Masuk"Aku nggak pernah tidur dengan lelaki lain, Mas. Hanya denganmu. Ini pasti anakmu!" "Aku mandul, kamu jangan membodohiku! Sekarang pergi dari hadapanku! Mulai detik ini kamu bukan istriku lagi, Senja. Kita cerai!" Kehamilan yang datang di tahun kelima pernikahan, menjadi petaka dalam rumah tangga Senja Pramudita dan Rivandi Alvaro. Senja tak pernah berkhianat, tetapi kondisi sang suami yang mandul membuatnya tak bisa mengelak dari tuduhan perselingkuhan. Apalagi tes DNA juga menunjukkan bahwa anak yang dikandungnya memang bukan anak Rivan. Lantas, siapa yang telah menghamilinya?
Lihat lebih banyak"Kamu hamil anak siapa, Dek? Katakan kamu hamil anak siapa!"
Rivan menatap sang istri dengan nyalang. Kilatan amarah terlihat jelas di wajahnya. Berikut dengan bentakan dan cengkeraman kuat, tak peduli meski istrinya meringis sakit. "Mas ... kamu ini kenapa? Aku hamil anakmu, Mas." "Bohong! Kamu pasti selingkuh!" sahut Rivan masih dengan intonasi tinggi. Lantas, ia langsung mendorong tubuhnya hingga membentur dinding. "Mas!" Tangis Senja berderai. Lima tahun menikah, punya anak adalah impian terbesarnya. Namun, entah mengapa sang suami malah murka ketika ia memberitahukan kehamilannya. Tes pack sampai terlempar entah ke mana karena reaksi yang kasar barusan. "Jawab, Dek! Anak siapa yang kamu kandung?" Sekali lagi Rivan mempertanyakan kejujuran Senja. Akan tetapi, wanita itu hanya bisa menangis. Karena sebenarnya, dia memang tidak pernah selingkuh. Lima tahun ini, ia tetap menjadi istri yang setia. "Brengsek kamu, Dek! Mati-matian aku kerja keras untuk mencukupi kebutuhanmu. Tapi, ternyata kamu malah selingkuh di belakangku! Mura-han kamu, Dek!" "Aku nggak pernah selingkuh, Mas. Ini—" Senja gagal mengutarakan pembelaan, karena tamparan keras mendarat di pipi kanannya, menyisakan rasa panas dan perih. Untuk pertama kalinya Rivan main tangan padanya. "Sini! Ikut aku! Akan kutunjukkan buktinya kalau itu bukan anakku!" Rivan berkata sambil menarik kasar tangan Senja. Wanita itu kesulitan mengimbangi langkah Rivan. Namun, Rivan tak peduli. Tangan Senja terus ditarik dengan kuat, sampai berbekas merah di pergelangannya. Seolah tak mendengar rintihan dan permohonan Senja, Rivan mengempas tubuh sintal itu ke atas ranjang dengan kasar. Perut Senja sampai mulas karenanya. Kehamilannya baru memasuki bulan kedua, masih rentan dengan segala tekanan. Namun, seperti kerasukan setan, Rivan tak menatap Senja sedetik pun. Ia malah fokus mengacak-acak laci meja yang berisi dokumen-dokumen penting. Lantas, ia kembali berbalik setelah menemukan dokumen yang dicarinya. Sebuah surat hasil pemeriksaan dokter terkait kesuburannya. "Lihat baik-baik, Dek! Kamu ngotot hamil anakku, padahal jelas-jelas aku ini mandul!" Rivan membentak, sembari melemparkan kertas hasil pemeriksaan itu ke wajah Senja. Sontak, Senja kaget dan tak percaya. Bagaimana mungkin Rivan mandul, sedangkan saat ini dirinya hamil anak lelaki itu. Dengan perasaan dan pikiran yang kacau, Senja meraih kertas tersebut dan membacanya. Sepasang mata itu pun membelalak setelah mendapati kata demi kata yang terangkai menjadi kalimat di sana. Benar apa yang dikatakan Rivan barusan. Dari hasil pemeriksaan dokter, dinyatakan jelas bahwa Rivandi Alvaro mandul dan tidak akan bisa punya anak. Tubuh Senja bergetar setelah membaca semuanya. Sekilas ia berharap keterangan itu palsu. Namun, melihat adanya stempel resmi dari rumah sakit terkait, mau tak mau Senja harus percaya kalau itu asli. Akan tetapi, bagaimana mungkin itu bisa terjadi? "Sekarang jelaskan padaku, Dek! Kamu selingkuh dengan siapa? Apa kurangnya aku sampai kamu melakukan itu dengan lelaki lain? Hah!" teriak Rivan dengan frustrasi. "Mas, aku berani bersumpah. Demi Allah aku nggak pernah mengkhianatimu, Mas! Hanya denganmu aku melakukan itu, Mas." Senja menangis histeris. Sesak dadanya mendapati sang suami meragukan kesetiaan yang ia jaga sekian lama. Sekali lagi Rivan melayangkan tamparan. Pipi Senja yang barusan sudah memerah, kini biru lebam karena kuatnya tangan Rivan. "Nggak usah bawa-bawa Allah! Kamu munafik! Mau menutupi perilaku be-jatmu dengan sok agamis. Iya!" "Tapi, aku memang nggak selingkuh. Tolong percaya padaku, Mas." "Percaya kamu bilang? Setelah ada bukti ini kamu masih memintaku percaya?" "Aku ... aku ...." "Setelah ini kita cerai saja! Aku nggak mau punya istri mura-han sepertimu!" "Mas!" Teriakan Senja tidak digubris. Rivan pergi begitu saja keluar kamar. Sedikit pun enggan menoleh dan melihat istrinya. Sebenarnya Senja berniat mengejar. Namun, keinginan itu urung karena tiba-tiba perutnya melilit sakit. Senja sampai tak bisa bergerak, bahkan untuk berdiri tegak saja ia kesulitan. "Ahhh!" Lantas Senja merintih dengan tiba-tiba, sendirian, sembari memegangi perutnya yang kian menusuk. Sampai kemudian, mata sembab itu membelalak tatkala melihat darah mengalir di kakinya. *** Senja terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Separuh tubuhnya ditutup selimut, sementara tangan kanannya dipasang infus. Ia nyaris saja keguguran. Beruntung Rivan dengan cepat membawanya ke rumah sakit. Sekarang, lelaki itu sedang duduk di samping Senja. Tatapannya tetap dingin. Tak ada senyum dan sirat kasih seperti biasanya. "Kamu lihat, Dek, meski itu bukan anakku, tapi aku masih mau membawamu ke sini. Kalau saja aku pendendam, sudah kubiarkan kamu berdarah-darah di kamar dan kehilangan anak itu," ucap Rivan, sangat pedas. Namun, Senja tak membantah. Tubuhnya masih terlalu lemah untuk berdebat, sekalipun itu untuk membela diri. Jadi, ia memilih diam dan menarik napas dalam-dalam, menenangkan perasaan yang masih kacau tak karuan. "Aku akan pulang dulu. Badan masih lengket, tadi belum sempat mandi." Tanpa menunggu persetujuan Senja, Rivan langsung bangkit dan beranjak pergi. Pertengkaran mereka tadi memang terjadi sewaktu Rivan baru pulang dari pabrik—tempatnya bekerja sebagai staf keuangan. Senja pikir, kehamilannya akan menjadi kejutan yang membahagiakan. Tak disangka, justru menjadi petaka dalam rumah tangganya. "Ya Allah, sebenarnya kenapa ini? Kenapa aku bisa hamil jika Mas Rivan mandul?" batin Senja sambil menitikkan air mata. Tangan kirinya dengan pelan mera-ba perut yang masih rata. Ada kehidupan baru di sana. Namun, ayah dari anak itu tak mengakuinya. Entah akan bagaimana nanti. "Ya Allah ... semoga hamba tetap kuat menerima ujian dari-Mu ini." Senja kembali membatin. Air matanya makin deras mengalir, membasahi pipi dan kerudung yang ia kenakan. Sesakit itu rasanya dituduh selingkuh oleh suami sendiri. Padahal, sekali pun ia tak pernah melakukannya.Bahkan, tercetus niat saja belum pernah. Rivan adalah lelaki pertama yang ia cintai. Tak ada hal lain yang lebih indah dibanding menikah dengan lelaki itu. Namun, siapa yang akan menduga kalau akhirnya akan seperti ini. Beberapa menit berselang, lamunan Senja dibuyarkan oleh kedatangan seseorang yang mengantarkan makan malam untuknya. Jatah dari rumah sakit. "Keluarganya di mana, Bu?" Senja menjawab gugup. "Masih pulang, mau mengambil sesuatu." "Oh, kalau begitu saya panggilkan suster saja ya, Bu. Soalnya infusnya di tangan kanan, Ibu nggak bisa makan sendiri. Kalau menunggu keluarga, takutnya lama, nanti keburu dingin." "Iya." *** Senja menghela napas berat, miris rasanya di rumah sakit sendirian. Setiap makan, minum obat, dan ke kamar mandi malah dibantu perawat. Rivan tidak muncul lagi setelah pulang kemarin malam. Sebagai yatim piatu yang kebetulan juga tidak punya mertua dan ipar, Rivan adalah satu-satunya keluarga Senja. Namun, entah ke mana lelaki itu. Sudah dua hari tiga malam ia belum datang lagi. "Bu, suaminya apa masih sibuk? Ini kondisi Bu Senja sudah baik loh, kemungkinan besar nanti siang sudah diizinkan pulang. Kalau suaminya belum bisa ke sini bagaimana nanti pulangnya, Bu?" Ditanya demikian, Senja hanya mengerjap cepat. Kemarin, ia sempat meminjam ponsel milik perawat dan menghubungi Rivan. Namun, nomor lelaki itu tidak aktif. Entah sengaja atau karena ponselnya kehabisan baterai. "Bu?" "Mmm, Sus, saya boleh pinjam HP-nya sebentar. Saya mau telfon suami, tapi kemarin tidak sempat bawa HP," ujar Senja. "Oh, silakan, Bu. Ini." Dengan harap-harap cemas, Senja menerima ponsel itu dan mulai menghubungi nomor Rivan. Untungnya dihafal di luar kepala. Lebih beruntung lagi, nomor itu aktif dan langsung direspon oleh sang empunya. "Mas, kamu di mana? Kata suster, kira-kira nanti siang aku boleh pulang." "Aku kerja, Dek. Di pabrik sibuk banget. Kamu pulang aja sendiri. Atau kalau mau aku jemput sore nanti, pulang kerja." Hati Senja kembali nyeri. Sejauh itu perubahan Rivan. Dulu, dia adalah lelaki berhati lembut dan penyayang. Namun sekarang, tampaknya sudah tak ada kepedulian dari lelaki itu. "Gimana?" "Pulang sore aja, Mas. Kamu jemput aku ya," sahut Senja. Tak ada pilihan. Bagaimana mungkin dia akan pulang sendiri, sementara uang seribu rupiah pun tidak membawa. Lantas, dengan apa ia membayar biaya administrasi dan transportasi nanti. Alhasil, dengan perasaan yang luar biasa sedihnya, Senja menunggu Rivan seharian. Hampir petang lelaki itu baru datang. Ekspresinya masih dingin dan datar. Baik saat melunasi administrasi, maupun ketika keduanya sudah duduk dalam satu mobil. Tak ada percakapan. Bahkan, dengan santainya Rivan tidak menanyakan bagaimana kabar Senja sekarang. Barulah ketika mereka tiba di rumah, Rivan bicara sambil melepas jasnya. "Aku lapar, tadi belum sempat makan." Senja langsung tanggap. Dengan ramah ia bertanya Rivan ingin makan apa, akan dia masakkan detik itu juga. "Apa saja asal kenyang." Senja sedikit bernapas lega karena Rivan tidak meminta masakan yang berat-berat. Kondisinya masih belum memungkinkan untuk berkutat lama-lama di dapur. Ayam goreng dan sambal tomat, menu simpel yang Senja masak sore itu. Sudah ada ayam bumbu di kulkas, jadi tinggal goreng. Tidak sampai setengah jam, hidangan sudah tersaji rapi di meja makan. "Ayam dan sambal ini aja? Nggak ada sayur atau kuah?" Senja terkesiap. Gerakannya yang hendak mencentong nasi terhenti seketika. "Buatkan sup sayur! Aku pusing, mau makan yang ada kuahnya." Rivan memberikan perintah sambil beranjak pergi, meninggalkan Senja yang mulai menitikkan air mata.Hati Senja seperti tersundut api. Panas, sakit, dan perih. Semudah itu Rivan mengakui Marissa sebagai calon istri. Lantas, dianggap apa dirinya selama ini? "Kita pisah baru hitungan hari, Mas. Kamu sudah ada calon istri?" "Memangnya kenapa? Kamu saja bisa hamil anak orang lain selagi kita masih suami istri, kan?" Rivan menjawab sarkas. Sikapnya jauh berbeda dari terakhir kali mereka bersama. "Mas! Aku nggak pernah selingkuh. Ini anakmu, bukan anak orang lain!"Senja mulai meninggikan intonasi. Sampai sekarang dia tetap tak rela jika Rivan menuduhnya berselingkuh, karena dirinya memang tak pernah melakukan itu. "Kamu kan sudah dengar sendiri bagaimana penjelasan dokter. Aku mandul, mustahil bisa menghamili kamu.""Tapi, aku beneran nggak selingkuh, Mas. Aku—""Sstt, cukup! Aku sudah muak dengan jawaban itu. Aku nggak mau lagi mendengarnya. Sekarang katakan saja, apa tujuanmu datang ke sini?" Sembari menepis perasaan sesaknya, Senja mengerjap cepat, berusaha menahan air mata yang t
Wanita yang mengaku Marissa, tersenyum seraya menyibakkan rambut panjangnya yang kecokelatan. Wanita itu tidak bertanya balik, seolah-olah sudah tahu siapa yang berdiri di hadapannya. "Mas Rivan di mana?" tanya Senja dengan suara yang setengah tercekat. Sebenarnya ia takut untuk bertanya lebih lanjut. Ia tak sanggup andai kenyataan sama persis dengan prasangka buruknya kala itu. "Dia masih tidur. Maaf ya, aku nggak bisa membangunkannya, semalam dia kecapekan banget.""Capek kenapa?" Marissa tertawa renyah. "Kamu yakin ingin tahu?"Senja melengos. Rasanya Marissa sedang menertawakan dirinya yang mungkin memang kalah telak. "Kamu dan Mas Rivan ada hubungan apa?" Bisa disebut pertanyaan bodoh. Namun, mau bagaimana lagi, Senja penasaran dan ingin tahu jawaban yang sebenarnya. "Senja Pramudita. Benar, kan, itu namamu?" Senja terdiam, sekadar memandang Marissa dengan nanar. "Bukannya kamu dan Rivan sudah cerai ya? Kok ... masih ingin tahu aja? Kamu sendiri yang selingkuh dan mengkh
Malam sudah menyapa. Lagi-lagi hujan setia mengguyur kota. Senja masih terbaring di ranjang rumah sakit. Meski sudah keluar dari IGD, tetapi dokter belum mengizinkannya pulang. Paling cepat masih besok sore, itu pun jika keadaannya terus membaik.Selama berjam-jam itu, Senja tak sendirian. Sama seperti hujan, Chandra juga masih setia menemaninya. Walau tak banyak interaksi, tetapi sikap lelaki itu menunjukkan kepedulian yang tinggi. Selain sigap memanggil perawat ketika Senja ingin ke kamar mandi, Chandra juga berinisiatif membelikan buah dan susu khusus ibu hamil. Padahal, sedikit pun Senja tak memintanya."Jangan repot-repot, Pak, saya sudah berterima kasih Anda mau menolong saya." Begitulah kata Senja tadi. Dia merasa segan mendapat perlakuan yang luar biasa baik dari Chandra."Tidak repot. Kebetulan aku keluar beli kopi." Seperti biasa, Chandra tanggapan Chandra terkesan tak acuh. Mungkin, memang itu ciri khasnya.Kini, dua orang itu masih terdiam di ruangan yang sama. Senja berba
Senja keluar dari toko perhiasan dengan langkah lunglai. Teriris sakit hatinya mendapati kenyataan yang ada. Cincin palsu, kemungkinan perhiasan lain juga palsu, artinya ia tak punya apa-apa lagi sekarang. Uang tinggal delapan ribu, bahkan untuk pulang pun tidak akan cukup. Lapar, haus, yang perlahan mulai menyergap, entah dengan apa Senja akan mengatasinya."Ya Allah, harus bagaimana sekarang?"Senja menggigit bibir, menahan sesak dan perih yang menuntutnya untuk menitikkan air mata. Tatapan yang nanar itu terus tertuju pada layar ponselnya yang sudah butut. Berkali-kali ia melakukan panggilan pada Rivan, tetapi hasilnya nihil. Nomor Rivan tetap di luar jangkauan.Entah karena dahaga yang dibiarkan atau pikiran yang penuh tekanan, tiba-tiba perut Senja terasa melilit. Luar biasa sakitnya. Senja merintih sendiri. Menghentikan langkah dan kemudian bersandar pada batang pohon pinang di tepi jalan.Senja memegangi perutnya yang makin sakit. Sialnya, kepala juga mendadak pusing dan pandan
"Kamu udah nengok Senja? Atau ... minimal telfon gitu?"Pertanyaan pertama yang dilontarkan Bima pada Rivan adalah seputar Senja. Bentuk kepedulian lelaki itu terhadap mantan istri temannya, yang memang patut dikasihani. "Untuk apa? Kami bukan suami istri lagi." Dengan angkuh Rivan mengisap rokok di tangannya. Terus menikmatinya dan tak acuh dengan tatapan Bima. Kini, keduanya sedang ada di sebuah cafe yang tak jauh dari pabrik. Mereka sengaja minum di sana sambil mengobrol, melepas penat setelah seharian berkecimpung dengan pekerjaan. "Kamu yakin akan sekejam ini, Van? Senja itu istrimu. Sebelumnya kamu juga mencintainya setengah mati. Sekarang sedingin ini, kamu nggak takut nyesel?" Bima ikut mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. Bukan untuk melepas penat, melainkan mengikis kegundahan karena cinta yang dipaksa patah sebelum mengepakkan sayapnya. Senja Pramudita, wanita yang berhasil mengusik hatinya pada pandangan pertama. Wanita yang sejak awal ia kenal sebagai pasangan
Tiga hari setelah resmi bercerai secara agama, Senja keluar dari rumah Rivan. Barang-barangnya sudah dikemas sejak semalam, tak ada yang tersisa. Perjanjian perceraian yang isinya tentang harta gono-gini pun sudah dia tanda tangani. Senja tidak meminta bagian rumah atau mobil. Ia sadar diri. Dulu rumah itu adalah warisan dari orang tua Rivan. Kalaupun renovasinya menghabiskan ratusan juta, bukankah nanti Rivan masih berlapang hati memberinya uang ganti. Begitu pun dengan mobil. Awal pembelian, selagi Rivan masih lajang. Sesudah menikah dengan Senja, hanya tersisa setahun angsuran. "Sudah, Dek? Nggak ada yang ketinggalan?" tanya Rivan. Ia bersiap mengantar Senja ke tempat barunya. "Nggak ada, Mas." Kemudian, keduanya bersama-sama masuk ke mobil. Lantas, meluncur meninggalkan rumah yang menyimpan berjuta kenangan itu. Lagi-lagi tidak ada percakapan di antara Rivan dan Senja. Mungkin sama-sama canggung dengan status yang bukan suami istri. Atau mungkin karena masing-masing menyimpan












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen