Home / Romansa / Godaan Sang Majikan Tampan / Bab 6-Tawaran Menjadi ART

Share

Bab 6-Tawaran Menjadi ART

Author: Wahyu Hakimah
last update Last Updated: 2023-11-09 21:32:01

Enam bulan kemudian ….

Alfian menghela napas berat kemudian membanting tubuh di atas sofa rumahnya. Dia baru saja membukakan pintu untuk Brian. Wajahnya terlihat begitu lelah. Bukan hanya Alfian, Brian dan juga semua pekerja sektor industri sepertinya pasti merasakan hal yang sama. Semenjak krisis menghantam Indonesia, mereka semua harus bekerja lebih keras karena rupiah terus melemah. Menyebabkan belanja perusahaan membengkak di tahun ini. Semua itu berkerumun mengepung Indonesia.

Akhir pekan ini, Alfian pulang ke Jakarta. Bahkan, meskipun bukan jadwal libur Alfian menyempatkan diri pulang karena neneknya semakin rewel dan menuntutnya untuk sering-sering berada di Jakarta. Bahkan menganjurkan untuk tinggal di Jakarta saja. Dia bisa saja pulang pergi Jakarta-Cilegon, tetapi bukan itu keinginan neneknya. Apa yang diinginkan perempuan tua itu adalah Alfian melepaskan pekerjaannya di BUMN. Hanya saja, Alfian belum bisa melepas apa yang menjadi minatnya.

"Mau minum apa, lo? Biar gue ambilkan," tawar Alfian. "Tumben kelayapan sampai sini?"

"Ada, deh. Bukanya lo suka kalau gue tengok," sahut Brian. "Si Mbok mana?" tanya Brian, saat dia melihat asisten rumah tangga Alfian yang biasanya selalu menyapanya dan membawakan makanan atau minuman.

"Mbok berhenti kerja, anaknya bilang bahaya kerja sama gue."

"Huh, bahaya?" Brian justru tertawa terbahak-bahak. ART yang kadang Nyambi jadi baby sitter memang berbahaya

"Ya, gue maklum, sih, ketakutan mereka. Tempat paling banyak polutan di Indonesia adalah Jakarta dan Cilegon. Si Mbok bolak balik gue bawa ke sana sini. Mereka takut, si Mbok kena pneumonia akut. Duh, gedeg gue. Emang si Mbok, gue suruh ngekepin ceroboh asap! Nggak, kan?" jelas Alfian kesal.

"Jadi lo nggak ada yang bantuin di rumah?" tanya Brian.

Alfian menggeleng. "Gue bingung siapa yang mau bantuin beresin rumah. Siapa orang yang mau gue bawa ke Cilegon kadang ke Jakarta juga. Cucian kolor gue udah numpuk."

"Cuci sendiri nggak bisa? Bagi laundry."

Alfian memandang Brian. "Gue udah capek banget di mikir air. Kalau libur gini pengennya istirahat total bukan ngurusin cucian kolor. Nggak ada laundry yang terima cuci sempak!"

"Cuci sambil mandi." Brian masih mencoba memberi usulan.

Alfian mendesak sebal. "Lo kenal orang yang bisa bantu gue nggak?"

Sejak lama Alfian sudah mempercayakan semuanya pada Mbok Sarni, asisten rumah tangga yang dulu dicarikan oleh neneknya. Mbok Sarni sudah ikut dengan Alfian selama tujuh tahun. Pekerjaannya rapi dan terpercaya. Ada rasa sedih saat Mbok Sarni mengikuti keinginan anaknya untuk berhenti kerja dari rumah Alfian, tetapi dia juga tidak bisa melarang.

"Yahhh, nanya sama gue, coba tanya nenek lo. Atau, Gina," jawab Brian.

"Udah, dia juga nggak punya kenalan, yang bantuin di rumahnya juga cuma satu, nggak mungkin bantuin rumah gue juga. Lagian lo tahu sendiri suaminya nggak suka sama gue."

Brian mencibir. "Lagian si Gina genit-genit sama lo. Dulu bilangnya nggak suka sama lo. Saat tahu lo dapat jatah lumayan dari nenek, dia baper. Sekarang sudah nikah, eh, malah kayak ngedeketin lo mulu. Ada untungnya lo kerja di Cilegon."

Alfian meminta Brian untuk tidak membahas masalah itu. Dia sudah cukup pusing dengan situasinya sekarang. "Coba tanyain istri, lo. Siapa tahu dia ada kenalan yang bisa bantu gue. Yang kerjanya rapi, orangnya sehat, bisa dipercaya juga. Kalau bisa yang udah berumur."

"Kenapa kalau yang mudaan?"

"Biasanya sibuk main hape mulu. Kerajaan juga ngasal. Duh, males gue."

"Banyak banget kriteria, lo. Udah kayak nyari istri aja," sindir Brian.

"Berisik, lo!"

"Beneran? Gue cariin daun muda, nih, biar kapok!"

"Terserah! Gue bukan stay di Jakarta tiap hari."

"Gue minta tolong sama Faizal. Lo ingat dia, anak finance di perusahaan kita? Waktu itu dia tanya kalau ada lowongan apa di perusahaan. Katanya saudara dari pacarnya dari kampung ada yang butuh kerja. Office girl juga mau."

"Terserah! Meskipun gue nggak yakin. Bocah kampung jaman sekarang gayanya sadis minta ampun. Asli …." Alfian geleng kepala.

***

Di awal-awal keinginan untuk minggat muncul, Bunga sudah memikirkan kemungkinan terburuk yang akan dia hadapi. Apa yang paling membuat hatinya miris adalah kelaparan. Uang yang ia punya sudah habis sama sekali. Kota metropolitan itu seperti mulut penyedot sampah raksasa mengambil alih duitnya.

Bunga mulai mencongak. Hanya untuk makan saja, dia bisa habis 30 ribu. Dia merindukan nasi kucing tiga ribu rupiah di kantin dekat sekolah. Soto bebek tiga ribu. Gorengan dua ribu dapat tiga biji. Es teh jumbo dua ribu.

Namun, Bunga melarang dirinya untuk mengeluh, karena lebih banyak yang merasa lebih sulit daripada dirinya. Setidaknya, ada keluarga sepupu jauhnya yang siap menampungnya jika dia benar-benar terusir dari kos sempit miliknya. Meskipun harus tidur di depan televisi. Akan tetapi, lama kelamaan, rasanya dia sudah tidak lagi punya kekuatan untuk dirinya sendiri. Dia capek di rumah saja, uang tabungannya sudah banyak terkikis. Tidak mungkin menjual motornya. Surat-suratnya tertinggal di rumah. Hendak melamar kerja ke pabrik, ijazah SMP-nya tidak laku. Ijazah SMA belum keluar. Cap tiga jari saja belum. Huaaaa ….

Bunga mengendarai motornya, sebuah motor matic karbu keluaran tahun 2010. Hadiah dari bapaknya saat Bunga masuk sekolah menengah atas. Motor itu menemaninya menembus derasnya hujan. Pukul empat sore tadi, ibu kos menelepon, meminta Bunga menjemput putrinya dari tempat les. Ibu kos takut putrinya terjebak hujan hingga membuat mogok les esoknya.

Saat setengah perjalanan menuju tempat les, ponsel Bunga berdering, panggilan masuk dari Danik sepupunya. "Ya, Mbak?"

"Kamu di mana? Masih hidup?"

"Jemput anaknya Bu Kost di tempat les," jawabnya. Otak Bunga sedikit lambat loading. Sambil menjawab telepon sembari berpikir jalan mana yang lebih cepat untuk sampai ke sana.

"Aku ada lowongan kerja, nih. Kamu mau nggak?"

Mendengar ucapan Danik itu, Bunga langsung menanggapi dengan heboh. "Mau, Mbak Dan. Di cafe mana?"

Tidak terdengar suara Danik di seberang sana, membuat Bunga ciut nyali. Dia buru-buru menepikan motornya mengecek ponselnya, memastikan apa panggilannya itu masih tersambung. "Mbak Dan? Kamu masih di sana kan?"

"Kamu lagi jemput anaknya ibu kost, ya. Aku lupa. Kita omong, ntar, aja. Ntar, kamu ke rumahku. Hati-hati di jalan, habis hujan ini."

"Ini aku lagi menepi. Buruan, lowongan apa, Mbak?"

"Eh, iya. Bukan di cafe, sih."

"Di rumah makan? Warteg?" Bukan Bunga rewel. Meskipun kerja di rumah makan itu penat luar biasa, tetapi ada skill yang didapatkan secara cuma-cuma. Pengetahuan memasaknya bertambah. Selain itu, gizi untuk perutnya terjamin.

"Bukan juga."

"Terus?"

"Kita ketemuan aja deh, biar enak ceritanya."

Bunga langsung mengiyakan ajakan Danik. Dia menutup telepon itu dengan suasana hati bahagia. Hatinya membuncah penuh harap kalau dia akan segera mengakhiri masa-masa menjadi pengangguran. Dulu rebahan terasa nikmatnya, tetapi tidak untuk hari ini dan hari-hari mendatang. Bunga tak ingin menjadi generasi yang menjadi beban negara.

Dia harus segera kerja, kerja, kerja!

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mimin Rosmini
akhirnya dpt kerjaan .tapi PRT...........
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 66-Bapak Akhirnya Menyerah

    Bapak terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Sudah sejak tadi beliau meminta ke kamar mandi. Tidak cukup sekali. Berulang kali juga Mas Rohman—suami Mbak Hanik meminta Pak Khosim menggunakan fasilitas pitspot, tetapi pria tua itu justru menolaknya mentah-mentah.“Aku masih sanggup ke kamar mandi sendiri kalau awakmu nggak mau nuntun,” ujarnya ketus. “Kamu nggak mau juga nggak apa-apa.” Kalimat terakhirnya ditujukan kepada Mbak Hanik. Itu sore tadi. Dari Ashar sampai selepas Isya. Selepas Isya, Bapak akhirnya menyerah karena bagian bawah tubuhnya sudah basah. Bapak tak lagi mampu mengontrol pipisnya. Bahkan Bapak seperti orang linglung. “Bapak kenapa nggak ngomong?” ujar Ibuk.Bapak diam saja. Memandang kosong ke depan. Mbak Hanik mengambil diaper dari tangan Bunga yang tadi diutusnya ke minimarket. “Basah semua, bau. Kulit Bapak juga bisa merah-merah,” ujar Mbak Hanik menambahkan. Sedikit geram. “Uwis, Han. Ojo mbok marahi terus bapakmu. Iku lagi ingat anak lanang. Si Nasir

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 65-Kesalahan Paling Konyol

    Bab 65-Kesalahan Paling Konyol Kesalahan apa yang dianggap paling konyol? Di saat jalan hidupnya seakan menyerupai telur di ujung tanduk setan, Alfian justru ingat satu hal. Satu hal konyol. Tentang orang pintar yang mendadak bodoh. Kebodohannya karena disebabkan lidah dan perut murahan yang tak bisa berkompromi. Namanya Anthony Gignac, pria yang akan tercatat sebagai orang yang membuat kesalahan paling bodoh sepanjang sejarah.Hampir separuh hidupnya dihabiskan dengan berpura-pura menjadi pangeran jutawan dari Dubai. Dia menamai dirinya "Pangeran Khalid Bin Al Saud". Nama Bani atau wangsa paling berpengaruh di jazirah Arab bahkan berhasil menegakkan sebuah empayar selama 4 abad lebih. Jadi, makhluk bernama Gignac memang terlampau percaya diri. Dia melakukan semua ini dengan satu tujuan, yaitu menipu para investor. Aksinya sudah cukup lama, dan mirisnya banyak pula investor yang percaya padanya. Bahkan diperkirakan dia menipu dan memanipulasi ratusan orang, dengan total kerugian

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 64-Sandiwara Sang Ipar

    Saat pintu dibuka, semua berebut untuk masuk ke dalam kamar. Satu yang sangat mencengangkan semua orang, kar itu dalam keadaan berantakan. Suasana sungguh berbeda dengan saat Alfian meninggalkan kamar itu beberapa waktu lalu. Sekitar setengah jam lalu yang kemudian dia tertahan di depan pintu, kemudian bergeser sedikit menjauh dari pintu karena aksi dorong dan jegal oleh Nasir. Kamar pengantin itu terlihat seperti habis dilanda tornado. Dengan bantal dan guling tercampak ke lantai. Sebagian sprei berwarna kuning gading itu terburai ke lantai seperti usus ayam keluar dari rongga perut. Kelopak mawar berhamburan ke seluruh sudut ruang.. Benar-benar dahsyat tornado yang berputar hanya di ruangan ini. “Di ma—na Zum-ra-tul?” Suara Bapak tersendat, terdengar cemas. Mereka semua mencari di setiap sudut ruangan kamar yang tak seberapa luas itu. 3x4 meter. Biasanya Zum duduk mencangkung di pojok ruangan atau di bawah jendela karena lelah mengamati lalu lalang orang-orang yang melintas. Zum

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 63-Noda di Hari Persandingan

    “Si—siapa kamu?”Alfian hampir mati berdiri saat melihat ada sosok yang berbaring di ranjang pengantin di kamar milik Bunga. Meskipun mengenakan brokat dengan warna sangat mirip dengan milik Bunga, dia tahu itu bukan baju pengantin yang tadi dikenakan istrinya. Sudah pasti sosok itu bukan Bunga. Istri kecilnya masih berada di luar. Sosok yang menguasai ranjang pengantinnya tampak meringkuk seperti bayi koala itu tertidur dengan mulut terbuka. Ada tetes liur yang mengalir deras dari sela bibirnya yang terbuka itu. Air liur itu menyirami tumpukan kelopak mawar di atas ranjang. “Ya Tuhan,” gumam Alfian. Sosok itu bergerak, dari tangannya yang terjulur tampak berjatuhan benda berbentuk bulat-bulat seukuran duku. Sosok itu ternyata menggenggam buah-buahan. Anggur dan pisang. “Hai,” sapanya lagi, kali ini Alfian bersuara sedikit keras. Sosok itu bangun mengucek matanya. Matanya sipit, dagu kecil, wajah bulat, dan batang hidung datar, bahkan dahinya seakan lebih menonjol dari hidupnya y

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 62-Pelaminan

    Kekhawatiran Bunga akan ada kekacauan tidak terbukti. Bahkan, kelebat Mas Hamzah pun tidak ada. Jadi, ketika acara hampir selesai digelar jelang Dzuhur, ada buncah kelegaan di sana. Seorang fotografer memberi arahan untuk sesi foto. Setelah selesai dengan sesi foto keluarga, kini giliran foto berdua khusus pengantin. “Jangan kaku begitu, Mbak Bunga.” Photografer memberi pengarahan. “Letak kedua tangannya di dada Mas e, dada nempel lagi. Iya, gitu. Lagi, dikit, terus wajah memandang ke arah angka tujuh, ya. Oke, siap! Satu, dua, ti ….”“Kamu deg-degan, ya?” tanya Alfian tersenyum lebar setelah sang fotografer berhasil membidikkan kameranya dan menghasilkan beberapa gambar. “Ngapain deg-degan. Malu aja, kan, dilihat orang banyak.”“Nggak usah malu-malu. Udah resmi ini.” Rupanya fotografer yang disewa itu mendengar celetukan Bunga. “Atau mau foto dengan latar khusus. Di candi misalnya. Saya bisa merekomendasikan tempatnya. Ayo, kapan.” Dasar tukang photo, gumam Bunga. “Ini udahan, ka

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 61-Sah!

    Bunga tertawa terbahak-bahak saat membaca pesan dari Alfian. Pesan yang berisi curhatan pria itu sehabis makan siang. Namun, sebelum acara makan, Alfian malah ditest soal bacaan sholat, doa, bagaimana taharoh yang benar, bagaimana mandi junub yang benar. Karena terus dibombardir pesan yang isinya keluh kesah, akhirnya Bunga memencet tombol hijau pada aplikasi pesan. Aplikasi berkirim pesan dan panggilan yang sederhana, aman, dan reliabel“Assalamualaikum, Mas Al …,” sapa Bunga masih dengan tawa berderai. “Wah, terus saja tertawa, Na.”“Iya, deh. Ana nggak tertawa lagi.” Bunga berusaha mendekat mulutnya. Namun, Bunga masih saja kesulitan menahan tawanya. Setiap dia ingat apa yang menjadi curhatan Alfian, Bunga sontak tertawa. “Mas maaf, aduh.”“Kamu, sih, hanya kasih bocoran tentang sholat. Ternyata semua ditanyakan sama bapakmu.”“Justeru syukur, Mas. Jadi Mas Al nambah ilmunya,” bisik Bunga sambil sesekali melemparkan candaan. Alfian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Memang b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status