Ruang bawah tanah kembali menjadi tempat yang paling aman atau setidaknya, tempat satu-satunya di mana Arkana bisa berpikir. Dindingnya ditutup kain hitam, cermin-cermin ditutupi lembaran kain agar tak memantulkan sesuatu yang bukan miliknya, dan di tengah ruangan kini berdiri Pelita Duri Mata bola kaca berduri yang terus berdetak perlahan, seolah hidup.Arkana menatapnya lekat.“Kau seharusnya bisa menutup mata dari dunia lain. Tapi kenapa aku merasa... justru aku yang akan terbuka?”Ia mengangkat pelita dengan hati-hati. Cahaya biru yang dipancarkannya tidak menyilaukan, tapi menghipnotis. Saat cahaya itu menyentuh kulit Arkana, ia bisa merasakan denyut jantungnya berubah. Lebih pelan. Lebih dalam.Ia mengarahkan pelita ke salah satu cermin. Perlahan, permukaan kaca itu bergetar. Bayangannya tampak berkedip... dan kemudian berubah.Kini ia melihat dirinya berusia lima tahun, duduk di depan rumah tua yang sudah lama ia lupakan. Di pangkuannya ada boneka rusak boneka milik Satya.“Tid
Ladang gosong itu sunyi. Angin tak lagi berhembus. Bahkan suara jangkrik pun menghilang. Arkana berdiri sendirian, matanya terpaku pada cermin kecil yang setengah tertanam di tanah bekas lingkaran api. Ia menunduk, mengambilnya perlahan, dan membalik permukaannya. Refleksi dirinya muncul samar, namun bukan dirinya yang ia lihat. Refleksi itu mengenakan pakaian serupa, tapi matanya tidak sama. Mereka… kosong. Dan di dahinya, samar-samar, terukir angka Romawi: VII. Arkana menahan napas. “Gerbang ketujuh?” Ia duduk perlahan, membuka kembali Kitab Dua Sisi Cermin. Tapi tak satu halaman pun menyebutkan gerbang ketujuh. Hanya ada catatan kosong, lembaran hitam yang terasa dingin saat disentuh. Ia menekan cermin itu ke halaman hitam, dan seketika, tulisan mulai muncul sendiri, ditulis oleh tangan tak terlihat: Gerbang Ketujuh tidak ditulis karena tidak boleh dikenal. Ia bukan pintu masuk ke neraka. Ia adalah pintu keluar dari semua dimensi. Gerbang yang membalikkan hukum hidup dan m
Langit malam seharusnya gelap, tapi malam itu justru menyala bukan dengan cahaya bulan, melainkan dari lambang bintang enam yang terbakar perlahan di antara awan. Seperti mata raksasa yang menatap ke bumi, lambang itu tidak hanya terlihat… tapi terasa, menekan jantung setiap orang yang menatapnya. Arkana berdiri di puncak menara lonceng sekolah, menatap lambang itu tanpa berkedip. “Seharusnya sudah lenyap…” gumamnya. Ilham berdiri di sampingnya, tangan menggenggam sisa debu dari bayangannya sendiri. “Kau yakin ritualnya selesai?” Arkana menunduk, wajahnya tak yakin. “Itu bukan tentang ritualnya. Masalahnya bukan siapa yang asli atau bayangan… tapi kenapa gerbang keenam muncul sama sekali. Kita hanya menyentuh permukaannya.” Seketika, terdengar bunyi lonceng berdering sendiri. Padahal menara itu tak digunakan selama dua dekade. Suara itu menggema, dan disusul oleh hembusan angin panas dari arah timur. “Apa itu…” Ilham menghentikan kata-katanya. Dari kejauhan, di arah ladang jagu
“Jangan percaya pada apa yang kau lihat. Jangan percaya pada apa yang kau ingat. Percayalah pada luka yang belum sembuh…” Itu kalimat pertama yang terdengar dari mulut Arkana saat ia menarik Ilham ke lorong bawah perpustakaan lama. Suaranya nyaris tak terdengar di tengah riuhnya desis simbol-simbol bintang enam yang kini terus bermunculan di seluruh dinding sekolah. Ilham masih menggigil. Wajahnya pucat. Di pikirannya, hanya ada satu bayangan: dirinya sendiri, berdiri di lapangan, memandangi dirinya… seperti ingin menghapus keberadaannya. “Aku… masih aku, kan?” tanyanya lirih. Arkana tak menjawab langsung. Ia membuka peti tua dari bawah lantai kayu, mengeluarkan kitab kecil bersampul kulit manusia yang bernama Dua Sisi Cermin. Kitab itu hanya muncul jika seseorang berada di ambang kehilangan jati dirinya. “Kita harus melakukan Ritual Pembeda,” ucap Arkana. “Kalau kau benar Ilham yang asli, kau akan tetap di sini. Tapi jika kau adalah bayangan… tubuhmu akan hancur menjadi debu.
Langit di atas Sekolah Cahaya Bumi memutih bukan terang, tapi seperti kabut kering yang menggantung tanpa asal. Angin tak lagi terasa seperti angin. Ia diam… menekan. Arkana dan Ilham berdiri di depan dinding batu tempat Gerbang Kelima terbuka. Tapi kini, gerbang itu menghilang, menyatu sempurna kembali dengan batu. Tak ada retakan, tak ada cahaya tersisa. Namun di tengah lantai ruangan itu, terukir lambang baru bintang bersudut enam. Setiap sudutnya bersambung dengan garis-garis berdenyut merah samar, seolah darah mengalir di dalam ukiran batu. “Ini bukan bagian dari lima gerbang,” gumam Arkana, menelusuri simbol itu dengan jari. Ilham menatapnya dalam-dalam. “Aku melihatnya… di langit Ruang Tanpa Nama. Tapi kenapa sekarang muncul di sini?” Sebelum Arkana menjawab, getaran halus menjalar ke seluruh dinding. Batu berderak, seolah sesuatu bergerak… di balik permukaan dunia. --- Malam itu, Revana terbangun dengan peluh dingin membasahi tubuhnya. Ia menjerit, jatuh dari tempat tid
Langkah pertama Ilham di dalam Gerbang Kelima terasa seperti menjejak air tapi bukan air biasa. Lantai tempat ia berdiri seperti permukaan cermin cair, yang mengalir perlahan di bawah kakinya, memantulkan langit yang tidak pernah ada. Arkana di sisinya tampak lebih pucat. Matanya terus bergerak, menelusuri sesuatu yang tidak bisa dilihat orang biasa. “Di sini tidak ada waktu,” katanya pelan. “Apa yang terjadi… sudah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi. Semua sekaligus.” Ilham mengangguk, walau otaknya berusaha keras memahami. Suasana di ruang ini seperti berada di dalam mimpi yang sadar logika hanya berfungsi sebagian, dan sisanya ditentukan oleh emosi. Dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki. Tapi tidak bergema. Tidak pula mendekat. Seolah ruang itu mempermainkan jarak. Kemudian… ia melihatnya. Seorang wanita berdiri dengan punggung menghadap mereka. Rambutnya panjang, mengenakan gaun putih yang basah seperti direndam dalam air mata. Ia berdiri di tengah pusaran cermi