Happy Reading
*****
Ketika kesakitan masih melanda jiwa dan raga, Yanti tetap melaksanakan kewajibannya mengurus sang suami. Perempuan itu segera menyiapkan makan siang untuk Basuki dan Bagas yang baru pulang. Ketika akan memanggil mereka berdua, suara teriakan seorang perempuan terdengar.
Yanti mengenalnya, pemilik suara itu tak lain adalah sang ibu mertua. Kehebohan apalagi yang akan terjadi setelah ini, pikiran perempuan berambut hampir sepinggang itu mulai bertanya-tanya. Siksaan demi siksaan sudah dia alami dari pagi dan sekarang teriakan mertuanya merupakan tanda siksaan yang kesekian kali di hari ini.
"Kamu nggak tahu diri banget, Yan!" teriak perempuan paruh baya itu. Tanpa salam dan permisi dia langsung marah pada Yanti.
"Salah saya apa, Ma?"
"Kamu nyuruh Ilyana menggugurkan kandungannya? Otakmu ditaruh di mana?" Si Ibu mertua mendorong kepala Yanti keras dengan tangan kanan.
"Aw," rintih sang pemilik rumah. "Mama salah paham. Dia yang mulai menghina aku."
"Halah! Mana ada perempuan kalem macem dia menghina orang lain, jangan memfitnah orang baik." Maimunah, Mama mertua Yanti mencebikkan bibir.
"Buat apa Yanti bohong, Ma."
"Lambemu kui mencla-mencle (ucapanmu plin-plan), ra iso (tidak bisa) dipercoyo."
Bagas dan Basuki keluar dari kamar bersamaan. Mereka sedikit terganggu dengan percakapan dua perempuan beda generasi itu. Tatapan si bungsu sedikit tidak suka pada neneknya.
"Nenek nggak enak kalau nggak marah-marah?" kata bocah berumur sepuluh tahun dengan rambut lurus belah pinggir.
"Diam! Kamu itu masih bocah, nggak usah ikut campur urusan orang tua," ucap Maimunah keras.
"Ada apa, sih, Ma?" tanya Basuki kemudian dia melirik istrinya. "Waktu istirahatku itu cuma sejam. Jangan buat masalah lagi. Aku capek sama kelakuanmu."
"Ceraikan istrimu sekarang juga, Bas. Dia nyuruh Ilyana menggugurkan kandungan," kata Maimunah berapi-api.
Basuki membelalakkan mata, menatap tajam pada perempuan yang sudah terduduk lemas. Sementara Bagas, menatap benci pada dua orang dewasa di hadapannya yang telah menuduh sang Mama tanpa mendengar penjelasan.
"Bener itu, Yan?" tanya Basuki. Kembali dia menarik rambut istrinya ke belakang. "Jawab! Jangan cuma diam, nangis."
"Papa!" teriak Bagas sambil memeluk mamanya, takut.
Yanti meninggalkan meja makan, semakin lama dia berada di sana akan semakin menyesakkan hati. Pertengakaran mereka di depan si bungsu juga tidak bagus untuk perkembangan mental bocah sepuluh tahun itu. Bagas memerlukan teladan dan situasi rumah yang kondusif.
"Budek apa gimana, istrimu itu? Bukannya njelasin malah ditinggal pergi," ujar Maimunah.
"Biarin aja," kata Basuki, "Mama tahu dari mana kalau Yanti nyuruh Ilyana gugurin kandungannya?"
Maimunah menuang air putih kemudian meneguknya hingga kandas. Berkata keras dan berteriak ternyata membuat kerongkongannya kering. Setelah selesai minum, dia membuka suara.
"Mama ketemu Ilyana di supermarket tadi. Dia menceritakan pertemuannya dengan istrimu. Sebenernya, Ilyana berniat baik. Dia meminta Yanti untuk tanda tangan surat perceraian palsu kalian supaya keluarganya percaya kamu dan perempuan nggak becus itu sudah cerai. Eh, dasar orang nggak tahu terima kasih, Yanti malah nyuruh Ilyana gugurin kandungan."
"Kurang ajar emang Yanti. Biar aja, Ma. Aku bakal cerein dia beneran. Sudah nggak sanggup aku hidup sama perempuan itu. Bener-bener nggak becus jadi istri."
Lelaki itu begitu menghina istrinya, tetapi masih mau dan minta dilayani. Makhluk macam apa dia?
Tangan Basuki meraih piring dan memasukkan nasi serta lauk pauk yang sudah disiapkan. Tertarik dengan masakan yang tersaji, Maimunah pun ingin mencicipi hidangan itu. Dia mengambil piring dan mulai memasukkan makanan ke mulut. Orang tua dan anak itu memang tak punya malu.
Lama di dalam kamar si bungsu, Yanti mulai merancang masa depan. Mau sampai kapan dia harus menanggung semua kesakitan ini. Jika dirinya bisa menahan, bagaimana dengan anak-anak. Namun, untuk mengakhiri pernikahan dengan Basuki, dia harus kuat dulu secara ekonomi. Tidak mungkin bisa membesarkan dan menyekolahkan dua buah hatinya jika tidak memiliki pendapatan pasti.
Sebuah ide muncul, perempuan itu keluar dari kamar si bungsu yang sudah tertidur karena lelah menangis menuju kamarnya sendiri. Mencari-cari ponsel untuk menghubungi seseoarang. Senyum simpul terbit dari wajah Yanti, sahabat terbaiknya membalas chat yang dikirim.
"Waalaikumsalam. Kayaknya lebih enak ketemuan langsung, deh, Say. Sekalian reuni tipis-tipis. Sejak nikah kamu dah jarang main," tulis sahabat Yanti yang bernama Naina.
"Kita ketemuan besok, Say. Aku butuh banget info kerjaan. Terima kasih bantuannya. Kamu selalu bisa aku andalkan," balas Yanti. Tak lupa dia membubuhkan stiker dua tangan yang mengatup sebagai ucapan terima kasih.
Sambil memejamkan mata, perempuan pemilik kulit sawo matang itu menarik garis bibirnya. Jika memang harus menempuh jalur perpisahan, maka Yanti sudah siap. Bukan Basuki yang akan menceraikan, tetapi dia sendiri akan menggugat lelaki itu. Biarlah dianggap kalah oleh Ilyana asal kehidupannya akan kembali tenang setelah ini.
*****
Sinar mentari menampakkan diri malu-malu. Segala pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sudah Yanti bereskan. Anak-anak juga sudah berangkat ke sekolah.
Pagi ini rumahnya terasa damai, tanpa ada perkataan kasar dan keras yang selalu ada hampir setiap hari. Basuki tidak pulang sejak sang mertua marah-marah kemarin dan Yanti tak lagi peduli akan hal itu. Di mana pun lelaki itu kini menginap, dirinya tak ambil pusing.
Tadi, Yanti sudah mengatakan pada anak-anaknya untuk menemui Naina terkait keinginan untuk bekerja. Kedua buah hatinya menyambut dengan gembira, apalagi si sulung. Chalya begitu antusias dengan niatnya.
Perkataan si sulung agar Yanti membuktikan bahwa dirinya bisa hidup tanpa bayang-bayang Basuki menjadi angin segar. Mungkin benar pemikiran Chalya, seorang perempuan itu harus bisa hidup mandiri dan memiliki penghasilan. Bukan karena meremehkan kemampuan seorang suami dalam bekerja, tetapi lebih kepada menjaga hal-hal yang kadang tidak bisa diprediksi.
Kejadian tak terduga itu bukan hanya seperti yang dialami Yanti saat ini. Namun, banyak hal. Misal jika suatu saat sang suami meninggal atau sakit. Setidaknya, jika seorang perempuan bisa mandiri dan memiliki penghasilan, maka tidak terlalu bingung menghadapi masalah seperti itu.
Yanti mengunci rumah sebelum pergi. Memastikan sekali lagi. Dia sudah menyiapkan makanan jika si bungsu pulang. Setelah siap semua, perempuan itu menulis pesan di depan pintu dan berangkat menemui Naina.
Sampai di tempat janjian, Yanti sudah melihat Naina duduk dengan seorang lelaki yang tak lain suaminya.
"Assalamualaikum," salam perempuan dua anak itu.
"Waalaikumsalam," jawab Naina dan suaminya kompak.
Yanti dan Naina cipika-cipiki sebelum duduk. Sementara pada suami sahabatnya, cukup berjabat tangan. Dua sahabat yang sudah lama tak bertemu itu mengulas senyum bahagia. Saling menanyakan kabar masing-masing dan memesan makanan serta minuman.
"Yakin, nih, mau kerja?" tanya Naina sekali lagi.
"Insya Allah, Say."
"Temen suamiku sih ada buka lowongan kerjaan di minimarketnya. Cuma aku nggak yakin kamu bakal betah kerja di sana. Secara pekerjaan itu cukup menyita waktu," kata Naina, "iya 'kan, Pa?" Menatap sang suami.
"Nggak masalah, Nai. Asal dia mau nerima perempuan yang udah berumur kayak aku ini aja," canda Yanti.
"Masih muda, Mbak. Masak berumur, sih?" Suami Naina menimpali.
"Secara 'kan umurku udah nggak muda lagi, Mas. Mana belum ada pengalaman kerja sama sekali."
"Nanti aku yang ngomong sama dia. Biar langsung diterima," kata suami Naina.
"Aku tinggal bentar, ya, Say. Udah kebelet, nih," pamit Naina yang diangguki oleh Yanti.
Yanti dan suami sahabatnya mulai ngobrol tentang bagaimana sistem kerja minimarket itu. Sesekali percakapan mereka diselingi gelak tawa.
"Bagus, ya," ucap seorang lelaki di belakang mereka, "suami kerja, kamu kelayapan. Bener kata Ilyana tadi."
Yanti menengok dan terkejut. "Kamu salah paham, Mas. Aku ...."
"Mulai detik ini aku jatuhkan talak untukmu," kata Basuki.
Yanti dan suami Naina melongo tak percaya. Sementara Naina yang baru selesai dari toilet, hanya berdiri mematung di belakang Basuki.
Inikah imam yang kamu pilih, Yan? Bukan lelaki baik seperti dugaanku selama ini. Kata hati Naina.
Happy Reading*****Setelah mengucap kata talak, Basuki pergi begitu saja dengan Ilyana yang sudah menunggu di depan kafe itu. Arya, suami Naina masih melongo menatap Yanti dan istrinya bergantian. Merasa iba dengan perempuan yang sudah dijatuhi talak suaminya, lelaki itu menyodorkan jus yang mereka pesan."Minumlah, Mbak. Maaf kalau buat suamimu salah paham. Aku nggak nyangka bakalan gini akhirnya," ucap Arya tulus dengan wajah penuh penyesalan."Aku yang harus minta maaf, Mas," ucap Yanti pada Arya, "Nai, kamu tahu sekarang, 'kan? Gimana kelakuan suamiku.""Sabar, Say," ucap Naina. Dia kemudian merengkuh sang sahabat ke dalam pelukan dan salah satu tangannya mengelus-elus rambut. "
Happy Reading*****Jalanan mulai sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang lewat. Kota kecil seperti Banyuwangi, meskipun kabupaten jika jam sembilan ke atas jarang kendaraan yang melintas. Di belakang motor berwarna putih milik Chalya, Yanti berada kini.Rumah tangga yang dibangun belasan tahun silam runtuh sudah. Kesedihan demi kesedihan yang ditorehkan Basuki kini berakhir seiring jatuhnya talak dari lelaki itu. Kini, perempuan itu harus menyiapkan kalimat atas pertanyaan yang akan diajukan ibunya nanti.Tak pernah menjenguk perempuan yang telah melahirkannya adalah bukan murni keinginan Yanti. Basuki sering kali melarang dengan alasan kewajiban sebagai istri harus didahulukan. Ah, mengapa dia harus mengingat lelaki itu kembali.
Happy Reading*****Bel tanda pelajaran akan segera dimulai berbunyi ketika Chalya memarkirkan motor. Cepat dia mencopot helm yang masih dikenakan dan segera berlari ke kelas. Jam pelajaran pertama adalah kimia dengan guru super galak tentunya. Sudah pelajarannya cukup susah ditambah guru galak pula, lengkap sudah.Dari lorong yang berseberangan dengan gadis itu berlari si Pak Guru sudah terlihat hampir mendekati kelas. Chalya mempercepat larinya, sayang langkah kaki lelaki paruh baya itu hampir sama dengan lari si gadis sehingga mereka berpapasan di depan pintu kelas. Mereka hampir saja bertabrakan."Kenapa masih pake jaket?" tanya sang Guru."Maaf, Pak," ucap Chalya sambil membuka
Happy Reading*****Awan kumulus putih menghiasi birunya langit. Tiupan angin sesekali terasa, tetapi tidak sampai mengurangi keringat yang terus bercucuran dari perempuan yang akan berangkat kerja. Sekali lagi hari ini, dia masuk sif siang. Setelah menjemput putranya, Yanti segera mengganti pakaian dan berangkat.Jalanan dari rumah ibunya terasa sepi. Sebagian penduduk mulai istirahat sebelum melanjutkan pekerjaan di sawah. Rumah yang pernah ditinggali Yanti selama kurang lebih delapan belas tahun itu memang tergolong desa. Jadi, sebagian besar penduduknya bertani, lahan persawahan masih banyak dijumpai di sana, meskipun tidak semua menanam padi.Sepanjang perjalanan sebelum keluar dari jalan desa. Rekaman kejadian bersama Basuki melinta
Happy Reading*****Mengalah bukan berarti kalah, sesuatu yang dipaksakan hasilnya tentu tidak akan bagus. Bertahan belasan tahun sudah dijalani oleh Yanti. Menjadi istri yang begitu pengertian dan memaafkan setiap kesalahan Basuki pun sudah perempuan itu lakukan. Namun, sikap si lelaki yang berstatus suami tak juga berubah.Benar bijak berkata, pengertian itu tidak cukup dilakukan oleh salah satu pihak saja. Jika hal itu tetap dipaksakan, maka akan ada pihak yang terluka. Seperti posisi Yanti pada pernikahannya dengan Basuki, hanya perempuan itu saja yang selalu mengerti dan belajar memahami segala kelakuan dan sikap suaminya, tetapi tidak begitu dengan sang lelaki.Sebuah surat yang dikirimkan oleh seseorang atas suruhan Basuki membuat
Happy Reading*****"Pak, saya mau diajak ke mana?" tanya Yanti dan lagi-lagi Ismoyo tidak merespon pertanyaannya.Lelaki itu malah dengan cepat melajukan mobil ke arah yang tidak diketahui si karyawati. Nyaris tak ada penjelasan apa pun dari Ismoyo. Sewaktu masuk ke ruangan Gaza pun, lelaki itu cuma meminta sang sahabat mencatat kehadiran Yanti dan menghitung lembur jika nanti dia balik ke minimarket lebih dari jam kerja yang ditetapkan.Sampai di sebuah perumahan yang cukup bagus, pelan-pelan lelaki itu mengendarai mobilnya. Menyapa satpam yang menjaga gapura perumahan dan memberi uang tips, lalu melanjutkan lagi perjalanan. Sampai di sebuah rumah paling pojok dengan pohon anggur menaungi halaman depan, Ismoyo menghentika
Happy Reading*****"Tarik napas dalam-dalam. Tenangkan hati dan pikiran menghadapi mereka. Aku ada untukmu," kata Ismoyo memberi semangat.Yanti mengikuti instruksi si bos, mengembuskan napas dalam-dalam dan mulai melangkah. Berniat menyalami raja dan ratu sehari, Ismoyo berjalan santai di sebelah karyawannya. Tangan kiri si lelaki masih setia menggenggam.Ilyana terlihat membisikkan sesuatu pada Basuki. Sang mantan akhirnya menatap tajam ke arah Yanti yang mengantri di barisan para tamu untuk menyalami mereka. Tatapan itu turun pada genggaman tangan keduanya dan membuat emosi si mantan tersulut.Tepat giliran Ismoyo di depan sang pengantin perempuan. Lelaki itu mengucapkan se
Happy Reading***** Pulang dari resepsi pernikahan Basuki, Ismoyo tak langsung membawa karyawannya ke minimarket. Namun, dia mengajak ke suatu tempat. Yanti sempat bertanya ke mana lelaki itu mengajaknya, tetapi lagi-lagi si bos berkata untuk diam dan mengikuti semua perintah.Kalau sudah begitu, bisa apa. Yanti, hanya karyawan biasa yang berusaha patuh agar tidak diberhentikan sebagai pegawai. Masih banyak kebutuhan yang harus dia penuhi, apalagi menyangkut anak-anak. Di sebuah gedung bertuliskan spa dan salon kecantikan, si bos menghentikan laju kendaraan."Pak, kita mau ngapain ke sini?""Mau main futsal," jawab Ismoyo sambil menarik garis bibir