Adrian terbangun karena mendengar suara berisik di dekat telinganya. Napasnya tersengal berkali-kali terasa sesak. Perutnya terasa mual mau muntah. Perlahan dia membuka mata. Dan di depannya ada Wandi yang sedang memencet hidung Adrian dengan mulut mengaga bau.
“Anjir, lu ngapain mencet hidung gue? Kurang asem awas lu, gue tinggalin lu di sini tau rasa! Ngapain lu? Woiii ... sakit tau!”
“Heh, lu yang ngapain tidur di sini?”keluh Wadi kesal. Dia sudah satu jam menyusuri jalan gelap mencari Adrian.
Wandi berteriak kencang di telinga Adrian yang berusaha mendorongnya. Adrian yang sedang kesal dengan Wandi akhirnya berdiri, dan melihat sekeliling. Matanya membola seakan mau loncat dari sarangnya. Adrian berulangkali menggelengkan kepalanya dan melihat ke arah Wandi yang asyik memainkan kunci motornya. Ingatannya kembali kepada kejadian pagi tadi yang membuatnya dapat berkenalan dengan Hesta. Gadis yang cantik dan menggoda di matanya.
“Hesta ... Hesta ....!”
Wandi memegang dahi Adrian yang masih terlihat linglung. Melihat Adrian kalang kabut, celingukan nggak jelas membuat Wandi semakin bingung, "Woi, lagi nyati siapa lu, balik yok," ucap Wandi sambil memegang dahi Adrian yang terlihat linglung.
“Lu mo apa?” Adrian menatap tajam kepada Wandi.
”Bisa bonceng gue? Anak kecil sok-sok an naik sepeda motor. Sini kuncinya! Eh ... tapi kenapa gue ada di sini? Hesta mana?” Dan terpaksa Wandi mendorong tubuh temannya yang lebih besar darinya itu, ke sepeda motor meskipun Adrian masih dalam kondisi bengong. Tidak banyak yang Wandi ucapkan demikian juga dengan Adrian. Namun saat Wandi akan memutar kunci sepeda motor Adrian menyambar tangan Wandi dengan kasar.
Adrian kembali celingukan melihat ke sekeliling pohon beringin. Bahkan kunci yang di tangan Wandi dia rebut dengan kasar hingga membuat temannya yang bertubuh kecil itu ikut tertarik tangannya. Berkali-kali dia menggoyangkan bahu teman baiknya itu dengan keras. Namun Adrian tetap saja tak bergeming. Dia termangu bingung melihat kondisinya saat ini.
Adrian pergi kembali ke tempat dia dan Hesta tadi duduk bersama. Ingatannya kembali pada awal kenalan di warung beberapa jam yang lalu. Saat itu ia kesulitan membawa sotonya yang ada di mangkuk karena panas, kemudian dia bantu membawakannya. Entah mengapa, selama ini bahkan Adrian tidak pernah dekat dengan seorang cewek, bahkan di sekolah terkenal dengan badungnya sering membuat para cewek teman sekolahnya nangis karena jahilnya dia.
Tetapi pesona Hesta kali ini, membuat Adrian benar-benar berbeda dengan biasanya. Hatinya seketika luluh saat bersamanya. Seperti kerbau dicocok hidungnya, mengikuti Hesta hingga sampai di pohon beringin. Jangankan bawain makanan cewek, terkadang dimintai tolong saja, dia tidak bersedia sama sekali. Hati Adrian merasakan ada yang istimewa dengan gadis itu.
Tubuh seksi dengan balutan bahan transparan, menggoda mata Adrian yang masih polos. Bayang-bayang itu yang selalu tertanam di otaknya. Membuat pemuda itu blingsatan saat tidak menemukannya.
Namun hal ini belum ia sadari sepenuhnya, yang ada di pikirannya saat ini hanyalah mencari kemana perginya Hesta yang bersamanya beberapa jam yang lalu. Tidak mungkin dia pulang tanpa pamit pada gadis itu. Meskipun ada perasaan aneh, ada gadis cantik tinggal di sekitar hutan yang sepi dan mencekam.
Wandi yang sadar kondisi Adrian mulai ikut mengikuti langkah temannya yang sudah berada di bawah pohon beringin kembali. Suasana panas karena matahari sudah di ubun-ubun, tidak mereka sadari. Bahkan kotoran burung yang sudah mulai mengering mereka abaikan. Adrian benar-benar seperti orang yang sudah berbeda, dan Wandi tidak mengenalinya lagi. Sorot matanya yang kosong membuat Wandi sedikit ketakutan, namun tidak mampu berbuat banyak.
“Gue harus bicara dengan orang orang tua Adrian, tidak mungkin biarkan saja dia kayak gini. Ya ampun Brother, lu kenapa si, jangan bikin gue takut kayak dong,” ucap Wandi lirih.
“Wandi, lu tadi nggak liat cewek cantik yang bareng gue kan, dia Hesta?” tegas Adrian mencengkeram krah baju Wandi.
Raut Adrian terlihat marah dengan napas memburu dan mata nematap tajam ke arah Wandi yang ketakutan karena tangan sahabatnya tidak lepas dan mencengkeram dengan kasar. Wandi mencoba membuka mulut untuk bicara dan mejelaskan, namun sayang Adrian tetap terlihat kesal. Perlahan sahabatnya melonggarkan cengkeramannya dan membiarkan Wandi terlepas.
Mulailah Wandi bercerita apa yang sudah dilihatnya sebelum menemukan Adrian di sana. Saat menyusuri jalanan dengan laju perlahan, tidak sengaja matanya menangkap sesutu yang ganjil di sekitar pohon beringin tempat mereka berhenti tadi pagi. Setelah menghentikan sepedanya, ternyata Adrian tergeletak dengan posisi mengkurap. Yang aneh dirinya tidak mendapati seorangpun di sana. Bahkan jejak manusia juga tidak ia temukan di tanah kering itu. Sebenarnya hatinya takut, tetapi ia tahan demi teman dekat yang sudah berkali- kali menyelamatkannya dari bulian teman-teman.
“Nah, seperti itu ceritanya. Gue kagak ketemu gadis yang lu maksud, sekarang pulang yuk! Udah malem nih.”“Apa an sih? Gue cuma cariin Hesta titik, gak pakai koma. Lu kalau mau pulang jalan kaki aja sonoh! Gue mau cari Hesta dulu,” teriak Adrian.
“Biar gini juga temen lu, sahabat lu, tega lu ama gue. Tadi pagi ninggalin di warung sendirian. Sini kunci motornya! Biar gue bilangin bapak elu, kalo masih di sini,” ucap Wandi mulai kesal.
Dipikiran Adrian saat ini hanya ingin bertemu dengan gadis pujaannya. Tidak perduli jika teman dekat menentang keinginannya. Hawa panas mulai dirasakan Adrian saat ini. Emosinya memuncak saat Wandi berusaha merebut kunci motor. Dia bahkan tidak ingat naik apa sampai di pohon beringin itu. Pikirannya saat itu hanya terpusat pada Hesta gadis yang baru saja ia kenal.
Mereka berdebat memperebutkan kunci motor, Adrian tidak mau memberikannya sementara Wandi ngotot ingin pulang. Akhirnya kunci itu terlempar terjatuh ke tanah, dan mengenai sebuah batu kecil yang ada di sana. Keduanya sama-sama saling memandang bergantian. Tatapan mereka terpusat pada sebuah kain yang ada di dekat kunci itu terjatuh.
Adrian melangkah maju, diikuti Wandi yang memegang baju sahabatnya itu dengan erat. Tangannya yang sebelah digigit seperti anak kecil. Wandi termasuk anak penakut, hanya bersama Adrian dia berani mengambil resiko. Adrian selalu menjadi penolongnya hingga saat ini.
Jarak mereka dengan kunci motor sudah sangat dekat, tinggal beberapa langkah lagi. Sorot mata keduanya tak lepas dengan kain yang berwarna di dekat kunci motor. Tangan Adrian menjulur, diikuti dengan tubuhnya yang tinggi kekar membungkuk ke tanah. Perasaannya bergetar, melihat kain berwarna merah darah itu. Matanya kemudian membola menatap kain yang berada di samping kunci itu bergerak karena tiupan angin.
Kedua anak itu saling berpandangan. Dilema dengan benda yang mereka temukan saat ini. Bagaimana tidak, kain yang berwarna krem dengan noda darah yang terlihat masih baru. Mungkinkan itu miliknya Hesta? Hal itu yang ada dipikiran Adrian. Mengingat hanya dia dan Hesta yang ada di tempat itu. Mungkikah sudah terjadi sesuatu dengan gadis itu? Panik hati Adrian melihat kain yang ada di depannya. Rasa takut kehilangan gadis yang baru saja di kenalnya.“K-kain ini, ada darahnya? Takut Yan, buang jauh jauh sonoohh...!”“Helehh ... ini apa an sih! Masih serem rambut kriting elu, dari kain ini,” ucap Adrian sambil mendorong tubuh Wandi yang sejak tadi menempel dan memegang bajunya.Bruk ....“Asem, tega ama temen.”“Lu bau, kagak nyadar apa? Ambil gih! Kunci motornya, biar gue yang urus kain ini. Nggak usah deket-deket kalo takut. Pergi sonoo ....!”Wandi mengambil kunci motor yang ada di tangan Adrian. Dia langsung pergi dari tempat itu, dan duduk di atas sepeda motor . Rambutnya yang keriti
Wandi terus mengamati sikap Adrian yang sangat jauh berbeda dari hari biasanya. Emosinya suka meledak dan tidak perduli dengan siapa dia bicara. Tapi ada yang aneh, kenapa dia tidak ngerjain gadis tetangganya itu? Biasanya juga sampai mereka ketakutan, gak bakal godain Adrian lagi. Wajah dia memang tampan banyak menarik perhatian banyak orang. Para perempuan sering merasa gemas, ingin menggoda dan dekat dengannya. Kulit sawo matang, hidung mancung dan tubuh proposional. Idaman gadis jaman sekarang. Berbeda jauh dengan Wandi. Jangan berpikiran dia kembaran Adrian. Seratus delapan puluh derajat perbedaan fisik dan sifatnya, bisa ketawa ngakak jika mereka sudah berdampingan.Wandi mengikuti Adrian hingga teras rumah, matanya melotot melihat pemandangan yang ada di depannya. Entahlah, apakah Adrian melihat atau tidak. Ada makhluk hitam dengan sorot mata tajam bersinar menatap ke arahnya. Seketika bulu kuduk Wandi berdiri, jika dilihat pakai lup pasti sudah seperti duri yang berdiri tegak
Wandi akhirnya berdiri, dan berjalan ke tempat pencucian piring. Kasihan jika melihat anak kecil itu. Namun dia sangat penurut dengan Adrian. Semua perintahnya selulu dia turuti, meskipun dengan mulut ngedumel seperti kereta api panjangnya. Cucian piring se ember sudah beres, sekarang Wandi masuk ke kamar mandi, sementara Adrian pergi ke kamarnya.Suara guyuran air sangat berisik, pertanda Wandi membuang air sangat banyak. Entah cara mandi yang bagaimana sampai menghabiskan air satu tandon kamar mandi. Barangkali dia nyelam masuk ke dalam bak, habis itu dibuang semua airnya.“Seger banget ternyata, airnya lebih dingin dari rumah. Bisa seharian gue berendam dalam kamar mandi. Eh ... ups ... bisa berabe kalo kedengeran ama Adrian. Bisa diusir dari rumahnya ini, hahaha ... dasar nasib anak ganteng seperti gue, selalu dapat rejeki tak terduga. Puas banget mandinya hehehe ....” ocehnya sendiri di dalam kamar mandi.Wandi tersenyum sambil mengibaskan rambutnya yang keriting. Rambut yang ter
Adrian dan Wandi masih tergelak meski menyadari jika kondisi mereka tidak bersahabat. Beruntung kamar Adrian yang berlantai porselin berwarna gelap hingga masih terlihat tetesan air kencing tergenang di lantai. Namun posisi keduanya yang berada di pojok kamar lebih memudahkan air tidak melebar ke mana- mana. Dapat dibayangkan jika hal itu terjadi meski airnya tidak banyak namun bau pesing pasti menyebar penuh di dalam kamar.“Gila ... ini napa kita sampai ngompol gini? Kurang asem, gara-gara suara kagak bener nih!”Wandi menggerutu sambil memegang kolormya yang sudah basah. Demikian juga dengan Adrian. Keduanya masih tetap menempelkan telinga sesekali ke dinding kamar. Tentu suara dari sebelah kamar dapat mereka dengar dengan jelas, tidak ada plafon terpasang di dua kamar tersebut. Adrian yang biasanya galak dengan Wandi kini terlihat bengong seperti bukan sosok yang dikenal Wandi selama ini.“Lu kenapa jadi rada konslet sih. Biasanya juga gue yang eror, apa jangan-jangan ini bawaan d
Suara Wandi terdengar lumayan keras dari luar kamar. Adrian yang baru saja keluar dari kamar mandi merasa heran. Ini bukan yang peetama kali Wandi berteriak ketakutan. Bergegas dia berlajan ke kamarnya melupakan celana basah yang masih tergantung di pintu kamar mandi.Adrian tiba-tiba masuk dan memukul kepala Wandi dengan keras. Kalau dihitung, seharian tadi Wandi sudah menerima pukulan beberapa kali. Untungnya kepala Wandi seperti batu, hingga tidak mungkin bonyok meski dipukul berkali-kali. Pukulan Adrian juga tidak serius seperti preman atau jago silat. Hanya ingin membuat Wandi jera saja, tapi ternyata meleset. Wandi tidak pernah takut kepada Adrian yang sudah dianggapnya seperti saudara.“Astaga! Lu jangan kelewatan! Ini kepala ... bikan batu, enak aja main pukul.”“Hehh ... lu ngapain? Cepet ganti celana! Udah bau kemana-mana itu.”“Iyee ... gue juga udah risih, gara-gara elu sih ini. Jadi gue terus yang dia gangguin.”“Apa? Lu ngomong apa? Yang jelas! Jangan ambigu gitu, udah c
Semakin dekat mereka dari kamar kedua orang Adrian untuk mencari sumber suara, semakin ke arah kamar kedua orang tua Adrian. Keduanya berhenti dan saling memandang. Telunjuk jari tangan mereka masing-masing berada di bibir, saling memberi isyarat untuk diam. Sedangkan telinga mereka tempelkan di pintu kamar. Tidak sadar jika mereka terlalu keras menempelkan telinga ke pintu, hingga pintu terdorong. “Astaga ....! Lu gimana sih? Main dorong aja,” bentak Adrian mendorong tubuh Wandi lebih masuk ke dalam kamar.Keduanya melihat ke sekeliling ruangan kamar, tidak ada tanda-tanda orang melakukan aktifitas yang seperti mereka bayangkan. Ranjang juga rapi, sudut ruang juga terlihat bersih. Mata Adrian melihat benda hitam kecil yang ada di atas meja. Terdengar suara gemerisik dari sudut ruangan. Perlahan mendekat dengan tetap berjingkat ke sumber suara agar tidak ketahuan.Dua anak itu saling menatap, Adrian menggelengkan kepala memberi isyarat pada Wandi untuk mengikutinya. Suara yang mereka
Kedua pemuda itu berdiri diam mematung di depan pintu, sambil menggigit jari. Untuk beberapa saat lamanya mereka terdiam. Melihat sosok yang sudah ada di depannya dengan perasaan yang tidak dapat digambarkan.“Ya-Yan, lu kagak t-takut?”Dengan berani Wandi berbicara sambil meraih tangan Adrian untuk digenggam. Kontan hal ini menimbulkan kejutan buat sahabatnya. Dia tidak pernah sembarangan dipegang oleh orang lain. Biasanya Wandi menjadi bulan-bulanan sikap jahilnya.“T-tidak, na-napa? Kagak ada apa-apa,” kilah Adrian berusaha untuk menepis tangan Wandi. Namun tidak dapat dia pungkiri jika persaan takut menyerang saat ini. Terlihat dari bahasa tubuhnya yanga gemetar.Wandi melotot melihat ke arah Adrian, tawa renyah mengembang dari bibir tebalnya.“Hahaha .... apa an, katanya gak takut. Tuh kali lu! Napa gemetaran kayak gitu?”Adrian menoleh ke arah Wandi, “Opo opo? Ngomong aja lu!”Segera melangkahkan kakinya duduk kembali di ruang tamu diikuti Wandi. Tawa renyah masih terdengat dari
Kucing Hitam sudah semakin dekat dengan Wandi. Jarak hanya satu meter membuat Wandi semakin menggigil ketakutan. Bibirnya terkunci rapat tidak dapat mengeluarkan suara. Hingga kucing mulus berwarna hitam itu tepat berdiri di kakinya yang berselonjor. Nyala tajam dari mata kucing membuat Wandi menutup matanya. Dia sudah pasrah dengan keadaan yang membuatnya tersudut.Wandi yang semakin ketakutan tidak dapat menahan diri dan akhirnya pingsan. Sedangkan kucing hitam itu tiba-tiba menghilang bersama dengan asap putih yang tiba-tiba muncul. Entah ke mana makhluk jadian itu pergi setelah menatap ke arah Wandi agak lama. Suasana seketika hening mencekam. Wandi tergeletak di lantai, tanpa ada yang tahu. Adrian yang sedang di dapur mencari air minum, merasakan suasana agak aneh. Sepi sunyi seperti kuburan yang tak berpenghuni. Rumah Adrian terasa mencekam di mata Wandi. Kedua orang tuanya belum juga pulang hingga malam larut seperti ini.“Eh, kenapa jadi merinding kayak gini ya?” ucap Adrian