LOGIN"Vano hentikan! Jangan kurang ajar!" teriak Lilyan dengan geram.Namun Vano tidak mau menggubrisnya. Ia berusaha keras untuk meredam pergerakan Lilyan dan akhirnya setelah beberapa saat mamamu, pria itu berhasil membuat Lilyan tak bisa berkutik lagi. Kedua tangan gadis itu dipegang oleh Vano dan sudah berada di atas tubuh Lilyan yang ketakutan. Vano menyeringai tipis, matanya tertuju pada wajah cantik Lilyan yang memerah. "Kenapa kamu begitu takut padaku, Lilyan? Aku ini kekasihmu. Kenapa kamu begitu jijik padaku sementara pada Rega kamu dengan suka rela membuka kakimu lebar-lebar," cibir Vano. "Vano aku mohon lepaskan aku." Lilyan hampir menangis, entah kenapa ia merasa tidak rela jika Vano menyentuh tubuhnya. "Tidak akan Ly, aku akan mencicipi dulu tubuhmu sebelum aku melepaskanmu. Ini adalah balasan karena kamu telah berani mengkhianatiku!" geram Vano berubah dingin dan dengan kasar berusaha membuka kancing kemeja yang dikenakan oleh Lilyan. Lilyan semakin panik, dengan menge
Pintu mobil tertutup keras. Suara itu menggema di kepala Lilyan, membuat napasnya tercekat. Tubuhnya gemetar saat Vano mengitari mobil dan masuk ke kursi pengemudi. Mesin dinyalakan dengan kasar, lalu mobil melaju meninggalkan area kantor dengan kecepatan yang membuat Lilyan refleks berpegangan pada sabuk pengaman. “Vano, berhenti!” suara Lilyan bergetar menahan takut. Vano tak menoleh. Rahangnya mengeras, sorot matanya lurus menatap jalanan, dipenuhi emosi yang tak lagi ia sembunyikan. "Vano! Kamu dengar aku tidak? Behenti aku bilang! Aku tidak ingin mati konyol!" Lilyan berteriak panik saat mobil Vano hampir menabrak mobil di depannya. Kedua tangan Lilyan menggenggam erat sabuk pengaman yang melingkari tubuhnya. "Munafik!" desis Vano geram. Mendengar hal itu Lilyan pun langsung menoleh dengan mata menyipit. "Apa maksudmu?" tanyanya. "Jangan pura-pura tidak tahu maksud perkataanku, Lilyan! Dasar wanita murahan!" Sekali lagi Vano mengeluarkan kata-kata umpatan y
Vano yang sedang menikmati segelas minuman di sebuah bar kecil itu tersentak saat ponselnya bergetar di atas meja. Musik pelan bercampur bau alkohol menusuk hidungnya, kepalanya sudah setengah pening, tapi satu notifikasi cukup membuatnya kembali sadar. Nama Mama tertera di layar. Keningnya berkerut. Jarang sekali Bu Fatma menghubunginya seperti ini. Dengan satu sentuhan, layar ponsel terbuka dan napas Vano langsung tercekat. Beberapa foto muncul berurutan. Rega duduk berhadapan dengan Lilyan di sebuah restoran mewah. Wajah mereka begitu dekat. Lilyan tersenyum. Senyum yang selama ini Vano anggap hanya miliknya. Foto berikutnya lebih menusuk, Rega tampak menyeka sudut bibir Lilyan dengan tisu, begitu natural, begitu intim. Dan yang terakhir, Rega tampak mencium punggung tangan Lilyan dengan lembut. Darah Vano berdesir panas. Tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Rahangnya mengeras, luka lebam di wajahnya kembali terasa berdenyut, seakan menertawakannya. Sem
Vano terdiam. Tangisan Gina membuat dadanya terasa sesak, namun bukan karena iba, melainkan karena ia merasa terjebak. Pria itu bangkit dari sofa, berjalan mondar-mandir seperti singa terluka. “Jangan pakai anak itu untuk menekanku,” ucapnya kasar. “Aku tidak pernah berjanji akan menjadikannya alasan untuk menikahimu.” Gina tersentak. Air matanya jatuh semakin deras. “Aku tidak menekanmu, Mas. Aku hanya ingin kamu bertanggung jawab.” Vano berhenti melangkah. Ia menoleh dengan tatapan dingin yang membuat Gina bergidik. “Tanggung jawabku adalah menjaga masa depanku,” balasnya tajam. “Dan masa depan itu bukan kamu.” Kalimat itu menghantam Gina lebih keras dari tamparan mana pun. Tangannya gemetar saat menutup perutnya, seolah melindungi bayi yang belum lahir dari kebencian ayahnya sendiri. “Kamu kejam,” bisiknya lirih. “Lebih kejam dari yang aku kira.” Vano mendengus, lalu meraih jaketnya. “Aku lelah. Jangan membuat hariku semakin buruk.” “Kamu mau pergi lagi?” Gina berdiri, refl
Pintu itu terbuka perlahan, memperlihatkan sebuah ruangan tersembunyi yang jauh lebih besar dari bayangannya. Lampu otomatis menyala. Dan Lilyan terpaku. "Masuklah." Rega mengisyaratkan agar Lilyan ikut masuk bersamanya. Ruangan itu seperti kamar apartemen kecil, bersih, hangat, elegan. Ada sofa panjang di sisi kiri, rak buku di dinding, meja kecil dengan segelas air yang masih penuh, dan yang paling mencolok adalah sebuah tempat tidur queen berseprai putih rapi, terlihat sangat nyaman. Seakan ruangan itu sudah sering digunakan. Lilyan menatap Rega dengan mata membesar. “Kamu… punya kamar rahasia di kantor?” Rega berjalan masuk tanpa menjawab. Ia membuka lemari pakaian di sudut ruangan dan mengambil kaos hitam bersih, juga satu kemeja baru. “Kadang aku kerja sampai malam,” katanya santai. “Jadi aku butuh tempat untuk istirahat.” Lilyan masih belum bergerak dari ambang pintu. Baru kali ini ia merasa benar-benar tidak tahu apa yang harus dikatakan. Kemudian ia akhirnya mela
Akhirnya Lilyan berjalan pelan menuju ruangan Rega. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Lilyan langsung masuk ke dalam ruangan dan menghampiri Rega yang sedang mengobati luka sobek di sudut bibirnya. Rega duduk di tepi meja, menunduk sambil menekan kapas ke lukanya. Kemeja putihnya sudah dilepas, menyisakan kaus dalam hitam yang melekat di tubuh atletisnya. Lilyan sempat terpaku sebelum buru-buru mengalihkan pandangan. “Sini.” Lilyan mendekat tanpa sadar. “Biar aku bantu.” Rega mengangkat wajahnya, sorot matanya terkejut sekaligus… lembut. Sangat lembut. Sorot yang membuat langkah Lilyan melemah dan napasnya sedikit tersengal. “Tidak perlu,” gumam Rega. “Aku bisa sendiri.” “Biar aku yang urus,” kata Lilyan lebih pelan. “Luka kamu akan makin parah kalau ditekan sembarangan.” Rega menghela napas, menyerah. Ia memberikan kapas itu padanya. Lilyan berdiri sangat dekat, cukup dekat hingga ia bisa merasakan hangat napas Rega yang menyentuh pipinya. Tangannya sedikit gemetar ketika







