"Oouuhhh... ssshh...!"
Revan berhenti sejenak di depan pintu kamar Elma. Suara era Ngan itu semakin jelas dan menggelitik telinga Revan. Lelaki itu mendekat ke arah pintu untuk mendengarkan dengan seksama. Suara itu samar tapi cukup jelas baginya. Era ngan seorang wanita yang seolah tengah melakukan adegan percintaan dan sangat menikmatinya. Alisnya mengernyit. Tidak mungkin ada orang lain di dalam kamar Elma, pikirnya. Ia tidak melihat siapapun masuk ke dalam kamar itu selain Elma. "Mama mungkin Mang Darman masuk ke kamar ini." Revan tidak percaya jika penjaga vila itu yang tengah memuaskan Elma Dibanding Mang Darman, dirinya merasa jauh lebih baik, lebih tampan dan lebih perkasa. Masa iya dirinya kalah sama Mang Darman. Rasa penasaran langsung menguasai dirinya. Dengan langkah hati-hati, Revan mendekatkan tubuhnya ke pintu. Ia menempelkan telinganya ke permukaan pintu kayu itu, mencoba memastikan apa yang baru saja didengarnya. "Oouuh... yeeaahh..." Suara itu masih terdengar. Era ngan itu berasal dari mulut Elma. Jantung Revan berdetak lebih cepat. Ia tahu tidak seharusnya mencampuri urusan pribadi Elma, apalagi mencoba menguping. Namun, rasa penasarannya mengalahkan akal sehatnya. Ia melirik ke arah sekitar, memastikan tidak ada orang yang melihat, lalu menunduk untuk mengintip melalui lubang kunci. Apa yang dilihatnya membuat tubuhnya menegang. Di dalam kamar, Elma sedang duduk di atas tempat tidur dengan matanya terpejam, jemari tangannya sedang memainkan area sensitifnya sendiri. Ini sungguh gila. Seorang Elma yang dingin tengah memuaskan dirinya sendiri. Kenapa bisa begitu? "Kenapa nggak minta bantuan gue sih?" gerutu Revan merasa tidak berguna. Elma memilih menggunakan tangannya sendiri padahal ada dia yang bisa dimintain tolong. Revan menelan ludah, merasa canggung sekaligus merasakan celananya yang semakin sesak. Si Otong semakin tegang dan meminta untuk dipuaskan. Namun tidak mungkin dia masuk ke kamar majikannya itu. "Hei! Sedang apa kamu di situ?" Sebuah suara tiba-tiba mengusik ketenangan Revan. Suara Mang Darman dengan langkah cepat mendekatinya. "Kamu ngintip ya!" Pria paruh baya itu melotot ke arah Revan dengan tatapan dingin. "Nggak Pak." Revan dengan cepat menegakkan tubuhnya. Ia terlihat tegang dan berdiri menghadap ke arah Mang Darman yang marah. "Jangan kurang ajar kamu. Berani-beraninya mengintip Nyonya." Tangan keriput Mang Darman meraih kerah baju Revan. Pria itu ingin menghajar Revan karena telah berani berbuat hal kurang ajar pada majikannya itu. Namun tiba-tiba, pintu kamar Elma terbuka. Seketika gerakan tangan Mang Darman terhenti di udara. "Ada apa ini?" tanya Elma yang merasa kesenangan terganggu karena keributan ini. "Nyonya, anak muda ini telah berbuat kurang ajar. Dia baru saja mengintip Nyonya dari lubang kunci," jelas Mang Darman dengan lantang. Alis Elma berkerut. Ia menoleh ke arah Revan yang memucat. "Apa benar begitu Revan?" Tatapan tajam Elma seakan ingin mengulitinya. Revan merasa kalau riwayat pekerjaannya akan tamat hari ini. Elma pasti akan memecatnya gara-gara ini. "Jawab!!!" Elma marah karena Revan diam saja. "Ma-maafkan saya Bu." Revan tertunduk pasrah. "Saya melihatnya sendiri Nyonya. Anak muda ini benar-benar tidak sopan." Mang Darman menggeleng-geleng. Revan mencibir dalam hati. Coba saja tadi Mang Darman dengar suara desa han Elma, ia yakin pria tua itu juga akan mengintipnya. "Pria ini tidak pantas jadi sopir pribadi Nyonya." Mang Darman mulai memprovokasi. Revan mengepalkan tangannya. Benar-benar kompor meleduk Mang Darman ini. Tapi ia juga tidak berani mengelak karena ia memang merasa bersalah. "Mang Darman tolong tinggalkan kami." Tak disangka Elma malah menyuruh pria paruh baya itu pergi. Mang Darman sedikit kecewa karena gagal melihat Revan diusir langsung oleh Elma. "Baik Nyonya." Pria itu mengangguk dan dengan cepat pergi meninggalkan Revan dan Elma. Sepeninggalan Mang Darman, terlihat Elma menatap tajam ke arah Revan dan tiba-tiba saja.... PLAK!!! Satu tamparan keras melayang mendarat di pipi Revan. "Ajriit!" Revan mengumpat dalam hati karena baru kali ini ia kena tampar seorang perempuan. "Beraninya kamu mengintip saya!" Elma melotot. Ia terlihat kesal sekaligus malu. "Ma-maafkan saya Bu?" Revan tidak berani membalas tatapan Elma. Ia merasa sangat bersalah pada perempuan itu. "Aaarrgh...!" Elma mengacak rambutnya sendiri. Ia menatap kesal pada Revan tapi ia tidak ingin memecat lelaki itu. Ia masih membutuhkannya. "Lupakan apapun yang kamu lihat. Dan jangan coba-coba menceritakannya pada orang lain atau aku akan menghabisimu!" Ancam Elma dengan wajah serius. "Jadi saya nggak dipecat Nyonya?" tanya Revan dengan sedikit lega. "Memangnya kamu bisa mengembalikan uang seratus juta yang saya kasih ke kamu?" ketus Elma. Revan menggeleng. Bisa mampus ia jika Elma meminta uang itu lagi. Hampir 20 juta uang itu telah ia pakai. Darimana ia harus mengganti uang tersebut. "Baik Bu. Saya akan tutup mulut." Revan memberi isyarat yang menandakan dia akan mengunci mulutnya. "Kalau begitu pergilah." Elma mengira tangannya untuk mengusir Revan dari hadapannya. Tak ingin menunggu lama, Revan segera pergi dari hadapan Elma. Ia menghela napas lega karena Elma tidak sampai memecatnya. Waktu hampir menunjukkan pukul satu dini hari saat Revan mendengarnya pintu kamarnya diketuk pelan dari luar. Revan yang baru saja memejamkan matanya merasa terganggu dan menggerutu pelan. Ia mengira kalau Mang Darman akan mencari masalah lagi dengannya. Namun saat ia membuka pintu, Revan terkejut karena melihat Elma berdiri dengan tubuh sempoyongan. Ia langsung jatuh dalam pelukan Revan dengan aroma alkohol yang menguar kuat. "Bu Elma?!" Revan kaget dan segera menopang tubuh Elma agar tidak sampai jatuh. "Dia brengsek! Aditya sialan!" Elma meracau. Revan tidak ingin menarik perhatian dan membangunkan Mang Darman. Ia pun segera membawa masuk Elma ke dalam kamarnya. "Revan apa menurutmu aku kurang cantik? Aku kalah cantik dibanding Arumi?" tanya Elma dengan kedua matanya yang sayu. "Bu Elma, tenanglah. Bu Elma sangat cantik. Hanya pria bodoh yang tidak menyadari kecantikan Bu Elma." Revan menatap miris. Elma termasuk wanita sempurna. Dia cantik, kaya dan pintar. Dia CEO di perusahaannya. Adityanya saja yang bodoh, menyia-nyiakan wanita sebaik Elma. Elma tersenyum samar. Ia merebahkan dirinya ke atas kasur dan itu otomatis menarik tubuh Revan hingga hampir jatuh di atas tubuhnya. "Tapi dia menolakku Revan. Dia lebih memilih Arumi dibanding aku," rengek Elma seperti anak kecil. "Jadi nama perempuan selingkuhan suaminya Elma adalah Arumi?" Seketika Revan teringat pada wanita yang ia lihat di area parkir kantor Elma beberapa hari yang lalu. Seorang wanita cantik yang mencium Aditya tanpa malu lagi. Ia pikir Elma tidak kalah cantik dari wanita itu. Di matanya Elma bahkan jauh lebih cantik dari Arumi. Revan menatap iba pada wajah Elma yang merona merah efek alkohol. Bahkan terlihat bulir bening dari sudut matanya. Revan bisa merasakan rasa sakit yang pastinya Elma rasakan malam ini. "Apa yang bisa saya bantu untuk meringankan beban Ibu?" tanya Revan. Hatinya tergerak untuk membantu perempuan malang itu. Elma tersenyum getir. Ia bangun dan duduk berhadapan di atas tempat tidur. Revan terlihat tegang saat Elma mengalungkan tangan di lehernya. Bibir sensual Elma terlihat begitu menarik saat terbuka sedikit seperti itu. "Cium aku Revan..." pinta Elma tiba-tiba. Revan terdiam sejenak memastikan kalau ia tidak salah dengar. "Apa kamu juga menolakku?" Mata Elma terlihat menyedihkan saat Revan yang masih bergeming tidak melakukan apa yang dia minta. "Hanya lelaki bodoh yang menolak wanita secantik Ibu." Tanpa ragu lagi Revan mendekatkan bibirnya pada bibir ranum Elma. Aroma alkohol menguar tapi siapa yang akan peduli hal itu. Ini kesempatan langka yang tidak boleh ia sia-siakan. Kapan lagi bisa mencium bibir wanita cantik yang sudah membuat hatinya berdebar sejak pertama mereka bertemu. Revan melu mat bibir sen sual itu dengan sangat lembut. Sementara Elma terlihat memejamkan matanya. Sangat menikmati sentuhan lembut bibir pria di hadapannya itu. Namun tiba-tiba saja Elma melepaskan tautan bibir mereka. Membuat Revan ketakutan jika saja Elma marah padanya. Elma berjalan mundur beberapa langkah dan kejadian di detik berikutnya sungguh tidak pernah Revan duga...."Kalian semua bodoh! Bagaimana seseorang bisa menghilang begitu saja?!" Aditya menggebrak mejanya dengan keras. Beberapa anak buah Aditya tersentak kaget tapi apa mau dikata, wanita bernama Clara itu memang tidak bisa mereka temukan di manapun. Entahlah dimana wanita itu bersembunyi. Yang jelas seperti ada seseorang yang kuat yang melindunginya. "Maafkan kami Pak. Kami sudah berusaha tapi semuanya benar-benar gelap. Bahkan informasi tentang wanita itupun sudah dihapus. Kami benar-benar kesulitan untuk menemukannya." Salah satu anak buah Aditya menjelaskan situasi yang sedang mereka hadapi. "Brengsek kalian semua!" Aditya meradang dengan wajah yang merah padam menahan amarah. "Pergi kalian semua dari sini!" Aditya menguasir semua anak buahnya dari ruang kerjanya. "Bagaimana bisa dia menghilang begitu saja?" gumam Aditya dengan nada frustrasi. Ia menghempaskan tubuhnya ke kursi, memijat pelipis dengan keras. Segala upaya yang ia lakukan untuk menemukan perempuan itu tidak membawa
Pagi itu, dunia Aditya hancur berantakan. Berita tentang dirinya viral di media sosial, memperlihatkan rekaman video asusilanya dengan Clara. Berita tersebut menyebar seperti api, menghiasi tajuk utama di berbagai portal berita dan menjadi topik pembicaraan di mana-mana. Aditya duduk di ruang kerjanya dengan wajah tegang. Ponselnya terus berdering, pesan masuk dari klien, mitra bisnis, hingga keluarganya. Ia tidak berani membuka satu pun pesan itu. "Bagaimana ini bisa terjadi?" geramnya sambil membanting ponsel ke meja. Beberapa anak buahnya berdiri dengan wajah cemas. Mereka telah menerima perintah dari Aditya untuk menghapus video tersebut secara permanen. Namun, upaya mereka gagal karena video itu sudah terlanjur diunduh oleh banyak orang. "Maaf, Pak Aditya. Kami sudah mencoba segalanya, tapi video itu terlalu cepat menyebar," ucap salah satu anak buahnya dengan suara gemetar. Aditya memejamkan mata, menahan amarah yang membara di dadanya. Aditya terdiam, tidak mampu menjawa
lanjutan dari bab sebelumnya ** tender dari berbagai klien. Ia mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi, pandangannya kosong menatap layar laptop yang menampilkan email-email penolakan dari mitra bisnis. "Arumi, di mana kamu sebenarnya?" gumam Aditya dengan nada penuh keputusasaan. Sudah berminggu-minggu ia mengerahkan semua anak buahnya untuk mencari keberadaan Arumi, namun hasilnya nihil. Tidak ada petunjuk, tidak ada jejak, bahkan kabar samar sekalipun. Satu per satu anak buahnya yang tidak mampu memberikan hasil langsung dipecat tanpa ampun. Kini ia merasa sendirian, tenggelam dalam masalah yang semakin menumpuk. Tidak hanya Arumi yang menjadi beban pikirannya. Sidang perdananya semakin dekat, dan itu membuatnya tertekan. Kasus gugatan perceraian Elma membuat reputasi bisnisnya memburuk. Para klien mulai kehilangan kepercayaan, proyek besar yang seharusnya menjadi tulang punggung perusahaan kini terancam batal. "Aku bisa gila kalau terus begini," desisnya sambil menenda
Elma duduk di ruang praktik Karina, kedua tangannya saling menggenggam erat di atas pangkuannya. Wajahnya menunjukkan kecemasan yang tidak biasa, sementara Karina memandang sahabatnya itu dengan penuh perhatian. "Elma, apa saja yang kamu rasakan sekarang?" tanya Karina lembut sambil menyentuh tangan Elma. Elma menghela napas panjang sebelum menjawab. Aku tidak tahu, Karin. Akhir-akhir ini aku merasa aneh. Kadang aku mual tanpa alasan, aku jadi terlalu sensitif terhadap bau, dan... rasanya tubuhku jadi mudah lelah." Karina tersenyum tipis, tetapi sorot matanya menunjukkan keyakinan. "Elma, aku bukan mau menakutimu, tapi dari apa yang kamu ceritakan, aku rasa . kamu sedang hamil." "Benarkah?" Elma membelalakan matanya. Karina tersenyum merekah. "Aku memang belum pernah merasakan rasanya hamil tapi setiap pasienku yang hamil keluhannya rata-rata seperti itu. Kenapa tidak coba kita periksa aja?" Karina tampak antusias. "Apa mungkin aku hamil?" Elma masih tidak percaya.
Agus, anak buah terpercaya Aditya, menjalankan perintah majikannya dengan penuh kehati-hatian.Setelah memastikan suasana di sekitar apartemen Karina sepi, dia segera bergerak. Dengan keahliannya dalam membuka kunci otomatis, pintu apartemen itu terbuka tanpa menimbulkan suara sedikit pun.Namun, saat Agus menyelinap masuk, ia mendapati apartemen itu dalam keadaan kosong. Tak ada tanda-tanda aktivitas, tak ada suara, dan tak ada siapa pun di dalam.Lampu di ruang tamu menyala redup, dan aroma ruangan terasa netral, seperti baru saja dibersihkan. Agus memperhatikan sekeliling dengan cermat. Rak buku rapi, sofa tampak tidak tersentuh, dan meja makan kosong tanpa peralatan apa pun. Dia mengerutkan kening, merasa ada yang aneh."Ke mana mereka?" pikir Agus.Agus mulai memeriksa ruangan satu per satu. Ia masuk ke kamar utama, membuka lemari, bahkan memeriksa bawah tempat tidur. Namun, tak ada satu pun barang yang memberi petunjuk tentang keberadaan Karina atau Arumi.Di dapur, Agus menemuk
"Surat apa ini, Aditya?" suara Tuan Wirya menggema, dingin namun penuh amarah. "Apa Elma akan menceraikanmu?"Aditya tertegun. Kata-kata itu seperti petir yang menghantam dadanya. Dia menatap amplop di tangan ayahnya dengan perasaan bercampur aduk, sementara pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan buruk yang mungkin terjadi.Namun sebelum dia sempat menjawab, Tuan Wirya melempar surat itu ke meja di depannya. "Lihat sendiri apa yang telah kamu lakukan, Aditya!" bentak Tuan Wirya dengan suara yang semakin meninggi.Aditya, dengan tangan sedikit gemetar, meraih surat itu. Matanya mulai membaca, dan wajahnya perlahan berubah pucat. Isi surat itu adalah surat pengajuan gugatan perceraian yang dilakukan oleh Elma terhadapnya. Berikut jadwal sidang perdana yang harus ia hadiri.Aditya menatap nanar kertas di tangannya dengan tangan gemetar. Ia tidak menyangka kalau Elma akan secepat ini mengajukan gugatan perceraian terhadapnya."Kamu lihat hasil perbuatanmu itu Aditya? Kamu sudah merusak