Meski yang bertugas di lampak kecil tetap merasa berat melangkah, mereka tetap bertahan. Kini Cepot juga merasakannya. "Beneran berat, Bos." kali ini Iman percaya."Sekarang banyakin kocokan di lampak besar."Iman meminta yang bertugas di papan lebih banyak memilih nomor di lampak besar untuk dikocok. "Bagaimana kalau lampaknya penuh, Bos?""Itu 'kan baru kalau. Nyatanya lampak Kita nggak pernah penuh bulan - bulan terakhir ini.""Ini 'kan kalau, Bos.""Nanti Aku bantuin. Rewel banget, sih?" sungut Iman. Tapi ia berharap lampaknya akan penuh lagi seperti dulu. "Maaf ya para sedulur." Ia juga meminta pemancing yang duduk di lampak kecil agar lebih bersabar. "Nambaha orang aja atuh, Bos!" tetap saja para pemancing itu complain. Mereka itu memang selalu ingin cepat. Iman hanya dapat tersenyun pahit. "Jangan nambah orang ya, Bos."Anak - anak itu sendiri yang tidak mau orangnya ditambah karena penghasilan mereka lebih sedikit karena harus dibagi 4."Memang nggak bisa terus begini, Bo
"Papah kok lebih ngebelain mereka, sih? Mereka itu cuma sementara, Pah. Kalau renovnya udah selesai mereka juga nggak mancing lagi di sini.""Nah, itu Mamah tau. Kita manfaatin aja yang 3 hari ini. Lampak penuh, Mah. 2 season! Udah lama Kita nggak begitu.""Tapi cuma 3 hari, Pah. Bagaimana kalau pemancing Kita yang memilih pergi?""Nggak akan, Mah. Mereka pemancing - pemancing setia Kita. Udah tahunan mereka di sini."Meski tidak suka, Nisa tidak ingin berdebat lagi. Ia hanya berharap para pemancingnya tidak benar - benar 77kabur ke tempat lain gara - gara ini."Apalagi orang gila itu ada terus!" dengusnya sebal. Anet harus datang lebih awal karena Ina tidak mau menghadapi mereka sendirian."Sebel, Net. Mereka itu udah samanya sama yang punya empang.""Sama gimana, Bu?" Anet bertanya meski ia sudah dapat menebak jawabannya. Ina memiringkan telunjuk di dahinya. "Sinting, gila, miring." Anet tertawa. Ia menyerahkan kopi pada orang di depannya sambil bertanya, "Nama Abang siapa?""Ko
Anet tersenyum. Ia berusaha menahan dirinya agar tetap bersikap sopan. "Manusia tempatnya lupa, Bang. Maaf.""Tulisin aja, deh. Nabilla, kopi susu." mata Anet membulat tapi ia tetap menulis. Jadi yang namanya Nabilla itu laki - laki? "Itu nama anak Saya." seperti dapat menebak jalan pikiran Anet orang itu langsung menjelaskan. Ina yang sudah membuatkan kopi susunya langsung memberikannya."Ini, Bapaknya Nabilla." orang itu nengambil gelas itu tanpa menjawab sepatah katapun. "Jutek amat." sembur Ina. Anet tertawa. "Untung ini hari terakhir mereka di sini." Ina dan Anet merasa lega. Lain halnya dengan Iman. Meski Ia harus rela bertugas di papan karena yang bertugas di lampak kecil mesti 2 orang karena ia tidak ingin mengecewakan mereka. Iman senang melihat pemancingannya penuh.Para pemancing itu bahkan meminta melanjutkan ke season 3, tapi Iman menolaknya."Maaf, di sini cuma ada 2 season." Itu membuat anak - anak buahnya lega. Mereka pikir Iman akan menuruti para pemancing itu.
Mereka menerima hasil pembagiannya dengan senang. Hari ini Iman hanya mengambil sedikit, 2 hari kemarin ia membaginya sama rata. "Bos udah ketularan bu Nisa." bisik Cepot. Keduanya mengangguk setuju. "Besok Kita kembali lagi seperti semula.""Iya. Tapi kok rasanya lebih tenang, ya.""Iya. Mereka belagu - belagu banget.""Tapi mereka juga nguntungin Kita.""Cuma 3 hari.""Disyukurin aja." Catur mengangguk. Iya, semua itu harus disyukuri, meskipun sebentar. Meskipun cuma sedikit. Apalagi 3 hari ini mereka cukup banyak mendapatkan uang. Catur menepuk jidatnya dengan keras. Cepot dan Anda tentu saja terkejut. "Dasar nggak tahu bersyukur!" umpatnya pada diri sendiri. Cepot dan Anda tertawa. "Memang manusia itu selalu begitu, A. Selalu merasa kurang." Cepot menepuk bahu Catur."Akhirnya kembali lagi."Pemancingan kembali terlihat normal meski sebenarnya tidak. Ada beberapa pemancing yang tidak kembali sementara pemancing pendatang tidak ada yang menetap sama sekali."Bener - bener ngga
Nisa tersenyum. Ia merasa sangat senang tapi ia harus lebih memastikan lagi."Tapi jangan yang genit ya, Na. Nggak boleh pakai baju terbuka. Nggak boleh pakai celana pendek..""Emang Aku nyari jablay?" potong Ina. Nisa mengangkat alisnya. "Bukan, ya?" mereka kembali tertawa."Aku pasti kangen sama Kamu.""Jangan lebay, ah. Kayak jarak Kita ratusan kilometer aja. Rumah Kita cuma ratusan meter! Masih bisa jalan!""Ah, Kamu Na! Nggak tau Orang lagi melow." Nisa menyeka airmatanya dengan ujung lengan dasternya. Bagaimanapun Ia akan sangat kehilangan Ina. Ina menepati janjinya. Ia mencari pengganti dirinya dan membawanya ke warung Nisa untuk dapat langsung bekerja. Tapi..Waktu yang datang adalah gadis bohay dengan memakai celana jeans yang robek di sana sini, bahkan menyembulkan kulit pahanya yang putih, Nisa langsung menolaknya dan menyuruhnya pulang. Sedang Anet tidak dapat menahan mulutnya untuk tidak terbuka. Ia bingung. Darimana Ina membawa gadis itu? Ia cantik tapi terlihat dekil
"APA?!" serempak Ina dan Nisa berteriak. Mereka langsung bergidig ngeri. Apalagi Ina. Ia tinggal satu rumah dengan pembunuh? Dan di rumah Nisa sedang sendirian. Baru saja Iman pergi ke rumah Anto. "Barangkali ada kerjaan yang ada duitnya." begitu kata Iman tadi.Mereka menatap Rima dengan netra terbuka sebesar - besarnya. Rima tersadar telah membuat mereka takut. "Dalam pikiran Saya, Bu. Saya tidak ingin melihatnya lagi." "Ooh, syukurlah." mereka menghela nafas lega.Bugh!Ina menonjok bahu Rima. "Ngagetin aja!" omelnya. Nisa juga mengelus dadanya."Jadi bagaimana? Kamu siap kerja nanti malam?""Siap, Bu."Ina tersenyum."Mudah - mudahan Dia nggak ngecewain Kamu, Nisa.""Ya. Tapi Kamu juga tolong masuk dulu untuk ngajarin Dia, ya?""Kan ada Anet.""Yailah, segitunya. Udah nggak mau ke warung lagi ceritanya?" Nisa berlagak cemberut."Iya - iya! Sensi amat, sih?" Ina menoyor kepala Nisa. Rima memperhatikan semua itu dengan keheranan yang tidak dapat disembunyikannya. 'Mereka ak
"Cantik sekali." "Makasih.""Maksudku, bajunya yang cantik." Nisa tertawa. Ia senang Ina langsung mengenakan blouse darinya. "Ngeledek terus." Ina memonyongkan mulutnya. "Aku pulang, nih.""Iih, ngambekkan." Nisa mengalihkan perhatiannya pada Anet dan Rima yang diam - diaman padahal mereka saling berhadapan. Iman melewati warung untuk menuju papan. Sekilas ia melihat Rima dan Anet. Mereka benar - benar seperti seumuran."Pah, sini dulu." Nisa menarik tangan Iman. "Ini Rima." Nisa mengenalkan Rima pada suaminya. Iman hanya mengangguk sebelum melanjutkan langkahnya. Nisa kembali melihat Rima dan Anet. Mereka terlihat canggung. Tidak ada yang berani untuk mulai menyapa lebih dulu."Kok pada diam, sih? Kenalan, dong?!" Ina mendorong Rima. "Rima.""Anet." mereka saling melempar senyum. Di mata Anet Rima sekarang terlihat jauh lebih bersih. Bahkan rambutnya dipotong pendek. Ia jadi seperti anak laki - laki. Anak laki - laki yang cantik. "Kamu ajarin Dia ya, Net?" Anet mengangguk."Sa
Kembali dulu pada keadaan sekarang, ya? saat Nisa dan Iman sudah kehilangan pemancingannya dan menjadi terpuruk seperti sekarang ini. "Sari sakit." Yanti memberi kabar buruk. Ia baru pulang mengantarnya berobat."Ada benjolan di payudaranya." Nisa terkejut. Benjolan? Kanker? Bayangan mengerikan berkelebat di kepala Nisa. "Sudah berobat, Teh?" Yanti mengangguk."Udah. Tadi Aku ikut nganterin berobat sama Teh Yanah. Katanya tumor. Nggak tau ganas atau ji.." tanpa bicara lagi Nisa berlari ke rumah Sari. "Et! Kenapa, sih? Main pergi - pergi aja!" gerutu Yanti. Ia bangun dan ikut berjalan keluar. Ia tahu Nisa pasti pergi ke rumah Sari, rumah petak paling ujung di seberang empang Nisa dan Iman. Nisa masuk setelah mengucapkan salam. Sari sedang berbaring di sofa. Ada Yanah juga di sana. "Teteh bagaimana?" tanya Nisa. "Teteh nggak papa, Nisa.""Bohong!" sela Yanah kesal. "Dia itu harus dioperasi! Biar tau tumornya ganas apa enggak! Malah nggak mau!" ketus Yanah lagi. "Teteh kenapa