Share

Kenangan Buruk

Dari lubuk hati terdalam, segenap kata-kata kasar sebenarnya sudah siap aku lontarkan. Tetapi, ini adalah tempat umum. Yang ada nantinya akan jadi masalah. Jelas aku tidak mau itu.

“Dari jauh aja gue udah sadar itu elo. Sekarang sih, udah kurusan. Tapi, inget gak lo waktu SMA dah kayak B2. hahaha!” gelak pria itu.

“Papi, jangan ngomong gitu, ah! Gak baik buat contoh anak-anak nanti.” kata seorang wanita yang sepertinya adalah istri dari pria itu.

Aku pun menegakkan badanku, lalu berbalik menghadap mereka. Betapa terkejutnya aku begitu mengetahui bahwa pria yang dulu ku kenal baik itu telah berubah banyak. Atau mungkin mataku saja yang kurang waras, tetapi jelas sekali bahwa pesonanya yang sempat menjeratku semasa sekolah dulu telah hilang hampir tak berbekas.

“Hay, Bri. Lama gak ketemu.” sapaku dengan sopan. Semoga saja dia segera sadar bahwa caranya menyapaku tadi itu salah. Padahal kami berdua tidak pernah bertemu sejak reuni SMA setahun yang lalu.

“Kamu Dinda, kan? Gak nyangka ya, akhirnya kamu sama Brian.” aku juga menyapa perempuan yang ada di sebelahnya.

Aku kenal dia, karena dia juga satu sekolah dengan kami. Dan sama seperti Brian, dia juga cukup populer dulu. Bersama mereka, ada juga anak balita yang duduk di troli yang mereka bawa. Mungkin itu adalah anak mereka.

“Uhm. Iya.” jawab perempuan yang seumuran denganku itu.

Setidaknya istrinya masih tahu sopan santun dan mau membalas sapaanku, meskipun singkat.

“Lo masih jomblo aja, ke super market sendirian. Kayak gue dong, gandeng pasangan!”

Brian masih saja menyombongkan dirinya. Sifatnya yang seperti ini memang tidak pernah berubah. Entah apa tujuannya, sedari dulu dia selalu saja menjelek-jelekanku dengan apa yang dia miliki.

Aku mengenal Brian sejak SMA. Kami bersekolah di sekolah yang sama dan selama dua tahun lamanya kami satu kelas. Selama dua tahun itu, tidak ada hari tanpa dia meledekku. Tetapi satu kali pun tidak pernah aku balas, karena aku pikir kata-katanya tentangku memang benar. Aku dulu gendut, jerawatan, dan bau badanku ke mana-mana. Tapi, aku punya alasanku sendiri kenapa tidak merawat badanku sendiri saat itu.

Kalau dipikir-pikir, saat itu aku sangat bodoh. Mau-maunya saja diledek. Apa lagi gara-gara dia, satu kelas jadi meledekku juga. Sungguh aku menyesal tidak melawan saat itu. Malah aku sendiri juga menjadikan fisikku sebagai bahan bercandaan waktu itu. Lalu, yang lebih membuatku menyesal lagi adalah bahwa sejujurnya aku naksir padanya saat SMA.

Namanya juga anak SMA. Ada yang ganteng sedikit, sudah main naksir. Tidak peduli seperti apa sifat aslinya.

“Aku gak sendirian kok ke sininya.”

Memang bukan dengan pasanganku, melainkan dengan Mbak Bella. Tetapi, untuk apa aku memberitahukannya?

“Pfft… gak yakin! Jomblo abadi kayak lo… awww!!”

Brian menertawakanku, tetapi pada akhirnya aku juga tertawa. Istrinya, Dinda sepertinya merasa malu dengan perkataan Brian padaku. Lalu, akhirnya dia mencubit perut suaminya itu dengan keras.

“Kenapa sih, Mi! Cemburu? Ini tuh cuma si Cecil, temenku pas SMA!” katanya.

Otak Brian salah tangkapnya kelewat jauh memang. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala, heran karenanya.

Pada saat itu, lagi-lagi aku bertemu mata dengan seorang pria yang aku kenal. Saat pandangan kami bertemu, pria itu sudah lebih dulu berjalan ke arahku sambil membawa troli dengan langkah yang cukup cepat.

“Cecil.” sapa dr. Hilman sambil tersenyum.

Satu saja sudah bikin capek hati. Eh, ini malah muncul satu lagi manusia tukang ledeknya. Well, yang ini masih mending sih. Karena, gak bikin sakit hati ledekannya.

Dokter Hilman yang masih mengenakan kartu tanda pengenal rumah sakit kami itu kemudian berhenti tepat di depanku.

“Kecut amat itu muka? Senyum, dong!” ujarnya.

Tiba-tiba tangannya terlepas dari troli, lalu mencubit kedua pipiku.

“Dok, jangan gini, dong! Malu nih, ada kenalan saya! Sakit tahu!” seruku seraya melepaskan kedua tangannya dari pipiku yang memerah karena cubitannya.

“Ya ya ya… kalau sakit, ke klinik ku habis ini. Pasti tak obatin.”

Dokter Hilman tidak menyerah dan masih saja mempermainkan pipiku yang bulat.

“Kalian…”

Brian menatapku dan dokter Hilman bergantian dengan tatapan heran. Sepertinya lagi-lagi muncul dugaan yang salah di otaknya,  karena dia nampak tidak percaya dengan apa yang dia lihat.

“Kalian… gak seperti yang gue pikir, kan?” tanya Brian.

“Maksudnya?” aku balik bertanya.

Aku hanya melirik Brian sekilas dan kembali menengok ke arah dr. Hilman, karena dia mencolek pundakku. Dokter lulusan S2 Administrasi Rumah Sakit dari universitas ternama itu juga bukannya membantu, malah memberiku senyuman yang tidak biasanya dia berikan padaku.

Dia lalu memalingkan pandangannya ke Brian dan berkata, “Biasa lah, ini anak suka lemot kalau pakai kode-kodean. Tapi, mungkin yang ada di pikiran kamu memang benar adanya.”

Mulut Brian semakin menganga karena apa yang baru saja didengarnya dari mulut dr. Hilman. Dan mulut itu mencapai transformasi ultimate-nya saat dr. Hilman merangkul pundakku dan mendekatkan badanku ke dada bidangnya.

“Oh… Mbak Cecil bareng Mas ini, toh. Suami saya malah ledekin kalau Mbak Cecil jomblo. Maaf ya, Mbak.” ucap Dinda yang terlihat lebih santai dibandingkan suaminya.

Dia lalu menyikut Brian, kemudian lanjut berkata, “Dasar, bikin malu ih. Minta maaf, gih!”

Di sini aku baru tersadar bahwa mereka mengira bahwa aku berpacaran dengan dokter Hilman. Tetapi mengingat perlakuan Brian padaku, kupikir aku tidak perlu mengklarifikasi. Jadi, tentu saja aku akan play along!

Ku sandarkan kepalaku di dada dokter Hilman, kemudian sambil tersenyum aku berkata, “Udah, gapapa. Saya mah udah biasa diledek sama Brian gitu. Namanya juga temen. Wajar lah, saling ledek.”

“Tapi kayaknya tadi aku denger kamu gak cuma diledek soal jomblo aja, Cil.” ujar dokter Hilman sambil mengerutkan dahinya, seolah menunjukkan ketidaksukaannya.

“Santai aja. Udah biasa Brian mah.” aku tidak menyangkal.

“Ya gak bisa gitu dong, Cil. Aku tuh gak suka dengernya.” protes dokter Hilman.

Dinda mendengus pasrah, karena memang itu yang terjadi. Terlihat sekali bahwa dia merasa tidak enak dengan situasi ini.

“Sekali lagi kami minta maaf ya, Mbak. Kami permisi dulu.” ucap Dinda.

Wanita yang setahun lebih muda dariku itu, kemudian meraih dorongan troli dan tangan Brian hampir bersamaan. Sebelum meninggalkan kami, Dinda sekali lagi membungkukan kepalanya memberi salam padaku sambil tersenyum.

Angin topan sudah berlalu, kini tinggal aku dan dokter Hilman yang masih belum juga mengubah posisi kami. Sebelum Mbak Bella datang dan memergoki posisi gila ini, aku segera menyingkirkan tangan dokter Hilman yang ada di pundakku. Kemudian, aku mundur dua langkah dari pria awet muda yang sebenarnya dua belas tahun lebih tua dariku itu.

Tetapi, rupanya antisipasiku itu sudah terlambat. Karena, dari kejauhan nampak Mbak Bella yang menutup mulutnya sambil memberikan tatapan tidak percayanya ke arah kami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status