Share

Bab 22

Author: Zidan Fadil
last update Last Updated: 2025-05-01 07:30:05

Pagi di luar Desa Kemiripan menjanjikan udara segar dan langit yang lebih cerah dari biasanya. Embun masih menggantung di ujung rumput saat langkah kaki Rakasura, Ayu, dan Tirta mengayun meninggalkan batas desa. Tak ada perayaan, tak ada arak-arakan, tapi ketiganya merasa telah mengukir sesuatu yang lebih penting daripada tepuk tangan: kedamaian yang kembali.

Jalan kecil yang mereka pilih membelah dua perbukitan yang menjulur panjang seperti lengan raksasa yang melindungi dataran rendah. Menurut peta kasar yang mereka peroleh dari Denatra, di ujung jalan ini ada sebuah celah sempit di antara dua gunung kembar. Celah itu dikenal oleh orang-orang setempat sebagai Lorong Wesi, tempat banyak kafilah dan peziarah melewati jalur dagang ke utara.

“Jadi... jalur kita berikutnya

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Gelang Langit   Bab 49

    Dua hari kemudian, saat matahari belum sepenuhnya naik dan embun masih menempel di pucuk-pucuk rumput, Rakasura, Ayu, dan Tirta kembali melangkah.Kali ini, arah perjalanan mereka bukan menuju pusat kekuatan langit, melainkan ke arah yang selama ini tak pernah disebut dalam peta maupun cerita rakyat. Wilayah itu hanya dikenal dengan satu nama yang dibisikkan para pengelana: Tanah Bisu.Tidak ada yang tahu pasti letaknya. Tidak ada jalur dagang yang melewatinya. Tapi Rakasura pernah mendengar desas-desus di antara para penjaga kehendak lama, bahwa di Tanah Bisu pernah berdiri kuil yang tak memiliki doa.“Namanya aja udah bikin aku gak nyaman,” gumam Tirta sambil memeriksa ulang ranselnya.“Kau bisa tinggal kalau mau,” sindir Ayu.

  • Gelang Langit   Bab 48

    Hari itu, untuk pertama kalinya sejak perjalanan panjang mereka dimulai, Rakasura, Ayu, dan Tirta bangun tanpa rencana. Tidak ada peta yang harus dibaca, tidak ada kehendak yang harus dikejar, tidak ada siluman yang menunggu di balik bayangan.Dan itu... membuat Tirta panik.“Jadi kita ngapain sekarang?” tanyanya sambil mengunyah sepotong ubi panggang, duduk di beranda rumah penginapan.Ayu meliriknya, masih menggulung rambut dengan jepitan bambu. “Kau bisa bantu warga menyortir hasil panen.”Tirta memutar mata. “Aku mau relaksasi, bukan jadi petani magang.”“Kau bisa bantu anak-anak di tempat latihan bela diri,” tambah Rakasura sambil menyesap teh. “Mereka senang padamu.&

  • Gelang Langit   Bab 47

    Langit cerah menggantung di atas lembah saat Rakasura, Ayu, dan Tirta menuruni sisi lain dari Puncak Senyap. Tak ada lagi pusaran kehendak atau bisikan suara lama. Yang ada hanya langit biru, awan berarak perlahan, dan angin yang kini kembali terasa seperti milik dunia.Mereka berjalan dalam diam untuk waktu yang cukup lama. Tidak karena tidak ada yang ingin dikatakan, tapi karena kata-kata belum mampu menyamai beban dari peristiwa yang baru mereka lewati. Langkah kaki di atas tanah berbatu menjadi satu-satunya suara yang terus menyertai.Barulah ketika lembah mulai terbuka menjadi padang rumput yang akrab, Tirta menyahut pelan, “Kukira setelah menyelamatkan dunia, kita dapat sambutan karpet merah dan piring emas.”Ayu terkekeh. “Kalau ada karpet merah di sini, pasti sudah jadi alas kandang kambing

  • Gelang Langit   Bab 46

    Perjalanan menuju Puncak Senyap dimulai di bawah langit kelabu. Tidak ada burung, tidak ada angin, hanya sunyi yang begitu padat hingga suara langkah kaki pun terdengar seolah menentang kehendak alam.Rakasura berjalan paling depan. Di pergelangan tangannya, gelang yang kini bersatu sempurna memancarkan sinar tenang, seolah bernafas bersama bumi. Setiap langkahnya terasa seperti menjelajahi bagian terdalam dari dirinya sendiri.Ayu dan Tirta mengikuti di belakang, langkah mereka selaras, mata mereka menatap lurus ke depan. Tak ada candaan dari Tirta kali ini. Tak ada pertanyaan dari Ayu. Semuanya seperti tahu: inilah bagian akhir dari perjalanan yang telah terlalu lama menyimpan beban tak bernama.Mereka tiba di sebuah jalan setapak batu yang menanjak tajam, membelah hutan cemara kecil yang meranggas. Udara semakin

  • Gelang Langit   Bab 45

    Langit berwarna tembaga ketika Rakasura, Ayu, dan Tirta menuruni padang sunyi menuju timur laut. Di balik barisan pegunungan yang membentang kelabu, terbentang tempat yang menurut Ayu adalah perbatasan terakhir antara langit dan bumi.Tak satu pun dari mereka bicara sejak meninggalkan tanah kehendak keempat. Masih ada keheningan yang menempel, seolah tanah itu belum benar-benar melepas mereka. Tapi juga ada ketegasan dalam langkah mereka. Seperti ketiga unsur dalam tubuh manusia—akal, hati, dan nafas—mereka kini berjalan sebagai satu kesatuan.Saat malam mulai jatuh, mereka menemukan sebuah celah di tebing yang terlindung dari angin. Tirta membuat api kecil, Ayu menyiapkan teh dari daun kering, dan Rakasura duduk menyendiri, memandangi gelang di pergelangan tangannya.Cahaya dari empat pola masih menyala samar: lingkaran cahaya, lidah api kecil, spiral napas, dan akar tanah. Tapi belum ada tanda bahwa kekuatan gelang telah menyatu sepenuhnya.Ayu mendekat dan duduk di sampingnya. “Apa

  • Gelang Langit   Bab 44

    Pagi berikutnya, kabut belum sepenuhnya terangkat dari lembah ketika Rakasura, Ayu, dan Tirta meninggalkan dataran Napas Pertama. Angin mengalir tenang, tak lagi berdesir seperti semalam, seolah dunia memberi ruang untuk mereka berjalan tanpa gangguan.Mereka menuju barat—ke wilayah yang selama ini tidak disebut dalam peta maupun dongeng. Wilayah yang dijauhi oleh para pelancong, bukan karena bahaya... tapi karena dilupakan. Sebuah tanah tak bernama yang menurut Rakasura adalah tempat kehendak keempat tertanam: Tanah Yang Mengubur.“Ini... bagian terakhir?” tanya Tirta sambil memanggul kantung bekalnya.“Bukan,” jawab Rakasura. “Tapi ini bagian yang akan membuat kita memilih.”Ayu mengernyit. “Memilih apa?”“Apakah kita masih sanggup memikul semuanya, atau menyerahkannya pada orang lain.”Perjalanan mereka memakan waktu dua hari penuh. Mereka menyeberangi sungai besar, mendaki bukit sunyi, dan menyusuri padang ilalang tinggi yang nyaris menelan tubuh. Di hari ketiga, medan berubah: ta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status