Share

Bab 57

Author: Zhar
last update Last Updated: 2025-10-11 08:25:16

Mayor Wiratmaja masih belum bisa menerima kenyataan, lalu membawa Surya untuk menemui komandan divisi lagi setelah sarannya ditolak.

Sebelum memasuki markas komando divisi, Mayor Wiratmaja berbisik kepada Surya:

“Kolonel Pranoto itu keras kepala. Sejak dulu, ia hanya percaya pada apa yang ia yakini sendiri. Seharusnya dia bisa lebih realistis, tapi…”

“Aku mengerti, Mayor,” jawab Surya tegas. “Demi keselamatan garis pertahanan kita di Yogya, kita harus mencoba meyakinkannya sekali lagi.”

“Benar,” Mayor Wiratmaja mengangguk, “Aku berharap kau bisa melakukannya.”

Namun harapan itu pupus seketika.

Bukan karena Surya tidak cukup pintar, bukan pula karena ia tidak fasih berbicara, melainkan karena ia sama sekali tidak diberi kesempatan masuk ke ruang komandan divisi. Artinya, ia bahkan tidak bisa mengutarakan rencananya.

“Aku tak punya waktu membuang-buang tenaga!” bentak Kolonel Prano
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 89

      "Mungkin kau benar!" kata Mayor Wiratmaja, "tapi kau tidak bisa mengatakannya, mengerti? Tidak seorang pun boleh mengatakannya!"   "Kenapa?" tanya Surya.   "Kau tahu kenapa!" jawab Mayor Wiratmaja.   Lalu ia menoleh kanan-kiri, memastikan tak ada telinga lain yang mendengar, sebelum beranjak pergi. Sebelum benar-benar meninggalkan Surya, ia menambahkan lirih: "Lupakan saja, jangan katakan pada siapa pun!"   "Siap, Mayor!" jawab Surya.   Namun sebenarnya, dalam hati Surya tetap tidak bisa menahannya.   Sambil jongkok di samping truk pasokan, menyantap singkong rebus seadanya, Surya melirik ke arah meriam-meriam lapangan yang diparkir terpisah, terpencar di antara barisan parit pertahanan. Ia berbisik pada rekannya bernama Okta:   "Aku heran, kenapa mereka tidak dikumpulkan saja? Disusun rapat dan digunakan bareng-bareng!"   Si Okta tertegun, berhenti mengunyah tem

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 88

    Pada malam ketiga, ketika Surya dan Mayor Wiratmaja mendatangi markas Jenderal Sudirman untuk melapor kembali. “Jarak antar pos pertahanan Divisi ke-89 terlalu lebar, sebaiknya ditambah benteng lapangan. Kepadatan benteng bawah tanah Divisi ke-91 juga kurang memadai. Selain itu, mereka menempatkan pasukan yang kurang terorganisir dan disiplin di ruang bawah tanah, ini kesalahan besar...” Mayor Wiratmaja terus berbicara sambil membaca catatannya. Poin terakhir itu jelas keliru. Tentara Republik Indonesia terbiasa mengirim prajurit yang melakukan pelanggaran, seperti kabur atau membangkang, ke pos-pos paling berbahaya. Ini bukan masalah, bahkan bisa dianggap sebagai hukuman. Namun, masalahnya, pos-pos berbahaya di medan perang sering kali adalah titik-titik strategis. Menyerahkan titik-titik penting ini kepada prajurit yang tak disiplin, tak terorganisir, atau bahkan tanpa komando yang jelas adalah kesalahan fatal. Beberapa di antaranya bah

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 87

      "Pasukan Belanda dari Jawa Tengah!" ujar Jenderal Sudirman akhirnya menyebutnya pelan, "Itu pasukan inti Belanda yang ditempatkan di Semarang dan Magelang."   "Ya, pasukan inti Belanda itu!" sahut Surya cepat. "Kami pernah berhadapan dengan sebagian dari mereka di Ambarawa. Disiplin dan daya tempur mereka jauh di atas rata-rata. Jika mereka menembus jalur utara lalu bergerak ke selatan melalui Magelang, sisi-sisi kita akan terbuka lebar. Mereka tak perlu menyerbu Yogya dari depan… cukup mengepung kita habis-habisan!"   Sudirman dan Mayor Wiratmaja terdiam lama. Bayangan pengepungan itu membuat dada mereka sesak karena bila itu terjadi, Belanda tak perlu repot menyeberangi sungai atau memaksa serangan langsung, cukup memutus jalur gerak pasukan republik.   "Mustahil, Surya!" ujar Wiratmaja setelah beberapa saat. "Untuk melakukan itu, Belanda harus lebih dulu menghancurkan pertahanan di Jawa Barat dalam waktu singkat!"   Su

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 86

      "Mayor, Sersan!" Begitu keduanya masuk ke dalam ruang perlindungan serangan udara sederhana yang dipenuhi peta dan lampu minyak, Jenderal Sudirman, yang sedang berdiskusi dengan beberapa stafnya, mengangguk singkat.   "Hormat, Jenderal!" Mayor Wiratmaja dan Sersan Surya berdiri tegak memberi salam.   Sudirman lalu membalik peta besar di mejanya, menunjukkannya pada mereka berdua. "Lihat ini, Mayor, Sersan. Adakah yang perlu kalian tambahkan?"   Itu adalah peta pertahanan kota Yogyakarta. Di bawah cahaya lampu temaram, tampak jelas posisi-posisi parit pertahanan, jalur patroli, letak bunker darurat, ranjau, menara pengintai, hingga gudang logistik.   Mayor Wiratmaja sempat menoleh ke arah Jenderal dengan raut ragu, lalu berkata pelan, "Jenderal… ini bukan rahasia yang seharusnya kami buka di depan semua orang."   Ucapannya jelas mengacu pada kehadiran Sersan Surya.   Sekilas terdengar seperti

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 85

    Awalnya, Surya dan kawan-kawan akan mundur sejauh 15 kilometer sesuai rencana untuk membangun garis pertahanan baru. Tapi di tengah jalan, mereka “dicegat”. Pasukan mundur dari garis depan dengan mulus. Meski serdadu Belanda tahu pejuang republik sedang mundur, mereka tak berdaya menghadapi ladang ranjau dan jalanan berlumpur yang licin akibat hujan. Tapi hujan lebat juga menyulitkan Resimen ke-333. Yang paling parah, di tengah guyuran hujan deras, tak ada yang bisa beristirahat meski semua orang sudah mengantuk berat. Makan pun jadi masalah. Saat mengambil roti dari kain lap, roti itu langsung jadi bubur bercampur air hujan. Mau tak mau, mereka harus menelan bubur menjijikkan itu secepat mungkin, kalau tidak, bubur itu bakal meleleh dan mengalir di sela-sela jari. Sekujur tubuh mereka basah kuyup. Sepatu lars yang penuh air terasa berat seperti batu. Setiap langkah terdengar suara air dan udara yang saling m

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 84

    Serdadu Belanda melancarkan dua serangan lagi hari itu, tapi akhirnya berhasil dipukul mundur oleh para pejuang republik. Hujan deras benar-benar menyulitkan pasukan Belanda. Efektivitas tempur mereka kacau balau, sementara para pejuang republik mengandalkan benteng sederhana dari bambu dan parit lumpur untuk mempertahankan posisi. Sebaliknya, kalau cuaca cerah dan pandangan jelas, benteng ala kadarnya seperti ini sulit menahan gempuran Belanda. Bayangkan saja: pertama-tama, mereka akan menghujani posisi dengan tembakan meriam, pesawat tempur, dan bom dari udara. Setelah beberapa ronde bombardir, parit-parit itu tak lagi berbentuk, dan parit anti-tank rata dengan tanah. Lalu, pasukan Belanda akan mengirim tank dan senjata berat untuk melindungi infanteri yang maju. “Garis pertahanan Yogya” tak akan sanggup bertahan. Bagaimana mungkin benteng darurat dari bambu dan kayu bisa menahan serangan seperti itu? Tapi ini bukan berar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status