Cahaya biru dari tongkat Penjaga Gerbang Dalam menyebar membentuk lingkaran sihir besar. Simbol-simbol kuno berputar pelan di udara, berdesir bagai mantra yang diucapkan dengan bisikan ribuan arwah. Angin dingin bertiup dari dalam tanah, dan udara menjadi berat. “Jika kalian siap…” kata Penjaga dengan suara yang seperti parutan logam, “...aku akan membuka pintu menuju Sela Kosong.” Ilham berdiri di tengah lingkaran, mata tajam menatap ke depan. Tanpa ragu, ia berkata: “Biarkan aku menjadi gantinya. Biarkan aku menggantikan Lira.” Revana menggenggam tangan Ilham, tapi Ilham melepaskannya perlahan. “Aku yang membuka gerbang ini. Aku yang gagal menyelamatkan Lira. Kalau memang ada harga… aku yang harus membayarnya.” Davin menoleh, ingin menolak. Tapi sebelum ia sempat bicara. Langkah kaki terdengar dari kegelapan lorong belakang. Seseorang muncul, berjalan perlahan. Rambutnya putih. Matanya tajam. Bibirnya tersenyum tipis. “Tunggu sebentar. Jangan terlalu cepat menjadi pahlawan,
Malam mulai menjelang saat Ilham, Revana, dan Davin berdiri di hadapan tembok batu besar di balik ruang artefak terlarang. Di atas permukaan batu itu, terdapat ukiran aneh berbentuk mata tertutup dikelilingi ular melingkar. Batu itu dingin, tapi denyutnya terasa hidup. “Ini bukan sekadar tembok,” gumam Revana. “Ini adalah pintu yang dikunci oleh pikiran.” Saras muncul dari belakang mereka, membawa buku kulit hitam berdebu Mantra Perut Bumi. “Menurut buku ini, Penjaga Gerbang Dalam hidup di bawah sekolah, di lorong yang terus berganti bentuk sesuai isi hati orang yang memasukinya,” jelas Saras. “Itu sebabnya hanya sedikit yang bisa kembali.” Ilham menatap batu itu, lalu meletakkan telapak tangannya di ukiran mata. “Aku ingin menyelamatkan Lira,” bisiknya. “Aku ingin menutup gerbang neraka yang terbuka.” “Aku tidak takut…” Tiba-tiba, tembok batu menghilang seolah ditelan bayangan, membuka lorong sempit berlapis akar hitam dan kabut lembap. Angin berembus dari dalam lorong sepert
Malam itu, angin berdesir di antara pohon-pohon beringin tua di sisi pemakaman. Kabut turun begitu tebal, hingga tanah pun tampak seperti laut putih. Ilham menatap lubang makam Lira yang menganga tanpa isi. Di dalamnya, hanya boneka tua yang kini digenggam Revana erat-erat. “Kau yakin bisa membaca jiwanya?” tanya Ilham pelan. Revana menatapnya, wajahnya pucat karena malam terlalu dingin. Tapi lebih dari itu, ia takut. Membaca jejak jiwa seseorang yang sudah mati bukanlah perkara biasa. Ini berarti menembus batas antara dunia hidup dan dunia bayangan dan sekali saja ia terpeleset… ia bisa hilang selamanya. “Aku akan coba,” ucapnya. Ia duduk bersila di tepi makam, meletakkan boneka di pangkuannya. Jari-jarinya menyentuh kepala boneka, dan dari mulutnya terucap mantra kuno yang berasal dari Kitab Jiwa Ketiga, kitab terlarang yang hanya dibuka jika waktu benar-benar genting. “Wahai jiwa yang terbelenggu di antara terang dan gelap… tunjukkan di mana kau kini berada.” Lilin yang merek
Di ruang makan sekolah, pagi hari tampak biasa. Anak-anak berkumpul, suara sendok dan piring bercampur tawa kecil. Tapi di sudut ruangan, duduk seorang gadis dengan rambut putih terurai, tatapannya kosong namun tersenyum lembut. Namanya Rani setidaknya, itulah nama yang ia berikan. Ia duduk tenang, sesekali menatap satu demi satu murid. Matanya berkilat merah samar, tapi tak seorang pun menyadari. Setiap kali seseorang menatap matanya, mereka akan merasa hangat… nyaman… namun perlahan, mulai lupa siapa yang sebenarnya bisa dipercaya. --- Sementara itu, Ilham duduk di menara barat, memandangi kunci kedua yang kini menjadi batu emas retak. Ia belum tidur sejak kembali dari ruang waktu. “Kita harus segera mencari kunci ketiga,” katanya. Revana, yang duduk di sebelahnya, mengangguk. “Kunci ketiga dijaga oleh seseorang yang ‘seharusnya sudah dikubur’. Kiram menyebut itu dengan nada yang tidak wajar. Apa maksudnya?” Ilham termenung. “Seseorang yang sudah mati… tapi belum pergi.” M
Davin duduk di balkon belakang perpustakaan tua, matanya memandangi langit yang retak seperti kaca pecah. Ia mendengar langkah kaki sebelum Ilham dan Revana tiba. “Kalian datang untuk menanyakan sesuatu yang tidak seharusnya kalian ketahui,” katanya tanpa menoleh. Revana langsung ke inti. “Kau… bisa membuka waktu, kan?” Davin tersenyum getir. “Itu bukan kemampuan, Revana. Itu kutukan.” Ilham melangkah mendekat. “Kiram bilang, kunci kedua dijaga oleh waktu. Kami pikir… hanya kau yang bisa menembusnya.” Davin menoleh. Mata biru kelamnya menangkap cahaya suram pagi hari. “Aku bisa,” katanya. “Tapi bukan tanpa harga.” Revana diam. “Apa yang harus kau bayar?” Davin menunduk, menggenggam liontin kecil yang tergantung di lehernya. “Kenangan tentang adikku… satu-satunya orang yang membuatku tetap waras sejak kehilangan semua hal lain.” Ilham menatapnya lama. “Kami tidak akan memaksamu.” Davin menatap Ilham. “Tapi kau tidak perlu memaksa. Karena dunia ini… lebih penting dari satu k
Malam menggigil, meski tidak ada angin. Ilham duduk di ruang meditasi tersembunyi di bawah sekolah. Lilin-lilin berwarna biru mengambang perlahan di udara, menyala tanpa sumbu. Cahaya mereka menari dalam keheningan. Di hadapan Ilham berdiri Revana, matanya memejam, tangan terbuka lebar. “Tarik napas,” katanya pelan. “Biarkan kesadaranmu turun ke tubuh. Ke tempat yang paling kau hindari…” Ilham memejamkan mata. Untuk pertama kalinya, ia tidak mencari cahaya atau kegelapan dalam dirinya. Ia mencari luka. Luka yang selama ini ia pikir hanya mimpi buruk masa kecil. Tapi luka itu nyata. Luka itu menyimpan kunci pertama. --- Di dalam pikirannya, Ilham kembali ke masa kecil yang tak ia pahami. Ia berdiri di halaman rumah tua, tempat bunga-bunga kuning tumbuh liar. Langit di atasnya retak, seperti cermin yang dilempar batu. Setiap retakan menciptakan suara teriakan, tangisan, desahan terakhir orang-orang yang telah tiada. Ia berjalan menuju sumur tua di tengah halaman. Dari dalam sum