Home / Horor / Ibu Susu untuk Bayi Gaib / 2. Suami Nyonya Arini

Share

2. Suami Nyonya Arini

Author: Hayisa Aaroon
last update Last Updated: 2023-06-16 11:55:07

"Tini ...!" Suara sang nyonya membuatnya tersentak. "Apa yang kamu lihat, hah?!"

Tini yang masih memegang daun pintu buru-buru menutupnya dengan sangat hati-hati. 

"I-itu … ukiran pintunya bagus, Nyonya …," balasnya cepat, tatapannya mengikuti gerakan Nyonya Arini yang tengah menarik lepas kain jarik Sido Asih dari cermin besar. 

Ukiran bunga melati di sekeliling cermin seakan mengingatkannya pada hiasan peti mati.

"Jadi pembantu di rumah ningrat itu harus tahu batasan. Mata sama telinga dijaga. Apa yang kamu lihat, dengar di rumah ini, simpan dalam hati. Itu tata kramanya jadi pembantu. Hargai saya yang kasih kamu gaji besar. Saya tidak mau mata kamu jelalatan lagi. Paham?"

"Njihhh ... Nyonya!" Tini mengangguk sembari melangkah mendekat. Lantai tegel di bawah kakinya terasa lebih dingin di ruangan itu.

"Sekarang, buka baju. Semuanya!"

Nyonya Arini bergerak ke arah jendela yang masih terbuka. Angin pagi yang masuk membawa aroma bunga kenanga dari halaman. 

Satu per satu, jendela dan gorden ditutup rapat hingga kamar itu hanya diterangi cahaya redup yang menyorot dari celah ventilasi.

Dengan canggung, Tini mulai melucuti pakaiannya. Sesekali ia menoleh ke belakang, dadanya berdebar kencang. 

Dalam keremangan, ia seperti merasakan hadirnya sepasang mata yang mengawasi. Setiap kain yang terlepas dari tubuhnya seakan disambut deru napas yang tak terlihat.

Sementara Nyonya Arini sibuk menyalakan lilin-lilin di atas meja rias berpelitur cokelat tua yang senada dengan perabotan kamar itu. 

Di atas meja, sebuah wadah pembakaran menyan dari tanah liat mulai mengepulkan asap. Di sisinya, mangkuk tanah liat berisi kuncup melati segar, Sang nyonya sesekali meraihnya, memasukkannya ke mulut seolah sedang menikmati panganan ringan.

"Angkat tangan kamu, Tini! Rentangkan ke samping! Kaki kamu juga buka lebar-lebar!" perintah sang majikan sembari mendekat membawa wadah bakaran kemenyan yang mengepulkan asap wangi.

Bulu roma di kulit kuning langsat Tini semakin meremang ketika sang majikan mengitarinya, mengarahkan kepulan asap harum itu ke tubuhnya. 

Kabut putih mulai memenuhi ruangan, pandangan Tini mengabur, benda-benda di sekelilingnya hanya berupa siluet samar. 

Asap dupa yang mengitarinya terasa aneh—hangat dan hidup, seolah memiliki kehendaknya sendiri.

Tini mulai gemetar saat sensasi hangat itu menjelajahi tulang punggungnya dengan perlahan. 

Sementara itu, sang majikan berdiri di hadapannya, menaburkan kemenyan pada bara yang terus membumbungkan asap tebal.

Didorong rasa penasaran yang tak tertahankan, Tini menoleh ke belakang saat tirai asap menghalangi pandangan majikannya. Napasnya tercekat—di sana berdiri siluet seorang pria tinggi yang menawan.

"Jangan tengak-tengok kalau tidak saya suruh nengok, Tini!" bentak sang nyonya. "Kamu lihat apa? Saya asapi badan kamu biar kamu wangi, baru saya periksa. Saya jijik sama badan yang bau. Jadi, kalau kerja sama saya kamu harus wangi!"

Tini menunduk dalam-dalam, namun sensasi itu terus mengganggu. Yang bisa dilakukannya hanyalah menelan ludah pahit, berusaha mengusir pikiran-pikiran mengerikan yang bermunculan.

Waktu seakan merayap lambat. Lengannya yang terentang mulai bergetar kelelahan, sedang sang majikan masih tekun mengelilinginya dengan tungku kecil berasap itu.

Akhirnya, wadah pembakaran dupa diletakkan di bawah—di antara dua kakinya yang dibuka lebar, mengepulkan asap yang melingkupi tubuh Tini dari kaki hingga kepala. 

Ia tertegun melihat bagaimana Nyonya Arini yang hamil besar itu dengan mudah bangkit dari posisi berlututnya tanpa bantuan, lalu bergerak lincah menuju meja rias untuk mengambil lilin.

Nyonya Arini mengangkat mangkuk tanah liat berisi lilin menyala, mendekatkannya ke tubuh Tini. 

Hawa panas menyergap dari dua arah—bara kemenyan di bawah dan nyala lilin yang hanya berjarak dua jengkal dari kulitnya. 

Peluh mulai membanjiri tubuh Tini, mengalir dalam aliran-aliran kecil yang berkilau ditimpa cahaya api.

Api lilin meliuk-liuk, menari di permukaan kulitnya seperti lidah naga kecil yang menjilat udara. 

Nyala keemasan itu bergerak perlahan, menerangi setiap jengkal tubuhnya dengan teliti. Kuku-kuku panjang sang nyonya yang terawat menyibak rambut Tini yang lembab oleh keringat. 

Tetesan peluh jatuh ke lantai tegel, sebagian jatuh tepat ke atas bara api, menciptakan desis lirih yang memecah keheningan. 

Aroma kemenyan yang tadinya begitu pekat kini berubah manis saat bercampur dengan keringatnya, menciptakan wewangian asing yang memabukkan.

Kepalanya ditarik ke belakang dengan gerakan lembut namun tegas. Jemari lentik sang nyonya menyisiri rambutnya yang lurus sepinggang, memeriksa setiap jengkal kulit kepalanya dengan teliti.

"Bagus, semuanya bersih. Tapi dadamu kecil sekali, masih keluar susunya?" tanya Nyonya Arini, jari-jarinya bermain dengan rangkaian melati di gelungannya sendiri.

"Masih Nyonya, tapi tidak banyak." Tini membungkuk sedikit, menghindari tatapan menilai itu.

"Kamu kurang makan. Selagi menunggu anak dalam perut saya lahir, kamu tiap hari tidur di sini. Nanti makan yang banyak, biar pas anak saya lahir, susunya banyak. Saya izinkan kamu pulang dua kali sehari buat susuin anak kamu, pagi sama sore."

"Njih ... suwun, Nyonya." 

"Sekarang kamu mandi pakai kembang biar wangi!" Nyonya Arini menyodorkan selembar kain jarik bermotif Sido Asih, "Ingat, saya tidak suka pembantu yang baunya tengik di sekitar saya. Tadi bau kamu waktu datang seperti kambing. Sekarang, buka mulut kamu!"

Tini membuka mulutnya dengan patuh, sang majikan memeriksa sejenak, sebelum mencabut sebutir kuncup melati dari sanggulnya dan meletakkannya ke lidah Tini.

"Kunyah biar mulut kamu wangi! Sekarang, ayo ikut saya!"

Dengan enggan, Tini mengunyah kuncup melati itu—rasanya sedikit getir. Ia segera membalutkan kain jarik Sido Asih ke tubuhnya dan memungut pakaiannya yang berserakan di lantai tegel.

Pintu kamar terbuka bersamaan dengan pintu di seberang. Pembantu paruh baya bertubuh gemuk dalam balutan kebaya putih membungkuk dalam, wajahnya diliputi kekhawatiran.

"Sudah kamu suapi, Tuan Ario?"

"Sudah Nyonya, tapi Tuan tidak mau membuka mulut. Padahal kemarin masih mau makan. Dari pagi Tuan kelihatan murung," jelas Tumini, itu dengan suara bergetar.

"Bagaimana to, Tum!" Nyonya Arini menatap kesal mangkuk bubur ayam yang masih utuh. "Tuan bisa sakit kalau tidak makan. Kamu itu sudah diajari setiap hari masih saja tidak bisa."

Begitu Nyonya Arini masuk, Tini mengamati kamar yang nyaris serupa dengan kamar sebelumnya. Namun ruangan ini terang benderang.

Di sana, di dekat jendela yang terbuka, duduk seorang pria sekitar 30-an tahun. Matanya yang sendu menatap jauh ke luar. Tini terhenyak—pria itu persis seperti sosok yang tadi berdiri di belakangnya.

Tuan Ario yang tadi dilihatnya bertubuh tinggi tegap kini terkulai lemas di kursi berukir. Kepalanya tersandar lemah, kedua tangannya tergeletak tak berdaya di lengan kursi. Kakinya tertekuk ke samping. 

Tini membatin, ‘Oh iya, suami Nyonya Arini kan lumpuh kata orang-orang.’

Tatapannya kemudian berganti pada Nyonya Arini yang berjalan anggun mendekat ke arah sang suami.

"Kenapa Kangmas tidak mau makan?" Nyonya Arini bertanya lembut, tangannya mengelus stagen hitam yang membalut perut buncitnya. "Kangmas harus makan, anak kita sebentar lagi akan lahir. Ayo buka mulut!"

Detik-detik berlalu dalam keheningan mencekam. Tuan Ario tetap membisu, tatapannya kosong. Wajah Nyonya Arini yang sedari tadi sudah masam karena ulah Tini kini semakin kesal.

Nyonya Arini meletakkan mangkuk porselen putih berhias gambar bunga merah delima ke atas meja kayu jati. 

Bunyi porselen beradu dengan permukaan kayu mengisi keheningan kamar, berdenting tajam di sebelah kursi bersandaran tinggi tempat Tuan Ario terduduk lemah.

Sendok kuningan mengetuk bibir mangkuk dengan irama tak sabar, bersahutan dengan suara desah angin dari jendela. 

Mata sang nyonya melirik tajam ke arah Tumini yang berdiri di sampingnya, seakan menyalahkan ketidakmampuan pembantu itu menjalankan tugas sederhana.

Tini tercekat, nyaris tak percaya dengan pemandangan di hadapannya. Tangan lentik yang tadi begitu anggun kini mencengkeram kasar rambut hitam Tuan Ario yang memanjang sebatas dagu. 

Jemari itu menarik helaian rambut suaminya dengan kebrutalan yang membuat Tini bergidik—sikap yang begitu kontras dengan citra ideal seorang perempuan Jawa ningrat yang seharusnya lemah lembut penuh tata krama.

Tini termangu saat Nyonya Arini menekan pipi suaminya dengan satu tangan. Lalu dengan tangan lainnya, ia memaksa sendok berisi bubur ke mulut Tuan Ario yang memberontak. Pria itu terbatuk-batuk, bubur mengalir dari sudut bibirnya, namun sang istri tak menghentikan aksinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   52. Menggoda Keteguhan Arini

    Tini terbangun, terdiam, bingung. Matanya berkedip perlahan—satu kali, dua kali—mencoba menyesuaikan dengan cahaya matahari pagi yang menyilaukan. Pandangannya berputar. Tubuhnya lemas sekali. Setiap otot terasa berat, setiap napas terasa seperti membutuhkan usaha besar.Rasanya seperti baru bangun dari mimpi yang sangat melelahkan, mimpi yang terasa terlalu nyata.Telinganya mulai menangkap suara-suara di sekitar. Suara Sari masih menangis, tapi tidak lagi tangisan keras yang memilukan, hanya sesenggukan di bahu Anthony sebelah kanan. Tini berkedip lagi, pelan. Hidungnya mulai mencium—aroma parfum khas Anthony, parfum Paris yang mewah dan maskulin, yang dulu sering ia cium saat bekerja di rumah keluarga Anthony. Dan ada aroma lain—bau bunga melati, bau masakan, bau-bau khas orang hajatan.Hajatan?Otaknya berusaha memproses, tapi terlalu lelah.Anthony yang pertama menyadari. Ia merasakan tubuh di pelukannya bergerak—sedikit saja, tapi cukup membuatnya bukan main senang. Napas yang

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   51. Jalan Pulang

    Sementara itu, di dunia lain—dunia yang temaram meski siang hari—Tini berjalan bergandengan tangan dengan Ario di jalanan yang diapit pepohonan tinggi dan lebat. Pohon-pohon itu tidak bergerak, seperti lukisan yang diam. Tak ada angin.Tiba-tiba, ia mendengarnya—samar tapi jelas. Suara gending. Kaki Tini berhenti. Ia menoleh ke belakang, mencari sumber suara."Siapa yang menikah?" tanyanya pada Ario.Ario tersenyum—senyuman yang tenang, yang meyakinkan. "Warga kampung sebelah. Ayo kita lanjut. Sedikit lagi sudah sampai."Ia menunjuk ke depan. Di sana, suasana semakin suram seperti siang dengan matahari terhalang mendung tebal. Di depan mereka, sebuah gapura tua berdiri megah, gapura batu yang ditumbuhi lumut, dengan ukiran naga dan makhluk-makhluk aneh di sisi kanan kirinya. Gapura itu seperti pintu menuju dunia lain.Tapi sebelum mereka sampai ke gapura, Tini terkejut.Ibu Tuan Ario berjalan keluar dari balik gapura, menggandeng dua cucu laki-lakinya di kanan dan kiri, yang bayi dig

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   50. Seseorang yang Lebih Berhak Menyebut Istri

    Mbah Kiai menatap ibu Tini yang masih menangis di samping tempat tidur. "Bu Tumirah, saya minta izin. Karena Tini sudah menggantikan Arini sebagai istri, dia harus punya seseorang yang lebih berhak menyebutnya istri."Tumirah menatap Mbah Kiai dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak sepenuhnya mengerti, tapi ia percaya pada Mbah Kiai."Apa saja, Mbah," ucapnya pelan dengan suara parau. "Asal Tini bisa kembali. Asal dia bisa hidup."Mbah Kiai mengangguk. "Insya Allah."Fajar itu, semua orang tidak lagi tidur. Semuanya sibuk menyiapkan upacara pernikahan yang sederhana tapi sakral—sesuai syariat Islam, tapi juga adat Jawa tidak ketinggalan.Istri Mbah Kiai dan anak-anak perempuannya memandikan tubuh Tini yang masih tidak sadarkan diri dengan air mawar dan melati. Mereka memakaikan kebaya pengantin berwarna putih gading, kebaya milik anak perempuan Mbah Kiai yang baru saja menikah beberapa bulan lalu.Kain batik motif khusus untuk pengantin dililitkan dengan rapi. Sanggul tinggi dibentuk den

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   49. Menggantikan Arini

    Tuan Ario melangkah mendekat. Setiap langkahnya lambat, tatapan menghipnotis.Tini ingin mundur. Seharusnya ia mundur, menutup pintu, berteriak memanggil ibunya. Tapi tubuhnya tidak menurut. Ia hanya berdiri di sana, terpaku, menatap sosok yang semakin mendekat.Ario berhenti tepat di depannya, begitu dekat sampai Tini bisa mencium wangi tubuhnya yang memabukkan. Bukan bau obat-obatan atau perban seperti pasien biasa, tapi aroma manis yang membuat kepala Tini mulai berkabut.Jemarinya terangkat perlahan, menyentuh bibir bawah Tini dengan sangat lembut, sentuhan yang membuat seluruh tubuh Tini bergetar. "Kau mau ikut denganku, Tini?"Tini tidak bisa menjawab. Lidahnya kelu. Ia hanya bisa menatap mata kelam itu—mata yang seperti jurang tanpa dasar, yang menariknya masuk, menjanjikan kedalaman yang menakutkan sekaligus penuh rasa penasaran."Ikut denganku, Tini, " bisik Ario, tangannya turun dari bibir, menelusuri garis rahang dengan sentuhan sehalus bulu. "Ke tempat di mana tidak ada y

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   48. Memaafkan Tony

    "Jangan dipikir dalam-dalam, Tin. Tono sudah kawin dengan si Tina."Suara laki-laki di dekat telinganya membuat Tini terlonjak dan refleks menampar bahu Toni."Tuan ini sukanya ngagetin!" protesnya kesal.Tony terkekeh—tawa yang hangat dan familiar, tawa yang dulu sering Tini dengar saat mereka masih akrab. Ia meraih tangan Tini yang akan memukulnya lagi."Masih tukang kaget kamu, Tin. Aku kangen kagetmu."Sontak Tini terdiam. Sama diamnya dengan Tony. Mereka saling menatap, mata bertemu mata dalam keremangan cahaya lampu minyak, teringat masa di mana mereka dulu pernah dekat sebagai teman. Masa-masa sederhana saat Tony pulang sore dan mengajak Tini jalan-jalan dengan Nyonya Saridewi, masa-masa saat mereka tertawa bersama tanpa beban.Tini yang tersadar dengan cepat menarik tangannya dan memasang wajah sinis. Ia berjalan melewatinya, tapi Tony menahan lengannya pelan."Tin ... sudahlah ... jangan marah terus. Aku harus bagaimana, biar kamu memaafkan?"Tini berhenti tapi tidak menoleh

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   47. Tentang Ari-Ari

    Mbah Kiai pamit pergi—ia akan bermalam di masjid untuk berdoa sepanjang malam, memohon petunjuk atas masalah yang sedang dihadapi keluarga Nyonya Arini. Langkahnya tenang menyusuri jalan setapak menuju masjid yang tidak jauh dari rumahnya.Nyonya Arini masuk ke dalam rumah, Mbok Lastri mendorong kursi roda Tuan Ario mengikuti di belakang. Roda berderit pelan di lantai papan.Di koridor kamar, mereka bertemu dengan Tini. Perempuan muda itu membeku, dadanya berdebar saat bertemu pandang dengan Tuan Ario. Pria itu tersenyum, hanya senyum terima kasih yang sopan, tak lebih dari itu. Senyuman yang wajar, yang tidak mengandung apa-apa. Jauh berbeda dengan Tuan Ario dalam bayangannya.Tapi Tini merasakan sekujur tubuhnya meremang. Seperti ada sensasi aneh yang menjalar dari ujung rambut hingga ujung kaki. Jantungnya berdetak lebih cepat, napasnya sedikit tersangkut.Dan Nyonya Arini—perempuan yang sudah bertahun-tahun hidup dengan hal-hal aneh—bisa melihat perbedaan itu. Ia melihat bagaiman

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status