Laura sudah menduga sejak awal saat dirinya melahirkan bayi perempuan. Asher pasti akan menjadi papa yang banyak membatasi pergerakan putri mereka. Dengan Rachel pun, Asher seperti ayah kandung yang selalu menegur setiap kali ada kesempatan. Laura takut membayangkan masa depan putrinya tidak akan bisa bebas, atau sulit mencari kebahagiaan yang diinginkannya karena tekanan dari Asher.Namun, kata-kata Asher yang menyatakan bahwa putri mereka tak akan berteman dengan siapa pun, Laura kali ini menyetujuinya. Setidaknya, untuk situasi sekarang.āPutri kami bahkan masih belum bisa melihat dengan jelas. Sebaiknya, kita membicarakan masalah teman bermainnya kalau dia sudah agak dewasa,ā kata Laura kepada para nyonya besar yang hadir di pesta.Bukan hanya Asher yang diserang oleh tamu-tamu mereka, Laura pun demikian. Berbeda dari si kembar, jika putra mereka menjadi bagian dari Smith Group, besar kemungkinan dia bisa menduduki posisi tinggi tanpa bersusah payah, dan hanya karena menjadi suami
Laura Smith berjalan keluar dari gedung perusahaan Hartley. Pekerjaannya telah usai saat menjelang jam makan siang.Sudah satu tahun Laura kembali bekerja. Laura tak perlu mengawasi Lana selama seharian penuh lagi.Lana saat ini sudah berusia hampir lima tahun, sedangkan Claus dan Collin pun sudah sekolah. Si kembar cukup bisa diandalkan menjaga adiknya meski terkadang membuatnya menangis. āDi mana Asher?ā gumam Laura menanti Asher keluar dari mobil.Di tepi jalan, mobil mewah telah menanti Laura. Biasanya, Asher selalu menunggu Laura di depan pintu masuk kantor. Namun, dia tak melihat tanda keberadaan sang suami di mana-mana.āKenapa malah anak-anak yang datang ke sini?ā Laura gegas menghampiri mereka.Dua anak lelaki tampan dan berwajah serupa membuka pintu di kedua sisi mobil bagian belakang. Claus membantu adik perempuannya yang memakai gaun putih turun dari mobil. Si kembar kemudian menggandeng Lana di kanan dan kiri secara protektif. Seakan-akan tak ingin ada satu pun orang men
"Ngh ...."Laura Hartley mengerang pelan ketika merasakan sentuhan basah di lehernya. Deru napas seorang pria menggelitik indra pendengarannya.āSiapa ā¦?ā batin Laura seiring matanya terbuka untuk mencari tahu identitas sosok di sisinya. Namun, pandangannya buyar akibat efek alkohol yang mendera."Ah!"Lenguhan keras terlontar dari bibir Laura, merasakan sesuatu milik sang pria mulai mendorong dari bawah. "Tidak ... jangan ā¦," rintih Laura, tahu bahwa hal ini tidak boleh terjadi.Pria itu sempat menghentikan gerakan, seolah ragu. Namun, desakan gairah yang tak tertahankan menuntutnya untuk kembali beraksi."Hentikan ...." Laura mendorong dada pria itu. Akan tetapi, tenaganya terlalu lemah.Penolakan Laura membuat pria itu mengunci kedua tangannya di atas kepala."Maaf ... aku tidak bisa menahannya lagi." Suara berat dan dalam pria itu begitu menggoda, membuat bulu kuduk Laura meremang."Ahh ...." Mata Laura membesar saat inti tubuhnya menerima serangan yang begitu menyakitkan.Manik b
"Beraninya kau kembali ke rumah ini setelah semua yang terjadi! Dasar anak tidak tahu malu!" maki Simon.Makian sang ayah membuat Laura membeku, kenapa sang ayah seperti ini?Melihat wajah Laura yang kosong, telapak tangan Simon hendak melayang sekali lagi ke wajah putrinya. Namun, Nora, adik tiri Laura, segera mencegah dengan memegang lengan sang ayah."Papa! Apa yang Papa lakukan? Kenapa Papa mau memukul Kak Laura, Pa?!" seru Nora dengan wajah khawatir.Simon menepiskan tangan sang putri. "Jangan ikut campur! Papa harus memberi pelajaran pada kakak sialanmu ini!"Gilda, istri kedua Simon dan ibu kandung Nora, yang mendengar keributan itu ikut keluar. Melihat adegan di depan mata, dia langsung membantu putrinya menahan sang suami. "Papa, sabar, Pa! Jangan begini!"Sementara pasangan ibu dan anak itu berusaha menahan sang ayah, badan Laura gemetaran bukan main. Firasat buruk datang menghampiri. Apakah Simon tahu perbuatannya semalam?"Diam! Kalian tidak tahu bagaimana aku harus menang
"Bisa-bisanya ayahmu berbuat seperti itu!" Suara teriakan terdengar dari dalam sebuah kamar salah satu kediaman besar di pinggir kota.Terlihat sosok Laura tengah duduk di sofa bersebelahan dengan sahabat baiknya, Emma Ruiz, putri dari Keluarga Ruiz.Laura telah menceritakan semua yang terjadi kepada Emma. Alhasil, temannya itu sangat marah. "Jelas-jelas Nora yang memaksamu pergi ke tempat itu, tapi kamu yang disalahkan sepenuhnya! Ayahmu kentara sekali pilih kasih!"Laura diam sembari memeluk lututnya, tak sedikit pun menanggapi komentar Emma. Sebab, dia sudah tahu sang ayah dari dulu lebih menyayangi Nora dibandingkan dirinya. Bertahun-tahun hidup bersama, ada beberapa hal yang selalu terjadi di kediaman Hartley.Jika Laura menginginkan sesuatu, Nora pasti akan memintanya. Di saat itu, Simon pasti memaksa Laura untuk mengalah dan memberikan miliknya kepada Nora. Jika Nora melakukan kesalahan, Laura-lah yang akan dihukum dengan alasan tidak memerhatikan dan menjaga adiknya.Semua
Selagi semua pertanyaan itu melambung di benak Laura, dia mendengar Emma memaki dengan emosi menggebu."Dasar rubah licik! Aku yakin dari dulu Nora sudah mengincar Noah! Ini berarti apa yang menimpa Laura pasti ada hubungan dengannya!" Wanita itu tak lupa menambahkan, "Noah juga! Apa dia tidak tahu apa dampak pengumuman ini kepada Laura? Apa dia tidak memikirkan perasaan Laura?! Kalau aku bertemu dua orang hina itu nanti, akan kuhabisi mereka!"Suara Emma yang semakin lama semakin tinggi membuat Alan mendelik. "Jangan berteriak-teriak, bodoh! Cepat kecilkan volume suara TV! Laura bisa mendengarā"Mendadak, ucapan pria itu berhenti saat matanya mendarat pada sosok Laura yang membeku di tangga."L-Laura!"Teriakan Alan membuat Emma mengikuti arah pandang sang kakak dan spontan mematikan televisi. Kakak-adik itu membeku di tempat hingga Laura berjalan mendekat.Emma dan Alan langsung berdiri dan menghampiri Laura."Laura, jangan pedulikan dua orang hina itu, oke? Mereka tidak pantas kau p
Sadar dirinya membuat bingung Theo, Laura memaksakan sebuah senyuman."Y-ya, saya baik-baik saja, maaf ... saya agak gugup." Laura duduk di kursi yang ditunjukkan Theo.Kedua tangan Laura saling terpaut dan meremas. Dia tak bisa menatap ke arah pria di hadapannya. Hingga sepasang manik matanya yang sedang melihat ke arah meja menemukan benda yang tampak familiar.Laura memicingkan mata untuk mengamati kalung yang berada di dekat tangan Asher. Setelah dapat melihatnya dengan jelas, kedua bola matanya membulat lebar.'Kalung itu .ā¦' Laura menyipitkan matanya melihat benda yang familiar yang sedang dipegang oleh Asher.Laura kehilangan kalungnya. Dia mulai ingat ketika beberapa minggu yang lalu, ketika mandi, dirinya sudah mencari kemana-mana, namun belum juga menemukannya. Ketika melihat kalung itu ada di tangan Asher, Laura ingin bertanya untuk memastikan apakah itu benar kalung miliknya.Tanpa Laura ketahui, kalung yang telah dia cari-cari selama beberapa minggu terakhir, ternyata jatu
Laura tersentak dan sontak meneteskan air mata. Bukan hanya karena rasa sakit di pergelangan tangannya, tetapi kata-kata Asher sangat menyakitkan hati.Mencuri? Bagaimana mungkin Laura mencuri benda miliknya sendiri?"Apa kau mau bekerja di sini hanya untuk mencuri?!" Asher menatap Laura nyalang, "Nona Laura, aku akan melaporkanmu ke polisi!" tegasnya seraya menarik Laura menuju pintu.Laura hanya bisa menggeleng sambil menangis terisak. "Tidak! Lepaskan aku!" teriak Laura, "Aku sama sekali tidak mencuri!"Ucapan Laura membuat Asher menghentikan langkahnya. "Tidak mencuri?" ulangnya. Kening pria itu berkerut seiring dirinya lanjut bertanya, "Kalau tidak mencuri, apa kalung ini milikmu?"Pertanyaan Asher membuat Laura terdiam. Haruskah Laura mengatakan kebenarannya?"Aku ā¦!"Baru saja Laura ingin mengatakan sesuatu, pening yang sangat mendadak menyerang kepalanya. "Ugh ā¦."Asher tampak kaget. "Nona Laura?"Namun, Laura tak mampu untuk bahkan membalas ucapan Asher. Pandangannya yang bur