Share

Ciieeee

Sejak peristiwa kemarin, Mbak Bella tak kunjung menyingkirkan senyum meledeknya yang dia tujukan padaku. Di tengah pekerjaannya yang tak kalah sibuk denganku, sesekali dia melirik ke arahku. Aku yang malas menanggapinya pun memutuskan untuk cuek saja. Mendingan selesaikan pekerjaan, supaya bisa pulang tepat waktu.

“Cecil!” panggil Pak Alfa di pintunya.

Tangannya melambai padaku, mengisyaratkan agar aku segera menemuinya di ruangan. Karena kupikir ini penting, aku pun menurut untuk masuk ke ruangan berukuran 2x3 m2 itu.

Seperti biasa, ruangan ini sangat rapi. Padahal meskipun namanya ‘Ruang Kabag’, sebenarnya ruangan ini juga digunakan sebagai tempat penyimpanan dokumen karyawan yang masih aktif. Karena keterbatasan ruangan, rumah sakit ini tidak memiliki tempat penyimpanan dokumen milik manajemen. Jadi, mau tidak mau kami menyimpan sebagian besar dokumen di masing-masing ruangan milik atasan.

“Ada apa ya, Pak?” tanyaku.

Sebelum menjawab, dia menyerahkan undangan dengan kop surat BPJS Kesehatan padaku. Seperti biasa, pasti aku yang diminta mewakili rumah sakit untuk datang.

“Acaranya besok. Nanti kamu bawa netbook kantor saja. Saya dengar laptop pribadi kamu yang sering kamu bawa rusak.” katanya.

Aku tidak merasa pernah cerita soal laptopku yang rusak padanya. Kupikir, pasti dia mendengar curhatanku pada Mbak Bella atau Raga tentang tidak bisa menonton drama Korea dari Nitflix akhir-akhir ini.

“Terus, ini SPPD-nya (Surat Perintah Perjalanan Dinas). Kamu konfirmasi sendiri ke bagian keuangan. Paling cuma lima puluh ribu buat ganti bensin, tapi lumayan kan?” lanjutnya sambil mengambil surat yang baru saja dia tanda tangani

“Baik, Pak. Um… kalau begitu saya balik ke meja saya, Pak.” sahutku.

“Bentar, Cil!” cegahnya.

Kelihatannya masih ada yang dia perlukan dariku. Tetapi berdetik-detik ku tunggu, Pak Alfa tak kunjung melanjutkan kalimatnya.

“Ada apa, Pak?” tanyaku.

“Itu… kemarin…”Pak Alfa nampak kebingungan.

“Hm?”

Berkali-kali Pak Alfa membuka dan menutup mulutnya. Tetapi, dia tak kunjung berkata apapun. Jangan-jangan ada yang ingin dia katakan mengenai kinerjaku, tetapi sulit dia katakan karena takut menyakitiku.

Ah… tidak mungkin, sih! Pikirku, dia saja gampang sekali memarahi Wina. Masa denganku jadi sungkan?

“Kema… Hish! Ya sudah. Gak begitu penting, kok. Kamu kembali saja ke meja kamu.” ujarnya.

Katanya tidak begitu penting, tapi mau bicara saja berat. Namun setidaknya, aku bisa memastikan kalau ini tidak ada hubungannya dengan kinerja buruk.

“Baik, Pak. Mari.” kataku.

Kemudian, aku undur diri. Begitu sudah di luar, kubuka undangan dari BPJS Kesehatan itu. Seperti kata Pak Alfa, besok tepatnya pukul 09.00 akan ada acara sosialisasi aplikasi baru. Tempatnya di Hotel Mandala yang berada di pusat kota T ini.Tak perlu menunggu, aku pun menuju ke ruangan Bagian Keuangan untuk konfirmasi.

*

Tanpa terasa, waktu berjalan dengan cepat. Tahu-tahu sudah masuk jam istirahat siang saja. Dan datanglah dokter jomblo karatan stress yang tukang jahilin orang, tapi sebenarnya baik hati dan tidak sombong, rajin menabung serta suka menolong. Aku harus mendeskripsikannya seperti itu, karena bagaimana pun kemarin dia lumayan menolongku saat menghadapi Brian. Tetapi, pada akhirnya tetap ada ulahnya yang menyebalkan.

“Cieeeee!” goda Mbak Bella sambil melirik padaku.

Aku memutar bola mataku kesal. Padahal kemarin sudah ku jelaskan pada Mbak Bella apa yang terjadi sebenarnya. Tetapi, pada dasarnya ibu dari dua anak ini memang suka menggodaku. Terutama kalau soal laki-laki. Dulu saat Raga baru masuk juga seperti itu.

“Ada apaan sih, Mbak? Kayaknya dari pagi ketawain Cecil mulu?” Raga kepo.

“Ada deeeh… pokoknya ciee aja. Pffft.” jawab Mbak Bella.

Dokter Hilman masih di ambang pintu. Matanya menjelajahi isi ruangan yang sebetulnya tidak begitu luas ini.

“Cari Wina, Dok?” tanyaku.

“Iya, dong. Masa cari kamu?”jawabnya.

Aku mendelik pada Mbak Bella, lalu berbisik, “Tuh!”

“Wina tadi sama Pak Alfa, Dok. Kayaknya ke food court.” ujarku.

“Hah? Orang Alfanya di ruanganku, kok.” katanya.

“Walah, tumben.” tanggap Mbak Bella.

Dokter Hilman mengangkat bahunya.

“Tapi, berarti itu anak gak ada, ya. Sip, deh! Thanks!”

Setelah mengatakannya, dr. Hilman pun pergi dari ruangan HRD menuju entah ke mana.

Namun tak lama kemudian, gantian Pak Alfa yang datang. Dia nampak lebih sumringah dibandingkan biasanya. Ku pikir, mungkin ada hal bagus yang terjadi padanya.

Pak Alfa lalu mengambil satu kursi dan menaruhnya di depan mejaku. Setelah itu, dia menuju ruang pantry di sebelah. Dan tak lama kemudian, dia membawa empat kotak makan katering di tangannya.

“Hari ini kita makan bareng di sini, ya. Kalian gak makan di food court kan?” pintanya.

Aku, Raga, dan Mbak Bella masih tercengang kebingungan. Entah angin apa yang membuatnya meminta kami untuk makan bersamanya. Tetapi berhubung dia atasan kami, rasanya tidak enak kalau ditolak.

“Bo… boleh kok, Pak.” Kata Mbak Bella.

“Saya dengar hari ini menunya ada telur rendangnya. Favorit saya banget itu, Pak.” timpalku.

“Saya bawakan ya, Pak.” kata Raga yang kemudian mengambil alih kotak makan katering dari tangan Pak Alfa.

Pria berbadan tinggi itu kemudian duduk di kursi yang tadi dia siapkan sendiri. Raga yang dengan gugup membagikan kotak makan itu memberikan kode lewat matanya padaku dan Mbak Bella. Tapi, kami juga sama saja tidak tahu ada apakah gerangan dengan Pak Alfa hari ini.

Meskipun sudah dua tahun lamanya kami bersama, ini adalah pertama kalinya kami makan bersama di ruangan ini. Sebelumnya kami pernah makan bersama, seperti kemarin di food court. Sebelumnya lagi adalah makan malam kantor bersama karyawan manajemen yang lain. Atau pada saat ada acara rekreasi kantor setahun sekali. Tapi, sungguh ini pertama kalinya kami makan siang di ruangan HRD dengan kotak katering yang disediakan kantor. Karena itu, kami merasa heran.

“Gak perlu bingung gitu, lah. Saya cuma ingin ganti suasana, kok.” kata Pak Alfa yang rupanya dia sadar dengan rasa heran kami.

Dia kemudian membuka kotak makan lebih dulu dan berkata, “Ayok dimakan. Keburu dingin nanti.”

“Iya. Selamat makan, Pak.” ujarku.

Dengan ini, jam makan siang kami yang penuh rasa canggung pun dimulai. Or… so I thought. Tetapi di luar dugaan, ternyata Pak Alfa lumayan nyambung dengan kami. Selera guyonnya juga ternyata hampir sama. Malah mungkin lebih receh.

“Yang waktu tujuh belasan sumpah lucu banget! Pengin ketawa, tapi kasihan. Kkkk.” ujarnya dengan tawa yang tertahan.

“Lusi mah emang sialnya gak ketulungan. Dulu pas orientasi aja sampe nyasar di ruang VK. Rumah sakit sekecil ini aja masih nyasar coba. Hahaha.” Mbak Bella menanggapi.

“Tuh anak soalnya kalau sudah di luar kerjaan emang kayak beda orang, sih. Sampai takjub saya Pak, kok ada bidan yang selucu itu.” tambah Raga.

“Jangan ledekin kamu, Ga. Nanti naksir.”

“Nggak lah, Pak. Udah mau taken dia sama Jefri yang anak lab.”

“Eh? Mereka jadian? Wah… ketinggalan info saya.”

Dan begitulah obrolan santai kami yang tak terduga. Obrolan kebanyakan diisi oleh Raga, Mbak Bella, dan Pak Alfa, karena aku takut mengatakan hal yang tidak seharusnya. Bisa berabe kalau aku ngasih tahu semua gosip yang beredar di rumah sakit ini.

Walau sebetulnya sekarang ini juga aku sudah cukup berabe. Karena saat membicarakan soal gosip, tatapan Pak Alfa hampir tak pernah lepas dariku. Hanya sesekali melirik pada Mbak Bella dan Raga. Ini jelas membuat bulu kudukku berdiri dan pikiran negatif pun muncul.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status