Home / Horor / Ibu Susu untuk Bayi Gaib / 1. Hari Pertama Bekerja

Share

Ibu Susu untuk Bayi Gaib
Ibu Susu untuk Bayi Gaib
Author: Hayisa Aaroon

1. Hari Pertama Bekerja

Author: Hayisa Aaroon
last update Last Updated: 2023-06-16 11:54:27

Tangan Tini mengetuk udara saat pintu berdaun ganda dipenuhi ukiran rumit itu tiba-tiba terbuka, nyaris buku-buku jarinya mengenai perut besar sang nyonya rumah

“Masuk!” perintah perempuan luar biasa cantik dalam balutan kebaya sutra zamrud. Suaranya berat, tak selaras dengan lembut lakunya. 

Nj–jjiih … Nyonya.”

Aroma dupa cendana dan melati menguar pekat, menyeruak dari arah dalam rumah. 

Mata Tini tak sanggup lepas dari pesona sang calon majikan yang melangkah masuk, setiap gerakannya mengalir anggun seperti tarian sakral.

Terlalu terpesona, Tini tak memperhatikan langkah. Kakinya tersandung undakan pintu. 

Namun sebelum tubuhnya oleng ke depan, sebuah tangan kokoh dan hangat menahan lengannya. Sensasi hangat itu begitu nyata, kontras dengan hawa dingin pagi khas pegunungan.

Jantung Tini nyaris berhenti berdetak saat menoleh ke belakang dan tak mendapati siapapun di sana. 

Hanya hembusan angin dingin yang membelai kebaya hijaunya yang lusuh, menggoyang helaian rambut yang lolos dari sanggul sederhananya. 

Bulu kuduknya meremang ketika sensasi hangat di lengannya masih terasa, seolah ada jejak tak kasat mata yang tertinggal.

Tini menoleh cepat ke kanan kiri, tapi teras rumah Joglo yang menghadap Gunung Ungaran itu lengang dan suram. 

Dedaunan pohon asam yang rimbun berdesir lirih. Pintu pagar berukir masih tertutup rapat, mengurung Tini dalam pusaran perasaan aneh yang tak bisa dijelaskannya.

Tini ingin menepis peristiwa ganjil itu, namun sensasi hangat pada lengannya bahkan masih jelas terasa dan gambaran sekilas tangan kokoh pria yang menahannya sungguh nyata.

“Sampai kapan kamu mau berdiri di situ …?!”

Suara Nyonya Arini yang membentak memecah keheningan, membuat Tini terlonjak. Aroma melati yang tadi tercium kini bercampur dengan wewangian bunga kenanga dan setanggi yang mengambang di udara.

"Nga-ngapunten, Ndoro ...! Tadi ... seperti ada orang di belakang saya."

Tini membungkuk dalam-dalam, lalu dengan langkah ragu melintasi ambang pintu. Matanya menyapu ruang tamu yang didominasi furniture jati berkualitas tinggi. 

Ukiran-ukiran rumit bermotif bunga dan sulur-sulur daun menghiasi setiap sudut perabot, berkilau ditimpa cahaya temaram dari lampu gantung.

Tini duduk bersimpuh di lantai tegel dingin, sementara Nyonya Arini duduk anggun di kursi dengan sandaran bantal putih bersulam benang emas. 

"Tumini sudah kasih tahu kan, akan kerja apa kamu di sini? Jadi, saya mau periksa badan kamu. Tidak boleh ada koreng atau penyakit kulit sedikitpun."

“Sudah Nyonya.”

"Bagus ...!" Nyonya Arini beranjak. "Tumini bercerita kalau dia sudah memeriksa badan kamu, tapi saya ingin memastikannya sendiri. Ayo sekarang masuk kamar, lepas semua baju kamu ...!"

Tini terhenyak mendengar perintah majikan barunya. Dalam keheningan yang mencekam, hatinya seakan berbisik lirih, memperingatkan untuk tidak mengambil pekerjaan itu.

Desas-desus tentang keluarga Nyonya Arini yang penuh keganjilan kembali terngiang, membuat bulu kuduknya meremang.

Namun bayangan gubuk reyot ibunya yang tanpa sebutir beras pun tersisa, memaksa Tini menelan kembali keraguan yang menggelayut di dadanya. Ia tak punya pilihan selain mengikuti sang majikan.

Kedua tangannya yang kasar saling meremas gelisah di depan perut, jemarinya yang gemetar mencengkeram ujung kain kebaya lusuhnya. Matanya terpaku pada pola lantai tegel yang dingin.

Tapi entah dari mana, tiba-tiba ada dorongan kuat dari hati Tini untuk mencoba menawar. “Ngapunten, Nyonya.”

Nyonya Arini menghentikan langkah, kepalanya menoleh dengan tatapan tidak senang. "Ada apa?" 

"Nyonya, kalau boleh lancang saya berbicara, apa boleh saya bekerja di bagian yang lain?" Suara Tini pelan, bergetar, nyaris tak terdengar.

Dengkus sinis meluncur dari bibir tipis sang nyonya yang dipoles gincu merah gelap. "Duh ... duh ...! Tini ... Tini ...! Kamu itu sudah dikasih hati malah melunjak. Pilihannya cuma satu, jadi ibu susu anak saya. Bagaimana? Mau lanjut atau tidak? Mumpung belum saya periksa badan kamu. Kalau sudah saya periksa, nanti kamu tidak boleh mundur. Jadi tidak buang-buang waktu saya!"

Kata-kata itu menghantam Tini, membuat pikirannya semakin linglung. Sedari tadi ada sesuatu yang mengusik fokusnya, sesuatu yang tak kasat mata namun begitu nyata kehadirannya.

Tini menelan ludah, tenggorokannya terasa kering, tatapannya semakin tertunduk.

"Kamu jadi kerja di sini atau tidak ...?" bentak Nyonya Arini.

Tini tersentak, menyadari telah mengabaikan majikannya—sesuatu yang tak pernah dilakukan pelayan lain pada perempuan ningrat itu.

"I-iya, Nyonya ...!"

Nyonya Arini menatap kesal pembantu yang mematung di hadapannya, bibirnya mendesis saat berkata, “Sudah cepat ikut, saya!”

Sang nyonya berbalik dengan gerakan anggun namun tergesa, gelungan rambutnya yang sempurna tak bergerak sedikitpun. 

Langkahnya yang tak bersuara menyusuri koridor remang-remang, hanya diterangi cahaya temaram dari beberapa lampu dinding warna hangat.

Dinding kayu berpelitur cokelat tua di sepanjang lorong mengkilat samar, memantulkan bayangan-bayangan yang seolah bergerak. 

Bingkai-bingkai lukisan oval keemasan berjajar rapi, berisi wajah-wajah para sesepuh berwajah angkuh.

Namun baru beberapa meter mereka melangkah, Nyonya Arini tiba-tiba berhenti dan membalik badan dengan gerakan cepat, membuat Tini yang terlalu serius mengamati lukisan-lukisan itu nyaris menabrak perut sang majikan yang sedang hamil tua. 

Sontak Tini mundur, hampir terjengkang ke belakang.

"Jalan kamu berisik, Tini ...!!" Nyonya Arini kembali membentak. "Kaki kamu jalan yang bener, jangan pakai suara …! Apalagi kalau nanti ada tamu dari keluarga suami saya, jangan sampai kamu membuat malu …! Biarpun pembantu, kamu harus punya toto kromo …!"

"Njih ... Nyonya ...!" Tini mengangguk cepat, tak ingin memancing amarah majikannya lebih jauh. 

Dengan hati-hati Tini melangkah di atas lantai tegel yang dingin, berusaha menirukan cara berjalan tanpa suara sang nyonya. 

Namun anehnya, meski telah mencoba cepat, tapi Tini tetap tertinggal. Ia terheran dengan gaya berjalan majikannya. 

Kaki bersandal selop beludru merah itu bisa berjalan cepat namun tak meninggalkan kesan anggun, dan yang lebih mengagumkan, perempuan bersanggul rapi itu seperti tak keberatan dengan beban di perut besarnya. 

Jika dipandang dari belakang, sang majikan seperti tidak sedang hamil. Lekuk tubuhnya begitu sempurna.

Aroma badan perempuan itu pun amat menyenangkan, seperti wangi manis melati. Tini semakin gugup jika badannya yang tak harum diperiksa perempuan nyaris sempurna itu. 

Nyonya Arini berhenti di sebuah pintu berukir di ujung koridor, membuka kuncinya dengan tergesa sebelum berkata, "Masuk!" 

Pintu ganda berpelitur cokelat gelap itu terbuka lebar, namun sejenak, kepala Nyonya Arini menoleh ke belakang. 

Mata indahnya sendu menatap pintu di seberang ruangan—sebuah pintu dengan ukiran sulur-sulur bunga yang begitu halus. 

Anehnya, sorot mata itu berubah cepat, menyala dengan kebencian yang dalam, membuat Tini penasaran dengan ruangan itu.

"Tutup pintu …!” seru Nyonya Arini sembari melangkah masuk.

Tini bergegas mengikuti, namun matanya tak bisa lepas dari pintu di seberang, di mana terdengar teriakan marah dari suara laki-laki.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   52. Menggoda Keteguhan Arini

    Tini terbangun, terdiam, bingung. Matanya berkedip perlahan—satu kali, dua kali—mencoba menyesuaikan dengan cahaya matahari pagi yang menyilaukan. Pandangannya berputar. Tubuhnya lemas sekali. Setiap otot terasa berat, setiap napas terasa seperti membutuhkan usaha besar.Rasanya seperti baru bangun dari mimpi yang sangat melelahkan, mimpi yang terasa terlalu nyata.Telinganya mulai menangkap suara-suara di sekitar. Suara Sari masih menangis, tapi tidak lagi tangisan keras yang memilukan, hanya sesenggukan di bahu Anthony sebelah kanan. Tini berkedip lagi, pelan. Hidungnya mulai mencium—aroma parfum khas Anthony, parfum Paris yang mewah dan maskulin, yang dulu sering ia cium saat bekerja di rumah keluarga Anthony. Dan ada aroma lain—bau bunga melati, bau masakan, bau-bau khas orang hajatan.Hajatan?Otaknya berusaha memproses, tapi terlalu lelah.Anthony yang pertama menyadari. Ia merasakan tubuh di pelukannya bergerak—sedikit saja, tapi cukup membuatnya bukan main senang. Napas yang

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   51. Jalan Pulang

    Sementara itu, di dunia lain—dunia yang temaram meski siang hari—Tini berjalan bergandengan tangan dengan Ario di jalanan yang diapit pepohonan tinggi dan lebat. Pohon-pohon itu tidak bergerak, seperti lukisan yang diam. Tak ada angin.Tiba-tiba, ia mendengarnya—samar tapi jelas. Suara gending. Kaki Tini berhenti. Ia menoleh ke belakang, mencari sumber suara."Siapa yang menikah?" tanyanya pada Ario.Ario tersenyum—senyuman yang tenang, yang meyakinkan. "Warga kampung sebelah. Ayo kita lanjut. Sedikit lagi sudah sampai."Ia menunjuk ke depan. Di sana, suasana semakin suram seperti siang dengan matahari terhalang mendung tebal. Di depan mereka, sebuah gapura tua berdiri megah, gapura batu yang ditumbuhi lumut, dengan ukiran naga dan makhluk-makhluk aneh di sisi kanan kirinya. Gapura itu seperti pintu menuju dunia lain.Tapi sebelum mereka sampai ke gapura, Tini terkejut.Ibu Tuan Ario berjalan keluar dari balik gapura, menggandeng dua cucu laki-lakinya di kanan dan kiri, yang bayi dig

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   50. Seseorang yang Lebih Berhak Menyebut Istri

    Mbah Kiai menatap ibu Tini yang masih menangis di samping tempat tidur. "Bu Tumirah, saya minta izin. Karena Tini sudah menggantikan Arini sebagai istri, dia harus punya seseorang yang lebih berhak menyebutnya istri."Tumirah menatap Mbah Kiai dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak sepenuhnya mengerti, tapi ia percaya pada Mbah Kiai."Apa saja, Mbah," ucapnya pelan dengan suara parau. "Asal Tini bisa kembali. Asal dia bisa hidup."Mbah Kiai mengangguk. "Insya Allah."Fajar itu, semua orang tidak lagi tidur. Semuanya sibuk menyiapkan upacara pernikahan yang sederhana tapi sakral—sesuai syariat Islam, tapi juga adat Jawa tidak ketinggalan.Istri Mbah Kiai dan anak-anak perempuannya memandikan tubuh Tini yang masih tidak sadarkan diri dengan air mawar dan melati. Mereka memakaikan kebaya pengantin berwarna putih gading, kebaya milik anak perempuan Mbah Kiai yang baru saja menikah beberapa bulan lalu.Kain batik motif khusus untuk pengantin dililitkan dengan rapi. Sanggul tinggi dibentuk den

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   49. Menggantikan Arini

    Tuan Ario melangkah mendekat. Setiap langkahnya lambat, tatapan menghipnotis.Tini ingin mundur. Seharusnya ia mundur, menutup pintu, berteriak memanggil ibunya. Tapi tubuhnya tidak menurut. Ia hanya berdiri di sana, terpaku, menatap sosok yang semakin mendekat.Ario berhenti tepat di depannya, begitu dekat sampai Tini bisa mencium wangi tubuhnya yang memabukkan. Bukan bau obat-obatan atau perban seperti pasien biasa, tapi aroma manis yang membuat kepala Tini mulai berkabut.Jemarinya terangkat perlahan, menyentuh bibir bawah Tini dengan sangat lembut, sentuhan yang membuat seluruh tubuh Tini bergetar. "Kau mau ikut denganku, Tini?"Tini tidak bisa menjawab. Lidahnya kelu. Ia hanya bisa menatap mata kelam itu—mata yang seperti jurang tanpa dasar, yang menariknya masuk, menjanjikan kedalaman yang menakutkan sekaligus penuh rasa penasaran."Ikut denganku, Tini, " bisik Ario, tangannya turun dari bibir, menelusuri garis rahang dengan sentuhan sehalus bulu. "Ke tempat di mana tidak ada y

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   48. Memaafkan Tony

    "Jangan dipikir dalam-dalam, Tin. Tono sudah kawin dengan si Tina."Suara laki-laki di dekat telinganya membuat Tini terlonjak dan refleks menampar bahu Toni."Tuan ini sukanya ngagetin!" protesnya kesal.Tony terkekeh—tawa yang hangat dan familiar, tawa yang dulu sering Tini dengar saat mereka masih akrab. Ia meraih tangan Tini yang akan memukulnya lagi."Masih tukang kaget kamu, Tin. Aku kangen kagetmu."Sontak Tini terdiam. Sama diamnya dengan Tony. Mereka saling menatap, mata bertemu mata dalam keremangan cahaya lampu minyak, teringat masa di mana mereka dulu pernah dekat sebagai teman. Masa-masa sederhana saat Tony pulang sore dan mengajak Tini jalan-jalan dengan Nyonya Saridewi, masa-masa saat mereka tertawa bersama tanpa beban.Tini yang tersadar dengan cepat menarik tangannya dan memasang wajah sinis. Ia berjalan melewatinya, tapi Tony menahan lengannya pelan."Tin ... sudahlah ... jangan marah terus. Aku harus bagaimana, biar kamu memaafkan?"Tini berhenti tapi tidak menoleh

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   47. Tentang Ari-Ari

    Mbah Kiai pamit pergi—ia akan bermalam di masjid untuk berdoa sepanjang malam, memohon petunjuk atas masalah yang sedang dihadapi keluarga Nyonya Arini. Langkahnya tenang menyusuri jalan setapak menuju masjid yang tidak jauh dari rumahnya.Nyonya Arini masuk ke dalam rumah, Mbok Lastri mendorong kursi roda Tuan Ario mengikuti di belakang. Roda berderit pelan di lantai papan.Di koridor kamar, mereka bertemu dengan Tini. Perempuan muda itu membeku, dadanya berdebar saat bertemu pandang dengan Tuan Ario. Pria itu tersenyum, hanya senyum terima kasih yang sopan, tak lebih dari itu. Senyuman yang wajar, yang tidak mengandung apa-apa. Jauh berbeda dengan Tuan Ario dalam bayangannya.Tapi Tini merasakan sekujur tubuhnya meremang. Seperti ada sensasi aneh yang menjalar dari ujung rambut hingga ujung kaki. Jantungnya berdetak lebih cepat, napasnya sedikit tersangkut.Dan Nyonya Arini—perempuan yang sudah bertahun-tahun hidup dengan hal-hal aneh—bisa melihat perbedaan itu. Ia melihat bagaiman

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status