Desa Qinglang jadi gempar karena terkejut dengan kedatangan perwira Kai yang terlalu tiba-tiba. Dua puluh orang berpakaian prajurit lengkap dengan menunggang kuda-kuda gagah, itulah pasukan pimpinan Perwira Kai yang dibawa ke desa Qinglan.
Keadaan semakin gempar ketika perwira itu melukai seorang perempuan yang mereka semua tahu sebagai istri dari Lu Taihiap (Pendekar Lu). Beberapa pemuda mencoba untuk membela Mei Mei, tapi mereka hanya mendapat pukulan yang lebih keras dari bawahan perwira Kai.
Kini, keadaan kembali gempar karena kedatangan Yang Feng yang mengirimkan suara berisi tenaga dalam, membuat suaranya jadi lebih keras beberapa kali lipat.
“Siapa di sini yang dipanggil Perwira Kai?”
Ayam-ayam berkokok dan lari ketakutan. Babi, sapi, kambing, serta hewan-hewan ternak lain merunduk dengan ngeri setelah datang bentakan yang seolah turun dari langit. Tak lama kemudian terdengar ringkik kuda dari salah satu sisi desa, Yang Feng segera menoleh ke sumber suara untuk menemukan sekumpulan kuda sedang tertambat di pohon-pohon sana.
Kiranya itu adalah warung makan yang tak begitu besar tempat rombongan perwira Kai berhenti di sana. kedua puluh prajurit keluar dari tempat itu dipimpin oleh perwira Kai sendiri.
“Akulah orangnya,” jawab perwira Kai dengan pengerahan tenaga dalam pula untuk menunjukkan kemampuannya.
Yang Feng berjalan cepat menghampiri rombongan itu, sama sekali tak ada sikap takut pada setiap langkahnya. Long Wei dan Lu Kwan mengikuti.
Begitu dua kelompok saling berhadapan, orang-orang yang menonton segera tahu kalau sebentar lagi pasti akan terjadi hal buruk. Mereka tergopoh-gopoh masuk rumah untuk bersembunyi atau menjauh sejauh mungkin.
“Kalian para tentara kekaisaran yang seharusnya melindungi rakyat kecil, kenapa justru menindas kami?” ujar Yang Feng yang mukanya sudah memerah karena marah.
Perwira Kai menjawab dengan sikap seorang perwira, kepala sedikit mendongak. “Siapa yang kaumaksud?”
“Wanita yang sudah kausiksa dengan kejam tadi, itu adalah istri sahabatku!”
“Wanita tadi?” Kening perwira Kai mengerut, kemudian pandangannya jatuh kepada Lu Kwan dan menunjuknya. “Aku tahu dia itu istrinya.”
Yang Feng terbelalak dan menatap keduanya bergantian. Namun, ia segera menepis rasa kagetnya untuk kembali mengirim bentakan. “Kalau sudah tahu kenapa kau nekat? Apa kau tak tahu siapa dia? Dia adalah Lu Taihiap, pendekar budiman yang sudah memenggal kepala banyak orang jahat. Andai dunia tahu istrinya diperlakukan tidak adil, yakinlah tubuhmu akan diremukkan oleh para pendekar gagah yang membelanya.”
Akan tetapi, perwira Kai sama sekali tidak menunjukkan rasa takut. Sama sekali.
“Aku sudah membawanya, seperti perjanjian.”
Yang Feng dan Long Wei menoleh ke arah Lu Kwan yang mengatakan itu. Wajah mereka diliputi kebingungan yang tak bisa disembunyikan.
“Apa maksudnya?” Long Wei yang sejak tadi diam kini bersuara.
Wajah Lu Kwan tiba-tiba berubah keras. “Dia adalah Yang Feng, salah satu pemilik Giok Langit.”
“Keparat!” Yang Feng membentak. “Apa maksudmu, bocah?”
Terdengar suara-suara senjata dicabut dari tempatnya disusul teriakan membahana. “Tangkap mereka!” dan pedang perwira Kai membelah angin, menciptakan suara desing tajam menusuk telinga.
Yang Feng yang jadi sasaran memundurkan badan sampai punggungnya hampir menyentuh tanah, kemudian ia menendang lengan perwira Kai yang memegang pedang berbarengan tubuhnya melayang di udara.
“Lawan mereka Wei Ji,” serunya. “Lawan, lawan! Pertahankan nyawamu!”
Long Wei merunduk untuk menghindari serangan golok yang mengarah leher disusul tubuhnya yang bergulingan karena tusukan pedang dari prajurit lain. Begitu bangkit, ia melihat dua orang itu sangat bernafsu untuk merobek perutnya. Tentu saja Long Wei tak bisa membiarkannya begitu saja, dia mencabut pedang pendek dan menebas.
Suara nyaring pertemuan dua senjata terjadi selama beberapa saat sebelum salah satu prajurit berteriak kesakitan karena pedang Long Wei berhasil melukai lehernya.
Di sisi lain, Yang Feng harus menghadapi serbuan empat orang sekaligus yang tak segan-segan mengayun senjata mengarah titik vital.
“Turuti perintah perwiramu, tolol!” ia mengemplang kepala seorang prajurit sampai bergulingan. “Dia menyuruh untuk menangkapku, bukan memenggalku—pergi kau!” dia menangkis serangan golok lain dengan tangan kosong. Golok itu patah seketika.
Sedangkan prajurit yang tersisa masih tak bergerak dan hanya berdiri mengamati.
Lu Kwan tampak saling berbisik dengan perwira Kai. Wajah Lu Kwan diliputi ketakutan sampai tampak pucat, sedangkan perwira Kai kelihatan senang karena terus menyeringai.
“Lu Kwan, apa yang kaulakukan?” Yang Feng menghindar dengan cara melompat tinggi. “Apa mereka mengancammu? Jujurlah!”
Long Wei berhasil menundukkan satu prajurit, sedangkan prajurit yang tersisa ini sungguh lihai. Kemampuannya jauh lebih tinggi dibandingkan prajurit yang tadi ia gores batang lehernya. Long Wei menduga prajurit ini lebih senior dari yang tadi.
Ketika pedang si prajurit terayun, Long Wei melihat lowongan di tulang rusuk sebelah kanan. Dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Long Wei maju satu langkah lebih dekat dan menyusulkan tendangan kaki kanan secepat kilat. Seperti dugaan, prajurit itu menebas kaki kanannya. Namun, Long Wei menyeringai karena serangan itu hanyalah tipuan, sedangkan serangan yang mengandung tenaga sepenuhnya adalah pukulan tangan kiri mengarah tulang rusuk.
Kraaakk
“Aaaarrrgghhh!” Prajurit itu memekik kesakitan.
Long Wei menekan leher lawan sampai sebatas pinggang, lalu sraaattt, putuslah kepala itu.
Melihat kematian kawannya, tiga prajurit lain menerjang Long Wei yang tampak semakin girang.
“Datanglah! Akan kuputus kepala kalian seperti miliknya!” Ia menyongsong lawan-lawannya.
Percakapan rahasia antara Lu Kwan dan perwira Kai tampaknya sudah usai. Perwira itu tersenyum makin lebar. “Pendekar Tapak Baja Yang Feng, kusarankan agar kau menyerah dan memberikan Giok Langit itu padaku. Kaisar sangat membutuhkannya.”
Yang Feng menggertakkan gigi. “Aku bersumpah akan melindunginya dengan nyawaku! Lebih baik mati daripada melihat kaisar lalim itu menyentuh giok ini!”
“Kau yang memaksa!” perwira Kai masih menyeringai. “Bunuh saja mereka!” dan sisa-sisa prajurit yang tadi tidak menyerbu kini ikut menyerang.
“Ah, bajingan! Akan kuingat ini, Lu Taihiap!” Yang Feng memelototi Lu Kwan yang membuang muka. “Akan kuingat! Wei Ji, kita mundur.”
Sebenarnya, Yang Feng bisa saja keluar dari pertempuran ini setelah menghabisi mereka semua. Dia adalah pendekar besar dari timur yang berjuluk Tapak Baja, tidak mungkin pengeroyokan dua puluh prajurit ditambah satu perwira itu mampu merepotkannya.
Akan tetapi, kakek ini tak mau ambil risiko. Di sana ada Long Wei yang harus ia lindungi, sedangkan pembawa Giok Langit adalah Long Wei pula. Jika dia terus mengamuk, akan sulit bertarung sambil melindungi Long Wei. Karena itulah Yang Feng memilih mundur.
Perwira Kai tidak berniat membiarkan mereka pergi dengan mudah. Dia langsung naik kuda dan menghalangi jalan kabur Yang Feng. Kakek itu menggeram marah lalu mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya sehingga ia melayang bagai burung raksasa.
“Minggir!” sambil membentak, ia melakukan gerakan pukulan tapak mengarah muka perwira Kai.
Karena jarak mereka terlalu dekat, ditambah kelihaian perwira Kai jauh di bawah Yang Feng, dia terlambat untuk bereaksi. Pedangnya sudah menebas hendak menahan serangan, tapi tapak itu datang terlalu cepat. Akibatnya serangan Yang Feng masih berhasil menghantam dadanya.
Perwira itu memekik kesakitan lalu jatuh dari kuda.
Usaha perwira Kai tidaklah sia-sia karena kini Yang Feng dan Long Wei sudah terkepung lagi. Ketika Yang Feng memutuskan hendak mengerahkan ilmu silat tingkat tingginya untuk mempercepat pertarungan, tiba-tiba terdengar lengking tinggi yang amat nyaring.
“Cang Er ….” Long Wei bergumam tanpa sadar saat wanita cantik berambut hitam panjang itu menebas tubuh dua prajurit dari belakang.
“Kakek Yang, kakak Long, cepat!”
Sejenak Yang Feng melongo, merasa sedikit curiga kalau gadis itu membantu ayahnya yang berkhianat. Akan tetapi ia melihat Long Wei sudah berlari lebih dulu maka tak ada pilihan selain ikut.
“Cepat pergi keluar dari desa. Aku akan menahan tentara-tentara ini,” kata Cang Er tanpa memandang mereka berdua.
“Jangan bodoh, anak baik. Kau akan menghadapi serbuan prajurit-prajurit itu?”
Dari samping mukanya, Long Wei dapat melihat Cang Er tersenyum tipis. “Ini penebusan untuk pengkhianatan ayahku.” Dia lalu memandang sedih ayahnya yang melihat dari jauh dengan mata terbelalak. “Dia berhutang penjelasan padaku. Sekarang cepat pergi.” Cang Er telah memutar pedangnya karena prajurit-prajurit itu sudah menyerbu dengan ganas.
Yang Feng dan Long Wei saling pandang sejenak. “Giok Langit harganya lebih dari apa pun,” ucap Yang Feng. “Pergilah, aku akan membantu Cang Er.”
“Tapi ….”
“Cepatlah, aku bisa atasi mereka!”
Setelah ragu sejenak, Long Wei tidak ada pilihan lain selain pergi dari sini. Dia adalah pemegang Giok Langit, ia sadar itu dan dia harus melindunginya.
“Aku akan kembali,” katanya singkat sebelum pergi menuju gerbang desa Qinglan.
Yang Feng mampu bernapas lega melihat pemuda itu menurutinya. Ia lantas berbalik untuk menghadapi serbuan para prajurit sekaligus membantu Cang Er.
“Jangan nekat, Er Ji!” Lu Kwan melompat tinggi, sungguh luar biasa ilmu meringankan tubuhnya.
Dia mengayunkan golok untuk menangkis serangan prajurit yang tadi menekan anaknya, bunga api berpijar.
Cang Er mundur dengan waspada, menentang pandang ayahnya tanpa rasa takut. “Kenapa ayah mengkhianati mereka?”
“Kita tak akan bisa melawan kekaisaran dan keluarga kita diancam, kau tahu itu.”
“Begitukah sikap Lu Taihiap?” Cang Er meraung murka. “Lalu kenapa? Seorang pendekar besar harus takut mati?”
“Cang Er!” Lu Kwan membentak penuh kemarahan. “Turuti kata ayahmu, jangan menyerang!”
“Aku menuruti pesanmu.” Cang Er menggigit bibir, menahan setitik air mata yang hampir turun. “Demi kebenaran, aku tak takut mati. Itulah sifat pendekar!” dan Cang Er berbalik menyerang ayahnya.
Lu Kwan merasa sedih sekali karena diserang oleh putri satu-satunya seperti itu. “Kau tak tahu mana benar mana salah,” desisnya. “Ini kulakukan demi kau dan ibumu!” Lu Kwan menebas, sangat kuat sampai membuat tangan Cang Er gemetar.
Yang Feng yang tadi sibuk menghadapi pengeroyokan prajurit lain, melihat hal itu, cepat melesat ke depan Cang Er menjadi penghalang antara Lu Kwan dan anaknya.
“Urusanmu denganku,” desisnya tajam menatap Lu Kwan. “Cang Er, kauhadapi mereka. Kebanyakan sudah terluka, itu tak akan terlalu sulit untukmu.” Walau sedikit khawatir karena ia mampu melihat ilmu Cang Er berlum terlalu matang, tapi apa boleh buat.
Bilah golok hampir menyentuh punggung Yang Feng, tapi pemegangnya langsung meregang nyawa setelah mendapat tusukan dari Cang Er. Gadis itu segera mengamuk menghadapi terjangan sisa prajurit.
“Kau terluka, aku sudah tahu sejak awal,” ucap Lu Kwan yang tidak membuat Yang Feng terkejut. “Kekuatanmu menurun jauh sekali. Kau tak akan bisa melawanku saat ini.”
“Ini bukan soal menang kalah.” Yang Feng bersiap dengan kuda-kuda. “Ini tentang pengkhianatan dan kehormatan seorang pendekar.”
Lu Kwan nampak murung. “Kau harus memaafkanku.” Ia bersiap pula. “Aku akan membunuhmu, kakek Yang.”
Sekeluarnya dari rumah kepala desa, mereka menuju bangunan tempat bermalam untuk berunding.“Kita akan masuk?” Cang Er bertanya ragu. “Tidak mungkin, kan?”“Tentu saja tidak mungkin. Itu amat berbahaya. Musuh pasti sudah tahu isi dari ruang rahasia itu seperti apa, sedangkan kita sama sekali buta. Tindakan itu bisa dibilang bunuh diri,” sahut Liang Kun cepat. “Saudara Jit, bagaimana menurutmu?”Lelaki itu berpikir keras selama beberapa saat. “Satu-satunya cara, sepertinya harus kita sendiri yang berjaga diam-diam di ruang itu.”“Berarti memang tidak ada cara lain, ya ....” Ekspresi Liang Kun berubah sedikit tegang. “Kalau kita menanti di dalam, tak ada jaminan musuh akan datang lagi malam ini. Juga kita tidak tahu apakah Poan Ci dalam keadaan selamat ataukah sudah mati?”“Soal itu ....” Jit Kauw menundukkan kepala dalam-dalam lalu terdengar helaan napas berat. “Aku sungguh tak mengerti. Kita benar-benar tak berdaya akan diri Poan Ci, satu-satunya cara adalah membuat sisa anak-anak itu
Malam lewat dengan penuh kekhawatiran yang tak terjawab. Setelah selesai berbincang dengan Cang Er, Jit Kauw langsung mengubah formasi penjagaan. Kini formasi diperketat di sekitar wilayah rumah kepala desa. Lusinan pria berpakaian kasar dan bersenjata berbagai macam tampak mengerikan saat mereka berdiri di tempat masing-masing dengan mata mencorong.Melihat ini saja orang akan bisa langsung menyimpulkan bahwa orang bodoh saja yang berani nekat menerobos masuk.Namun, namanya masa depan tak ada yang tahu. Esok hari saat baru terang tanah, Cang Er, Liang Kun dan Jit Kauw dikejutkan oleh laporan salah seorang penjaga dengan muka pucat.“Pagi tadi baru disadari bahwa jumlah anak di rumah kepala desa sudah berkurang satu. Kini total ada dua puluh empat orang, seorang anak lelaki hilang entah ke mana.”Jit Kauw tak bisa menahan kemarahan lagi. Meja di depannya ia pukul keras hingga pecah jadi beberapa bagian. Mata lelaki itu melebar seakan hampir keluar, urat-urat nadi menonjol keluar dari
“Bangsat!” Jit Kauw memaki sambil mengepalkan tangan.Ia tak hanya merasa kesal karena kematian Siauw Ki dan tabib desa yang begitu mendadak. Akan tetapi juga kematian dua orang tawanan yang tak kalah mendadak. Begitu mereka masuk rumah dan dua orang itu sudah kedapatan tewas, tiba-tiba saja mereka berdua berkelojotan hebat dengan muka membiru. Setelah diteliti, kiranya ada sebuah racun yang sengaja mereka telan. Betapa besar kerugian yang didapat saat ini.Karena keadaan sudah tenang, para warga yang tadi terganggu tidurnya kini berani keluar untuk melihat. Namun, anak buah Jit Kauw segera melarang mereka dan menyuruh untuk kembali masuk rumah. Keadaan sama sekali belum aman.“Tak ada pilihan lain sekarang selain mengubur mereka,” lirih Liang Kun penuh penyesalan. “Malam ini kita sama sekali tidak mendapatkan petunjuk.”“Sebenarnya apa yang mereka inginkan dengan datang dan mengacau di desa ini malam-malam?” ujar Cang Er menyuarakan pertanyaan hati semua orang. “Apa mereka tidak tahu
Serangan Cang Er dan Liang Kun yang datang dari kanan kiri itu sama sekali tidak membuat orang ini menjadi gugup. Justru ia segera melawan dengan cara memutar tubuh cepat sekali. Saking cepat putaran tubuh itu, dalam sekali putar pedang mereka sudah berhasil kena tangkis bahkan hampir terpental. Cang Er terpekik kaget karena merasakan tangannya panas sedikit kesemutan.Orang ini melanjutkan serangan dengan menubruk Liang Kun yang paling dekat. Pedangnya membacok, menusuk dan menebas. Tujuh kali serangan berturut-turut yang datang seolah tanpa pola berhasil membingungkan Liang Kun. Namun, pemuda itu dengan ilmunya Pedang Pembelah Langit mampu memecah semua serangan itu.Karena Liang Kun menangkis sambil terus memundurkan badan, maka otomatis mereka semakin dekat dengan pedang orang itu yang tadi berhasil dijatuhkan. Pada serangan kesepuluh, dia menebaskan pedang kuat sekali sampai Liang Kun terdorong dua langkah.“Jangan biarkan dia ambil pedang!” seru Cang Er yang khawatir kalau semua
Bergerak hanya bermodalkan refleks, ia meloncat keluar dari jendela dan langsung berlari cepat menuju sumber suara. Pada waktu yang hampir bersamaan, Jit Kauw juga mengikuti langkah Cang Er dengan suitan-suitan panjang selama perjalanan.Suitan-suitan ini membangunkan kawan-kawannya yang sedang tidur nyenyak di bangunan mirip gudang itu. Diturut pula oleh Liang Kun yang sudah terbangun dan melesat cepat.Teriakan dengan suara serak ini entah dikeluarkan oleh siapa, yang jelas asalnya dari rumah tabib desa tempat Siauw Ki dirawat. Setelah suitan-suitan nyaring ini, seluruh kawan-kawan Jit Kauw yang mendengar segera berkumpul.Cang Er yang tadi berlari di depan otomatis tiba lebih dulu. Dalam keremangan malam, ia mampu melihat Siauw Ki bertempur melawan seorang siluet lelaki. Buru-buru ia cabut pedang untuk menerjang.“Pengecut hina, beraninya melawan orang sakit!”Menggerakkan pedang berdasarkan ilmu Bintang Jatuh, pedangnya membacok dengan pengerahan hawa tenaga dalam kuat sekali.Ora
Andai saja tidak berwajah terlalu pucat dan mengeluarkan banyak darah, orang itu sejatinya memiliki bentuk wajah yang tampan. Cang Er bisa mengenalnya karena dulu waktu pembasmian kelompok Zhu Ren orang itu juga ikut serta bahkan menjadi salah satu tokoh penting. Dia bukan lain adalah Siauw Ki, seorang murid Perguruan Taring Naga yang lihai.Pemuda itu terbaring lemas dengan napas pendek-pendek. Sesekali ia meringis kesakitan saat kakek tabib mengoleskan sesuatu ke lukanya. Keadaan Siauw Ki amat memprihatinkan, jika saja dia bukan seorang yang lihai, kiranya tidak terlalu berlebihan jika dikatakan saat ini dia pasti sudah mati dengan luka seperti itu.“Biar kubantu.” Jit Kauw maju ke tepi pembaringan. Tanpa permisi dan minta persetujuan, ia langsung menggerakkan telunjuk jari tangan yang bergerak cepat menotok sana-sini. Seketika darah yang tadi mengucur berhenti mengalir. Ini memudahkan tabib tersebut.“Air panas,” kata tabib itu sambil tergopoh-gopoh menghampiri panci di atas meja.
Mereka diberi kuda-kuda terbaik yang dimiliki Gagak Putih serta bekal selama perjalanan. Mereka tidak tahu seberapa lama perjalanan ini akan berlangsung karena tempat itu demikian jauh, Cao Yin memperkirakan tak mungkin kurang dari dua bulan. Maka dari itu mereka juga mengantongi banyak uang.Tindakan itu sebenarnya sedikit mengkhawatirkan mengingat keadaan saat ini yang serba kacau. Namun, itu perintah guru mereka, apa boleh buat.Pagi hari itu Cang Er dan Liang Kun sudah meninggalkan wilayah Gagak Putih untuk menuju utara. Kepergian dua murid pribadi ketua perguruan tentu diiringi lambaian tangan dan sorak-sorai membahana. Semua orang mendoakan agar mereka lekas pulang dalam keadaan selamat tentunya.Dalam perjalanan ini, berbagai desa dan kota dilewati. Sungai-sungai kecil dan besar diseberangi. Beberapa kali ada bandit menghadang, tapi hanya berakhir tumbang entah tanpa nyawa atau sengaja dilepaskan. Dua tokoh Perguruan Gagak Putih ini selama perjalanan juga terus melatih ilmu sil
Ia mainkan ilmu silat Berkah Dewi khas milik Gagak Putih. Seharusnya tampak cahaya bersinar terang di masing-masing tangan ketika siapa pun mainkan ilmu silat ini. Akan tetapi, Cang Er mendapati satu keanehan pagi hari itu. Ketika ia berlatih di hutan belakang Perguguran Gagak Putih, saat ia mengerahkan tenaga dari Berkah Dewi tangan kanannya diliputi cahaya putih sedangkan tangan kirinya terselubung cahaya hitam.Cang Er bahkan sampai ngeri melihat perubahan dalam dirinya sendiri. Ketika ia mencoba memukul roboh sebatang pohon yang tak begitu tinggi, hasilnya pun luar biasa lain. Saat terkena tangan kanan, pohon itu langsung pecah berhamburan dan tumbang. Namun, ketika ia memukul menggunakan tangan kiri yang bercahaya hitam, pohon itu tumbang perlahan-lahan. Walau begitu efek yang ditimbulkan tangan kiri ini lebih mengerikan karena saat batang pohon itu tumbang, bagian dalamnya sudah menghitam seperti terbakar dan berubah jadi semacam bubuk halus.“Gila, dari mana kekuatan terkutuk i
Liang Kun sudah berulang kali memberitahunya untuk tetap berdiam di kamar selama beberapa waktu, tapi rasa penasaran yang mengeram di hati seolah sudah tidak sabar untuk dikemukakan.Cang Er selalu merasa gelisah dalam kamarnya ketika mengingat kata-kata Zhu Ren. Bajak laut itu dengan lancang berani bilang kalau gurunya juga seorang pengecut karena meminta bantuan golongan hitam untuk menggempur bajak laut Hantu Samudera. Tentu saja Cang Er tidak percaya begitu saja, maka dari itu malam ini dia dengan langkah buru-buru mendatangi tempat Cao Yin.Pintu diketuk tiga kali dan membuka perlahan. Di sana tampak Cao Yin yang mengenakan jubah serba putih sedang duduk bersila di atas bantalan empuk. Tanpa ragu, Cang Er masuk lantas menjura hormat.“Guru.”Cao Yin mengelus jenggot panjangnyanya. Dengan muka tenang, ia berkata. “Kau masih belum sembuh, kenapa malam-malam justru memaksakan diri untuk datang ke sini?”“Sebenarnya saya sudah ingin mengatakan ini kepada guru sejak pertama kali kami