Di sinilah sekarang, Celina da Marisa. Di depan perusahaan Bara. Mereka akan bertemu dengan pria itu dan membicarakan semuanya secara baik-baik.
Bara akhir-akhir ini tidak lagi bertegur sapa dengan mereka seakan menghindar. Tangan Celina terkepal, Nadia berhasil menghasut tunangannya agar tidak ingin bertemu dengannya.
“Gue gak habis pikir dengan Nadia. Cewek itu hobi banget nyari masalah sama kita,” cibir Marisa. Celina seperti biasa, hanya diam sembari menampilkan wajah polosnya, yang terlihat natural tanpa make-up dan juga terlihat pucat.
Sebenarnya disini mereka yang salah. Selalu menjadi penghalang hubungan antara Bara dan Nadia, yang jelas-jelas sudah bertunangan dan saling mencintai.
Setelah Celina bangun dari pingsannya, Bara bergegas menelpon Nadia. Berniat berkata jujur kepada kekasihnya. Ia menyuruh mereka menutup mulutnya terlebih dahulu."Sayang!""Iya, Bar. Ada apa, hem?" tanya Nadia dengan suara sangat lembut, membuat tubuh Bara menegang. Jantung nya berdetak lebih cepat."Bara! Kenapa diem? Aku tanya ada apa?""Kamu sekarang di mana, sayang?" tanya Bara dengan gugup."Ada di panti asuhan Kasih Bunda. Aku sama kedua sahabat ku, lagi bagiin makanan untuk anak-anak. Oh ya, aku pakai kartu kamu, Bar. Nggak apa-apa, kan?""Gak apa-apa, Sayang.
Helaian nafas berat berasal dari perempuan cantik yang tengah menunggu tunangannya di sebuah halte di depan kampus. Bara akan menjemputnya siang ini. Namun mobil Bara belum juga terlihat. Nadia yang tadinya berdiri sekarang memilih duduk sambil memangku tas selempang nya. "Kemana sih, Bara? Awas aja kalau lima menit lagi, dia gak datang. Gue akan marah besar pokoknya." Nadia memilih memainkan smartphone mahalnya. Namun suara klakson mobil membuyarkan konsentrasi nya kembali. Ia segera berdiri, namun wajahnya kembali suram ketika mobil hitam di depannya bukan milik Bara. Melainkan dosennya sendiri. "Bapak ada masalah hidup apa dengan saya? Perasaan saya tidak pernah berulah dan selalu masuk di jam mata kuliah Bapak." Nadia langsung mengeluarkan unek-unek nya membuat dos
"Kenapa wajah kamu kusut seperti pakaian yang tidak pernah disetrika seperti itu, Nadia?" tanya sang mama ketika melihat putrinya tengah mengambil air dingin di dalam kulkas.Bella tengah memasak makanan kesukaan Nadia. Udang, seperti biasanya. Kalau tidak ada udang, Nadia tidak akan makan dan bahkan mogok makan untuk beberapa hari."Haus, Ma. Nadia baru pulang kuliah."Bella menuangkan masakannya ke atas piring. Ia melirik ke arah Nadia, tumben putrinya tidak merebutnya langsung. Biasanya, Nadia akan menyambar masakan kesukaannya dan makan dengan sangat lahap."Kamu kenapa sih, Nadia? Cerita sama, Mama?"Nadia menaruh botol minuman di atas meja. Nadi
Nadia berbaring di atas kasurnya dan menatap langit kamarnya. Ia beralih menatap bingkai foto di dinding. Foto ketika mereka tengah menyematkan cincin tunangan, malam itu.Nadia menghela nafas. Ia tersenyum kecut dan menitikkan air matanya. Membayangkannya saja, hanya bisa membuat hatinya sesak.Bara bahkan tidak menelponnya seperti biasa, untuk meminta maaf. Nadia yakin, Bara masih di rumah Celina untuk menunggu ekornya tertidur. Dan melupakan dirinya."Jahat kamu, Bar. Kemarin ketika aku sakit, kamu janji untuk jaga jarak dengan, Celina. Sekarang kamu ingkar kembali. Sebenarnya kamu anggap aku apa, hem?"Nadia menatap foto Bara yang berpose bersamanya. Nadia dari dulu memang tidak pernah memperbesar masalah
Nadia menepis tangan Bara yang menggenggamnya sedari tadi. Mungkin Nadia akan tersenyum manis di depan kedua orang tua nya. Tidak! Di luar rumah. Nadia belum memaafkan kejadian kemarin."Sayang! Kamu masih marah sama aku?" tanya Bara."Kamu gak mikir, Bar? Aku nungguin kamu satu jam, di halte sendirian dan keringetan karena kepanasan. Sedangkan kamu, malah asik dengan Celina."Bara mencoba meraih tangan Nadia kembali, untuk ia genggam. Namun Nadia menyembunyikan tangannya di balik tas punggung yang ia gunakan sekarang. Nadia menggunakan tas punggung hari ini, karena malas menggunakan tas selempang.Bara menghela nafas berat, "Tolong ngertiin aku, Sayang."
"Lo udah baikan sama, pak Bara?" tanya Lala. Bara kan sudah tua, jadi dirinya harus menggunakan embel-embel pak, apalagi Bara tunangan sahabat nya sekarang menjadi CEO perusahaan. Hanya Nadia dan Maya yang tidak sopan kepada yang lebih tua, hanya menyebut Bara dengan namanya saja."Gak sih, sebenernya. Gue hanya gak mau memperburuk keadaan, gue mau fokus skripsi. Gimana lo berdua? Udah di acc sama dosen?"Mereka mengangguk, membuat Nadia melebarkan matanya. Mereka akan wisuda lebih awal dan bersama-sama seperti impian mereka."Tapi gue sedih, yang jadi dosen pembimbing gue bu Nina, yang galak nya minta ampun. Bu Nina ngajar kita akuntansi dua semester dulu.""Sebenarnya bu Nina gak galak. Tapi beliau han
Nadia dengan kedua sahabatnya, tengah berkeliling mall, menikmati masa muda yang sangat menyenangkan. Mereka memakai hoodie persatuan berwarna pink, kesukaan Lala. Ingat! Hanya Lala yang menyukai warna ini, karena tidak ingin membuat Lala bersedih, mereka mengalah. Membuat Lala bersorak gembira dan memeluk Nadia dan Maya. Karena telah berkorban untuknya.“Kita jadi pusat perhatian,” ujar Nadia memperhatikan ke sekelilingnya. Banyak anak muda seumuran mereka yang, memperhatikan mereka secara terang-terangan. Mereka belum tahu saja, Nadia anak orang kaya dan juga dapat membeli mall ini langsung. Namun bukan dengan uangnya. Kan, kartu Bara ada padanya.Nadia tinggal menyodorkan kartu Bara dan membeli mall ini. Bara tidak akan berani marah kepadanya. Sebenarnya, menjadi kekasih Bara ada untungnya. Contohnya sekarang, ia akan menguras tabungan Bara yang
Nadia keluar dari mobil Lala. Setelah berpamitan dengan sahabatnya. Mobil Lala melaju dengan kecepatan penuh. Nadia menenteng banyak belanjaannya. Dengan takut-takut ia memejamkan matanya sambil mengangkat sebelah tangannya, untuk melihat arlojinya. Nadia mengerjapkan matanya kala melihat jam menunjukkan pukul 10 malam.Dengan wajah pucat pasi dan bibir bergetar. Nadia mengambil nafas dalam-dalam berjalan menuju pintu utama rumahnya. Nadia membuka pintu tersebut, senyumannya luntur ketika seorang pria menyilang tangannya di dada duduk dengan tegap di single sofa. Wajah pria itu, terlihat sangat menyeramkan.Nadia melebarkan senyumannya kembali. Pura-pura tidak melihat Bara berada di sana. Pria menyeramkan itu adalah Bara, sedang mengintainya seperti mangsa dari kejauhan.“Duduk!” perintah Bara dengan sua