Giok Langit, benda keramat yang terdiri dari delapan bagian. Legenda mengatakan jika dahulu para kaisar memiliki peliharaan seekor naga, di mana cara memanggil naga tersebut adalah dengan menyatukan kedelapan bagian Giok Langit buatan delapan orang sakti pendiri kekaisaran. Dua abad terakhir, kekaisaran mengalami kemerosotan karena hilangnya Giok Langit. Serbuan dari suku-suku di utara juga semakin mengganas, membuat kondisi kekaisaran kian melemah. Kekejian dan ketamakan tersebar di mana-mana, memanfaatkan situasi yang kacau ini, segala hal jahat muncul ke permukaan. Ini juga yang membuat Giok Langit menjadi barang incaran semua orang. Mereka percaya jika memiliki delapan giok tersebut akan membawa kesaktian yang tiada tara. Kisah Long Wei dimulai ketika semua kekacauan itu terjadi. Setelah kelompok bajak laut milik ayahnya dihancurkan oleh suatu pengkhianatan, ia terseret arus menuju konflik perebutan Giok Langit yang ganas. ketamakan, kekejian, keganasan, tipu muslihat, senyum palsu dan musuh-musuh dalam selimut, harus Long Wei hadapi selama perjalanannya yang panjang untuk memenuhi permintaan guru sekaligus wujud pengabdian kepada bangsa. Long Wei tak ingin sekadar menjadi penjaga salah satu Giok Langit, dia juga ingin melihat kedelapan bagian berkumpul menjadi satu, memanggil Raja Naga, dan melihat kebangkitan Kekaisaran Tian ini menuju kejayaannya kembali. Inilah kisahnya.
view moreMereka berpikir malam ini akan jadi awal dari kejayaan. Mereka berpikir malam ini akan punya segunung harta yang nanti digunakan untuk membangun istana di pesisir timur guna mengokohkan wilayah kekuasaan. Mereka berpikir malam ini akan penuh dengan suka cita, berpesta sampai pagi dan tidur bersama wanita-wanita cantik.
Akan tetapi, itu hanya apa yang mereka pikir.
Kenyataan yang tersaji jauh daripada itu.
Sebuah pengkhianatan licik dari kelompok yang awalnya dikira sebagai rekan, kini membelot kepada para pendekar dan bersikeras menghancurkan mereka.
Long Wei memutus tali kapal yang tertambat di dermaga, bahkan sebelum ayahnya menurunkan perintah.
“Mundur!” teriaknya. “Kembali ke air. Menjauh dari daratan.”
Belasan anak buah ayahnya yang belum sempat naik ke kapal segera melompat. Beberapa yang masih tertinggal harus berenang menerjang arus sungai Bai He sejauh beberapa kaki sebelum naik dengan susah payah.
“Tembakkan anak panah!” Long Wei berteriak lagi melihat perahu-perahu mulai mengejar. “Bentangkan layar. Cepat! Cepat!”
Layar hitam yang bertuliskan “Hantu Samudra” dan ditulis menggunakan tinta putih berkibar tertiup angin menuju ke laut lepas.
Long Wei menghampiri ayahnya yang mengamati dalam diam di buritan kapal.
“Ayah, orang-orang Zhu tidak mau melepaskan kita.”
Ayahnya memukul pagar pembatas kapal. “Bedebah. Pengkhianat!” katanya geram. “Terus berlayar ke timur, ke laut lepas.” Meskipun demikian, Long Jian, ayah Long Wei tahu kalau tak ada pilihan selain melawan karena mereka sudah terkepung. Perahu-perahu kecil bisa mengejar lebih cepat.
Sebelum Long Wei berbalik untuk melaksanakan perintah, tiba-tiba terdengar suara keras disusul robohnya salah satu tiang kapal. Long Wei memekik ngeri ketika melihat siapa yang telah meruntuhkan tiang sebesar itu. Di belakangnya, Long Jian menggeram.
“Tangan Maut, kau pendusta!”
Orang itu berdiri di atas tiang kapal yang patah, dikepung oleh anak buah Long Jian yang telah siap dengan golok dan tombak. Namun, si Tangan Maut mengeluarkan kekehannya yang menyebalkan.
“Aku tak mau mendengar itu dari mulut bajak laut rendahan.”
Long Jian mencabut pedang besar dan melompat, tubuhnya melayang seperti burung raksasa. Di sisi lain si Tangan Maut terkekeh makin keras, ikut melompat pula.
Bentrokan di udara menciptakan gelombang kejut yang menyebar ke segenap penjuru. Beberapa orang yang terlalu dekat sampai jatuh terduduk karena tak kuat menahan tabrakan tenaga dalam mereka.
Tubuh keduanya melayang turun. Tepat setelah menjejak geladak kapal, mereka kembali saling terjang.
“Wei ji (anak Wei) hadapi mereka!”
(Akhiran “-ji” saat memanggil seorang anak biasa dilakukan orang tua untuk menunjukkan kasih sayang dan keakraban mereka.)
Long Wei menoleh, ternyata orang-orang dari bajak laut “Iblis Laut” telah naik ke lambung kapal.
Long Wei mencabut pedang dan mengangkatnya tinggi-tinggi. “Maju!”
Pertempuran hebat pun tak terelakkan. Long Wei dikawal oleh dua orang anggota pilihan dari bajak laut Hantu Samudra, menghadapi terjangan para lawan. Tubuhnya yang hanya setinggi pundak orang dewasa mampu bergerak gesit ke sana kemari menghindari serangan sekaligus membalas dengan tebasan atau tusukan.
Akan tetapi, perhatiannya terpecah saat melihat perkembangan dari pertarungan Long Jian. Ayahnya itu semakin terdesak dengan ilmu silat Tangan Maut yang aneh luar biasa.
Padahal hanya menggunakan tangan kosong dibantu lengan jubahnya yang lebar, Tangan Maut mampu menghadapi pedang besar Long Jian tanpa rasa takut sedikit pun. Telapak kaki orang itu tak pernah menyentuh geladak secara bersamaan, pasti salah satunya melakukan gerakan menendang atau sekadar terangkat untuk menipu lawan. Tak jarang pula tubuh Tangan Maut berputaran lalu tahu-tahu satu pukulan mendarat di pundak Long Jian.
Ketika pertempuran sedang memanas, terlihat bayangan putih melayang di atas kapal. Ketika turun, gelegar suaranya yang mengguntur mampu menulikan mereka untuk beberapa saat.
Dan tiba-tiba … Braaakkk!!, kapal itu terbelah jadi dua.
“Penipu!” Long Wei tak mampu menahan kemarahannya melihat muka pria tua tersebut. “Beginikah sikap pendekar yang katanya gagah berani, pembela kebenaran? Beginikah para pendekar gagah yang tak hanya jago bertempur, tapi juga jago menipu?”
“Diam, bocah ingusan.” Suaranya berwibawa, penuh getaran. “Untuk melenyapkan bajak laut tak berguna yang selalu menakuti orang-orang, semua cara diperbolehkan.”
“Dasar tak tahu diri! Kami lebih punya harga diri dibanding kalian—akh!”
Long Wei terpaksa berguling ke depan, tempat kapal itu miring ke air hingga hampir tenggelam, saat ada sabetan pedang dari belakang.
“Sial!” Long Wei bergelantungan pada kayu kapal yang hampir patah. Kurang satu tindakan kecil saja maka ia akan benar-benar jatuh ke dalam air.
Hatinya digerogoti rasa ngeri saat melihat pemimpin bajak laut Iblis Laut—orang bermarga Zhu—yang datang ke arahnya menggunakan perahu kecil. Long Wei mampu melihat seringai kecil di wajah pria tersebut.
“Pengkhianat,” geram Long Wei.
Dua anggota Hantu Samudra merosot turun, berniat menolongnya. Namun tepat sebelum mereka sampai, orang yang tadi menyerang Long Wei dari belakang telah menusuk mereka.
“Sial … sialan!”
Tanpa diduga, sesosok tubuh penuh darah tercebur ke sungai dan hampir menabrak tubuh Long Wei yang masih bergelantungan. Air membumbung tinggi dan Long Wei terbelalak, mencoba tidak percaya apa yang dilihatnya secara sepintas tadi.
Akan tetapi ketika tubuh itu muncul kembali ke permukaan, tampak wajah seorang pria paruh baya yang tidak asing lagi di mata Long Wei. Seorang pria dengan jenggot tebal dan mata terbelalak.
“Ayaaaahhh!!!” pekik Long Wei histeris.
Pemuda itu kembali berteriak ngeri ketika kayu yang jadi pegangannya patah, lebih tepatnya dipatahkan. Tubuhnya jatuh ke aliran sungai Bai He yang cukup deras.
Dia menelan cukup banyak air sebelum dengan panik mencoba muncul ke permukaan. Kiranya dia sudah terseret lumayan jauh. Pertempuran masih berlanjut di kapal yang telah miring dan terbawa arus sungai itu. Daripada disebut pertempuran, pemandangan di sana lebih tepat disebut sebagai pembantaian.
Air mata Long Wei menetes tanpa sadar, melihat tubuh ayahnya di sisi lain sungai yang alirannya jauh lebih deras.
Dengan penuh kemarahan, Long Wei memandang pria tua berjubah putih di atas kapal yang kini berdiri bersisihan dengan si Tangan Maut yang memakai pakaian serba hitam. Mereka berdua sedang memandangnya.
“Datanglah lagi dan ambil kepala kami beberapa tahun nanti bila kau memang sudah siap.” Suara pria tua berjubah putih itu menggema sampai jauh karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam.
Pemimpin bajak laut Iblis Laut yang pedangnya sudah berlumur darah itu ikut tertawa bergelak, sengaja dikeras-keraskan.
Tubuh Long Wei hanyut sampai jauh sekali dan ingatan terakhirnya adalah sumpahnya sendiri untuk memenggal kepala tiga orang tersebut.
***
Pagi hari, tepat ketika cahaya pertama sang fajar muncul di balik gunung tinggi sebelah timur, kakek bercaping yang kelihatan seperti orang bosan hidup itu keluar dari pondok kecilnya.
Kulitnya keriput, rambutnya panjang dan berwarna putih, begitu juga dengan alis, kumis dan jenggot. Ia meregangkan tubuh selama beberapa saat kemudian mengambil alat pancing di samping pondoknya.
“Mungkin hari ini hanya dapat satu atau dua ikan,” gumamnya memandang langit berawan. Keningnya tiba-tiba berkerut. “Itu kalau beruntung.”
Ia berjalan menuju sungai. Punggungnya sedikit bungkuk karena usia, tapi langkahnya masih mantap dan cepat.
Tiba di tepi sungai Bai He, ia disambut suara gemuruh air deras yang menghantam bebatuan hitam. Kakek ini memilih salah satu batu yang paling besar, paling tinggi dan paling halus. Ia memasang umpan di ujung kail lalu melemparnya ke tengah sungai. Sesaat kemudian, duduk menunggu sambil menghela napas berkali-kali.
Waktu yang berjalan tidak cukup lama, bahkan belum sampai satu pembakaran dupa ketika tiba-tiba kakek itu terbelalak dan berseru keras.
“Ini hari keberuntunganku!” Ia mencengkeram pancing bambunya. “Ini hari baik!” Dan sambil tertawa-tawa, ia menariknya kuat-kuat.
Sebuah benda hitam besar meluncur ke udara, membuat si kakek melongo lebar. Awalnya ia berpikir itu ikan raksasa, tapi hanya orang tolol saja yang mengira kalau benda sebesar itu memang ikan. Dan lebih tolol lagi orang yang menganggap kalau itu adalah buaya karena ia punya rambut dan tak berekor.
“Setan!” Kakek itu melompat ke belakang. Gerakannya lincah dan tangkas.
Akan tetapi saat “tangkapannya” melayang makin dekat, ia akhirnya sadar bahwa kail pancingnya tersangkut ke jubah sesosok manusia. Kini wajahnya memucat karena manusia itu jatuh dengan kepala lebih dulu menuju batu hitam tempatnya duduk.
“Hyaat!” ia berseru lantang.
Dalam gerakan-gerakan indah, tubuh kakek itu melayang di udara, berputaran. Di saat berikutnya ia sudah menangkap tubuh orang malang tersebut di bagian kerah.
Kakek ini segera menjatuhkan tubuh “tangkapannya” ke tanah dan meninju perutnya. Seketika air menyembur keluar dari mulut orang tersebut.
Kakek ini menyibak rambutnya, ternyata masih amat muda, mungkin lima belas tahunan.
Ia terkejut dan terlonjak saat mata itu tiba-tiba membuka.
Pemuda itu berseru. “Bajingan pendusta!”
Spontan, kakek itu mengumpat. “Setan kecil tak tahu terima kasih!”
Tanpa melakukan pengumuman atau apa pun, para biksu itu segera tertarik ketika murid kepala mereka keluar dari tenda membawa senjata. Mereka rata-rata sudah berumur tiga puluh tahun lebih, tapi Tian Ju sendiri mungkin masih dua puluh lima tahun, hal ini menandakan bahwa tingkat kepandaian Tian Ju sudah melebihi mereka sehingga pantas disebut sebagai murid kepala.Mereka mencari tanah lapang yang letaknya tidak terlalu jauh dari sana. Begitu berdiri saling berhadapan, dua lusin biksu Taring Naga sudah berdiri menonton di pinggir dengan tatapan penasaran.“Pakai senjatamu, Saudara Long, jangan sungkan-sungkan.” Tian Ju tersenyum.Pemuda itu lantas memutar tongkat bajanya yang berat lalu melintangkannya di depan dada. Kemudian dengan memegang tongkat menggunakan dua tangan, ia arahkan salah satu ujungnya ke tubuh Long Wei sedang tubuhnya sendiri agak membungkuk.Dalam pandangan Long Wei, kuda-kuda itu amat sempurna dan hampir tidak bercelah sama sekali.Karena lawan menggunakan senjata,
Selama perjalanan, kepala Long Wei selalu dipenuhi dengan dua mayat pria di rumah yang ia masuki ketika terjadi kekacauan panen raya tersebut. Sudah berkali-kali ia menghubung-hubungkan antara dua mayat itu dengan sastrawan yang dipanggil Tuan Lo.Kejadian tiga minggu lalu di rumah itu masih diingatnya sejelas baru terjadi kemarin. Long Wei yakin sekali dua orang yang mati itu adalah dua orang pendekar karena di dekat mereka tergeletak pula senjata pedang dan golok. Namun yang jadi pertanyaan, siapa pihak baiknya di sini? Tuan Lo ataukah dua pendekar itu?“Ah, semakin dipikir semakin memusingkan,” gumamnya sedikit putus asa. “Jika memang dua pendekar itu adalah pihak benar, maka yang dipanggil Tuan Lo itu tentu orang berbahaya.” Pikirannya kembali diputar, ia mengingat kembali bahwa Tuan Lo pergi bersama perwira kekaisaran. “Tunggu, bukankah yang datang itu seorang perwira? Dari golongan mana dia?”Sambil terus memikirkan hal ini, tanpa terasa Long Wei sudah tiba di kaki bukit tempat
Serangan palu raksasa Jit Kauw semakin cepat dan kuat. Memang dia adalah seorang yang luar biasa, dengan tubuh besarnya bukan tidak mungkin palu raksasa itu bergerak dengan cepat.Melihat kematian Shi, Han Rui jadi semakin kewalahan. Ia sejak tadi tak berani langsung menangkis palu raksasa itu, hanya menghindar dan sesekali balas menyerang ketika ada lowongan. Kini pikirannya jadi kurang fokus sehingga ketika ada kesempatan menyerang, Han Rui tidak sadar dan terus menghindar.“Kenapa hanya main mundur? Lakukan perlawanan!” ejek Jit Kauw yang masih terus memperhebat serangannya.Angin keras terdengar cukup mengerikan setiap kali palu itu terayun. Han Rui makin lama makin repot juga menghadapi desakan itu. Ditambah setelah kekalahan Shi, semangat orang-orang itu berkurang drastis sehingga mereka bertempur tidak sehebat tadi. Ini membuat beberapa anak buah Jit Kauw berhasil lolos dan melakukan serangan dari titik-titik buta.“Kuanggap ini sebagai kekalahanku, kau memang hebat Palu Raksas
Pertempuran baru saja dimulai ketika empat orang langsung menggempur Cang Er tanpa ampun. Gadis itu agak terkejut juga karena orang-orang yang ia anggap sebagai bandit ini ternyata tak hanya terdiri dari kaum lelaki, banyak juga wanitanya. Juga pakaian mereka jauh lebih layak dan rapi daripada anak buah Jit Kauw. Jadi kalau sekilas pandang, saat ini pihak Jit Kauw lah yang jadi bandit dan pihak Shi yang jadi pahlawan kebenaran.“Keparat!”Pedang Cang Er menebas dalam gerakan lambat berdasarkan ilmu Pedang Pembelah Langit. Gerakan yang lambat namun penuh tenaga ini jelas dipandang ringan oleh empat orang itu yang belum mengetahui sama sekali. Maka mereka dengan berani menangkis serangan Cang Er.Traang ... traang ....Dua pedang yang bertemu dengan pedang Cang Er langsung patah menjadi dua. Sementara itu, Cang Er tak berniat menghentikan serangan sama sekali. Maka dari itulah dalam waktu singkat, dua kepala manusia melayang bersamaan dengan putusnya nyawa.Cang Er melanjutkan serangan
Sekeluarnya dari rumah kepala desa, mereka menuju bangunan tempat bermalam untuk berunding.“Kita akan masuk?” Cang Er bertanya ragu. “Tidak mungkin, kan?”“Tentu saja tidak mungkin. Itu amat berbahaya. Musuh pasti sudah tahu isi dari ruang rahasia itu seperti apa, sedangkan kita sama sekali buta. Tindakan itu bisa dibilang bunuh diri,” sahut Liang Kun cepat. “Saudara Jit, bagaimana menurutmu?”Lelaki itu berpikir keras selama beberapa saat. “Satu-satunya cara, sepertinya harus kita sendiri yang berjaga diam-diam di ruang itu.”“Berarti memang tidak ada cara lain, ya ....” Ekspresi Liang Kun berubah sedikit tegang. “Kalau kita menanti di dalam, tak ada jaminan musuh akan datang lagi malam ini. Juga kita tidak tahu apakah Poan Ci dalam keadaan selamat ataukah sudah mati?”“Soal itu ....” Jit Kauw menundukkan kepala dalam-dalam lalu terdengar helaan napas berat. “Aku sungguh tak mengerti. Kita benar-benar tak berdaya akan diri Poan Ci, satu-satunya cara adalah membuat sisa anak-anak itu
Malam lewat dengan penuh kekhawatiran yang tak terjawab. Setelah selesai berbincang dengan Cang Er, Jit Kauw langsung mengubah formasi penjagaan. Kini formasi diperketat di sekitar wilayah rumah kepala desa. Lusinan pria berpakaian kasar dan bersenjata berbagai macam tampak mengerikan saat mereka berdiri di tempat masing-masing dengan mata mencorong.Melihat ini saja orang akan bisa langsung menyimpulkan bahwa orang bodoh saja yang berani nekat menerobos masuk.Namun, namanya masa depan tak ada yang tahu. Esok hari saat baru terang tanah, Cang Er, Liang Kun dan Jit Kauw dikejutkan oleh laporan salah seorang penjaga dengan muka pucat.“Pagi tadi baru disadari bahwa jumlah anak di rumah kepala desa sudah berkurang satu. Kini total ada dua puluh empat orang, seorang anak lelaki hilang entah ke mana.”Jit Kauw tak bisa menahan kemarahan lagi. Meja di depannya ia pukul keras hingga pecah jadi beberapa bagian. Mata lelaki itu melebar seakan hampir keluar, urat-urat nadi menonjol keluar dari
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments