Karena tempat tinggal Yang Feng sebelumnya sudah tak aman lagi, maka mereka pergi mengembara ke banyak tempat. Perjalanan dilakukan menggunakan kuda yang sama, menuju utara.
Ketika Long Wei menanyakan alasan kenapa mereka pergi ke utara, Yang Feng menjawab kalau tak ada alasan pasti. Satu hal pasti adalah sangat berbahaya bila terlalu dekat dengan ibu kota yang ada di wilayah barat, berdiri di kaki pegunungan Yuling.
Walau Long Wei ikut Yang Feng bukan karena sungguh-sungguh ingin jadi murid melainkan karena balas dendam dan sedikit balas budi, tapi ia tetap patuh akan segala perintah Yang Feng. Ketika mereka harus tidur beratapkan langit, Long Wei yang akan mencarikan kayu bakar dan makanan untuk mereka berdua. Ketika sampai di desa, mereka biasanya akan membantu siapa saja yang membutuhkan untuk mendapat uang, Long Wei amat rajin untuk itu. Karena inilah Yang Feng makin merasa sayang dan kasihan kepada pemuda tersebut, apalagi setelah ia mendengar masa lalu Long Wei.
Namun selama hampir seminggu perjalanan, Yang Feng belum menurunkan ilmu apa pun kepada Long Wei.
“Desa Qinglan, tempat yang damai.” Yang Feng menarik napas dalam-dalam untuk menikmati udara pagi yang dingin menyejukkan. “Sudah pernah ke sini?”
Long Wei merasakan aura ketentraman yang hampir belum pernah ia rasakan. Desa ini punya semacam aura tersendiri yang membuat siapa saja merasa nyaman. Dengan tiga bukit tinggi yang mengelilingi desa serta hutan lebat di sisi barat, membuat udara amat sejuk dan menenangkan.
Long Wei menggeleng. “Belum, desa ini tidak dilewati jalur Sungai Bai He, jadi aku tak pernah ke sini.”
Sungai Bai He adalah sungai yang biasa dilalui bajak laut Hantu Samudra ketika mereka masuk lebih jauh ke wilayah daratan.
“Kau akan menyukai desa Qinglan.” Yang Feng tertawa. “Aku ada kenalan juga di sini, dan aku mau mampir. Ikut?”
“Ke mana lagi aku kalau tidak ikut denganmu?”
Yang Feng tertawa bergelak.
Masuk gerbang desa, kesunyian alam seolah tak bisa dipecahkan oleh suara teriakan anak-anak kampung yang saling berkejaran, atau suara para wanita yang mengobrol di teras rumah. Long Wei menarik napasnya panjang, melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Yang Feng beberapa waktu lalu. Seketika kedamaian memenuhi seluruh urat syaraf di tubuhnya.
Andai aku bisa tinggal di sini selamanya. Namun, tiba-tiba pikirannya teringat dengan Giok Langit, Tangan Maut, dan Pertapa Putih. Long Wei tersenyum pahit, sepertinya tidak mungkin.
Yang Feng menuju pinggiran desa yang cukup jauh dengan gerbang masuk, tempat sebuah rumah sederhana berdiri di tengah sawah yang cukup luas. Rumah itu juga punya kandang kuda dan kambing di halaman belakang. Dari jauh, tampak seorang gadis cantik sedang belajar ilmu pukulan di halaman depan.
“Selamat pagi, Cang Er. Kau semakin cantik, nak,” sapa Yang Feng mengejutkan gadis itu yang langsung membalikkan badan.
Gadis cantik jelita dengan rambut yang panjang dan hitam serta tahi lalat di dagu kanan sehinnga menambah kemanisannya, merekahkan senyum. “Kakek Yang.” Dia langsung lari menghampiri dan menjura hormat. “Ayah pasti senang kau datang.”
“Harus senang, hahaha!” Kakek itu turun dari kuda. “Karena ia sendiri yang menyuruhku mampir kalau aku datang ke Qinglan.”
“Ayo masuk,” ajak Cang Er kepada kakek Yang. Dia melihat pula adanya Long Wei di belakang kakek itu, tapi karena tidak kenal maka Cang Er pura-pura tidak melihat.
“Ah, perkenalkan dia Long Wei, orang yang akan mewarisi semua ilmu-ilmuku.” Yang Feng memperkenalkan.
Cang Er kembali menjura, demikian pula dengan Long Wei.
“Beruntung sekali kau, kakak Long, bisa menjadi murid dari pendekar sakti Tapak Baja dari timur.”
Long Wei sudah mengetahui julukan Yang Feng yang mentereng itu dan dia memang merasa beruntung. “Terima kasih.”
Mereka masuk ke rumah sederhana tapi memiliki ruangan yang amat luas. Kursi-kursi tertata rapi di ruang tamu dengan hiasan dinding dan meja yang sekilas pandang seperti buatan tangan sendiri.
“Ini aku yang membuatnya.” Seolah bisa membaca pikiran Long Wei, Cang Er menunjuk teko kecil dari tanah liat di atas meja. “Sayang hasilnya seburuk itu.”
Di mata Long Wei, itu terlalu bagus untuk buatan sendiri karena terdapat ukiran ikan mas sedang saling berkejaran.
Cang Er memanggil ayahnya yang datang tak lama kemudian. Seorang pria berpakaian petani dengan rambut panjang dikuncir dan jenggot tipis, datang tergopoh-gopoh. Wajah lelaki itu langsung cerah saat melihat Yang Feng, teman lamanya.
“Kakek Yang, kau benar-benar datang.” Ia menjura memberi hormat.
“Dan kau sama sekali tak berubah,” ucap Yang Feng sembari menepuk-nepuk pundak orang tersebut.
Ia melihat ada pemuda lain di sana, sebelum bertanya, Yang Feng sudah memperkenalkan lebih dulu. “Dia Long Wei, orang yang akan mewarisi semua ilmuku. Dan dia Lu Kwan.” Yang Feng memperkenalkan mereka berdua.
Long Wei menjura hormat, sedangkan Lu Kwan mengangguk-angguk. “Kau mendapat anak berbakat, kakek Yang. Tulang anak ini cukup bagus,” ucapnya setelah melihat tubuh Long Wei.
“Mana istrimu?”
“Dia pergi ke desa untuk beli sesuatu. Sebentar lagi pasti datang.”
Sampai tengah hari Long Wei dan Yang Feng dijamu di rumah Lu Kwan yang menyediakan berbagai hidangan kepada mereka. Dibantu Lu Cang Er, Lu Kwan menyuguhkan daging panggang, mi kuah, arak manis dan beberapa roti isi sebagai penutup.
Yang Feng bersendawa cukup keras setelah menghabiskan sebagian besar yang diberikan tuan rumah dan Long Wei terkejut sekali Yang Feng bisa makan sebanyak itu. Ternyata selama di perjalanan, Yang Feng selalu menahan diri agar tidak terlalu makan banyak.
“Sudah lama aku tak makan sekenyang ini, terima kasih, nak.” Yang Feng kembali bersendawa. “Tapi, di mana istrimu? Kenapa tak kunjung pulang?”
Lu Kwan dan Cang Er sudah khawatir sejak tadi. Keduanya saling lirik.
“Aku akan menyusulnya, ayah.” Cang Er bangkit dari tempat duduk.
Lu Kwan mengangguk setuju.
Namun tepat saat Cang Er keluar dari pintu, dia memekik tatkala melihat tubuh ibunya yang tersungkur di halaman.
Yang Feng, Lu Kwan dan Long Wei segera berlari keluar dan mereka juga mendapat keterkejutan yang sama seperti Cang Er.
“Mei Mei.” Lu Kwan menyongsong tubuh istrinya yang penuh luka. Ia membaringkan kepala Mei Mei di pangkuannya. “Apa yang terjadi?”
Napas Mei Mei terengah-engah, matanya terbuka setengah. Ucapan yang keluar terdengar serak, selirih bisikan saja.
Lu Kwan lalu mengurut leher dan dada Mei Mei untuk meredakan rasa nyeri agar ia bisa bicara lebih lancar dan jelas. Usahanya berhasil.
“Pasukan Kai Ciangkun (Perwira Kai) datang dan menemuiku. Dia ….” Ucapannya terhenti saat melihat Yang Feng berdiri di belakang suaminya. “Oh ….” Mei Mei pingsan seketika.
“Apa, Kai Ciangkun? Ada masalah apa kalian dengan perwira kekaisaran?” ujar Yang Feng penuh rasa penasaran.
Lu Kwan tak menjawab melainkan langsung membawa tubuh istrinya ke kamar. Dia menyuruh Cang Er merawat ibunya. Untungnya luka Mei Mei hanya luka ringan, tidak membahayakan nyawa.
Setelah itu ia menemui Yang Feng di ruang depan. “Anakku sudah dikejar-kejar oleh perwira itu sejak lama, ia ingin meminangnya dan aku selalu menolak karena enggan berurusan dengan pemerintahan. Selain itu pula, Cang Er tak sudi menikah dengan orang itu, wajar saja, dia sudah tua.” Lu Kwan menjelaskan situasinya. “Dan sekarang dia datang ke Qinglan untuk yang ketiga kalinya dalam sebulan. Sebelumnya tak pernah sebanyak ini.”
Mata Yang Feng memicing. “Jadi hanya persoalan sepele dan dia harus membuat istrimu seperti itu?”
Lu Kwan mengangguk. Kemudian tiba-tiba ia menjura dalam. “Tolonglah keluarga kami, kakek Yang. Kebetulan kau ada di sini, ini pasti pertolongan dari para dewa.”
“Tentu saja aku tak akan biarkan kejadian ini lewat begitu saja!” cetus Yang Feng. “Long Wei, ikut aku. Kita akan cari ribut dengan perwira sombong itu.”
Long Wei mengangguk singkat, ia tak ada alasan untuk menolak.
“Aku juga akan ikut.” Lu Kwan menawarkan diri. “Bagaimanapun, Mei Mei istriku, aku tak bisa tinggal diam.”
“Bagus, begitulah watak pendekar. Sekarang tunjukkan jalannya, akan kubengkokkan hidung Kai Ciangkun itu.”
Tanpa mereka sadari, Cang Er mendengar semua itu dari kamar dan dia merasa amat khawatir. Ia cepat-cepat mengobati luka ibunya dan segera menyusul. Firasatnya buruk soal ini.
Selama perjalanan, kepala Long Wei selalu dipenuhi dengan dua mayat pria di rumah yang ia masuki ketika terjadi kekacauan panen raya tersebut. Sudah berkali-kali ia menghubung-hubungkan antara dua mayat itu dengan sastrawan yang dipanggil Tuan Lo.Kejadian tiga minggu lalu di rumah itu masih diingatnya sejelas baru terjadi kemarin. Long Wei yakin sekali dua orang yang mati itu adalah dua orang pendekar karena di dekat mereka tergeletak pula senjata pedang dan golok. Namun yang jadi pertanyaan, siapa pihak baiknya di sini? Tuan Lo ataukah dua pendekar itu?“Ah, semakin dipikir semakin memusingkan,” gumamnya sedikit putus asa. “Jika memang dua pendekar itu adalah pihak benar, maka yang dipanggil Tuan Lo itu tentu orang berbahaya.” Pikirannya kembali diputar, ia mengingat kembali bahwa Tuan Lo pergi bersama perwira kekaisaran. “Tunggu, bukankah yang datang itu seorang perwira? Dari golongan mana dia?”Sambil terus memikirkan hal ini, tanpa terasa Long Wei sudah tiba di kaki bukit tempat
Serangan palu raksasa Jit Kauw semakin cepat dan kuat. Memang dia adalah seorang yang luar biasa, dengan tubuh besarnya bukan tidak mungkin palu raksasa itu bergerak dengan cepat.Melihat kematian Shi, Han Rui jadi semakin kewalahan. Ia sejak tadi tak berani langsung menangkis palu raksasa itu, hanya menghindar dan sesekali balas menyerang ketika ada lowongan. Kini pikirannya jadi kurang fokus sehingga ketika ada kesempatan menyerang, Han Rui tidak sadar dan terus menghindar.“Kenapa hanya main mundur? Lakukan perlawanan!” ejek Jit Kauw yang masih terus memperhebat serangannya.Angin keras terdengar cukup mengerikan setiap kali palu itu terayun. Han Rui makin lama makin repot juga menghadapi desakan itu. Ditambah setelah kekalahan Shi, semangat orang-orang itu berkurang drastis sehingga mereka bertempur tidak sehebat tadi. Ini membuat beberapa anak buah Jit Kauw berhasil lolos dan melakukan serangan dari titik-titik buta.“Kuanggap ini sebagai kekalahanku, kau memang hebat Palu Raksas
Pertempuran baru saja dimulai ketika empat orang langsung menggempur Cang Er tanpa ampun. Gadis itu agak terkejut juga karena orang-orang yang ia anggap sebagai bandit ini ternyata tak hanya terdiri dari kaum lelaki, banyak juga wanitanya. Juga pakaian mereka jauh lebih layak dan rapi daripada anak buah Jit Kauw. Jadi kalau sekilas pandang, saat ini pihak Jit Kauw lah yang jadi bandit dan pihak Shi yang jadi pahlawan kebenaran.“Keparat!”Pedang Cang Er menebas dalam gerakan lambat berdasarkan ilmu Pedang Pembelah Langit. Gerakan yang lambat namun penuh tenaga ini jelas dipandang ringan oleh empat orang itu yang belum mengetahui sama sekali. Maka mereka dengan berani menangkis serangan Cang Er.Traang ... traang ....Dua pedang yang bertemu dengan pedang Cang Er langsung patah menjadi dua. Sementara itu, Cang Er tak berniat menghentikan serangan sama sekali. Maka dari itulah dalam waktu singkat, dua kepala manusia melayang bersamaan dengan putusnya nyawa.Cang Er melanjutkan serangan
Sekeluarnya dari rumah kepala desa, mereka menuju bangunan tempat bermalam untuk berunding.“Kita akan masuk?” Cang Er bertanya ragu. “Tidak mungkin, kan?”“Tentu saja tidak mungkin. Itu amat berbahaya. Musuh pasti sudah tahu isi dari ruang rahasia itu seperti apa, sedangkan kita sama sekali buta. Tindakan itu bisa dibilang bunuh diri,” sahut Liang Kun cepat. “Saudara Jit, bagaimana menurutmu?”Lelaki itu berpikir keras selama beberapa saat. “Satu-satunya cara, sepertinya harus kita sendiri yang berjaga diam-diam di ruang itu.”“Berarti memang tidak ada cara lain, ya ....” Ekspresi Liang Kun berubah sedikit tegang. “Kalau kita menanti di dalam, tak ada jaminan musuh akan datang lagi malam ini. Juga kita tidak tahu apakah Poan Ci dalam keadaan selamat ataukah sudah mati?”“Soal itu ....” Jit Kauw menundukkan kepala dalam-dalam lalu terdengar helaan napas berat. “Aku sungguh tak mengerti. Kita benar-benar tak berdaya akan diri Poan Ci, satu-satunya cara adalah membuat sisa anak-anak itu
Malam lewat dengan penuh kekhawatiran yang tak terjawab. Setelah selesai berbincang dengan Cang Er, Jit Kauw langsung mengubah formasi penjagaan. Kini formasi diperketat di sekitar wilayah rumah kepala desa. Lusinan pria berpakaian kasar dan bersenjata berbagai macam tampak mengerikan saat mereka berdiri di tempat masing-masing dengan mata mencorong.Melihat ini saja orang akan bisa langsung menyimpulkan bahwa orang bodoh saja yang berani nekat menerobos masuk.Namun, namanya masa depan tak ada yang tahu. Esok hari saat baru terang tanah, Cang Er, Liang Kun dan Jit Kauw dikejutkan oleh laporan salah seorang penjaga dengan muka pucat.“Pagi tadi baru disadari bahwa jumlah anak di rumah kepala desa sudah berkurang satu. Kini total ada dua puluh empat orang, seorang anak lelaki hilang entah ke mana.”Jit Kauw tak bisa menahan kemarahan lagi. Meja di depannya ia pukul keras hingga pecah jadi beberapa bagian. Mata lelaki itu melebar seakan hampir keluar, urat-urat nadi menonjol keluar dari
“Bangsat!” Jit Kauw memaki sambil mengepalkan tangan.Ia tak hanya merasa kesal karena kematian Siauw Ki dan tabib desa yang begitu mendadak. Akan tetapi juga kematian dua orang tawanan yang tak kalah mendadak. Begitu mereka masuk rumah dan dua orang itu sudah kedapatan tewas, tiba-tiba saja mereka berdua berkelojotan hebat dengan muka membiru. Setelah diteliti, kiranya ada sebuah racun yang sengaja mereka telan. Betapa besar kerugian yang didapat saat ini.Karena keadaan sudah tenang, para warga yang tadi terganggu tidurnya kini berani keluar untuk melihat. Namun, anak buah Jit Kauw segera melarang mereka dan menyuruh untuk kembali masuk rumah. Keadaan sama sekali belum aman.“Tak ada pilihan lain sekarang selain mengubur mereka,” lirih Liang Kun penuh penyesalan. “Malam ini kita sama sekali tidak mendapatkan petunjuk.”“Sebenarnya apa yang mereka inginkan dengan datang dan mengacau di desa ini malam-malam?” ujar Cang Er menyuarakan pertanyaan hati semua orang. “Apa mereka tidak tahu
Serangan Cang Er dan Liang Kun yang datang dari kanan kiri itu sama sekali tidak membuat orang ini menjadi gugup. Justru ia segera melawan dengan cara memutar tubuh cepat sekali. Saking cepat putaran tubuh itu, dalam sekali putar pedang mereka sudah berhasil kena tangkis bahkan hampir terpental. Cang Er terpekik kaget karena merasakan tangannya panas sedikit kesemutan.Orang ini melanjutkan serangan dengan menubruk Liang Kun yang paling dekat. Pedangnya membacok, menusuk dan menebas. Tujuh kali serangan berturut-turut yang datang seolah tanpa pola berhasil membingungkan Liang Kun. Namun, pemuda itu dengan ilmunya Pedang Pembelah Langit mampu memecah semua serangan itu.Karena Liang Kun menangkis sambil terus memundurkan badan, maka otomatis mereka semakin dekat dengan pedang orang itu yang tadi berhasil dijatuhkan. Pada serangan kesepuluh, dia menebaskan pedang kuat sekali sampai Liang Kun terdorong dua langkah.“Jangan biarkan dia ambil pedang!” seru Cang Er yang khawatir kalau semua
Bergerak hanya bermodalkan refleks, ia meloncat keluar dari jendela dan langsung berlari cepat menuju sumber suara. Pada waktu yang hampir bersamaan, Jit Kauw juga mengikuti langkah Cang Er dengan suitan-suitan panjang selama perjalanan.Suitan-suitan ini membangunkan kawan-kawannya yang sedang tidur nyenyak di bangunan mirip gudang itu. Diturut pula oleh Liang Kun yang sudah terbangun dan melesat cepat.Teriakan dengan suara serak ini entah dikeluarkan oleh siapa, yang jelas asalnya dari rumah tabib desa tempat Siauw Ki dirawat. Setelah suitan-suitan nyaring ini, seluruh kawan-kawan Jit Kauw yang mendengar segera berkumpul.Cang Er yang tadi berlari di depan otomatis tiba lebih dulu. Dalam keremangan malam, ia mampu melihat Siauw Ki bertempur melawan seorang siluet lelaki. Buru-buru ia cabut pedang untuk menerjang.“Pengecut hina, beraninya melawan orang sakit!”Menggerakkan pedang berdasarkan ilmu Bintang Jatuh, pedangnya membacok dengan pengerahan hawa tenaga dalam kuat sekali.Ora
Andai saja tidak berwajah terlalu pucat dan mengeluarkan banyak darah, orang itu sejatinya memiliki bentuk wajah yang tampan. Cang Er bisa mengenalnya karena dulu waktu pembasmian kelompok Zhu Ren orang itu juga ikut serta bahkan menjadi salah satu tokoh penting. Dia bukan lain adalah Siauw Ki, seorang murid Perguruan Taring Naga yang lihai.Pemuda itu terbaring lemas dengan napas pendek-pendek. Sesekali ia meringis kesakitan saat kakek tabib mengoleskan sesuatu ke lukanya. Keadaan Siauw Ki amat memprihatinkan, jika saja dia bukan seorang yang lihai, kiranya tidak terlalu berlebihan jika dikatakan saat ini dia pasti sudah mati dengan luka seperti itu.“Biar kubantu.” Jit Kauw maju ke tepi pembaringan. Tanpa permisi dan minta persetujuan, ia langsung menggerakkan telunjuk jari tangan yang bergerak cepat menotok sana-sini. Seketika darah yang tadi mengucur berhenti mengalir. Ini memudahkan tabib tersebut.“Air panas,” kata tabib itu sambil tergopoh-gopoh menghampiri panci di atas meja.