Agung terpaksa menolong wanita yang menjadi pelanggannya tadi. Tak tega juga rasanya meninggalkan dia dalam kondisi sakit.
“Di sini saja, Mas!” ucap wanita yang bernama Dona itu.Perlahan, Agung menurunkan Dona di atas tempat tidur. Karena merasa sudah tidak dibutuhkan lagi bantuannya, Agung pamit untuk pulang.“Tunggu, Mas! Bukankah tadi aku sudah bilang akan membayar kamu karena pertolonganmu ini. Kenapa mau pergi begitu saja?” Dona mencoba menghalangi Agung agar tidak pulang lebih dulu.“Tidak usah, Mbak. Saya ikhlas menolong Mbak. Gak enak juga lama-lama di sini. Nanti takutnya timbul fitnah, Mbak,” sahut Agung dengan kepala menunduk.“Gak usah takut, Mas. Di lingkungan sini aman kok. Dan tidak ada yang terlalu ‘kepo’ dengan urusan orang lain.” Seulas senyum centil ditunjukkan oleh Dona.Dona terlihat sibuk dengan ponselnya. Dia menelpon seseorang untuk membelikan obat pijat untuk kakinya. Agung pun hanya diam mendengarkan.“Saya harus upah dengan apa, Mas? Katakan saya padaku. Nanti pasti saya kasih,” ucap Dona kepada Agung lagi.Mendengar kalimat itu, Agung kebingungan dan kembali teringat akan hutang yang dimiliki oleh Intan.“Bolehkah saya pin—pinjam uang, Mbak?” kata Agung dengan sangat hati-hati.Tak enak rasanya mengucapkan kalimat itu pada orang yang tak dikenal. Tapi, rasanya Agung juga tak tahu jalan keluarnya agar hutang istrinya itu lunas.Jika bukan Intan, mungkin saja Agung sudah marah dan pergi tanpa memikirkan hutang itu. Tapi karena dia berpikir Intan tanggung jawabnya, mau tidak mau Agung harus putar ot*k mencari solusi.“Butuh berapa memangnya? Dan untuk apa kamu pinjam uang, Mas?” tanya Dona penuh selidik.“Hem gak jadi, Mbak. Maaf. Kita, kan, gak kenal. Gak enak kalau saya pinjam uang. Apalagi uang yang mau aku pinjam jumlahnya sangat banyak.” Agung buru-buru menarik ucapannya.“Lho kenapa? Gak apa-apa kali, Mas. Sebutkan saja mau pinjam berapa. Nanti aku kasih sebagai ucapan rasa terima kasihku.”“Gak usah, Mbak. Biar nanti saya pinjaman di orang lain saja. Maaf saya permisi dulu, ya, Mbak.”Ketika Agung hendak pergi dari kamar, Dona terlihat turun dari ranjang dengan kesusahan dan menahan Agung dengan mencekal kuat tangan Agung.“Tolong jangan pergi! Temani aku di sini sebentar saja,” ucap Dona lirih. Dia menatap lekat mata Agung agar laki-laki di hadapannya itu luluh.“Jangan begini, Mbak! Saya harus pergi sekarang,” kata Agung sambil berusaha melepaskan cekalan tangan Dona.“Aku akan memberimu berapapun yang kamu mau. Tapi tolong jangan pergi dulu!” Mata Dona berkaca-kaca.Dari pandangan pertama saat bertemu dengan Agung tadi, Dona merasakan cinta. Ya, mungkin dia sudah g*la karena mencintai orang yang baru saja ditemui. Tapi, begitulah kenyataannya dan kali ini Dona tampak nekat karena langsung mengatakannya di depan Agung.“Aku tahu kamu sedang kesusahan. Aku akan bantu kamu. Aku mohon jangan pergi!” Kembali Dona mengiba pada Agung.Agung agak terkejut dengan kalimat Dona barusan. “Kenapa dia bisa tahu? Apa wajahnya semenyedihkan itu?” batin Agung.Melihat wajah Agung yang terkejut, membuat Dona semakin yakin jika Agung tengah kesusahan. Dan hal itu membuat Dona akan semakin mudah untuk merayu Agung.“Kamu butuh uang? Berapa? Sebutkan saja. Aku pasti akan kasih. Tapi, aku ada syarat yang harus kamu penuhi.”“Syarat? Syarat apa itu?” tanya Agung yang sebenarnya juga tergiur penawaran Dona.“Kamu harus menikah denganku,” balas Dona singkat.“Apa? Menikah? Maaf, Mbak, saya sudah punya istri. Tak mungkin saya menikah lagi.”“Kenapa tak mungkin? Mungkin saja! Aku mau kok jadi istri kedua. Aku juga mau kok menikah dibawah tangan. Lalu, apa yang kamu ragukan lagi?”Sebuah ‘penawaran’ yang sangat sulit untuk Agung. Dia memang sedang butuh uang banyak dan ot*knya sudah buntu karena tidak dapat pinjaman dimanapun. Tapi, apa harus dengan dia menikah lagi?“Bagaimana?” tanya Dona karena Agung diam untuk beberapa saat.“Memangnya kamu butuh apa? Uang? Butuh berapa?” tanya Dona lagi.“Ti—tiga puluh juta, Mbak,” jawab Agung agak terbata.Dona tertawa cukup keras dan membuat Agung heran. “Jangankan tiga puluh juta, lima puluh juta pun akan aku kasih. Tapi, dengan syarat yang tadi.”Terlihat Dona berjalan pincang ke arah meja disamping tempat tidurnya. Dia kemudian membuka laci yang paling atas. Dari dalam laci itu, Dona mengambil beberapa tumpukan uang dan diperlihatkan kepada Agung.“Gimana? Kamu masih gak percaya sama aku?” kata Dona.Melihat tumpukan uang kertas itu, mata Agung melotot. Dia menelan ludah seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.“Apakah aku sedang bermimpi?” katanya dalam hati.“Ah aku gak boleh tergoda! Kalau aku terima tawaran wanita ini, bagaimana dengan Intan dan anak-anak? Kasihan mereka,” batin Agung lagi.Gejolak batin Agung semakin kuat. Dia berusaha keras untuk tidak tergoda dan menerima tawaran dari Dona. Dia akan cari cara lain agar bisa menyelesaikan masalah istrinya.Agung balik badan dan meninggalkan Dona sendiri di dalam kamar. Terdengar Dona memanggil Agung. Tapi, Agung tidak terpanggil akan hal itu. Dia kembali menyalakan motornya dan segera pergi dari rumah Dona.Saat hendak keluar dari perumahan Dona, Agung tiba-tiba menghentikan motornya. Lima menit dia berdiam di sana.“Aaarggghh!” Agung mengerang kesal pada dirinya sendiri.“Saya mau terima tawaran mu itu.” Tiba-tiba saja Agung putar balik dan mengatakan hal itu kepada Dona.Senyum bahagia terlihat dari bibir Dona yang sudah menduga jika Agung akan kembali. Setelah membuat kesepakatan hitam di atas putih, Dona menyerahkan uang lima puluh juta kepada Agung.Tangan Agung tampak gemetar ketika menerima uang yang banyak. Sebelumnya dia tidak pernah memegang bahkan melihat uang segitu banyaknya.“Ingat, besok akan aku jemput di dekat rumahmu. Kamu akan ikut denganku beberapa hari,” kata Dona. Agung menganggukkan kepalanya tanda mengerti.“Sebenarnya uang itu untuk apa? Kenapa kamu butuh uang sebanyak itu?” tanya Dona penasaran.Mengalir lah cerita dari Agung yang tengah menghadapi permasalahan istrinya. Dona tampak geram mendengar cerita dari Agung.“Kamu yakin mau kasih uang itu untuk istrimu? Biarkan saja dia pusing memikirkan solusi dari masalah yang dia buat sendiri. Tapi, semua itu kembali kepada kamu, sih.”“Aku hanya gak tega dengan anak-anakku. Jika ibunya stres, mereka tidak akan terurus.”“Benar juga. Aku, kan, hanya mau kamu saja bukan dengan anak-anakmu.”Setelah menyimpan uang pemberian dari Dona, Agung pamit untuk pulang lebih dulu. Dona pun mengangguk dan mengingatkan kembali untuk hari esok.Hari berganti dengan cepat, Agung sudah dia jemput. Walaupun tadi sempat ada drama Intan mengejar Agung. Kini, Agung sudah berada di dalam mobil dengan Dona.“Kita mau kemana?”Masih menjadi pertanyaan bagi Bagas kepada Intan berubah pikiran. Ibu Lastri sama sekali tidak membantunya mendapat jawaban. “Dapat kerjaan? Dapat dimana? Kenapa bisa cepat sekali dapat kerjanya?” gumam Bagas saat di dalam mobil. “Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Ponsel yang aku berikan saja sampai dikembalikan. Aku harus cari tahu ada apa!” “Assalamualaikum!” Bagas masuk ke dalam rumah sambil mengucap salam. Ibu Dewi yang tengah bersantai pun menjawab dan melihat ke arah anaknya yang baru saja pulang. “Waalaikumsalam. Lho … kenapa kamu murung, Sayang? Ada masalah, kah, di rumah sakit?” tanya Ibu Dewi setelah menjawab salam. Hati dan pikiran Bagas lelah. Dia langsung berbaring di dekat Ibu Dewi. Kepalanya dia letakkan dipangkuan sang ibu. Tempat ternyaman yang Bagas punya saat ini. Matanya terpejam beberapa detik. “Kamu kenapa, Gas? Cerita sama bunda,” ucap Ibu Dewi lirih. “Bagas capek, Bun.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Setelah beberapa saat ada di pangkuan ibunya
Tak ada hanya didorong, Intan dijambak orang itu. Seorang perempuan berambut panjang dan berkulit putih. Intan sama sekali tidak mengenal perempuan yang ada di depannya itu. Sungguh sadis perbuatan perempuan itu karena dilakukan di depan anak Intan. Bahkan anak Intan sampai menangis melihat ibunya dianiaya orang asing. “Hey, perempuan gak tahu diri … jangan ganggu tunangan orang kamu, ya!” katanya. “Ganggu tunangan orang? Siapa? Aku saja tidak kenal kamu,” jawab Intan sembari menahan sakit dibagian telapak tangan yang lecet karena kena batu. “Jangan pura-pura gak ngerti kamu! Kamu, kan, yang kemarin bikin Bagas gak pulang tepat waktu?” sahut perempuan itu. Yap! Perempuan itu adalah Sintia, tunangan dari Bagas. Intan tidak tahu karena memang belum pernah bertemu dengan Sintia sebelumnya. “Astaghfirullah! Jadi Mas Bagas maksud kamu? Maaf, ya, aku gak meminta dia untuk menungguku. Aku juga tidak tahu kalau kamu tunangannya,” jelas Intan. “Satu lagi, aku tidak merebut Mas Bagas dar
“Jangan menuduh sembarangan kamu! Kalau tidak tahu ceritanya, gak usah sok tahu! Udahlah aku lagi males berdebat sama kamu.” Bagas mematikan teleponnya dengan perasaan kesal. Baru saja Sintia meneleponnya dan menuduh dirinya tengah berselingkuh. Tentu saja Bagas marah karena tuduhan itu tidak berdasar. Memang akhir-akhir ini hubungan mereka sedang tidak baik. Ada saja hal membuat keduanya bertengkar. Kata Ibu Dewi, itu merupakan ujian saat seseorang hendak menikah. Tapi, yang dirasakan Bagas bukan seperti itu. Sintia semakin semena-mena dan terkesan seperti anak kecil. Dia selalu ingin diprioritaskan tanpa mengerti kesibukan Bagas. Selesai menelepon Bagas duduk-duduk dulu di depan ruangan Intan. Dia mengontrol emosinya lebih dulu di sana sambil memikirkan permintaan Intan. Setelah dipikirkan, memang seharusnya Bagas sudah pulang. Tugasnya sebagai dokter tidak bisa ditinggalkan lama begitu saja.“Halo, Bay …” Bagas menelepon Bayu. “Ada apa, Gas? Intan gak apa-apa?” tanya Bayu. Sa
Bagas dan Bayu terkejut melihat beberapa polisi yang ikut masuk ke dalam bangunan kosong tersebut. Mereka bahkan tak tahu darimana arah polisi-polisi itu datang. “Berarti di dalam gawat, Gas. Kita tunggu saja sampai Sandi dan timnya selesai, ya,” ujar Bayu pada Bagas yang masih ingin masuk ke dalam menyusul Sandi. Setelah dipikir-pikir, Bayu ada benarnya juga. Biar bagaimanapun dia tak memiliki basic beladiri. Apalagi jika di dalam ada orang yang bersenjata. Memang lebih baik menunggu Sandi di luar. Tak berselang lama, ada suara tembakan yang membuat Bagas dan Bayu terkejut. Keduanya saling memandang dan menelan ludah. Situasi semakin menegangkan kala mereka mendengar suara tembakan untuk yang kedua kalinya. “Gimana ini, Bay? Aku tetap ingin masuk ke sana,” ujar Bagas. “Bahaya, Gas! Nyawamu bisa jadi taruhannya. Kita tunggu saja di sini,” jawab Bayu. Bagas menuruti ucapan Bayu walaupun dia sebenarnya tak tenang. Tapi, lima belas menit kemudian dia sudah tidak tahan dan memilih
Agung sudah hampir sampai di rumah Dona. Tapi, saat dia sudah dekat, Agung melihat ada polisi tengah berdiri di depan rumah Dona. Sontak saja hal itu membuat Agung takut. Dia bersiap untuk lari. Namun naasnya, dia menginjak botol air mineral yang dia jatuhkan sendiri sampai menimbulkan bunyi. “Tangkap dia, Pak!” Kalimat ini yang didengar Agung berulang kali. Agung berlari tak tentu arah. Dia sama sekali tidak berani menoleh ke belakang. Dia terus saja berlari walaupun sebenarnya kakinya sudah capek. Setelah berlari hampir setengah jam, akhirnya Agung bisa tertangkap juga. Dia menyerah karena benar-benar sudah tidak kuat berlari lagi. Dua polisi tersebut langsung membawa Agung ke mobil polisi lalu diinterogasi. Terlihat Bayu dan Bagas sudah menunggu di sana. “Mana Intan?!” seru Bagas. Bogem mentah hampir saja melayang di pipi Agung kalau tidak dicegah pak polisi.“Sabar! Belum tentu juga mas ini tersangkanya. Dengarkan dulu saja,” ucap Bayu. Dia juga ikut menenangkan Bagas. Walau
“Ada apa, Bay?” tanya Bagas yang sudah menyusul. “Intan dibawa mobil itu, Gas. Ayo kita kejar mereka!” Bayu dan Bagas langsung berlari menuju mobil. Secepat kilat Bayu berusaha mengejar mobil berwarna hitam yang membawa Intan. Keduanya sama-sama tegang dan fokus ke depan. “Cepat kejar, Bay! Jangan sampai kita kehilangan mereka!” Bayu mengangguk dan tetap fokus mengemudi. Di tengah-tengah pengejaran, ponsel Bagas selalu berbunyi. Ada pesan masuk yang sangat banyak dan juga panggilan dari Sintia. Tak ingin terganggu dengan panggilan Sintia itu, Bagas memutuskan untuk menonaktifkan ponselnya. “Kok aku ada firasat kalau itu suaminya Intan, ya, Gas,” kata Bayu di sela-sela mengemudi. “Aku gak tahu, Bay. Tapi, kenapa dia melakukan itu? Apa alasannya?”Keduanya terus bicara. Semakin mereka banyak bicara membuat Bayu tidak konsentrasi hingga dirinya menabrak tiang listrik di pinggir jalan. Karena hal itu, mereka kehilangan jejak mobil yang membawa Nirmala. “Maafin aku, Gas,” ucap Bayu