"Sah!" ucap semua saksi yang datang. Hari yang di tunggu-tunggu telah tiba. Hari ini, aku sah menjadi istri dari Adit Handoko.
Perasaanku penuh haru. Semua orang berbahagia. Dengan tampilan kebaya putih nan mewah, wajahku sangat terlihat ayu. Begitupun dengan Adit. Dia terlihat sangat tampan dengan pakaiannya. Kedua putrikku nampak cantik dengan kebaya khas anak-anak yang membalut keduanya.
Suamiku, memandang wajahku takjub. Kubiarkan dia memandang sepuasnya, karena ini semua memang miliknya.
Tamu undangan mulai berdatangan. Mereka memberi selamat pada kami, lalu mengambil foto bersama. Seharian, gedung ini disewa untuk acara pernikahan kami. Entah habis berapa, aku tidak memikirkannya. Dan yang pasti, setiap undangan yang datang, akan mengagumi kemewahan ini.
Seorang tamu perempuan membe
Beberapa Minggu setelah sah menjadi istri Mas Adit, ia membawaku pindah ke rumah impian. Rumah yang lumayan besar, terbagi menjadi beberapa ruangan. Ada taman khusus di belakang rumah, tanpa atap sehingga hujan dan sinar matahari pun ikut tembus. Sedangkan di samping rumah, terdapat kolam renang. Aku dan kedua putriku di boyong kemari oleh Mas Adit.Satu ruangan khusus berisi alat-alat olahraga, seperti alat nge-Gym, juga tersedia di sini. Sengaja ia beri ruang khusus untuk aku dan anak-anak, serta dirinya berolahraga bersamSungguh, kasih sayangnya pada kedua putriku, ia torehkan sepenuhnya. Di rumah ini, kami akan membangun hubungan rumah tangga yang baru."Gimana? Kamu suka?" tanyanya kala untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di rumah ini."Sukak banget," j
"Yah, Bunda mau ke apotik ya?" ucapku pada Mas Adit. Sambil menyisir rambut yang basah di depan cermin."Mau ngapain, Bun? Bunda gak enak badan?" tanyanya."Bukan, Yah. Bunda mau beli tespact. Nanti kalau gemuknya karena bukan hamil gimana, Yah?""Ya, Bunda harus jaga makan, rajin olahraga," ucapnya."Kalau hamil?""Bunda harus banyak makan. Ayah gak mau, anak Ayah kurang gizi.""Ya udah, aku pergi dulu, Yah," pamitku.****Niat hati ingin ke apotik, tapi kaki berbelok ke dokter kandungan. Akhirnya, masuklah aku ke dokter sepesialis kandungan. Banyak juga dokter yang buka praktek setiap sabtu.&
Saat mata terbangun di pagi hari, ternyata aku sudah ada di tempat tidur. Suamiku juga masih terlelap. 'Agh, pasti dia yang membopongku. Lelah sekali kelihatannya, Yah.'Kuciumi wajah Mas Adit yang masih terlelap, sebelum meninggalkanya membangunkan Kembar untuk berangkat sekolah.Plak!Mas Adit menarik tubuhku ke pelukannya."Bund," rengeknya manja. Kalau begini apalah yang hendak dipintanya."Hem …," ucapku. Aku melirik jam sudah pukul 06.00, jelas ini waktu berangkat sekolah. Aku segera melepaskan diri dari pelukan Mas Adit. Namun, ketika hendak beranjak, ia kembali menarik tanganku, hingga aku kembali terjatuh di pelukannya."Yah! Anak-anak mau sekolah lepasin agh!"
"Pak Bara, anda dibebaskan dari hukuman. Karena Pak Adit, telah mencabut laporannya."Terima kasih, Ayah …," ucap Nanda. Adit memeluk Nanda dan Nindi.Bara dan keluarganya juga mengucap rasa syukur. Beberapa kali mereka mengucapkan kata terima kasih pada kami. Sepertinya, Bang Bara dan keluarganya benar-benar telah menyesali perbuatannya."Kalian pulang bareng kami saja," tawar Mas Adit pada Bang Bara dan keluarganya."Kami naik angkot saja, Nak Adit," ucap Ibu."Loh, bareng aja sama kita, Bu," ucapku."Iya, Nanda dan Nindi, masih kangen sama, Papa. Pulang bareng kami ya," celetuk Nindi memohon."Baiklah, kalau begi
POV NingrumAku Ningrum, berasal dari gadis kampung, yang manis dan lugu. Berumur 23 tahun. Aku mengaku pada calon Bos, kalau aku ini berusia 21 tahun. Aku pandai bermuka dua. Terlihat baik, tapi belum tentu juga. Yang pastinya, siapapun yang mengenal-ku, pasti dia akan tertipu wajah polosku. Kesempatan datang ketika melihat pemuda tampan, tengah kebingungan mencari seorang pembantu untuk meringankan pekerjaan sang istri yang tengah hamil. Saat jumpa pandang pertama, aku telah tertarik padanya. Dia yang sedang berbicara dengan Bu Sum, aku menghampirinya karena mendengar obrolan mereka."Mas cari pembantu?" tanyaku kala itu."Iya, apa Mba ini ada kenalan? Kebetulan, saya mencari di yayasan, juga lagi kosong," ucapnya penuh keramahan-tamahan. Perempuan mana
Perasaan baru kemaren hari Senin. Sekarang sudah hari Sabtu. Waktu memang begitu cepat berlalu.Allhamdullillah, kontrakan untuk Bang Bara dan keluarganya sudah didapat. Dan mulai besok, mereka bisa menempatinya. Untuk pekerjaan, Bang Bara juga bisa langsung bekerja. Hanya saja, mengingat fisiknya kurang sehat, Mas Adit menyarankan untuk beristirahat, dan masuk kantor jika sudah sehat. Suamiku ini sangat berjiwa besar. Aku sangat bangga padanya.Berkali-kali Ida di telpon oleh suaminya, tapi dia tidak berani untuk mengangkatnya.Bermacam nada ancaman memenuhi aplikasi warna hijau. Persis sekali, dengan apa yang Bang Bara lakukan padaku saat aku kembali pulang ke rumah orang tuaku.Siang ini, kami tengah bersantai, Ningrum ikut menghambur
Malam ini aku sungguh merasa jenuh. Yang kutunggu tak kunjung kembali. Siapa lagi kalau bukan Mas Adit. Sedang anak-anak tadi siang dijemput Bang Jaya. Mereka hendak liburan seperti biasa. Kembar kekeh meski aku melarangnya untuk pergi. Mereka bilang, mereka harus ikut karena ada Kakek dan Neneknya. Ada juga Wahyu. Aku ingin ikut, tapi mengingat kehamilanku yang sudah semakin membesar ku-urungkan. Meski baru berusia enam bulanan, tetap saja seperti sembilan bulan. Berat rasanya kandunganku ini. Entahlah, perasaanku sangat tidak enak. Ponsel Mas Adit juga tidak dapat dihubungi. Tidak biasanya seperti ini. 'Ya Allah semoga saja tidak terjadi apa-apa.'"Mbak, gelisah amat?" tanya Ningrum Anak ini memang semakin kesini, semakin terlihat tabiat aslinya. Kalau bukan Bu Sum yang merekomendasikan, sudah kupecat dari rumah ini."Gak tahu ini, pikiranku gak te
"Kembar mana?" tanyaku pada Mas Adit kala aku terbangun. Perasaan, tadi masih pukul lima pagi, kenapa sekarang gelap lagi? Kulirik waktu sudah pukul sepuluh malam. Aku beranjak dari tempat tidur dan bergagas ke kamar kembar. Mas Adit sendiri mengikutiku dari belakang."Kembar!" Ini Bunda, Sayang! Kalian udah makan?" Kedua putriku tak menjawab satupun. Padahal, biasanya mereka langsung menghampiri jika namanya kupanggil."Kembar udah gak ada, Bund. Bunda harus ingat itu. Bunda yang sabar, yang ikhlas," ucap suamiku. Mas Adit merangkulku ke ruang tamu, dan mengajakku duduk di sana. Ada bekas semacam kue, mungkin sisa tahlilan tadi.Rasanya, aku masih tidak dapat percaya mereka pergi secepat itu. Aku merasa, keduanya masih ada, dan aku merasa ini hanyalah sebuah mimpi. Rumah terasa sepi tanpa mereka. "Kembar! Huhuhuhuhuhu!"