Gian baru saja selesai memasukkan semua buku sekolah yang dia perlukan ke tas dan bersiap keluar dari kamarnya ketika Elang berkata, “Kau hendak pergi sekolah?” Menoleh ke Elang yang masih ada di atas bantalnya, Gian mengangguk dan menjawab, “Iya. Aku harus rajin sekolah atau aku akan jadi sampah masyarakat. Begitu kata papaku dulu.” “Hgh … Bocah, kau terlalu disetir oleh orang lain. Tidak punyakah kau keinginan sendiri?” Elang mulai bangkit berdiri di atas bantal sambil menyilangkan dua lengan mungilnya di depan dada berbulu dia. Gian merasa bingung. Memang apa salahnya mematuhi ucapan orang tua sendiri? Tapi, daripada berdebat dan membuat Elang marah, dia memberikan sahutan, “Aku … aku tidak suka keributan.” Elang memutar kepalanya seakan merasa tak sabar dan jengah. “Ya ampun, bocah ini! Hgh! Kau, bawa aku ke sekolahmu!” “Ka-kamu ingin ikut pergi ke sekolah?” tanya Gian dengan wajah terkejut. Apa jadinya jika nanti dia membawa Elang bersamanya? Mungkin jika Elang seekor binatan
“Hii! Apa itu?” seru Emilia ketika melihat apa yang menyembul keluar dari saku seragam Gian saat remaja itu mulai melangkah memasuki kelasnya.“Ini … tikus putih.” Gian menjawab sambil menundukkan kepalanya.“Tikus! Ya ampun, tikus!” Aliana menjerit sambil dia menjauh dari Gian.Robert mendelik sambil menghardik Gian, “Kau sungguh menjijikkan!”“Dasar bule palsu menjijikkan!” Sonia ikut menghardik Gian dengan telunjuk menuding tegas.Datanglah Jehan sambil membawa sapu dan bertanya, “Mana tikus? Mana? Biar aku pukul dia!” Kemudian, dia memukuli tubuh Gian menggunakan sapu yang ada di tangannya.Lekas saja Gian menyahut dengan wajah panik sembari berkelit ke sana dan ke sini dari pukulan sapu Jehan, “Jangan! Jangan pukul dia! Dia tidak berbahaya!”“Apanya yang tidak berbahaya? Kau sembarangan saja membawa masuk tikus ke kelas, dasar bule tolol!” Evita yang geram, memarahi Gian tanpa ditahan-tahan.“Pukul saja tikusnya sampai mati! Itu membawa penyakit!” Rendi ikut mengompori Jehan.Ela
Mengendap-endap dengan cepat, Elang menyelinap masuk ke dalam kelas Gian. Itu bukan hal sulit bagi tikus, apalagi tubuhnya tergolong kecil dan ramping, sehingga itu mudah saja dilakukan.‘Huh! Kalian ingin menyingkirkan aku? Berani sekali kalian pada Yang Mulia ini!’ geram Elang dalam hatinya.Suasana kelas kembali kondusif dan tenang karena bu guru Ningsih termasuk guru yang tegas dan tak suka keramaian saat Beliau mengajar.Bahkan, sampai bel istirahat pertama berdering, semua terlihat baik-baik saja, hingga ….“Ya ampun! Kok tasku berlubang?” pekik Emilia panik karena tas mahal berharganya sudah memiliki lubang menganga di bagian bawahnya sampai buku dan barang lainnya nyaris jatuh. Dikarenakan itu, dia meratapi tasnya.“Eh! Tasku juga berlubang!” seruan muncul dari Rendi.“Aku juga!” Demikian pula Evita.“Punyaku juga, astaga! Aku bisa dipukul kakakku kalau tas ini rusak begini!” Imelda ketakutan karena itu adalah tas yang dia pinjam dari kakaknya.“Duh, tasku sudah berlubang di s
Rupanya, Elang termasuk sosok pendendam. Dia tidak suka diremehkan hanya karena bentuk dia sebagai tikus kecil. Namun, karena sifat pendendam itulah makanya Gian yang harus menanggung akibatnya. Dia dipaksa oleh banyak temannya untuk mengganti tas mereka. “Tapi, bukankah belum terbukti kalau itu ulah tikusku?” tanya Gian dengan wajah takut-takut saat membantah kemauan teman-teman kelasnya. Rendi menampar kepala Gian dan berkata, “Sudah jelas itu adalah gigitan tikus, kau masih ingin berkelit?” Evita menambahkan, “Kami ini tidak sebodoh kamu, Bule Palsu! Kami tahu perbedaan rusak alami dan rusak digigit tikus!” “Siapa tahu itu gigitan hewan lain.” Alicia mencoba memberikan pembelaan untuk Gian yang sudah mengkerut karena takut. Imelda melirik tajam ke Alicia sembari berbicara, “Kau ini, Cia, apakah kau sudah tertular kebodohan si Bule Palsu ini, heh? Apa pernah kelas kita mendapat musibah seperti perusakan tas secara masif? Berpikir, dong, Cia!” Yang lainnya mengiyakan setuju pad
Gian masih saja melongo ketika Elang berteriak padanya, hingga dia tersadar ketika Elang memekik keras padanya sekali lagi. “Oh! Eh? Sekarang?”“Sekarang, bodoh!” jerit Elang sambil melompat ke kepala preman berikutnya sambil mengacaukan rambut mereka menggunakan kakinya.Karena tak mau Elang kesal, Gian melepas sarung tangan karetnya dan bergegas memegang lengan salah satu preman sekolah. Segera saja, remaja itu kelojotan karena sengatan listrik dari tangan Gian.“Aarghh!” Kemudian, remaja itu tergeletak dan masih kelojotan beberapa kali sebelum akhirnya pingsan.Keempat kawannya melihat adegan itu dan mereka ketakutan. Tapi, Gian tidak membiarkan mereka pergi dan mengarahkan telunjuknya pada salah satu dari mereka.“Haarkhh!” Remaja yang ditunjuk tangan Gian itu kelojotan, sama seperti kawannya sebelum ini dan tersungkur di lantai.Gian tidak membuang waktu dan bergegas menyengat 3 lainnya secara cepat. Satu demi satu dari mereka mulai jatuh dan pingsan.Kini, kelima preman sekolah
Melihat kakaknya diliputi kemarahan, Gian segera mundur, tapi langkahnya terhenti karena kursi makan di belakangnya.Carlen tidak membuang waktu dan menyarangkan tinjunya ke wajah Gian.Dhak!“Arghh!” Pekikan itu bukan keluar dari mulut Gian melainkan dari mulut Carlen. Dia memegangi tangannya yang baru saja meninju sang adik.Melihat putra kesayangannya menjerit kesakitan, Melinda bergegas menghampirinya, “Ada apa, Len? Ada apa? Mana yang sakit?”“Aduh, tanganku ….” Carlen mengaduh dengan gaya manja. “Mama, dia menyakitiku!” tudingnya ke Gian yang masih berdiri tak bergerak.Melinda lekas mengusap-usap tangan putra kesayangannya lalu menoleh cepat ke Gian. “Minta maaf ke kakakmu!”“Tapi, Ma, dia yang memukulku dan aku tidak melakukan apapun.” Gian berkilah.“Tidak peduli! Pokoknya kau sudah membuat dia kesakitan! Cepat minta maaf!” seru Melinda pada Gian.Sementara itu, dua saudara Gian lainnya hanya diam dan menonton semua adegan di depan mata. Zohan menyeringaikan senyumnya sambil
Gian memikirkan kata-kata Elang. Dia harus bisa membuat siapapun menghargai dia dan tidak memperlakukan dia seenaknya saja.Selama ini dia terlalu mengalah dan patuh menerima perlakuan apapun yang diarahkan padanya meski itu sebenarnya menyakitkan sekali di hati maupun fisik.Teringat sejak kecil dia sering dijadikan pembantu oleh ibunya, harus mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu, mengepel, bahkan ke warung untuk membelikan berbagai macam hal.Lalu, kedua kakaknya juga sama saja, karena mereka melihat Melinda bisa seenaknya memperbudak Gian, maka Carlen dan Zohan pun bertingkah sama seperti sang ibu.Gian akui, hanya Cheryl saja yang tidak menunjukkan sikap memperbudak ke Gian meski gadis itu lebih pada sikap cuek dan tak ingin terlibat dalam penyiksaan Gian di rumah. Cheryl akan memasang wajah tak pedulu setiap Gian dirisak kedua kakak dan ibunya.Belum lagi perlakuan yang dia dapatkan di sekolah ….“Bagaimana? Kau sudah mengerti apa yang aku ucapkan?” tanya Elang setelah dia be
Gian tidak mau disalahkan begitu saja dan menjawab Carlen, “Kak Len, Kakak melihat sendiri tadi, kan? Aku tidak melakukan apapun, justru mama yang mendorong keras aku.” Wajahnya terlihat putus asa ketika menjelaskan itu.Mata Melinda melotot, “Jadi, kau ingin mengatakan kalau Mama yang salah, begitu?”Ucapan Melinda semakin membuat Gian kelimpungan, tak tahu harus menjawab apa selain, “Tidak ada yang salah! Itu saja! Sudah, yah! Aku ingin berangkat sekolah, tidak ingin ada keributan. Tolong, jangan lagi ada keributan.” Dia sampai membungkuk sebagai permohonan agar tak perlu mengeluarkan energi elektrokinesis dia untuk menindak anggota keluarganya.Melinda dan Carlen semakin meradang. Tapi, Gian sudah lebih dulu berlalu dari ruang makan setelah dia mengambil roti selai di meja dan berlari keluar.Tak mungkin dia memiliki uang saku hari ini setelah apa yang terjadi di ruang makan. Lagipula, bukan salah dia sejak awal, kan? Gian terus membatin sambil meneguhkan keyakinan bahwa dia tidak