Share

6. Bukan Imam Pilihan

Happy Reading

*****

Ketika kesakitan masih melanda jiwa dan raga, Yanti tetap melaksanakan kewajibannya mengurus sang suami. Perempuan itu segera menyiapkan makan siang untuk Basuki dan Bagas yang baru pulang. Ketika akan memanggil mereka berdua, suara teriakan seorang perempuan terdengar.

Yanti mengenalnya, pemilik suara itu tak lain adalah sang ibu mertua. Kehebohan apalagi yang akan terjadi setelah ini, pikiran perempuan berambut hampir sepinggang itu mulai bertanya-tanya. Siksaan demi siksaan sudah dia alami dari pagi dan sekarang teriakan mertuanya merupakan tanda siksaan yang kesekian kali di hari ini.

"Kamu nggak tahu diri banget, Yan!" teriak perempuan paruh baya itu. Tanpa salam dan permisi dia langsung marah pada Yanti.

"Salah saya apa, Ma?"

"Kamu nyuruh Ilyana menggugurkan kandungannya? Otakmu ditaruh di mana?" Si Ibu mertua mendorong kepala Yanti keras dengan tangan kanan.

"Aw," rintih sang pemilik rumah. "Mama salah paham. Dia yang mulai menghina aku."

"Halah! Mana ada perempuan kalem macem dia menghina orang lain, jangan memfitnah orang baik." Maimunah, Mama mertua Yanti mencebikkan bibir.

"Buat apa Yanti bohong, Ma."

"Lambemu kui mencla-mencle (ucapanmu plin-plan), ra iso (tidak bisa) dipercoyo."

Bagas dan Basuki keluar dari kamar bersamaan. Mereka sedikit terganggu dengan percakapan dua perempuan beda generasi itu. Tatapan si bungsu sedikit tidak suka pada neneknya.

"Nenek nggak enak kalau nggak marah-marah?" kata bocah berumur sepuluh tahun dengan rambut lurus belah pinggir.

"Diam! Kamu itu masih bocah, nggak usah ikut campur urusan orang tua," ucap Maimunah keras.

"Ada apa, sih, Ma?" tanya Basuki kemudian dia melirik istrinya. "Waktu istirahatku itu cuma sejam. Jangan buat masalah lagi. Aku capek sama kelakuanmu."

"Ceraikan istrimu sekarang juga, Bas. Dia nyuruh Ilyana menggugurkan kandungan," kata Maimunah berapi-api.

Basuki membelalakkan mata, menatap tajam pada perempuan yang sudah terduduk lemas. Sementara Bagas, menatap benci pada dua orang dewasa di hadapannya yang telah menuduh sang Mama tanpa mendengar penjelasan.

"Bener itu, Yan?" tanya Basuki. Kembali dia menarik rambut istrinya ke belakang. "Jawab! Jangan cuma diam, nangis."

"Papa!" teriak Bagas sambil memeluk mamanya, takut.

Yanti meninggalkan meja makan, semakin lama dia berada di sana akan semakin menyesakkan hati. Pertengakaran mereka di depan si bungsu juga tidak bagus untuk perkembangan mental bocah sepuluh tahun itu. Bagas memerlukan teladan dan situasi rumah yang kondusif.

"Budek apa gimana, istrimu itu? Bukannya njelasin malah ditinggal pergi," ujar Maimunah.

"Biarin aja," kata Basuki, "Mama tahu dari mana kalau Yanti nyuruh Ilyana gugurin kandungannya?"

Maimunah menuang air putih kemudian meneguknya hingga kandas. Berkata keras dan berteriak ternyata membuat kerongkongannya kering. Setelah selesai minum, dia membuka suara.

"Mama ketemu Ilyana di supermarket tadi. Dia menceritakan pertemuannya dengan istrimu. Sebenernya, Ilyana berniat baik. Dia meminta Yanti untuk tanda tangan surat perceraian palsu kalian supaya keluarganya percaya kamu dan perempuan nggak becus itu sudah cerai. Eh, dasar orang nggak tahu terima kasih, Yanti malah nyuruh Ilyana gugurin kandungan."

"Kurang ajar emang Yanti. Biar aja, Ma. Aku bakal cerein dia beneran. Sudah nggak sanggup aku hidup sama perempuan itu. Bener-bener nggak becus jadi istri."

Lelaki itu begitu menghina istrinya, tetapi masih mau dan minta dilayani. Makhluk macam apa dia?

Tangan Basuki meraih piring dan memasukkan nasi serta lauk pauk yang sudah disiapkan. Tertarik dengan masakan yang tersaji, Maimunah pun ingin mencicipi hidangan itu. Dia mengambil piring dan mulai memasukkan makanan ke mulut. Orang tua dan anak itu memang tak punya malu.

Lama di dalam kamar si bungsu, Yanti mulai merancang masa depan. Mau sampai kapan dia harus menanggung semua kesakitan ini. Jika dirinya bisa menahan, bagaimana dengan anak-anak. Namun, untuk mengakhiri pernikahan dengan Basuki, dia harus kuat dulu secara ekonomi. Tidak mungkin bisa membesarkan dan menyekolahkan dua buah hatinya jika tidak memiliki pendapatan pasti.

Sebuah ide muncul, perempuan itu keluar dari kamar si bungsu yang sudah tertidur karena lelah menangis menuju kamarnya sendiri. Mencari-cari ponsel untuk menghubungi seseoarang. Senyum simpul terbit dari wajah Yanti, sahabat terbaiknya membalas chat yang dikirim.

"Waalaikumsalam. Kayaknya lebih enak ketemuan langsung, deh, Say. Sekalian reuni tipis-tipis. Sejak nikah kamu dah jarang main," tulis sahabat Yanti yang bernama Naina.

"Kita ketemuan besok, Say. Aku butuh banget info kerjaan. Terima kasih bantuannya. Kamu selalu bisa aku andalkan," balas Yanti. Tak lupa dia membubuhkan stiker dua tangan yang mengatup sebagai ucapan terima kasih.

Sambil memejamkan mata, perempuan pemilik kulit sawo matang itu menarik garis bibirnya. Jika memang harus menempuh jalur perpisahan, maka Yanti sudah siap. Bukan Basuki yang akan menceraikan, tetapi dia sendiri akan menggugat lelaki itu. Biarlah dianggap kalah oleh Ilyana asal kehidupannya akan kembali tenang setelah ini.

*****

Sinar mentari menampakkan diri malu-malu. Segala pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sudah Yanti bereskan. Anak-anak juga sudah berangkat ke sekolah.

Pagi ini rumahnya terasa damai, tanpa ada perkataan kasar dan keras yang selalu ada hampir setiap hari. Basuki tidak pulang sejak sang mertua marah-marah kemarin dan Yanti tak lagi peduli akan hal itu. Di mana pun lelaki itu kini menginap, dirinya tak ambil pusing.

Tadi, Yanti sudah mengatakan pada anak-anaknya untuk menemui Naina terkait keinginan untuk bekerja. Kedua buah hatinya menyambut dengan gembira, apalagi si sulung. Chalya begitu antusias dengan niatnya.

Perkataan si sulung agar Yanti membuktikan bahwa dirinya bisa hidup tanpa bayang-bayang Basuki menjadi angin segar. Mungkin benar pemikiran Chalya, seorang perempuan itu harus bisa hidup mandiri dan memiliki penghasilan. Bukan karena meremehkan kemampuan seorang suami dalam bekerja, tetapi lebih kepada menjaga hal-hal yang kadang tidak bisa diprediksi.

Kejadian tak terduga itu bukan hanya seperti yang dialami Yanti saat ini. Namun, banyak hal. Misal jika suatu saat sang suami meninggal atau sakit. Setidaknya, jika seorang perempuan bisa mandiri dan memiliki penghasilan, maka tidak terlalu bingung menghadapi masalah seperti itu.

Yanti mengunci rumah sebelum pergi. Memastikan sekali lagi. Dia sudah menyiapkan makanan jika si bungsu pulang. Setelah siap semua, perempuan itu menulis pesan di depan pintu dan berangkat menemui Naina.

Sampai di tempat janjian, Yanti sudah melihat Naina duduk dengan seorang lelaki yang tak lain suaminya.

"Assalamualaikum," salam perempuan dua anak itu.

"Waalaikumsalam," jawab Naina dan suaminya kompak.

Yanti dan Naina cipika-cipiki sebelum duduk. Sementara pada suami sahabatnya, cukup berjabat tangan. Dua sahabat yang sudah lama tak bertemu itu mengulas senyum bahagia. Saling menanyakan kabar masing-masing dan memesan makanan serta minuman.

"Yakin, nih, mau kerja?" tanya Naina sekali lagi.

"Insya Allah, Say."

"Temen suamiku sih ada buka lowongan kerjaan di minimarketnya. Cuma aku nggak yakin kamu bakal betah kerja di sana. Secara pekerjaan itu cukup menyita waktu," kata Naina, "iya 'kan, Pa?" Menatap sang suami.

"Nggak masalah, Nai. Asal dia mau nerima perempuan yang udah berumur kayak aku ini aja," canda Yanti.

"Masih muda, Mbak. Masak berumur, sih?" Suami Naina menimpali.

"Secara 'kan umurku udah nggak muda lagi, Mas. Mana belum ada pengalaman kerja sama sekali."

"Nanti aku yang ngomong sama dia. Biar langsung diterima," kata suami Naina.

"Aku tinggal bentar, ya, Say. Udah kebelet, nih," pamit Naina yang diangguki oleh Yanti.

Yanti dan suami sahabatnya mulai ngobrol tentang bagaimana sistem kerja minimarket itu. Sesekali percakapan mereka diselingi gelak tawa.

"Bagus, ya," ucap seorang lelaki di belakang mereka, "suami kerja, kamu kelayapan. Bener kata Ilyana tadi."

Yanti menengok dan terkejut. "Kamu salah paham, Mas. Aku ...."

"Mulai detik ini aku jatuhkan talak untukmu," kata Basuki.

Yanti dan suami Naina melongo tak percaya. Sementara Naina yang baru selesai dari toilet, hanya berdiri mematung di belakang Basuki.

Inikah imam yang kamu pilih, Yan?  Bukan lelaki baik seperti dugaanku selama ini. Kata hati Naina.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status