Share

Bab 6. Kesepakatan

Agung terpaksa menolong wanita yang menjadi pelanggannya tadi. Tak tega juga rasanya meninggalkan dia dalam kondisi sakit.

“Di sini saja, Mas!” ucap wanita yang bernama Dona itu.

Perlahan, Agung menurunkan Dona di atas tempat tidur. Karena merasa sudah tidak dibutuhkan lagi bantuannya, Agung pamit untuk pulang.

“Tunggu, Mas! Bukankah tadi aku sudah bilang akan membayar kamu karena pertolonganmu ini. Kenapa mau pergi begitu saja?” Dona mencoba menghalangi Agung agar tidak pulang lebih dulu.

“Tidak usah, Mbak. Saya ikhlas menolong Mbak. Gak enak juga lama-lama di sini. Nanti takutnya timbul fitnah, Mbak,” sahut Agung dengan kepala menunduk.

“Gak usah takut, Mas. Di lingkungan sini aman kok. Dan tidak ada yang terlalu ‘kepo’ dengan urusan orang lain.” Seulas senyum centil ditunjukkan oleh Dona.

Dona terlihat sibuk dengan ponselnya. Dia menelpon seseorang untuk membelikan obat pijat untuk kakinya. Agung pun hanya diam mendengarkan.

“Saya harus upah dengan apa, Mas? Katakan saya padaku. Nanti pasti saya kasih,” ucap Dona kepada Agung lagi.

Mendengar kalimat itu, Agung kebingungan dan kembali teringat akan hutang yang dimiliki oleh Intan.

“Bolehkah saya pin—pinjam uang, Mbak?” kata Agung dengan sangat hati-hati.

Tak enak rasanya mengucapkan kalimat itu pada orang yang tak dikenal. Tapi, rasanya Agung juga tak tahu jalan keluarnya agar hutang istrinya itu lunas.

Jika bukan Intan, mungkin saja Agung sudah marah dan pergi tanpa memikirkan hutang itu. Tapi karena dia berpikir Intan tanggung jawabnya, mau tidak mau Agung harus putar ot*k mencari solusi.

“Butuh berapa memangnya? Dan untuk apa kamu pinjam uang, Mas?” tanya Dona penuh selidik.

“Hem gak jadi, Mbak. Maaf. Kita, kan, gak kenal. Gak enak kalau saya pinjam uang. Apalagi uang yang mau aku pinjam jumlahnya sangat banyak.” Agung buru-buru menarik ucapannya.

“Lho kenapa? Gak apa-apa kali, Mas. Sebutkan saja mau pinjam berapa. Nanti aku kasih sebagai ucapan rasa terima kasihku.”

“Gak usah, Mbak. Biar nanti saya pinjaman di orang lain saja. Maaf saya permisi dulu, ya, Mbak.”

Ketika Agung hendak pergi dari kamar, Dona terlihat turun dari ranjang dengan kesusahan dan menahan Agung dengan mencekal kuat tangan Agung.

“Tolong jangan pergi! Temani aku di sini sebentar saja,” ucap Dona lirih. Dia menatap lekat mata Agung agar laki-laki di hadapannya itu luluh.

“Jangan begini, Mbak! Saya harus pergi sekarang,” kata Agung sambil berusaha melepaskan cekalan tangan Dona.

“Aku akan memberimu berapapun yang kamu mau. Tapi tolong jangan pergi dulu!” Mata Dona berkaca-kaca.

Dari pandangan pertama saat bertemu dengan Agung tadi, Dona merasakan cinta. Ya, mungkin dia sudah g*la karena mencintai orang yang baru saja ditemui. Tapi, begitulah kenyataannya dan kali ini Dona tampak nekat karena langsung mengatakannya di depan Agung.

“Aku tahu kamu sedang kesusahan. Aku akan bantu kamu. Aku mohon jangan pergi!” Kembali Dona mengiba pada Agung.

Agung agak terkejut dengan kalimat Dona barusan. “Kenapa dia bisa tahu? Apa wajahnya semenyedihkan itu?” batin Agung.

Melihat wajah Agung yang terkejut, membuat Dona semakin yakin jika Agung tengah kesusahan. Dan hal itu membuat Dona akan semakin mudah untuk merayu Agung.

“Kamu butuh uang? Berapa? Sebutkan saja. Aku pasti akan kasih. Tapi, aku ada syarat yang harus kamu penuhi.”

“Syarat? Syarat apa itu?” tanya Agung yang sebenarnya juga tergiur penawaran Dona.

“Kamu harus menikah denganku,” balas Dona singkat.

“Apa? Menikah? Maaf, Mbak, saya sudah punya istri. Tak mungkin saya menikah lagi.”

“Kenapa tak mungkin? Mungkin saja! Aku mau kok jadi istri kedua. Aku juga mau kok menikah dibawah tangan. Lalu, apa yang kamu ragukan lagi?”

Sebuah ‘penawaran’ yang sangat sulit untuk Agung. Dia memang sedang butuh uang banyak dan ot*knya sudah buntu karena tidak dapat pinjaman dimanapun. Tapi, apa harus dengan dia menikah lagi?

“Bagaimana?” tanya Dona karena Agung diam untuk beberapa saat.

“Memangnya kamu butuh apa? Uang? Butuh berapa?” tanya Dona lagi.

“Ti—tiga puluh juta, Mbak,” jawab Agung agak terbata.

Dona tertawa cukup keras dan membuat Agung heran. “Jangankan tiga puluh juta, lima puluh juta pun akan aku kasih. Tapi, dengan syarat yang tadi.”

Terlihat Dona berjalan pincang ke arah meja disamping tempat tidurnya. Dia kemudian membuka laci yang paling atas. Dari dalam laci itu, Dona mengambil beberapa tumpukan uang dan diperlihatkan kepada Agung.

“Gimana? Kamu masih gak percaya sama aku?” kata Dona.

Melihat tumpukan uang kertas itu, mata Agung melotot. Dia menelan ludah seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.

“Apakah aku sedang bermimpi?” katanya dalam hati.

“Ah aku gak boleh tergoda! Kalau aku terima tawaran wanita ini, bagaimana dengan Intan dan anak-anak? Kasihan mereka,” batin Agung lagi.

Gejolak batin Agung semakin kuat. Dia berusaha keras untuk tidak tergoda dan menerima tawaran dari Dona. Dia akan cari cara lain agar bisa menyelesaikan masalah istrinya.

Agung balik badan dan meninggalkan Dona sendiri di dalam kamar. Terdengar Dona memanggil Agung. Tapi, Agung tidak terpanggil akan hal itu. Dia kembali menyalakan motornya dan segera pergi dari rumah Dona.

Saat hendak keluar dari perumahan Dona, Agung tiba-tiba menghentikan motornya. Lima menit dia berdiam di sana.

“Aaarggghh!” Agung mengerang kesal pada dirinya sendiri.

“Saya mau terima tawaran mu itu.” Tiba-tiba saja Agung putar balik dan mengatakan hal itu kepada Dona.

Senyum bahagia terlihat dari bibir Dona yang sudah menduga jika Agung akan kembali. Setelah membuat kesepakatan hitam di atas putih, Dona menyerahkan uang lima puluh juta kepada Agung.

Tangan Agung tampak gemetar ketika menerima uang yang banyak. Sebelumnya dia tidak pernah memegang bahkan melihat uang segitu banyaknya.

“Ingat, besok akan aku jemput di dekat rumahmu. Kamu akan ikut denganku beberapa hari,” kata Dona. Agung menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

“Sebenarnya uang itu untuk apa? Kenapa kamu butuh uang sebanyak itu?” tanya Dona penasaran.

Mengalir lah cerita dari Agung yang tengah menghadapi permasalahan istrinya. Dona tampak geram mendengar cerita dari Agung.

“Kamu yakin mau kasih uang itu untuk istrimu? Biarkan saja dia pusing memikirkan solusi dari masalah yang dia buat sendiri. Tapi, semua itu kembali kepada kamu, sih.”

“Aku hanya gak tega dengan anak-anakku. Jika ibunya stres, mereka tidak akan terurus.”

“Benar juga. Aku, kan, hanya mau kamu saja bukan dengan anak-anakmu.”

Setelah menyimpan uang pemberian dari Dona, Agung pamit untuk pulang lebih dulu. Dona pun mengangguk dan mengingatkan kembali untuk hari esok.

Hari berganti dengan cepat, Agung sudah dia jemput. Walaupun tadi sempat ada drama Intan mengejar Agung. Kini, Agung sudah berada di dalam mobil dengan Dona.

“Kita mau kemana?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status