak tahu jika sebenarnya Agung punya banyak pekerjaan yang dia jalani. Bahkan tak jarang Agung harus bekerja sampai malam jika uang yang dia dapatkan belum cukup untuk keluarga. Itu semua Agung lakukan karena harus mengirim uang juga kepada ibunya.

Agung mengaku kepada Intan bekerja serabutan di tukang sablon kaos. Memang benar seperti itu tapi Agung juga punya pekerjaan lainnya seperti jadi tukang ojek anak sekolah dan juga kurir paket paruh waktu.

Hari ini Agung tidak ada panggilan di tukang sablon. Masih beruntung karena ada beberapa paket yang harus dia antarkan. Nasib baik masih memihak pada dirinya. Walaupun hanya sedikit, paling tidak ada hasil yang dia bawa pulang.

"Permisi! Paket!" teriak Agung khas seperti kurir pada umumnya.

Kali ini dia mengantarkan paket di perumahan mewah. Baru pertama kali Agung mengantarkan paket ke alamat tersebut. Jika dia beruntung, biasanya penerima barang akan memberikan uang tips kepada dirinya.

"Ya sebentar!" jawaban dari dalam rumah.

Agung menunggu sekitar lima menitan baru ada seseorang yang keluar dari rumah. Seorang wanita cantik keluar untuk menerima paket dari Agung. Untuk sesaat Agung terkesima akan kecantikan wanita tersebut. Tapi dengan cepat Agung memalingkan wajahnya.

"Makasih, ya, Mas. Ini COD, ya? Berapa, ya? Soalnya aku lupa," ucap wanita itu.

"Seratus lima ribu, Mbak," jawab Agung singkat.

Wanita itu merogoh sakunya dan mengambil uang seratus dua puluh ribu lalu memberikannya kepada Agung.

"Gak usah kembali, Mas," kata wanita itu.

"Yang benar, Mbak? Tapi kembaliannya banyak lho?"

"Iya benar, Mas." Wanita itu tersenyum manis kepada Agung.

"Terima kasih, ya, Mbak. Semoga rejekinya selalu lancar."

"Aamiin."

Agung pun memasukkan uang ke dalam tas kecilnya dan wanita itu masuk ke dalam rumahnya. Tapi, saat hendak pergi, tiba-tiba saja Agung mendengar suara teriakan dari wanita itu.

"Tolong! Tolong!" Suara wanita itu jelas sekali di telinga Agung.

Tanpa berpikir panjang Agung turun dari motor dan masuk ke dalam rumah wanita itu. Saat Agung masuk, wanita tadi sudah jatuh tersungkur karena terpeleset.

"Tolong, Mas! Kakiku sakit sekali rasanya," rintih wanita itu sambil memegang kaki sebelah kirinya.

Agung menolong wanita tersebut karena merasa tidak tega. Dia memapah wanita itu menuju ke sofa.

"Mas, boleh minta tolong lagi gak?" ucap wanita itu sembari meringis menahan sakit.

"Minta tolong apa, Mbak?" sahut Agung.

"Tolong bawa saya ke kamar, Mas. Kamar saya ada di lantai dua."

Agung menelan ludahnya. Dia takut dan bingung hendak menjawab apa. Dia sama sekali tidak tahu wanita tersebut. Agung hanya takut nantinya akan ada orang yang datang dan salah paham. Biar bagaimanapun laki-laki dan wanita berduaan itu tidak dibenarkan. Apalagi Agung tidak tahu di rumah itu ada siapa saja.

"Aduh gimana, ya, Mbak? Saya —"

"Tolong saya, Mas! Saya di rumah sendirian, Mas. Nanti saya kasih upah, Mas. Gimana?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status