Langit pagi tampak abu-abu. Bukan karena hujan, tapi karena sesuatu yang menggantung di udara—tekanan yang tak kasatmata namun cukup kuat untuk membuat burung-burung enggan berkicau. Desa itu tidak lagi sama. Sejak tiga suara bersilang di tanahnya, batas antara harapan dan ketakutan menjadi semakin kabur.
Di dalam balai desa yang kini menjadi tempat berkumpul warga dan pemimpin tiga faksi, suara percakapan rendah terdengar seperti percikan kecil dalam kolam yang besar. Tak ada lagi teriakan atau tuduhan. Tapi juga belum ada persetujuan.
"Kita harus membentuk dewan bersama," ujar salah satu perwakilan warga, seorang pemuda dengan pita kain di lengannya yang bertuliskan simbol lingkaran tak sempurna—lambang suara ketiga.
"Tidak. Dewan hanya akan memperlambat keputusan. Kita perlu tindakan," sahut salah sat
Matahari sudah tinggi ketika mereka akhirnya meninggalkan lereng yang menghadap ke lembah gema. Jalan setapak yang mereka tempuh kini mulai menurun, menyusuri jalur-jalur tersembunyi di antara tebing dan akar pohon yang menjulur liar. Langit tampak jernih, namun hawa di sekitar mereka tetap mengandung bekas-bekas keheningan yang baru saja mereka tinggalkan.Tirta berjalan di belakang, sesekali menoleh, memastikan tak ada sesuatu yang mengikuti mereka. Tapi langkahnya melambat bukan karena takut, melainkan karena pikirannya masih terjebak pada suara seruling itu. Masih ada gema samar yang bergulir dalam kepalanya, seolah dunia belum sepenuhnya kembali dari mimpi."Aku masih dengar nadanya," katanya lirih, menembus keheningan.Ayu menoleh sekilas, mengangguk pelan. "Mungkin itu memang bukan nada yang bisa berhenti. Seperti kenangan, Tirta. Ia hanya mereda, tapi tak lenyap."Di depan mereka, Rakasura tidak menoleh, tapi ia mendengar. Langkahnya tetap mantap
Pagi itu tidak cerah, namun juga tidak kelam. Langit menggantung dengan awan tipis berlapis-lapis, seperti kelambu raksasa yang menutupi dunia. Embun belum kering ketika langkah kaki Rakasura, Ayu, dan Tirta menginjak dedaunan hutan di tepi Lembah Sunyi. Di belakang mereka, suara gema sudah tak terdengar, namun keheningan yang mereka bawa masih terasa."Kita harus kembali ke jalur utama," ujar Rakasura sambil menatap jalur sempit yang membelah semak dan batang-batang tua.Tirta mengangguk lesu, matanya masih sering menoleh ke belakang. “Seolah... suara itu belum sepenuhnya pergi dari kepalaku.”Ayu berjalan paling depan. Langkahnya ringan tapi mantap. Ia tidak berkata banyak sejak meninggalkan sumur gema, namun sesekali jari-jarinya menyentuh lengan, seakan ingin memastikan dirinya masih nyata. Ada sesuatu dalam dirinya yang berubah—bukan karena seruling itu, tapi karena ia mendengar sesuatu yang tak semua orang bisa dengar: dirinya sendiri.
Langit di atas mereka bukan lagi kelabu. Setelah keluar dari ruang gema, ketiganya disambut langit jingga yang berpendar, seolah senja tengah bersenandung di ufuk timur. Udara masih dingin, namun angin yang melintas kini membawa wewangian samar dari rerumputan dan tanah basah.Tirta mendesah panjang. "Rasanya kayak keluar dari mimpi yang nggak bisa dijelasin."Ayu menengadah, memejamkan mata sejenak. "Mimpi yang rasanya nyata... atau kenyataan yang terasa seperti mimpi."Rakasura tidak berkata apa-apa. Ia masih memikirkan gema terakhir yang dilepaskan. Jubah tipis yang kini telah menyatu dengan gelang di tangannya seolah membuat langkahnya lebih ringan, tapi pikirannya justru lebih berat.Mereka menyusuri jalan menurun yang membelah lembah. Kabut mulai mengendur, tapi belum sepenuhnya menghilang. Di kejauhan, suara burung-burung malam mulai terdengar, nyaris seperti balasan atas lagu yang barusan mereka lewati.Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah padang rumput kecil yang diapit d
Suara dari seruling itu bukan ledakan, bukan juga nyanyian. Ia datang seperti bisikan yang merayap di balik tulang, melewati batas indera biasa. Sebuah nada tunggal, panjang, menggema di dalam dada, bukan di telinga. Rakasura memejamkan mata, merasakan dunia di sekitarnya meluruh jadi gelombang sunyi yang beriak.Ayu dan Tirta tetap berdiri, meski lutut mereka sempat goyah. Suara dari seruling itu bukan sekadar bunyi. Ia seperti membuka sesuatu di dalam jiwa mereka, sesuatu yang telah lama tidur, menunggu panggilan."Kau dengar itu?" bisik Tirta, suaranya gemetar. "Itu... suara langit?"Ayu tak menjawab. Matanya terpaku pada Rakasura yang masih berdiri dengan seruling di tangan. Seruling itu kini retak, perlahan hancur menjadi debu cahaya perak dan lenyap ditiup angin yang tak terasa.Namun gema nadanya tetap tersisa, berputar-putar di udara. Dan dari tengah kabut, sesuatu mulai muncul.Siluet.Sebuah bayangan berjalan mendekat. Tingginya ta
Kabut menggantung tebal di antara lereng-lereng batu. Cahaya matahari tersaring menjadi kelabu pucat, dan udara membawa bau tanah lembap serta suara-suara samar yang tidak berasal dari makhluk hidup mana pun.Rakasura berhenti di sebuah ceruk, matanya menyipit menatap celah tipis di antara batu yang berkilau lembut."Apa ini... gua?" tanya Tirta pelan."Bukan gua," jawab Ayu sambil meraba dinding batu. "Lebih seperti... ruang gema yang tumbuh sendiri. Seperti gema dari langkah kita, dari napas kita, membentuk ruang ini dari waktu ke waktu."Rakasura mengangguk. Ia bisa merasakannya juga. Ruang ini bukan dibangun. Ia lahir dari resonansi. Gema-gema yang terlantar menemukan tempat untuk bersarang, dan lambat laun membentuk rongga untuk bertahan.Mereka melangkah masuk. Semakin dalam, semakin aneh dunia di sekeliling mereka. Cahaya tak datang dari atas, tapi dari bawah—dari genangan air setipis kulit di lantai yang memantulkan cahaya biru pucat.
Perjalanan menuju Batu Pemantul dimulai saat fajar masih bersembunyi di balik garis bukit. Rakasura berjalan paling depan, langkahnya mantap meski beban di dadanya makin berat. Tirta dan Ayu mengikuti di belakang, mata mereka masih menyimpan sisa keheranan dan kegelisahan dari apa yang mereka alami di sumur gema.Kabut pagi menyelimuti jalur sempit yang membelah hutan dataran tinggi. Pohon-pohon tinggi menjulang seperti penjaga bisu, dan suara burung-burung pun terdengar aneh—seolah dipantulkan kembali oleh udara itu sendiri. Setiap langkah terasa berulang, setiap suara terasa seperti bergema dua kali."Ini bukan pantulan biasa," gumam Ayu. "Suara kita... seperti dipelintir sebelum kembali."Rakasura mengangguk. "Batu Pemantul bukan sekadar tempat. Ia cermin bagi suara batin, bukan suara mulut. Semakin dekat kita, semakin gema itu akan memantulkan sisi yang kita sembunyikan."Tirta meneguk ludah. "Berarti... kita bisa dengar pikiran satu sama lain?"