Bruk! Agung pulang dan langsung meletakkan amplop cokelat di atas meja. Hari ini dia pulang lebih malam daripada biasanya. Intan yang mendengar suara keras pun langsung bergegas keluar.
Mata Intan menyipit ketika melihat amplop cokelat itu. Dia pun bertanya pada Agung. "Apa itu, Yah?""Besok bayar semua hutang-hutang kamu tanpa ada yang tersisa sedikitpun!" jawab Agung sambil berlalu meninggalkan Intan di sana.Intan belum paham maksud dari ucapan Agung itu. Dia penasaran dan kemudian membuka amplop cokelat itu. Mata Intan membulat sempurna melihat tumpukan uang berwarna merah dan juga biru itu. Dia sampai berkedip beberapa kali karena takut jika itu hanya mimpi."Ini benar-benar uang? Tapi darimana Ayah dapat uang sebanyak ini dalam waktu yang singkat?" tanya Intan dalam hati.Agung selesai mandi dan dia pun duduk di kasur depan televisi sambil memainkan ponselnya. Sesekali Agung terlihat tertawa dan tersenyum."Uang darimana itu, Yah?" tanya Intan. Tumpukan uang itu masih ada di meja dan belum Intan pindahkan dari sana."Kamu gak perlu tahu itu uang darimana. Jumlahnya ada lima puluh juta. Sisanya untuk bayar kontrakan beberapa bulan ke depan dan buat pegangan. Ingat, jangan kamu pakai untuk macam-macam!" jawab Agung."Tapi, Yah —""Sudahlah terima saja. Aku capek mau istirahat!" potong Agung. Dia kemudian berbaring di kasur itu dengan tetap bermain dengan ponselnya. Tangan Agung sebelumnya memberi kode pada Intan agar segera pergi dari hadapannya.Ketika Intan hendak ke kamar, Agung memanggilnya. "Heh! Uangnya kenapa gak dibawa? Mau gak?!"Intan menelan ludahnya. Baru kali ini suaminya memanggil dengan sebutan 'heh. Dia tak menjawab suaminya karena merasa sedih dan sakit hati."Malah bengong! Cepat ambil!" Lagi-lagi Agung berkata dengan nada tinggi pada Intan.Sejak masalah ini dia ceritakan ke suaminya, entah sudah berapa kali Intan menahan air mata sampai sesak dadanya. Sungguh, jika bukan karena Abid dan Aldo mungkin Intan sudah pergi jauh atau malah mengakhiri hidupnya.Terpaksa Intan mengambil amplop cokelat itu dan meletakkannya di tempat yang aman. Dia menunggu Agung masuk ke dalam agar dengan tujuan agar bisa bicara dari hati ke hati.Namun hingga jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam Agung tidak kunjung masuk ke dalam kamar. Karena penasaran, Intan keluar kamar untuk melihat Agung."Kenapa Mas Agung? Kok gak ada?" gumamnya saat mendapati Agung tak ada di tempat yang tadi.Intan pun segera mencari Agung. Sayup-sayup terdengar suara Agung tengah berbicara dengan seseorang di luar rumah. Intan pun mengintip dari balik jendela dan ternyata Agung tengah berbicara di telepon dengan seseorang."Kok Mas Agung sampai ketawa begitu? Memangnya dia lagi ngobrol sama siapa, ya? Apa aku samperin aja?"Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Intan memberanikan diri menghampiri suaminya di depan."Yah ..." panggil Intan.Mendengar Intan memanggil, Agung buru-buru mematikan sambungan teleponnya dan menyembunyikan ponselnya di belakang punggung. Hal itu tentu saja membuat Intan curiga."Telepon siapa, Yah? Asyik benar sepertinya. Sampai-sampai gak masuk kamar padahal aku udah nunggu dari tadi," protes Intan."Bukan siapa-siapa cuma teman. Memangnya mau apa nungguin segala?" jawab Agung dengan ketus."Ya bicara soal masalah kita, Yah. Soal uang yang tadi juga," kata Intan."Aku capek mau tidur!" Agung masuk ke dalam rumah dan memilih tidur di kamar yang satunya."Kenapa suamiku jadi begini, Ya Allah?"***Pagi harinya Intan bangun seperti biasa. Dia mengurus anak-anak dan juga memasak. Saat dia tengah memandikan anak yang paling kecil, suara motor Agung terdengar. Buru-buru saja Intan melihatnya. Tapi sayang Intan terlambat karena suaminya sudah berangkat untuk bekerja.[Kok langsung berangkat tanpa sarapan dulu,Yah?] Intan mengirim pesan kepada Agung.Padahal dia sudah masak makanan kesukaan Agung. Ini adalah kali pertama Agung pergi tanpa makan dan tanpa berpamitan terlebih dahulu.Sampai siang hari pesan dari Intan tak kunjung dibalas. Dia pun berinisiatif untuk menelepon Agung saat jam-jam istirahat. Tapi nyatanya tidak diangkat juga oleh Agung.Inilah yang kemarin ditakutkan oleh Intan. Nyatanya hal ini terjadi juga. Tidak mau jujur juga Intan bingung dapat uang darimana. Jujur juga dia tetap kena getahnya.Tagihan dua pinjaman online kurang satu hari lagi. Sudah puluhan kali debt collector menelepon nomor Intan. Tapi Intan masih bisa tenang karena jatuh temponya masih besok. Walaupun sudah diberi uang oleh Agung untuk membayar pinjaman online nya, Intan masih enggan menggunakan uang itu karena belum tahu seluk-beluk uang itu. Dia masih menunggu penjelasan dari Agung soal asal-usul uang yang jumlahnya tidak sedikit itu."Yeay ayah pulang!" Abid berteriak kegirangan karena ayahnya pulang lebih awal.Intan yang mendengar suara anaknya pun melihat ke depan. Dan benar saja Agung pulang tapi jalan kaki."Motor Ayah kemana?" gumamnya.Agung masuk ke dalam rumah dan memberikan ayam krispi kepada anaknya untuk dimakan. Tentu saja Abid senang karena sudah jarang sekali ayahnya membelikan ayam seperti ini."Sudah sana dimakan sama adik!" suruh Agung."Makasih, Ayah!"Intan merasa aneh dengan semua perubahan sikap Agung. Lebih aneh lagi sekarang suaminya itu malah seperti orang yang banyak uang."Motornya Ayah kemana? Kok tumben pulang cepat?" tanya Intan setelah anak-anaknya fokus pada makanan yang dibawa sang ayah."Siapkan baju-bajuku ke dalam tas untuk tiga hari ke depan. Aku ada kerjaan di luar," kata Agung tanpa menjawab pertanyaan Intan."Kerjaan di luar apa, Yah? Ayah ganti pekerjaan? Aku sejak semalam ingin tahu uang itu darimana, Yah?""Kamu gak usah banyak tanya! Pokoknya kamu bayarkan hutangmu karena aku gak mau ada yang datang ke rumah atau menghubungiku untuk menagih.""Ayah masih marah sana aku? Sikap Ayah jadi berubah.""Kalau kamu gak mau siapin bajuku, ya sudah aku sendiri saja yang siapin!" Lagi-lagi Agung berkata dengan ketus.Apa salah jika seorang istri ingin suaminya lebih perhatian kepadanya? Memang diakui Intan komunikasi antara mereka kurang intens. Inilah yang menjadi penyebab semua kejadian ini.Setelah selesai, Agung pergi begitu saja dengan berjalan kaki. Intan berlari mengejar Agung untuk meminta penjelasan. Tapi bukannya dijelaskan tapi Intan malah didorong hingga dia terjatuh."Yah!" Intan berteriak sekeras mungkin hingga mengundang perhatian warga yang lewat.Ada seorang ibu-ibu yang mengenal Intan menghampirinya dan mengelus pundak Intan."Pulang dulu, Bu Intan. Gak enak dilihat warga yang lain." Ibu itu membantu Intan berdiri dan mengantar Intan sampai rumahnya."Perlu saya temani, Bu Intan?" tanya ibu yang mengantarnya."Tidak perlu, Bu. Terima kasih sudah mengantar saya, Bu," jawab Intan. Ibu itu pun pergi meninggalkan rumah Intan tanpa mau tahu ataupun mencampuri urusan rumah tangga orang lain."Apa kamu yakin akan ikut aku?" tanya seseorang kepada Agung. Saat ini Agung sudah berada di dalam mobil bersama seseorang."Ya, aku yakin," jawab Agung mantap."Oke. Ayo jalan, Pak Sopir!"Agung terpaksa menolong wanita yang menjadi pelanggannya tadi. Tak tega juga rasanya meninggalkan dia dalam kondisi sakit. “Di sini saja, Mas!” ucap wanita yang bernama Dona itu. Perlahan, Agung menurunkan Dona di atas tempat tidur. Karena merasa sudah tidak dibutuhkan lagi bantuannya, Agung pamit untuk pulang. “Tunggu, Mas! Bukankah tadi aku sudah bilang akan membayar kamu karena pertolonganmu ini. Kenapa mau pergi begitu saja?” Dona mencoba menghalangi Agung agar tidak pulang lebih dulu. “Tidak usah, Mbak. Saya ikhlas menolong Mbak. Gak enak juga lama-lama di sini. Nanti takutnya timbul fitnah, Mbak,” sahut Agung dengan kepala menunduk. “Gak usah takut, Mas. Di lingkungan sini aman kok. Dan tidak ada yang terlalu ‘kepo’ dengan urusan orang lain.” Seulas senyum centil ditunjukkan oleh Dona. Dona terlihat sibuk dengan ponselnya. Dia menelpon seseorang untuk membelikan obat pijat untuk kakinya. Agung pun hanya diam mendengarkan. “Saya harus upah dengan apa, Mas? Katakan saya pad
“Kok tanya mau kemana, sih? Aku, kan, sudah memberimu uang yang kau minta. Jadi, sekarang giliran kamu untuk memenuhi kesepakatan kita,” sahut Dona.Gleg! Agung menelan ludahnya. Dia masih mengira jika Dona tidak sungguh-sungguh ingin dinikahi. Tapi, nyatanya sekarang dia menagih kesepakatan yang sudah dia buat bersama Dona. “Siapkah aku punya dua istri? Bagaimana nanti aku mencukupi keduanya? Satu saja aku masih tidak mampu,” tanya Agung dalam hatinya yang kembali ragu. “Kamu gak berubah pikiran, kan?” “Kalau sampai kamu berubah pikiran, aku akan menagih uang yang aku beri dengan bunga seratus persen!” ucap Dona seraya ada ancaman di kalimatnya. “Ti—tidak. Tentu saja tidak. Saya siap dan sangat siap!” Buru-buru Agung menjawabnya walaupun sedikit terbata. Dona tersenyum hingga menampilkan deretan giginya yang putih bersih. “Bagus! Kamu tidak perlu takut, nanti setelah menikah aku menuntutmu macam-macam. Aku hanya ingin kamu ada saat aku butuh. Soal biaya hidup, aku yang tanggung.
“Bukankah dia temannya Intan? Iya, bukan, sih?” gumam Agung. Dona tak sengaja mendengar gumaman Agung walaupun tak begitu jelas. “Kamu kenapa? Lihat siapa?” tanya Dona karena penasaran. “Oh enggak. Aku mau tanya, apa yang datang ini semua kenal dengan kamu? Semua teman kamu?” Dona menganggukkan kepala. Mereka bicara berbisik sambil menyalami tamu undangan yang naik ke atas panggung pelaminan. “Jadi, kamu tahu siapa perempuan yang pakai baju batik coklat itu?”“Batik coklat? Yang mana?” Kepala Dona mendongak dan berusaha mencari orang yang dimaksud oleh Agung. “Itu dia yang lagi berjalan ke arah sini. Dia pakai batik coklat dan bawahan yang senada. Itu teman istriku. Gawat kalau dia sampai tahu aku disini!” Agung mulai panik karena dia sekarang yakin jika benar kalau perempuan itu temannya Intan. Mereka pernah bertemu saat tak sengaja berpapasan di minimarket. “Oh itu!” Dona menunjuk ke arah perempuan yang dimaksud Agung. Agung pun membenarkannya dengan menganggukkan kepala. “Di
“Kesalahan apa yang aku buat sehingga kamu tega menyakitiku? Tidak ingatkah kamu jika kamu sudah ada Abid dan Aldo?” Dada Intan terasa sesak karena menahan air mata sejak tadi. Agung pun tak menyangka jika Intan tahu soal pernikahannya dengan Dona secepat ini. Dia tak tahu Intan dapat foto pernikahannya dengan Dona dari siapa. Tapi, Agung bisa menebak jika itu dari teman Intan. “Sudahlah aku mau istirahat saja. Toh aku mau bicara kamu juga tidak mau mendengar,” ucap Agung. Dia pun pergi masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam. Niat hati dia pulang ingin melepas rindu pada istri dan anaknya tapi malah berujung keributan. Waktu yang diberikan Dona untuknya hanya dua hari. Sehingga Agung harus bisa memanfaatkan waktu itu dengan baik. Sekarang dirinya sudah tidak bisa sebebas dulu jika ingin bersama dengan Intan. Hidupnya sudah separuh dikendalikan oleh Dona. Jika dia tidak menurut sedikit saja, Dona bisa-bisa marah besar dan mengusirnya dari rumahnya. Yang itu berarti dia har
“Ibu?” lirih Intan saat melihat mertuanya datang membawa tas besar. “Agung mana? Ibu mau minta uang. Kamu juga sekarang susah sekali dimintai uang. Apa jangan-jangan kamu lagi yang hasut anakku agar tidak memberikan Ibu uang lagi?” tuduh Ibu Siti begitu saja tanpa ba-bi-bu. “Mas Agung sedang tidak ada di rumah, Bu. Kami memang sedang kesusahan, Bu. Bukan maksud aku menghalang-halangi Mas Agung memberikan Ibu uang,” sanggah Intan dengan kepala tertunduk. “Alah itu bisa-bisanya kamu saja, kan? Kamu dan anak-anakmu itu memang bisanya nyusahin aja! Andai dulu anakku tidak menikah dengan kamu, pasti hidupnya tidak seperti ini!” Bukan hanya sekali dua kali Intan mendengar keluhan mertuanya yang seperti itu. Wajar saja jika Ibu Siti tidak suka dengan Intan. Pasalnya, dulu Ibu Siti hendak menjodohkan Agung dengan perempuan kaya raya. Tapi sayang, Agung lebih memilih Intan daripada perempuan yang bahkan Agung belum sempat melihatnya. “Kami memang seda—”“Minggir!” Intan didorong begitu sa
“Aku tidak mau dimadu,” ucap Intan dengan sangat jelas. “Lalu, maumu apa? Aku sudah menikah dengan Dona dan itu tidak mungkin dibatalkan,” kata Agung. Ibu Siti berdecak lalu berkata, “Sudahlah terima saja nasibmu. Makanya jadi istri itu jangan hanya bisanya menyusahkan suami. Wajar saja anakku cari istri lain.”“Contohlah Dona ini. Selain cantik, dia juga pintar cari duit. Jangan hanya bisanya menghabiskan uang suami! Bahkan berhutang lagi,” sambung Ibu Siti. Mata Intan ke arah Agung. Dia tak menyangka jika Agung sudah mengatakan pada mertuanya kalau dia terjerat pinjol. Itu artinya Dona juga sudah mengetahuinya. “Apa kata Ibu? Aku habisin uang Mas Agung? Itu juga semua gara-gara Ibu!” timpal Intan dengan emosi. “Apa maksudmu, Intan?” tanya Agung. Ibu Siti terlihat agak panik. Gerak-gerik Ibu Siti makin menunjukkan kalau memang ada yang disembunyikan. Tapi hanya Intan yang menyadari hal itu. Dona hanya menjadi penonton setia di sana. Belum waktunya untuk Dona bicara. Intan terl
“Aku tak sudi tinggal bersama istri keduamu itu!” jawab Intan tegas. “Jangan egois, Intan. Kita tak punya pilihan lain. Kasihan anak-anak. Toh Dona juga tidak keberatan,” kata Agung. “Tentu saja tidak. Dengan senang hati pintu rumahku terbuka untuk istri pertama suamiku. Silahkan tinggal di rumahku!” Dona ikut menyahut. “Ibu juga boleh ikut tinggal di sana, kan Dona?” tanya Ibu Siti. “Tentu saja boleh. Sekarang pun boleh, Bu. Itu pun kalau Ibu mau,” jawab Dona dengan senyum lebar. “Mau dong! Bentar Ibu ambil tas Ibu dulu.” Ibu Siti begitu riang menerima ajakan Dona. Tak lama kemudian Ibu Siti keluar lagi dengan menenteng tas miliknya. Ibu Siti senang bukan main. Impian untuk memiliki menantu kaya raya akhirnya terwujud juga. Setelah semuanya siap, mereka berdua pun segera pergi dari saja. Tapi sebelum meninggalkan kontrakan Agung, Dona berkata,“Pintuku selalu terbuka untukmu, Intan. Silahkan datang kapan saja kamu mau.” Agung kembali meninggalkan Intan di sana bersama anak-a
“Bu, kenapa baju-baju Abid dimasukkan ke dalam tas?” Anak pertama Intan terbangun dan melihat Intan tengah beberes. Dengan cepat tangan Intan menghapus air matanya. Sudah cukup kedua anaknya melihatnya sedih dan menangis beberapa hari ini. Dia tak ingin mental kedua anaknya terganggu. “Gak apa-apa, Sayang. Kita harus pindah dari sini. Bude yang punya rumah sini sudah menjual rumahnya. Jadi, kita tidak bisa lagi menempatinya karena yang beli rumah ini akan datang,” jelas Intan dengan bahasa yang mudah dimengerti anak-anak. “Lalu kita mau tidur dimana, Bu?” tanya Abid lagi. “Nanti kita cari tempat untuk istirahat, ya, Nak. Abid sekarang ke kamar mandi dulu sambil cuci muka, ya. Ibu mau teruskan beres-beresnya.”Abid mengangguk lalu melaksanakan perintah ibunya. Anak sekecil itu sudah harus merasakan pahitnya kehidupan akibat ulah ibunya sendiri. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Saat ini Intan tak punya solusi apapun untuk masalahnya sendiri. Dia hanya bisa pasrah mengikut