
Desa Tanpa Suara
ig author: @rafi.aditya87 and @raffaramadhan.__
Sinopsis Novel: Desa Tanpa Suara
Ketika Raka, seorang jurnalis investigasi muda yang idealis, menerima kabar tentang seorang relawan medis yang hilang di desa terpencil bernama Watupego, ia mengira ini hanya kasus orang hilang biasa. Tapi begitu menjejakkan kaki di desa itu, satu hal langsung terasa aneh: sunyi yang mutlak. Tidak ada kicau burung, tidak ada suara angin, bahkan tidak ada suara manusia. Para penduduk menatapnya tanpa ekspresi, tanpa sepatah kata pun.
Namun saat malam turun, kesunyian itu pecah oleh sesuatu yang lebih mengerikan bisikan dari dalam tanah, memanggil-manggil dengan suara orang mati.
Semakin Raka menggali misteri desa ini, semakin ia ditarik ke dalam lingkaran horor yang tak terjelaskan. Ia menemukan simbol-simbol aneh di pintu rumah, lubang-lubang kecil yang berbisik, dan sejarah kelam tentang sekte yang memuja kesunyian sebagai bentuk kemurnian. Desa ini tak hanya menyembunyikan rahasia... desa ini hidup. Dan ia ingin menjadikan Raka bagian darinya.
Dalam suasana sunyi yang menyesakkan dan kabut yang menelan batas realitas, Raka harus memilih: mengungkap kebenaran yang terkubur bersama suara-suara yang dibungkam, atau ikut tenggelam dalam diam... selamanya.
Read
Chapter: Bab 22: Bayangan di Balik KabutLangkah Raka terseret di tanah becek, setiap jejak kakinya meninggalkan genangan merah tipis dari luka sayatan. Kabut menutup pandangan hanya sejauh satu tombak. Tiba-tiba, suara langkah lain terdengar cepat, teratur, dan datang dari belakang. --- Raka berhenti. “Siapa di sana?” Tak ada jawaban, hanya bunyi langkah semakin mendekat. --- Ia menoleh. Dari kabut, muncul siluet tinggi, memakai mantel panjang dan topi lebar yang menutupi wajah. Di tangan orang itu tergenggam tongkat kayu dengan ujung logam yang berkilat. --- “Beruntung kau lolos dari ujian kedua,” suara itu berat, tenang, tapi punya nada seperti sedang menahan amarah. “Tidak banyak yang bisa berjalan sejauh ini.” --- Raka mundur setapak. “Kau siapa?” --- Orang itu mengangkat kepala sedikit. Mata abu-abu pucat menatapnya dari bawah topi. “Orang yang seharusnya menjaga agar pendatang seperti kau tidak mengacaukan keseimbangan.” --- “Apa maksudmu ‘keseimbangan’?” --- Dia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia
Last Updated: 2025-08-31
Chapter: Bab 21: PengorbananTeriakan pecah begitu Raka menjejakkan kaki melewati pusaran kabut. Tapi suara itu bukan jeritan manusia melainkan bunyi besi berderit yang menusuk telinga, seperti ratusan gerbang berkarat dibuka bersamaan. Ia terhuyung, menutup telinga, dan mendapati dirinya berada di sebuah lapangan luas. Tanahnya hitam, basah, dan menguarkan bau anyir. Di tengah lapangan, berdiri sebuah tiang kayu tinggi dengan tali usang menggantung. Di bawahnya, seorang lelaki tua terikat lututnya, wajahnya penuh luka lebam. --- “Apa ini…?” Raka melangkah hati-hati. Lelaki itu mengangkat kepalanya. Mata kirinya bengkak, tapi mata kanan menatap Raka tajam. “Kau di sini untuk memilih.” “Memilih?” --- Kabut di sekitar beriak, dan sosok wanita bermata pucat muncul, berdiri di sisi tiang. “Ujian kedua. Setiap orang yang masuk ke Desa Tanpa Suara harus memberikan pengorbanan. Nyawa orang ini, atau sesuatu yang lebih berharga darinya.” Raka menelan ludah. “Apa maksudnya ‘lebih berharga’?” --- Wanita itu tida
Last Updated: 2025-08-31
Chapter: Bab 20: Ujian PertamaPetir menyambar di langit meski hujan tak turun. Kilat itu seperti menggores kabut, membentuk celah singkat yang menampakkan deretan bayangan bergerak di kejauhan. Raka berdiri di depan sebuah gerbang kayu raksasa yang terbuat dari batang pohon utuh. Papan kayu itu dipenuhi ukiran wajah manusia dengan mulut terbuka, seakan sedang berteriak tanpa suara. “Ini… pintunya?” Raka melangkah maju, tapi wanita bermata pucat menahan bahunya. “Belum. Ini hanya gerbang pertama. Kalau kau bisa melewatinya, barulah kita bicara tentang pintu yang sebenarnya.” Raka menelan ludah. “Lalu, apa yang harus kulakukan?” Wanita itu menunjuk pada tiga topeng batu yang tergantung di sisi gerbang. Masing-masing berwarna berbeda hitam, putih, dan merah. “Kau hanya boleh memilih satu. Tapi ingat, setiap pilihan akan menentukan ujian yang kau hadapi. Pilih dengan hati-hati.” --- Raka memandangi topeng-topeng itu. Topeng hitam punya mata yang cekung dalam, seperti bisa menelan pandangan. Topeng putih polos
Last Updated: 2025-08-30
Chapter: Bab 19: Bayangan di Balik LiontinLiontin itu jatuh tepat di samping tangannya, basah oleh embun dan bercampur tanah. Bentuknya bulat pipih, dengan ukiran bunga yang samar-samar masih terlihat meski sebagian permukaannya tergores. Raka meraih liontin itu dengan tangan bergetar. Saat jarinya menyentuh logam dingin itu, pandangannya berdenyut seperti ada seseorang yang menariknya dari dalam kepalanya. --- Suara benturan antara Penjaga Kedua dan wanita bermata pucat kini terdengar jauh, seolah datang dari ujung lorong panjang. Tubuh Raka membeku di tempat, dan sekelilingnya berubah. --- Rumah panggung tua muncul di hadapannya, diterangi cahaya lampu minyak. Aroma kayu terbakar dan asap tipis memenuhi udara. Di dalam rumah itu, seorang perempuan berambut hitam panjang duduk membelakanginya. Bahunya kurus, tapi setiap gerakannya penuh ketegangan. --- “Ibu…” suara Raka keluar begitu saja, namun tidak ada yang mendengar. Perempuan itu membalikkan kepala sedikit wajahnya pucat, matanya merah karena menangis. Di tangan
Last Updated: 2025-08-30
Chapter: Bab 18: Cakar Penjaga KeduaLangkah-langkah itu mendekat seperti pukulan genderang perang. Kabut yang tadi hanya melingkari pepohonan kini merayap ke tanah, melingkari kaki Raka seperti ular putih. Penjaga Kedua muncul dari balik kabut tingginya hampir dua meter, bahunya lebar seperti batang pohon. Wajahnya setengah tertutup topeng kayu retak, menampilkan satu mata yang berkilat penuh kemarahan. --- “Apa yang kau lakukan di wilayahku?” suaranya berat, menyeret udara dingin masuk ke telinga Raka. Raka mencoba berdiri tegak meski lututnya terasa lemas. “Aku hanya mencari jawaban.” --- “Jawaban?” Penjaga Kedua melangkah maju, tanah di bawah kakinya bergetar. “Yang kau temukan hanyalah pintu menuju kutukan. Dan setiap pintu butuh korban.” --- “Aku tidak takut,” kata Raka, meski nadanya bergetar. Mata yang terlihat dari balik topeng itu menyipit. “Kau berbicara seperti ibumu sebelum dia…” Kalimatnya terhenti, seolah ia sadar sudah mengucapkan terlalu banyak. --- Raka maju setengah langkah. “Kau tahu apa y
Last Updated: 2025-08-29
Chapter: Bab 17: Kabut di Hutan TimurKabut itu terasa hidup. Setiap helai putihnya bergerak seperti tangan yang meraih, menggantung di udara, menunggu kulit untuk disentuh. Raka berdiri di tepi hutan timur, napasnya membentuk uap tipis. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi bayang-bayang pohon sudah menjulang seperti tulang-tulang raksasa. --- “Aku tak mengerti,” gumamnya pelan. “Kenapa harus datang pagi-pagi sekali?” Dari belakang, suara serak menjawab. “Karena kabut pertama adalah kabut yang jujur. Setelah matahari naik, ia mulai berbohong.” Raka menoleh. Wanita bermata pucat itu berdiri tak jauh, rambut basahnya menempel di pipi. Ia tak meninggalkan jejak di tanah becek. --- “Kau… mengikutiku?” tanya Raka, mencoba terdengar tegas meski jantungnya berdebar. Wanita itu tersenyum samar. “Tidak. Aku yang memanggilmu.” Ia melirik ke hutan. “Masuklah, sebelum Penjaga Kedua tahu kau di sini.” --- Raka menelan ludah. “Kalau ini jebakan?” “Aku tidak butuh jebakan,” jawabnya datar. “Kau akan datang padaku, cepat at
Last Updated: 2025-08-29

Gerbang Neraka: Desa Terakhir
ig author: @rafi.aditya87
Di ujung peta, tersembunyi sebuah desa bernama Angkara. Tak ada yang bisa masuk, kecuali mereka yang dipanggil atau dikutuk.
Raka Prasetya, seorang jurnalis muda yang haus cerita eksklusif, menerima surat tanpa pengirim berisi potongan artikel kuno dan satu kalimat: "Datanglah ke Angkara sebelum malam merah tiba." Penasaran dan tergoda sensasi, Raka menuju desa yang bahkan tak tercatat di Google Maps.
Namun, sejak ia menginjakkan kaki di tanah itu, udara berubah dingin, waktu terasa lambat, dan tatapan para penduduk seakan menembus jiwanya. Ia menemukan makam yang bernafas, suara tangis dari pohon beringin, dan seorang wanita tua yang mengaku sebagai penjaga "pintu terakhir ke neraka".
Malam-malam di Angkara tak seperti malam biasa. Raka harus memilih: mencari kebenaran dan membuka pintu yang seharusnya tertutup selamanya atau menjadi bagian dari legenda berdarah yang tak akan pernah diceritakan kembali.
Karena di Angkara, tidak semua yang mati bisa beristirahat. Dan tidak semua yang hidup adalah manusia.
Read
Chapter: Bab 132: Mata yang Tidak Bisa BerkedipHujan turun perlahan, membasahi desa yang baru saja mencoba bangkit dari serangkaian malam penuh darah dan bayangan. Tidak ada lagi simbol bintang enam di langit. Tidak ada lagi tangisan dari dalam tanah. Tapi ada keheningan yang tidak wajar. Keheningan yang seolah menunggu seseorang berbicara lebih dulu. Arkana duduk di pojok kamar bawah tanah yang telah ia ubah menjadi ruang pengamatan. Di hadapannya tergantung puluhan cermin kecil, masing-masing mengarah ke titik-titik penting di desa: pos ronda, sekolah, rumah sakit, bahkan ladang jagung yang kini hangus. Cermin utama cermin yang pernah membawanya ke Gerbang Ketujuh diletakkan di atas meja, kini berubah menjadi hitam pekat seperti obsidian. Namun Arkana tahu: ia belum sendirian. --- Pukul dua pagi, ia terbangun dari tidur singkatnya. Bukan karena suara, tapi karena perasaan ditatap. Ia membuka mata perlahan, dan jantungnya langsung menghentak. Di langit-langit kamarnya, ada mata besar, hitam, dan tanpa kelopak. Tidak berkedip
Last Updated: 2025-08-03
Chapter: Bab 131 : Cermin PenjagaLadang gosong itu sunyi. Angin tak lagi berhembus. Bahkan suara jangkrik pun menghilang. Arkana berdiri sendirian, matanya terpaku pada cermin kecil yang setengah tertanam di tanah bekas lingkaran api. Ia menunduk, mengambilnya perlahan, dan membalik permukaannya. Refleksi dirinya muncul samar, namun bukan dirinya yang ia lihat. Refleksi itu mengenakan pakaian serupa, tapi matanya tidak sama. Mereka… kosong. Dan di dahinya, samar-samar, terukir angka Romawi: VII. Arkana menahan napas. “Gerbang ketujuh?” Ia duduk perlahan, membuka kembali Kitab Dua Sisi Cermin. Tapi tak satu halaman pun menyebutkan gerbang ketujuh. Hanya ada catatan kosong, lembaran hitam yang terasa dingin saat disentuh. Ia menekan cermin itu ke halaman hitam, dan seketika, tulisan mulai muncul sendiri, ditulis oleh tangan tak terlihat: Gerbang Ketujuh tidak ditulis karena tidak boleh dikenal. Ia bukan pintu masuk ke neraka. Ia adalah pintu keluar dari semua dimensi. Gerbang yang membalikkan hukum hidup dan m
Last Updated: 2025-08-02
Chapter: Bab 130 : Tumbal TerakhirLangit malam seharusnya gelap, tapi malam itu justru menyala bukan dengan cahaya bulan, melainkan dari lambang bintang enam yang terbakar perlahan di antara awan. Seperti mata raksasa yang menatap ke bumi, lambang itu tidak hanya terlihat… tapi terasa, menekan jantung setiap orang yang menatapnya. Arkana berdiri di puncak menara lonceng sekolah, menatap lambang itu tanpa berkedip. “Seharusnya sudah lenyap…” gumamnya. Ilham berdiri di sampingnya, tangan menggenggam sisa debu dari bayangannya sendiri. “Kau yakin ritualnya selesai?” Arkana menunduk, wajahnya tak yakin. “Itu bukan tentang ritualnya. Masalahnya bukan siapa yang asli atau bayangan… tapi kenapa gerbang keenam muncul sama sekali. Kita hanya menyentuh permukaannya.” Seketika, terdengar bunyi lonceng berdering sendiri. Padahal menara itu tak digunakan selama dua dekade. Suara itu menggema, dan disusul oleh hembusan angin panas dari arah timur. “Apa itu…” Ilham menghentikan kata-katanya. Dari kejauhan, di arah ladang jagu
Last Updated: 2025-08-02
Chapter: Bab 129 : Yang Asli dan Yang Tertinggal“Jangan percaya pada apa yang kau lihat. Jangan percaya pada apa yang kau ingat. Percayalah pada luka yang belum sembuh…” Itu kalimat pertama yang terdengar dari mulut Arkana saat ia menarik Ilham ke lorong bawah perpustakaan lama. Suaranya nyaris tak terdengar di tengah riuhnya desis simbol-simbol bintang enam yang kini terus bermunculan di seluruh dinding sekolah. Ilham masih menggigil. Wajahnya pucat. Di pikirannya, hanya ada satu bayangan: dirinya sendiri, berdiri di lapangan, memandangi dirinya… seperti ingin menghapus keberadaannya. “Aku… masih aku, kan?” tanyanya lirih. Arkana tak menjawab langsung. Ia membuka peti tua dari bawah lantai kayu, mengeluarkan kitab kecil bersampul kulit manusia yang bernama Dua Sisi Cermin. Kitab itu hanya muncul jika seseorang berada di ambang kehilangan jati dirinya. “Kita harus melakukan Ritual Pembeda,” ucap Arkana. “Kalau kau benar Ilham yang asli, kau akan tetap di sini. Tapi jika kau adalah bayangan… tubuhmu akan hancur menjadi debu.
Last Updated: 2025-08-02
Chapter: Bab 128 : Gerbang KeenamLangit di atas Sekolah Cahaya Bumi memutih bukan terang, tapi seperti kabut kering yang menggantung tanpa asal. Angin tak lagi terasa seperti angin. Ia diam… menekan. Arkana dan Ilham berdiri di depan dinding batu tempat Gerbang Kelima terbuka. Tapi kini, gerbang itu menghilang, menyatu sempurna kembali dengan batu. Tak ada retakan, tak ada cahaya tersisa. Namun di tengah lantai ruangan itu, terukir lambang baru bintang bersudut enam. Setiap sudutnya bersambung dengan garis-garis berdenyut merah samar, seolah darah mengalir di dalam ukiran batu. “Ini bukan bagian dari lima gerbang,” gumam Arkana, menelusuri simbol itu dengan jari. Ilham menatapnya dalam-dalam. “Aku melihatnya… di langit Ruang Tanpa Nama. Tapi kenapa sekarang muncul di sini?” Sebelum Arkana menjawab, getaran halus menjalar ke seluruh dinding. Batu berderak, seolah sesuatu bergerak… di balik permukaan dunia. --- Malam itu, Revana terbangun dengan peluh dingin membasahi tubuhnya. Ia menjerit, jatuh dari tempat tid
Last Updated: 2025-08-01
Chapter: Bab 127 : Ruang Tanpa NamaLangkah pertama Ilham di dalam Gerbang Kelima terasa seperti menjejak air tapi bukan air biasa. Lantai tempat ia berdiri seperti permukaan cermin cair, yang mengalir perlahan di bawah kakinya, memantulkan langit yang tidak pernah ada. Arkana di sisinya tampak lebih pucat. Matanya terus bergerak, menelusuri sesuatu yang tidak bisa dilihat orang biasa. “Di sini tidak ada waktu,” katanya pelan. “Apa yang terjadi… sudah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi. Semua sekaligus.” Ilham mengangguk, walau otaknya berusaha keras memahami. Suasana di ruang ini seperti berada di dalam mimpi yang sadar logika hanya berfungsi sebagian, dan sisanya ditentukan oleh emosi. Dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki. Tapi tidak bergema. Tidak pula mendekat. Seolah ruang itu mempermainkan jarak. Kemudian… ia melihatnya. Seorang wanita berdiri dengan punggung menghadap mereka. Rambutnya panjang, mengenakan gaun putih yang basah seperti direndam dalam air mata. Ia berdiri di tengah pusaran cermi
Last Updated: 2025-08-01