Khoiron membaringkan tubuh Tatiana ke atas pembaringannya. Sebuah ranjang yang tak bisa dikatakan lebar sebab ia berdiam hanya seorang. Tangannya menyentuh pinggiran niqab yang Tatiana kenakan. Berniat melepaskan kain berwarna hitam itu agar tak mengganggu jalannya pernapasan sang istri yang pingsan.
Tatiana— gadis yang berada di hadapannya bernama Tatiana Sujatmiko. Nama yang ia ikrarkan dihadapan kakek, abi dan ayah mertuanya. Nama yang ia lantunkan untuk menjadi pendamping hidupnya agar dapat menyempurnakan ibadahnya terhadap Sang Khalik.
Persis seperti apa yang adiknya ceritakan, parasnya begitu rupawan. Garis wajahnya kecil dengan dagu meruncing. Bulu matanya lentik. Hidungnya mancung dan kedua bibirnya yang kerap ia dengar mengumpat, ternyata begitu tipis.
“MasyaAllah, sungguh indah ciptaan Mu, ya Rabb.”
Selain umi dan adiknya, Khoiron tak pernah memuji sosok lain. Mata dan hatinya terjaga, menginginkan keindahan yang dapat ia reguk ketika itu halal baginya.
Seperti sekarang contohnya.
Tatiana— sesuatu yang halal untuk dia pandang berlama-lama. Mengagumi Tatiana tak akan mendatangkan dosa. Sebuah hal yang Khoiron takuti keberadaannya hingga selalu menundukkan pandangan. Mengabaikan paras-paras ayu, yang kata teman-temannya meneduhkan hati.
Kini Khoiron tahu maknanya. Ia menemukan pengandaian itu dalam wajah lelap istrinya. Perempuan pertama yang berani ia tatap selain keluarganya.
‘Pantas sejak kemarin Zahra selalu memujinya,’ batin Khoiron mengingat betapa seringnya pujian keluar dari mulut adik tercintanya. Zahra berkata jika lalat bahkan mungkin tak mau singgah, saking takutnya tergelincir di wajah sehalus porselen ‘Mbak Tatiana.’
Terlalu berlebihan, tapi wajah Tatiana memang terlihat begitu terawat.
‘Apakah saya bisa memenuhi keperluan kamu, seperti yang orang tua kamu berikan, Ning?’
Walau tak mengenal Januar Sujatmiko, Abinya telah memberitahu secara singkat tentang ayah mertuanya. Beliau merupakan pengusaha mebel ternama. Terdapat dua pabrik berbeda dimana kota Jakarta yang dirinya tinggali, merupakan kantor pusat manajemennya. Sedangkan untuk produksi Beliau memilikinya di Jepara.
Bisnisnya tak dapat dikatakan kecil. Pasar sebaran produknya tersebar dibeberapa negara di Eropa seperti Spanyol, Brazil dan Belanda. Sedang dirinya?
Apalah ia ini. Di usianya yang menuju kepala tiga, ia hanya berstatuskan pengurus pondok. Ada rumah makan kecil yang dirinya miliki, itu pun tak bisa disebut sebagai usaha. Fokusnya adalah membagikan sebagian rezeki yang datang melalui dirinya untuk dibagikan dalam bentuk makanan. Sesekali ia mendapatkan panggilan untuk mengisi sesi perkuliahan sebagai dosen undangan. Dari sanalah dirinya menabung uang agar bisa berbagi.
“Astagfirullah.” Khoiron mengusap wajahnya, beristighfar kala meninggikan makhluk dengan membandingkan apa yang dirinya miliki saat ini.
Bukankah jalan hidupnya telah ditentukan?! Selain itu, ia sendiri yang memilih untuk tidak mendahulukan dunia fana ini. Lantas mengapa ia harus setakut ini dalam mengupayakan kebahagiaan wanita yang dirinya nikahi.
Ada Dzat yang akan mencukupkan segala keperluannya. Ia hanya perlu berikhtiar, melambungkan doa supaya apa yang dirinya usahakan dapat membahagiakan sang istri.
Khoiron berusaha menenangkan debar di hatinya sebelum mendudukkan dirinya disamping tubuh sang istri. Ia usap wajah yang kedua matanya tertutup itu. “Ning,” panggilnya mencoba membangunkan Tatiana.
“Bangun, Ning.”
“Khoir…” Umi Aisyah yang sedari tadi berdiri diambang pintu memasuki kamar putranya, “bukan begitu cara membangunkan orang pingsan. Pake ini, Le.” Beliau mengangsurkan botol minyak kayu putih.
“Dibau-baui dekat lubang hidunge mantu Umi,” pandunya karena sang putra terlihat seperti orang yang tak biasa menangani kepingsanan seseorang.
“Gugup ya?” tanya Umi Aisyah. Senyum jahil menghiasi wajah cantiknya.
Pria berusia dua puluh delapan tahun itu menggaruk tengkuknya. Ia terlihat salah tingkah.
“Ndak apa-apa. Umi ngerti. Tatiana yang pertama buat kamu. Mau dibantuin Umi apa bisa sendiri?”
“Dibantu aja, Umi.”
Khoiron mengambil langkah mundur. Ia takut gemetaran ketika mencoba mengangsurkan minyak terapi. Salah-Salah dirinya malah menyiram wajah cantik sang istri lagi.
Di hari pertama meminang seorang wanita, Khoiron tak ingin mendapatkan amukan. Cukup dua hari dirinya selalu menerima makian. Tidak lagi usai mereka telah menikah.
Umi Aisyah tertawa. Baiklah. Ia akan membantu putranya. “Umi Izin sentuh-sentuh, Ningnya ya Gus Khoir,” goda Umi Aisyah membuat pipi Khoiron memerah sempurna.
*
Seperti biasa– Tatiana berulah setelah terbangun dari pingsannya. Gadis itu mengamuk hebat. Mengatakan ingin menuntut cerai karena pernikahannya tidak sah. Argumennya tentu saja langsung dipatahkan.
Berjam-jam gadis itu berbicara enam mata dengan kedua orang tuanya. Membahas tentang pernikahan yang dianggapnya menyalahi aturan padahal dirinya sudah berteriak tidak sah.
“Sudah, Tiana! Papa bilang cukup! Jangan bikin Papa semakin malu. Sekarang kamu berkemas! Kita pulang ke Jakarta!”
“yang bener?” Pupil mata Tatiana terbuka lebar. Ajakan kepulangan Januar terasa layaknya angin segar di kehidupannya yang segersang gurun Sahara.
“Nggak bohong mau pulang kan? Kamera sebelah mana, Mah?” Tatiana mengguncang-guncangkan lengan Soraya. Siapa tahu saja papanya memasang alat perekam itu untuk alih profesi menjadi selebgram terkenal.
“Sadar Tiana,” yang dilakukan Soraya adalah meraup wajah cantik putrinya.
“Ih Mama! Make up Tiana luntur, Ntar!” Decak Tiana masih bisa memikirkan mengenai riasan di wajahnya.
“Lagian kamu! Kan kemarin udah dibahas sama Pak Kyai Dahlan. Kamu bisa lanjutin kuliah lagi! Khoironnya yang jadinya ikut ke Jakarta.”
“Khoi-iron?”
“Kamu nggak lupa sama suami sendiri kan? Baru juga nikah!”
Hidung Tatiana kembang-kempis. Ia pikir dirinya akan terbebas. Pulang ke rumah dan melepaskan nasib buruknya di pesantren. ‘Damn! Pulangnya iya, apesnya yang ngikutin gue kemana-mana!’ gondok Tania sembari mengepalkan tangan.
“Nggak usah berulah Tiana. Surga kamu sekarang ada di Khoiron. Macem-Macem sama dia, gosong kamu kena azab!”
Tatiana bergidik mendengar ocehan Januar. Apakah dirinya akan seperti pemain di sinetron-sinetron ikan koprol? Tersambar petir karena terus-terusan mengelak takdir gelap yang menghampirinya?
‘Sia-Sia dong gue skincare-an, Anjing!’
“Lagian kamu tuh, Sayang. Tadi aja sampai pingsan liat kegantengan mantu Mama. Sekarang sok-sokan mau batalin pernikahannya.”
“Siapa bilang Tiana pingsan karena dia ganteng?” Tatiana menyalak galak. “Muka dia itu innalillahi ya! Nggak ada gan..”
“Ya nggak perlu gerak-gerak tangan kanannya,” Januar melirik tangan kanan Tatiana yang bergoyang. “Kamu kalau bohong ketahuan banget sih! Susahnya ngakuin Khoiron ganteng apa? Emang ganteng kok orangnya. Papa aja ngaku kalah dari dia.”
“B aja!” Tatiana kukuh pada pendapatnya.
“Mirip Min Ho nggak sih?” Pancing Soraya, menyebutkan aktor ternama kesukaannya.
“Nggak tau, Mah! Lebih ke Jun Ki ah. Keliatannya galak tapi teduh banget tatapannya.”
Januar tersedak air liur karena ingin tertawa. Putrinya tampaknya tak menyadari ketertarikannya kepada sang menantu.
“Apalagi pas assalamualaikum. Kok Tiana merinding dengernya tadi.” Tatiana menggosok-gosok lengannya. Hawa itu terasa kembali ketika mengingat kejadian di masjid tadi.
“Jangan-Jangan dia itu iblis berkepala naga, Pah?” Celetuk Tatiana, back to mode sesatnya.
“TATIANA!!!!”
“Mas Adnan, grrr!” Geraman tersemat pada panggilan yang Tatiana layangkan kepada sang putra.Ibu muda itu sudah lelah mengimbangi tenaga putranya yang seakan tak pernah ada habisnya.“Pake kopiahnya dulu, Mas Adnan! Mbah Uyut bentar lagi sampai loh!” Seru Tatiana.Dua hari Khoiron pergi demi untuk menjemput Kyai Dahlan. Awalnya merekalah yang ingin bertolak kesana mengingat usia sepuh sang kakek. Namun beliau melarang, dengan alasan kasihan pada cicit lelakinya. Selain itu beliau juga mengatakan jika dirinyalah yang merindu. Sudah sepatutnya dia yang menyambangi mereka ke Jakarta.“Nggak mau pake Ibu. Nanti Mas Adnan mirip tukang sate tak-iye itu!” Beo Adnan. Anak itu pernah bertanya mengapa setiap tukang sate yang dia temui memakai kopiah, dan ayahnya menjawab jika kopiah tersebut merupakan ciri khas mereka.“Ya kamu makainya kayak Ayah biar nggak dikira Abah-Abah penjual sate, Mas!”“Sini cepetan! Ibu nggak kuat kalau kamu ajakin lari-lari mulu!” timpal Tatiana, meninggikan suaranya.
Kepulangan Tatiana dan Adnan dari sekolah disambut oleh kekepoan Soraya. Mama Tatiana itu langsung memberondongi putrinya dengan serangkaian kalimat tanya.“Kok kamu pulang bawa Mas Adnan? Tadi cepet-cepet pergi kemana, Ti?”“Ibu jemput Mas Adnan, Oma,” jawab Adnan mewakili ibunya.“Loh, kan belum waktunya pulang sekolah. Kok sudah dijemput? Mas Adnan nggak kenapa-napa kan?” tanya Soraya sembari mengekori anak dan cucunya.“Mas Adnan nggak kenapa-kenapa. Temen Mas Adnan yang masuk UKS, Oma.”“Hah?”Pemaparan tersebut semakin membuat Soraya bertanya-tanya. Jawaban sang cucu mengindikasikan jika telah terjadi sesuatu yang buruk, sehingga Adnan dijemput tak sesuai waktu kepulangannya.“Mas Adnan mau dibuatin es susu nggak?” tanya Tatiana setelah mendaratkan pantat Adnan ke atas sofa ruang keluarga mereka.“Mau, Ibu. Dikasih marshmallow di atasnya.”Tatiana membelai kepala Adnan, menyematkan ciuman dikening anak itu sebelum berkata, “oke.”Penasaran dengan apa yang terjadi, Soraya pun men
“Minggir!!” Teriak Tatiana sembari terus menekan klakson motornya berulang kali.“MINGGIR! GUE TABRAK YA LO LAMA-LAMA!”Perempuan muda beranak satu itu sama sekali tidak pernah menarik tuas rem setelah memutar gagang gas motor yang dipinjamnya. Motornya melaju bak pembalas nasional, menyalip pengemudi-pengemudi lain yang menggunakan jalanan searah dengan tempat dimana putranya mengenyam bangku pendidikan.Beberapa saat yang lalu, Tatiana mendapatkan telepon dari ibu wali kelas si bocil. Wanita itu berkata jika Adnan terlibat perkelahian dengan teman sekelasnya. Tentu saja hal tersebut membuat Tatiana panik bukan kepalang. Ia sampai meminjam motor bebek milik satpam rumahnya agar tak terjebak macet.Bukan apa-apa. Adnan meskipun seringkali bertindak seperti bocil kematian, anak itu cukup manis di luaran. Dia sama sekali tidak pernah bertengkar apalagi berkata keras terhadap orang lain. Nakalnya ya sebatas kenakalan wajar terhadap mamanya yang cantik. Jadi setelah mendapatkan informasi
“Ibu..”Tatiana mengangkat kedua tangannya ke atas.Tidak, tidak!— Ia tidak akan terpengaruh dengan raut memelas suami tercintanya. Pria itu harus merasakan betapa spektakulernya kelakuan anak mereka saat menginginkan sesuatu.‘Enak aja! Bikinnya bareng-bareng, masa bagian puyengnya, Ibu yang paling banyak.’ Dumel Tatiana, membantin.“Mau ini, Ayah! Mas Adnan mau ini.” Keras kepala Adnan dengan menunjuk satu unit mobil yang sedang dipamerkan pada lantai dasar sebuah Mall ternama di Jakarta.Tatiana terkekeh sembari memalingkan wajahnya. Biarlah ia berdosa. Namun wajah frustasi suaminya sangatlah menghibur jiwa emak-emaknya.“Beliin! Mas Adnan mau punya mobil yang pintunya 2, Ayah.”“Ya Allah, Mas.. yang pintunya 4 kan udah punya.”“Kan empat, nggak dua!” Ngeyel Adnan, membalas kata-kata sang ayah.“Mas..”“Enggak dalem!” potong anak itu menolak panggilan Khoiron.Khoiron menatap lembut kedua mata putranya yang membola. “Kok begitu jawab ke Ayahnya, Mas?” Sama seperti tatapannya, suara
Mendekati pukul lima sore hari, Tatiana, Adnan dan Soraya— ketiganya tampak rapi, berjajar pada halaman luas kediaman mereka.Barisan vertikal yang ketiganya bentuk itu, merupakan pemandangan yang sehari-harinya akan terlihat jika saja tidak turun hujan kala hari hari kerja berlangsung.Di dalam barisan itu, ketiganya akan melakukan sebuah penghormatan besar kepada dua orang terkasih yang telah rela menghabiskan waktunya untuk bekerja keras agar mereka dapat hidup enak.Mereka akan menunggu kepulangan para pencari nafkah. Menyambut keduanya dengan senyum hangat supaya seluruh lelah yang merajai diri mereka sirna.Dalam hal ini, tradisi itu dibentuk setelah si kecil Adnan terlahir ke dunia. Sebuah kebiasaan kecil yang pada akhirnya terus dipertahankan dan menjadi rutinitas harian yang keberadaannya tak pernah ditinggalkan oleh Tatiana dan mamanya.“Itu mobil Ayah.” Seru Adnan, gembira. “Opa sama Ayah pulang, ye-ye-ye-ye!” Anak itu melompat kegirangan, merasa tak sabar untuk menyambut a
Tatiana tak pernah berhenti dibuat istighfar oleh atraksi anak laki-lakinya. Si kecil yang kini menginjak usia 5 tahun itu mempunyai banyak sekali tingkah. Kulit di dadanya mungkin sudah menipis saking seringnya dibelai secara mandiri karena kelakuan membagongkannya.“Ibu nyerah, Mas Adnan!” Tatiana mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Ia menyerah, mengibarkan benderah putih ke angkasa.Ayah anak itu baru saja pergi beberapa menit yang lalu, dan si kecil sudah kembali berulah.Adnan memang sangat tahu caranya menguji batas kesabaran ibunya. Dia mencari momen terbaik saat satu-satunya manusia yang ditakutinya tak lagi berada di rumah.“Mas, Ya Allah! Ikan koinya Ibu loh, mati itu ntar Mas!” lontar Tatiana, lemas tak bertenaga.Tatiana pikir dengan dirinya menyatakan kekalahkannya, putranya akan berbaik hati untuk hengkang dari kolam kesayangannya. Namun ternyata, ia salah. Anak itu tetap melanjutkan kegiatan merusuhnya.“Mas Adnan baik loh, Ibu. Mas kan lagi bantu ikan koinya Ibu napas.