Waktu berlalu dengan cepat. Perut Laura kini telah membesar dan hampir melahirkan.Asher dan Laura sepakat untuk tidak mencari tahu jenis kelamin bayi mereka karena pertentangan pendapat. Namun, dokter tetap memberi tahu bahwa bayi di dalam rahim Laura kali ini hanya ada satu.Asher meyakini bahwa bayinya berjenis kelamin perempuan, sedangkan Laura yakin bahwa anaknya lelaki. Sementara itu, orang-orang di sekeliling mereka pun memperdebatkan hal yang serupa dan tak ada yang menebak sama. Karena itu, kamar untuk bayi mereka juga dipersiapkan setengah untuk perempuan, setengah lagi untuk laki-laki.“Sayaaaang!” seru Asher dari koridor.Laura yang saat ini berada di kamar Claus dan Collin bersusah payah bangun untuk menyambut Asher yang baru saja pulang dari kerja. Simon gegas membantu Laura berdiri dan menuntunnya ke depan pintu.Rupanya, Asher masih jauh dari kamar itu dan hanya suaranya yang terlalu keras memanggil dirinya. Melihat sang istri kesulitan menegakkan badan, Asher gegas
Lana Smith, putri pertama Asher dan Laura ditidurkan di tengah-tengah ranjang di kamar yang kini telah diubah sepenuhnya menjadi bernuansa merah muda. Asher, Claus, dan Collin tidur tengkurap mengelilinginya dan tak jenuh memandang bayi itu layaknya harta karun yang tak ternilai harganya.“Bibirnya bergerak-gerak, Papa,” bisik Collin.“Aduh … aku baru saja berkedip! Aku tidak melihatnya,” sesal Claus bermuram durja.“Nanti pasti bergerak lagi. Jangan terlalu keras bicara, Claus,” tegur Asher lirih.Claus cemberut dan hampir menyentuh pipi adik bayinya. Namun, Asher lekas mencegah dengan decapan dan menunjukkan tatapan tajam padanya.“Aku ingin menggendong adikku, Papa,” pinta Claus memelas.“Tidak boleh. Lana masih berusia dua hari lebih empat jam. Kau bisa menjatuhkan Lana.”Sejak diperbolehkan melihat bayi itu, mereka bertiga senantiasa mengamatinya dengan posisi sama. Asher mencatat setiap gerakan kecil Lana, sedangkan Claus dan Collin akan memberi tahu ketika dirinya sedang melakuk
Laura sudah menduga sejak awal saat dirinya melahirkan bayi perempuan. Asher pasti akan menjadi papa yang banyak membatasi pergerakan putri mereka. Dengan Rachel pun, Asher seperti ayah kandung yang selalu menegur setiap kali ada kesempatan. Laura takut membayangkan masa depan putrinya tidak akan bisa bebas, atau sulit mencari kebahagiaan yang diinginkannya karena tekanan dari Asher.Namun, kata-kata Asher yang menyatakan bahwa putri mereka tak akan berteman dengan siapa pun, Laura kali ini menyetujuinya. Setidaknya, untuk situasi sekarang.“Putri kami bahkan masih belum bisa melihat dengan jelas. Sebaiknya, kita membicarakan masalah teman bermainnya kalau dia sudah agak dewasa,” kata Laura kepada para nyonya besar yang hadir di pesta.Bukan hanya Asher yang diserang oleh tamu-tamu mereka, Laura pun demikian. Berbeda dari si kembar, jika putra mereka menjadi bagian dari Smith Group, besar kemungkinan dia bisa menduduki posisi tinggi tanpa bersusah payah, dan hanya karena menjadi suami
Laura Smith berjalan keluar dari gedung perusahaan Hartley. Pekerjaannya telah usai saat menjelang jam makan siang.Sudah satu tahun Laura kembali bekerja. Laura tak perlu mengawasi Lana selama seharian penuh lagi.Lana saat ini sudah berusia hampir lima tahun, sedangkan Claus dan Collin pun sudah sekolah. Si kembar cukup bisa diandalkan menjaga adiknya meski terkadang membuatnya menangis. “Di mana Asher?” gumam Laura menanti Asher keluar dari mobil.Di tepi jalan, mobil mewah telah menanti Laura. Biasanya, Asher selalu menunggu Laura di depan pintu masuk kantor. Namun, dia tak melihat tanda keberadaan sang suami di mana-mana.“Kenapa malah anak-anak yang datang ke sini?” Laura gegas menghampiri mereka.Dua anak lelaki tampan dan berwajah serupa membuka pintu di kedua sisi mobil bagian belakang. Claus membantu adik perempuannya yang memakai gaun putih turun dari mobil. Si kembar kemudian menggandeng Lana di kanan dan kiri secara protektif. Seakan-akan tak ingin ada satu pun orang men
"Ngh ...."Laura Hartley mengerang pelan ketika merasakan sentuhan basah di lehernya. Deru napas seorang pria menggelitik indra pendengarannya.‘Siapa …?’ batin Laura seiring matanya terbuka untuk mencari tahu identitas sosok di sisinya. Namun, pandangannya buyar akibat efek alkohol yang mendera."Ah!"Lenguhan keras terlontar dari bibir Laura, merasakan sesuatu milik sang pria mulai mendorong dari bawah. "Tidak ... jangan …," rintih Laura, tahu bahwa hal ini tidak boleh terjadi.Pria itu sempat menghentikan gerakan, seolah ragu. Namun, desakan gairah yang tak tertahankan menuntutnya untuk kembali beraksi."Hentikan ...." Laura mendorong dada pria itu. Akan tetapi, tenaganya terlalu lemah.Penolakan Laura membuat pria itu mengunci kedua tangannya di atas kepala."Maaf ... aku tidak bisa menahannya lagi." Suara berat dan dalam pria itu begitu menggoda, membuat bulu kuduk Laura meremang."Ahh ...." Mata Laura membesar saat inti tubuhnya menerima serangan yang begitu menyakitkan.Manik b
"Beraninya kau kembali ke rumah ini setelah semua yang terjadi! Dasar anak tidak tahu malu!" maki Simon.Makian sang ayah membuat Laura membeku, kenapa sang ayah seperti ini?Melihat wajah Laura yang kosong, telapak tangan Simon hendak melayang sekali lagi ke wajah putrinya. Namun, Nora, adik tiri Laura, segera mencegah dengan memegang lengan sang ayah."Papa! Apa yang Papa lakukan? Kenapa Papa mau memukul Kak Laura, Pa?!" seru Nora dengan wajah khawatir.Simon menepiskan tangan sang putri. "Jangan ikut campur! Papa harus memberi pelajaran pada kakak sialanmu ini!"Gilda, istri kedua Simon dan ibu kandung Nora, yang mendengar keributan itu ikut keluar. Melihat adegan di depan mata, dia langsung membantu putrinya menahan sang suami. "Papa, sabar, Pa! Jangan begini!"Sementara pasangan ibu dan anak itu berusaha menahan sang ayah, badan Laura gemetaran bukan main. Firasat buruk datang menghampiri. Apakah Simon tahu perbuatannya semalam?"Diam! Kalian tidak tahu bagaimana aku harus menang
"Bisa-bisanya ayahmu berbuat seperti itu!" Suara teriakan terdengar dari dalam sebuah kamar salah satu kediaman besar di pinggir kota.Terlihat sosok Laura tengah duduk di sofa bersebelahan dengan sahabat baiknya, Emma Ruiz, putri dari Keluarga Ruiz.Laura telah menceritakan semua yang terjadi kepada Emma. Alhasil, temannya itu sangat marah. "Jelas-jelas Nora yang memaksamu pergi ke tempat itu, tapi kamu yang disalahkan sepenuhnya! Ayahmu kentara sekali pilih kasih!"Laura diam sembari memeluk lututnya, tak sedikit pun menanggapi komentar Emma. Sebab, dia sudah tahu sang ayah dari dulu lebih menyayangi Nora dibandingkan dirinya. Bertahun-tahun hidup bersama, ada beberapa hal yang selalu terjadi di kediaman Hartley.Jika Laura menginginkan sesuatu, Nora pasti akan memintanya. Di saat itu, Simon pasti memaksa Laura untuk mengalah dan memberikan miliknya kepada Nora. Jika Nora melakukan kesalahan, Laura-lah yang akan dihukum dengan alasan tidak memerhatikan dan menjaga adiknya.Semua
Selagi semua pertanyaan itu melambung di benak Laura, dia mendengar Emma memaki dengan emosi menggebu."Dasar rubah licik! Aku yakin dari dulu Nora sudah mengincar Noah! Ini berarti apa yang menimpa Laura pasti ada hubungan dengannya!" Wanita itu tak lupa menambahkan, "Noah juga! Apa dia tidak tahu apa dampak pengumuman ini kepada Laura? Apa dia tidak memikirkan perasaan Laura?! Kalau aku bertemu dua orang hina itu nanti, akan kuhabisi mereka!"Suara Emma yang semakin lama semakin tinggi membuat Alan mendelik. "Jangan berteriak-teriak, bodoh! Cepat kecilkan volume suara TV! Laura bisa mendengar–"Mendadak, ucapan pria itu berhenti saat matanya mendarat pada sosok Laura yang membeku di tangga."L-Laura!"Teriakan Alan membuat Emma mengikuti arah pandang sang kakak dan spontan mematikan televisi. Kakak-adik itu membeku di tempat hingga Laura berjalan mendekat.Emma dan Alan langsung berdiri dan menghampiri Laura."Laura, jangan pedulikan dua orang hina itu, oke? Mereka tidak pantas kau p