Share

7. Derita Yang Membahagiakan

Happy Reading

*****

Setelah mengucap kata talak, Basuki pergi begitu saja dengan Ilyana yang sudah menunggu di depan kafe itu. Arya, suami Naina masih melongo menatap Yanti dan istrinya bergantian. Merasa iba dengan perempuan yang sudah dijatuhi talak suaminya, lelaki itu menyodorkan jus yang mereka pesan.

"Minumlah, Mbak. Maaf kalau buat suamimu salah paham. Aku nggak nyangka bakalan gini akhirnya," ucap Arya tulus dengan wajah penuh penyesalan.

"Aku yang harus minta maaf, Mas," ucap Yanti pada Arya, "Nai, kamu tahu sekarang, 'kan? Gimana kelakuan suamiku."

"Sabar, Say," ucap Naina. Dia kemudian merengkuh sang sahabat ke dalam pelukan dan salah satu tangannya mengelus-elus rambut. "Aku nggak pernah nyangka, Basuki bisa melakukannya. Dulu, kalian adalah pasangan idaman di sekolah."

"Waktu bisa merubah seseorang, Nai," balas Yanti dengan sesenggukan. "Ini alasanku ingin bekerja seperti ceritaku kemarin."

Naina mengangguk paham, terenyuh dengan keadaan sahabatnya. Masa indah pacaran memang tak menjamin selamanya akan bahagia saat pernikahan terjadi. Itu yang terlihat oleh perempuan berhijab pada rumah tangga Yanti dan Basuki.

"Iya. Aku paham sekarang, Yan. Semampunya kami akan membantu."

*****

Waktu terus berlalu sejak Yanti memutuskan untuk bekerja. Terhitung seminggu sudah, perempuan dengan berat badan 45 kg itu menjalani masa percobaan di minimarket sahabat Arya. Selama kurun waktu itu pula Basuki tidak pernah pulang. Entah di mana lelaki itu menginap setiap hari. Sekedar memberi kabar dan nafkah untuk kebutuhan sehari-hari anak-anak saja, lelaki itu sudah tidak melakukannya.

Apakah Basuki sudah menikah dengan Ilyana, Yanti juga belum mendapat kabar. Jika memang mereka sudah menghalalkan hibungan, harusnya sebagai istri yang sudah dijatuhi talak dia mendapat surat gugatan cerai. Namun, semua itu tidak terjadi.

Beruntung perempuan itu masih punya sisa uang belanja bulan lalu yang diberikan Basuki. Bahan-bahan kebutuhan dapur dan lainnya juga masih ada. Setidaknya, Yanti masih bisa mencukupi kebutuhannya sampai nanti mendapatkan gaji sendiri.

Selesai berhias, Yanti berpamitan pada Bagas yang sedang mengerjakan tugas sekolah sambil menonton televisi. Ketiadaan Basuki beberapa hari sama sekali tidak berpengaruh pada anak-anak. Malah mereka cenderung lebih bahagia dan tenang menjalani aktifitas sekolah. Tak ada lagi kekerasan fisik dan verbal yang selalu mereka lihat setiap hari.

"Baik-baik di rumah, ya, Nak. Mama pulang jam sembilan, malam ini. Setelah salat Isya, jangan lupa langsung tidur. Oke," nasihat Yanti pada si bungsu.

"Beres, Ma," jawabnya sambil menggerakkan tangan memberi hormat. Yanti tersenyum, sudah lama sekali dia tak melihat kebahagiaan sang putra.

"Oh, ya. Hampir lupa," kata Yanti sambil menepuk kening.

"Ada apa, Ma?"

"Bilang Kakak. Pulang sekolah nanti makanan yang di meja angetin dulu. Makan malam kalau lauk habis minta tolong Kakak untuk menggoreng telur yang di kulkas."

"Siap laksanakan." Sekali lagi, Bagas memberi hormat. Tak urang hal itu membuat mamanya gemas. Sebelum berangkat, Yanti menciumi pipi si bungsu dan mengacak rambutnya.

Diperlukan waktu tak sampai lima belas menit, perempuan berkulit sawo matang itu tiba di minimarket. Rekan kerja yang sif pagi sudah bersiap-siap untuk menyerahkan tugasnya pada Yanti, dia mulai menata dan menghitung uang hasil penjualan dari mulai bertugas. Perempuan berusia tiga puluh lima tahun itu memang diterima sebagai kasir di minimarket.

"Mbak Yan, ntar kalau bos datang terus lagi ndak ada kerjaan mending bersihin apa gitu. Soalnya Pak Bos suka rewel kalau lihat anak buahnya nganggur," nasihat teman Yanti.

"Pak Gaza maksudmu? Bukannya setiap hari dia ngecek kerjaan kita?" tanya Yanti bingung.

"Bukan. Big bos nanti yang mau datang. Pemilik minimarket ini."

"Siapa?"

"Lho, Mbak Yanti belum tahu?"

"Nggak pernah tahu." Disertai gelengan kepala.

"Namanya Pak Ismoyo. Katanya, sih lagi proses menduda," jelas partner Yanti.

"Ish. Ada-ada aja kamu." Mereka berdua tertawa.

*****

Di rumah, dua buah hati Yanti tengah kebingungan dengan sikap papanya yang mengusir mereka. Basuki memberi waktu pada Chalya dan Bagas sampai Mama mereka pulang kerja. Di mana hati nurani lelaki yang berstatus ayah itu? Tega mengusir anak kandung sendiri demi wanita yang akan dinikahi.

Tersedu Chalya membereskan pakaiannya demikian juga Bagas. Namun, si adik lebih tegar. Bocah kecil dengan tatanan rambut belah pinggir itu, menyikapi dengan santai. Mungkin karena dia masih belum begitu mengerti keadaan yang dialami keluarganya.

"Kita mau ke mana, Kak?" tanya Bagas masih belum mengerti.

"Nunggu Mama, ya, Dik. Beliau pasti tahu kita harus ke mana," kata Chalya yang masih sesenggukan.

"Oke, deh. Kak, Adik ngantuk. Tidur dulu boleh nggak?"

"Jangan tidur, Dik. Setengah jam lagi Mama udah pulang. Kalau kamu tidur siapa yang mau nggendong pas kita keluar rumah."

"Sebentar aja, Kak. Adik ngantuk banget." Berkali-kali Bagas menguap.

Bocah itu memang tak terbiasa tidur lebih dari jam setengah delapan malam. Yanti membiasakan anak-anak lekas beristirahat setelah melaksanakan salat Isya. Suara ketukan pintur terdengar, tanpa menunggu Chalya membukakan, Basuki sudah masuk ke kamar si bungsu.

"Mamamu pulang jam berapa? Perempuan punya keluarga kok kerja sampai malam gini. Jangan-jangan dia kelayapan," tuduh Basuki seenaknya.

Chalya menajamkan mata pada lelaki yang dulu sangat dia hormati. Ingin marah, tapi dia memikirkan adiknya.

"Jam sembilan, bentar lagi juga pulang. Mama itu nggak kayak Papa yang suka ngaret kalau pulang kerja."

"Jaga omonganmu. Papa kerja buat kalian kalau pulangnya telat itu artinya lembur. Ngerti?"

"Lembur kerjaan apa lembur sama selingkuhan?" Chalya semakin berani menjawab perkataan papanya.

"Jangan durhaka sama orang tua." Basuki keluar kamar dengan membanting pintu.

"Papa marah lagi, Kak?" tanya Bagas yang indera penglihatannya sudah mulai meredup, ngantuk.

"Adik tidur aja. Kakak beresin barang-barangmu. Ntar Mama datang, Kakak bangunin," putus Chalya kasihan melihat adiknya.

Lebih setengah jam berlalu dan suara motor terdengar. Chalya yakin itu mamanya. Setengah berlari dia menghampiri Yanti, membukakan pintu sambil menangis.

"Kakak kenapa? Mama pulang kok malah nangis," tanya Yanti.

Letih setelah bekerja tak lagi dihiraukan, perempuan itu merangkul putrinya. Mengelus-elus punggung dan mengajaknya masuk. Sampai di ruang tamu, Basuki sudah berdiri dengan tangan terlipat di depan dada.

"Kerjaan apa sampai semalam ini? Kelayapan aja kamu."

"Oh. Jadi kamu penyebab Kakak nangis," ucap Yanti, "aku sudah bukan istrimu lagi, 'kan?  Jadi kamu nggak berhak ngatur dan menanyakan apa pun lagi tentang hidupku."

"Bagus kalau kamu sadar sudah bukan istriku lagi. Jadi, silakan keluar dari rumah ini!" kata Basuki keras.

Yanti memundurkan langkah, tega Basuki mengusir dirinya. Jika lelaki itu mengklaim bahwa rumah itu miliknya, apa dia tidak sadar bahwa tanah itu milik orang yang sekarang diusir. Yanti tersenyum miris mengingat semua.

"Aku akan pergi dari rumah ini, tapi ijinkan anak-anak ikut."

"Ya harus kamu bawa. Mereka 'kan anak-anakmu. Aku nggak mau dibikin ribet dengan segala urusan mereka berdua."

Ucapan Basuki menjadi kebahagian tersendiri bagi perempuan dua anak itu. "Bagus. Jangan lupa kirimkan juga surat perceraian kita. Aku nggak mau perempuan itu menemui dan mengganggu kehidupanku dan anak-anak."

Masih dengan kelelahan yang mendera, Yanti membereskan semua pakaian. Tak ada perabotan satu pun yang dia bawa kecuali anak-anak dan baju-baju. Dia menyuruh Chalya membangunkan Bagas, sementara dirinya sibuk menaruh koper mereka di motor.

"Kakak bonceng Adik bisa, 'kan?  Koper kalian sudah Mama taruh di motor. Malam ini kita pulang ke rumah Eyang."

Entah apa yang menyebabkan Yanti bahagia sekalipun Basuki telah mengusirnya. Kehidupan baru tanpa suami akan segera dimulai sejak malam ini juga. Yanti menaikkan garis bibirnya, meskipun air mata sempat menetes tadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status