Arunika hangat mulai menembus mendung pagi yang cukup tebal. Mampu mengubah suasana angkuh musim hujan menjadi lebih akrab. Karena hujan, hawa dingin masih menjadi teman sehari-hari. Mungkin menjadi teman perempuan cantik yang wajahnya sedang sedih itu. Namun, dia merasa hangat saat mentari pagi menyapa punggungnya lewat kaca lebar lantai dua rumah sakit tempatnya bersedih itu.
Tetap saja, Brie tidak menjeda wajah sedihnya. Brie dengan rambut yang dicepol berantakan terlihat menunduk. Kedua tangan putih yang berhias gelang emas memangku wajah mungilnya. Mata lentiknya sembab dengan riasan yang rusak ke mana-mana, sedikit bengkak. Bibir tipis pucatnya menggambarkan bahwa kelelahan sedang melandanya. Pun karena lipstiknya telah dihapus sang suami dengan manisnya tadi malam. Dia tak lebih lelah dari penerbangan redeye yang sering dijalaninya.
Semenjak malam tadi, Bridgia menemani sang papi terbaring di rumah sakit. Tekanan darah sang papi naik karena sy
Inu Adikara POVBridgia adalah sumber kekuatan dan penghubung yang kuat. Memang, dia bisa memberiku kekuatan saat memeluknya. Terasa semua letih hilang. Yang aneh, aku bisa kuat berdebat seru dengannya tanpa lelah. Dia juga menjadi penghubung antara aku dan Romo Ibu yang sempat koyak karena kesalahanku.Gantari artinya menyinari. Wajahnya memang secerah matahari pagi. Membuat pagiku terasa hangat hingga malam tak begitu dingin. Pembawaannya yang unik membuatku susah lupa. Sejak pertama berjumpa lagi dengannya hati kecilku berbisik cinta. Aneh, tapi aku benar-benar menghamba padanya.Hyacinta adalah nama bunga yang cantik dan wangi. Bunga miliknya itu selalu kusiram saat dia sibuk bekerja. Harum wanginya bisa jadi temanku saat sendirian di rumah. Ia mirip Brie, si cantik tapi malu-malu. Namun, nggak semua orang bisa tahan sama racun gatalnya, termasuk aku. Sama seperti Brie, yang kadang mulutnya gemesin pengen ngikat pakai tali.B
Wajah Captain Daniar takjub saat melihatku. Matanya bahagia seperti menemukan sebongkah berlian. Bibirnya itu bahkan sampai menganga kehabisan kata pembuka. Hingga dia hanya bisa menyentuh pundakku tempat handbag bertengger. “Unbelievable, ini kamu! Apa kabar, Bridgia?God, susah banget jadwal kita ketemu!” sambutnya meriah yang kubalas dengan cengiran polos.“Kita harusdinner! Harus! Kamufree, ‘kan? Akufreemalam ini, nggak ada penolakan lagi,” ocehnya makin ramai mirip burung kakaktua.Suami tercinta sampai juga di dekatku. Namun, wajah Inu mulai aneh saat menangkap percakapan ini, “Dek?” gugahnya meminta penjelasan.Wajahnya menyiratkan cemburu berat dan akut.Karena aku tak mau memperpanjang konflik apa pun, maka kuarahkan tangan Inu pada tangan si captain. “Capt, perkenalkan ini ….” Sayangnya, upayaku
Kukira gerimis dan teh hangat adalah perpaduan yang indah. Ternyata nggak cuma itu. Debur ombak, malam dingin, dan dipeluk hangat suami adalah perpaduan yang sempurna. Dan kurasakan kesempurnaan itu malam ini, di hari pelarianku bersama Inu Adikara.Di pinggir pantai yang sepi di kawasan utara Jakarta, Inu membawaku lari. Jauh dari kepenatan ibu kota dan pekerjaanku yang tiada habisnya. Dia juga melipir sedikit dari ketentaraan untuk sehari ini saja, yakin? Ternyata tidak, dia benar-benar izin kepada Pak Rifki. Katanya, demi kesehatan istri yang kurang baik.Hei, aku dibilang nggak sehat? Ya, emang aku lagi jenuh berat sih.Kejenuhan itu dipangkas Inu dengan kesempurnaan malam ini. Pemandangan bulan malam yang masih malu-malu di balik mendung langit yang hitam ini terasa makin sempurna saat dia menyajikan sepiring sate ayam – yang entah dapat dari mana.Dia mengunyah cuek sambil melempari ombak dengan karang kecil. Tanpa menatapku, dan hany
“Mas Inu berangkat, ya, Dek Bridgia Sayang. Baik-baik di rumah, jangan lupa makan dan tidur dengan teratur. Hati-hati jaga diri. Kerjanya juga selalu hati-hati. Jangan nakal apalagi nanggepi godaan kapiten Daniar itu. Awas aku ngelihatin kamu!”Keceriwisan Inu dibarengi dengan kedua jarinya yang menunjuk bola mata lalu berpindah ke kedua bola mataku. Semacam membuat laser nggak nyata gitulah. Mulutnya yang ceriwis mirip kakaktua itu ingin sekali kutali karet. Bikin pusing di pagi setenang ini, meski hatiku tidak tenang karena akan berpisah dengannya di ambang pintu.“Sekali lagi Mas Inu bilang gitu aku kasih payung cantik! Aku udah hapal, Mas. Di luar kepala iniii!” balasku mendidih dengan tangan ke kening.Kejudesanku menutup sedih yang pekat di dalam hati.“Ya udah sini!” Inu menarikku dalam dekapannya.Tubuhnya telah rapi dalam balutan loreng dan menggendong tas di punggung. Tubuh tegap ini memelukku erat seka
Ada yang lebih seram dan pekat dari awan kumulonimbus. Ada yang lebih berat dari pintu Boeing 737-800. Ada yang lebih menyesakkan dari dekompresi udara. Ada yang lebih rumit dari tombol kokpit. Dia bernama rindu. Aku mengenalnya semenjak bertemu dengan manusia itu.Rindu pada manusia yang jauh di sana – yang sekarang makin jauh. Setelah meninggalkanku ke Bandung, sekarang Inu sudah ada di Situbondo. Dia harus merampungkan tugas pada negaranya sebagai seorang penjaga bangsa yang setia.Rinduku sama dengan celotehnya, makin seru. Apalagi jika mendengar suara ceriwisnya, serasa aku ingin menembus ruang untuk bersua dengan Inu di sana.Dia menjadikanku buku diari hidup dengan bercerita banyak hal di panggilan telepon. Katanya, dia ketemu banyak prajurit dari matra lain. Maksudnya, dari Angkatan Laut dan Udara. Yang laut bawa kapal induk dan yang udara bawa jet tempur. Seru, berasa simulasi perang sungguhan. Mereka meledakkan bom di gunung, meledakkan meriam, d
“Ginikah Mas potongan wortelnya? Kurang kecil nggak?” Kuahnya kayak gini? Kurang kaldu apa gimana? Suka bening apa pekat?”“Suka merica apa lada hitam? Aku banyakin yang mana?”Inu menatap sang istri yang berceloteh riang sambil mengaduk-aduk spatula. Wajah sang pramugari terlihat semringah karena sore ini dia memasak untuk sang suami di rumah mertua. Dapur yang sepi berubah menjadi riuh karena perdebatan kecil di antara mereka. Ya cuma masalah potongan wortel yang kegedean, atau kuah sup sayur yang kurang pekat.“Kalau terlalu besar wortelnya, kata ibu, jadi nggak manis gitu,” lanjut Brie ceriwis.Inu mendekati pipi sang istri. “Terserah kamu, Dek! Semua masakanmu pasti kumakan.”Brie mendelik kecil sambil menaruh spatula. “Kok gitu? Nanti Kalau nggak enak aku diomeli lagi!” protes Brie.“Siapa sih yang berani ngomeli cewek galak macam kamu?&r
Hujan telah menghiasi langit Jakarta yang gelap. Pukul delapan malam, harusnya aku bahagia larut dalam pesta bujangan Sysil. Nyatanya, aku malah di dalam kamar gelap berteman pemahaman yang makin pelik. Berteman anggapan dari pikiranku yang makin rumit. Tentang pernikahan ini dan Inu Adikara.Sepertinya pernikahan ini telah menemui jalan buntu. Aku bisa memaafkan semua kesalahan Inu, tapi tidak dengan satu, perselingkuhan. Sama seperti dia yang membenci seorang peselingkuh, entah benar atau tidak, aku pun sama. Entah, mungkinkah ini akhir dari semua kebodohan ini?Di tengah kesesakan dari dada dan rasa, tiba-tiba telingaku mendengar suara deru mobil yang dimatikan. Rupanya Inu sudah datang. Tersangka utama keributan sore ini siap untuk menghancurkan sisa malam bersamaku. Mungkin ini akan jadi malam terakhir aku melihat kamar ini.Sebab setelah ini aku akan pergi meninggalkan semua, “dunia” bodoh ini.Setelahnya, te
"Masihkah kamu mencintaiku?" tanya Inu lirih."Entah,” jawabku dengan mata kosong."Kamu sedang memikirkan apa?""Kamu,” jawabku jujur."Sudah memaafkanku?" Inu mencium punggung tanganku dengan hangat"Nggak kepikiran!""Kenapa?""Nanti kamu sakitin aku lagi."Dialog-dialog kami mengalir seperti air hujan yang tercurah dari genteng. Kami duduk bersebelahan sambil bersandar pada tembok yang dingin. Tanpa saling melihat hanya saling memegang tangan. Pandangan kosong menerawang, sesekali mengingat apa yang baru saja kami lakukan.Aku tersadar bahwa kami baru saja bercinta dengan hebat dan meminggirkan semua kerusakan yang sempat terjadi. Kini apa status kami, mungkin sepasang suami – istri yang masih cinta dan saling memperbaiki situasi.Seperti Inu Adikara yang kali ini melabuhkan pelukan lebarnya pada tubuhku yang tanpa benang sehelai saja ini. Inu makin mengeratkan pelukannya saat aku mencium dad