Mag-log inDi dalam lift, kami berdiri berdampingan dalam diam. Hanya suara mesin lift yang terdengar."Radit," panggil Kiara tiba-tiba."Ya?""Jangan bilang ke siapa-siapa ya soal ini. Aku gak mau jadi bahan gosip di kantor.""Aku janji. Gak akan bilang siapapun.""Makasih."Lift berhenti di lantai empat. Pintu terbuka.Kami keluar dan berjalan bersama, tapi begitu sampai di koridor, Kiara langsung berubah. Wajahnya kembali datar, tatapannya dingin.Kembali menjadi Kiara yang cuek seperti biasa."Aku balik ke meja dulu. Kamu juga kerja sana," ucapnya dengan profesional."Oke."Ia berjalan pergi tanpa menoleh lagi. Aku berdiri di sana, menatap punggungnya yang menjauh.***Keesokan harinya, sepanjang kerja, pikiranku masih saja melayang.Kiara dijodohkan. Tujuh bulan lagi. Jika tidak menemukan calon, ia harus menikah."Apa... apa aku bisa jadi calon itu?" gumamku pelan sambil menatap layar komputer.Tapi kemudian aku tersadar.Aku siapa? Karyawan biasa. Gaji pas-pasan. Keluarga biasa-biasa saja.
"Waktu aku tanya soal itu, dia cuma bilang, 'Nanti juga kamu kebiasa.'" Kiara menirukan dengan suara getir. "Seolah-olah aku cuma objek yang bisa dia miliki, bukan manusia yang punya perasaan.""Trus orangtuaku?" Kiara menelan ludah sebelum melanjutkan, suaranya bergetar halus. "Mereka tau semua itu. Mereka tau dia kayak gimana. Tapi mereka gak peduli, Radit." Ia memejamkan mata sejenak, menahan sakit yang jelas-jelas sudah ia tahan terlalu lama. "Yang penting bisnis keluarga aman. Relasi tetap kuat. Citra tetap bagus di mata pengusaha lain."Suaranya mulai pecah perlahan, seperti retakan kecil di kaca yang akhirnya terlihat."Aku… aku cuma dianggap sebagai alat," lanjutnya kembali. "Alat buat nguatin bisnis keluarga. Alat buat nutupin ambisi mereka."Air mata pertama jatuh sebelum ia sempat menahannya. Kiara cepat-cepat mengusapnya dengan gerakan kasar, seakan marah pada dirinya sendiri karena membiarkan itu terjadi"Maaf..." katanya, terisak kecil. "Aku gak biasanya kayak gini. Aku…
"Kiara... kamu baik-baik aja?" tanyaku hati-hati.Ia tidak menjawab. Hanya mengangguk pelan tanpa berbalik."Kiara...""Aku baik-baik aja," ucapnya cepat, tapi suaranya terdengar rapuh. "Yuk, kita balik."Aku tidak berani menekan lebih jauh. Bukan karena aku tidak peduli, tapi justru karena aku peduli terlalu dalam.Tanpa banyak kata, aku hanya mengangguk dan menyalakan motor. Kiara naik ke belakangku, gerakannya pelan, seolah tubuhnya sendiri sedang berat oleh beban yang tidak terlihat.Perjalanan kembali ke kantor berlangsung dalam keheningan. Sampai di basement parkiran kantor, Kiara langsung turun dari motorku dan berjalan cepat menuju lift."Kiara, tunggu!" panggilku sambil berlari mengejarnya.Ia berhenti, tapi tidak berbalik."Kiara..." Aku mendekat perlahan. "Ada apa? Kamu kayaknya sedih.""Gak ada apa-apa. Aku baik-baik aja." Jawabannya terdengar datar, namun aku bisa merasakan ada sesuatu yang retak di balik suaranya."Kiara, aku bisa liat kamu lagi gak baik-baik aja. Pliss.
Aku cepat-cepat mengalihkan pandangan, sebelum ia sadar."Kenapa?" tanya Kiara tiba-tiba."Hah? Gak... gak ada apa-apa," jawabku gugup.Kiara menatapku dengan tatapan menyelidik. "Kamu... liat apa?""Gak ada kok, beneran.""Gak mungkin. Mukamu merah." Ia mengernyitkan alis. "Kamu... liat ke arah sini kan?"Ia menunjuk ke arah dadanya dengan jari, tanpa sadar atau memang sengaja, aku tidak tahu."Eh, enggak kok!" protesku cepat sambil menggelengkan kepala.Kiara menatapku lama. Lalu... ia tersenyum kecil, seperti senyum jahil."Dasar mesum.""Aku gak mesum!""Iya iya, gak mesum. Tapi mukamu udah ngaku duluan." Ia tertawa kecil.Aku hanya bisa menundukkan kepala sambil makan dengan perasaan malu.Tapi Kiara tidak terlihat marah. Justru ia terlihat seperti senang."Yaudah deh, aku maafin. Asal jangan diulangin lagi ya.""Iya... maaf.""Tapi..." Kiara mendekatkan wajahnya sedikit, menatapku dengan tatapan menggoda. "Kalau memang penasaran... ya bilang aja. Gak usah malu-malu.""Hah?!" bat
"Yaudah, yuk. Kita ke tempat yang agak jauh dari sini. Biar gak ketemu orang kantor," ajaknya sambil melangkah duluan tanpa menunggu jawaban.Aku sempat mematung sejenak, mencoba memahami maksudnya, sebelum akhirnya menyusul dari belakang."Jalan kaki atau gimana? Jauh nggak tempatnya?" tanyaku sambil menyesuaikan langkah."Gak jauh-jauh juga sih. Tapi, kalau jalan kaki pasti capek.""Trus, gimana? Naik motor aja?""Iya boleh. Kamu naik motor, aku naik mobil."Aku hampir tersedak udara. "Loh? Kenapa harus seribet itu sih?" batinku protes."Maksudku... kita naik bareng aja. Boncengan," ujarku lebih pelan.Kiara sempat berhenti melangkah, menoleh sedikit, tapi tidak menatapku sepenuhnya. "Gak apa-apa, Radit. Aku naik mobil aja.""Ntar kalau kita kelamaan baliknya gimana? Bu Siska bisa ngomelin kita. Lagian, kalau kamu naik mobil, pasti ribet. Jalanan macet, cari parkir juga susah."Kiara terdiam. Ada jeda singkat yang terasa jauh lebih panjang dari seharusnya. Seolah sedang bertarung de
Senin pagi, aku bangun lebih awal sebelum alarm sempat berbunyi. Dan akhirnya, aku merasa lega bisa kembali ke kantor.Dulu, aku menganggap kantor sebagai tempat penuh tekanan. Tapi sekarang, kantor justru terasa lebih aman daripada rumah sendiri.Aku bersiap dengan cepat. Mandi, sarapan seadanya di kamar (Mama Jessica sudah menaruh roti dan susu di depan pintu sejak tadi malam).Begitu selesai, aku langsung berangkat. Tidak ada pamit, tidak ada tatapan mata, hanya langkah yang terburu-buru menyusuri halaman rumah.Motor yang sempat rusak pun sudah kembali normal. Kemarin sore Pak Hendra mengirim pesan bahwa motorku sudah beres dan siap dipakai. Ada sedikit rasa syukur, setidaknya ada satu hal dalam hidupku yang tidak berantakan.Dengan napas panjang, aku menstarter motor dan melaju menuju kantor, berharap hari ini berjalan lebih tenang dari hari-hari sebelumnya.Sesampainya di kantor, aku langsung menuju lantai empat. Suasana kantor Senin pagi cukup ramai. Karyawan berlalu lalang, ad







