Perpustakaan kampus telah menjadi tempat favorit Humaira untuk beristirahat dan menyelesaikan tugas. Meskipun aturan perpustakaan melarang tidur di dalamnya, Humaira sering melanggar aturan tersebut. Baginya, perpustakaan adalah tempat yang nyaman, seperti rumah ketiga setelah pondok pesantren dan kosannya.
**[PERPUSTAKAAN CAMBRIDGE UNIVERSITY]** Saat Humaira tertidur di salah satu sudut perpustakaan, seorang wanita berambut pirang menggoyangkan tangan Humaira dengan lembut. “Humey...,” ucapnya pelan, berusaha membangunkan Humaira. Namun, setelah beberapa kali digoyangkan dan tidak ada respons, wanita itu mendapatkan ide untuk memasangkan headphone yang dikenakannya ke telinga Humaira. Dengan volume yang keras, musik mulai terdengar, membuat Humaira terbangun dengan terkejut dan jatuh dari kursinya. Suara jatuhnya Humaira menarik perhatian pengunjung perpustakaan. Teman Humaira, Clara, tertawa tanpa suara melihat kejadian itu. Humaira, setengah sadar, segera berdiri dan membenarkan kursinya yang terjatuh. “Clara! Hey, what are you doing?! Omg I'm so shy,” ucap Humaira dengan nada marah namun pelan, sambil mengucek matanya dan mencoba mengumpulkan diri. “Sorry I disturbed you, but it’s so funny haha,” jawab Clara sambil tertawa. Humaira, masih kesal, bertanya, “Yeah, you really disturbed my sleep. But what happened?” “I have good news for you,” Clara mengatakan sambil masih tertawa kecil dan memberikan sebuah surat dalam amplop sedang kepada Humaira. “What's this?” tanya Humaira, menerima surat itu dan membukanya. Di dalam surat tertera undangan pernikahan Clara dan pacarnya yang akan dilaksanakan minggu depan. Humaira terkejut dan langsung terjaga sepenuhnya. “What? Are you getting married soon? Why so suddenly? Why?” tanya Humaira, terkejut dan menoleh ke arah Clara. “Why not? Hahaha. Hmmm, because I am pregnant,” jawab Clara sambil tertawa dan menunjukkan perutnya. Humaira ternganga. “WHAT? YOU’RE SERIOUS? YOU’RE PREGNANT?” Suaranya sedikit kencang, mencuri perhatian orang-orang di sekitar. “Shhh, hey, don’t talk too loud,” ucap Clara sambil menutup mulut Humaira dengan tangannya. Setelah Clara melepaskan tangannya, dia menjelaskan bahwa dia bahagia dengan keadaannya dan mengundang Humaira sebagai bridesmaid. Humaira masih merasa terkejut, namun Clara menjelaskan kultur Inggris yang berbeda. Setelah berbicara panjang lebar, Clara berpamitan karena pacarnya sudah menjemputnya. Clara berjanji akan membagikan surat undangan lagi pada teman lainnya. **[KANTIN KAMPUS]** Perut Humaira mulai berbunyi, menandakan rasa laparnya. Dia segera merapikan barang-barangnya dan pergi ke kantin untuk membeli salad dan air mineral. Saat mengantri, seseorang di belakangnya berbisik lembut, “Hey, Humaira Qaireen.” Humaira terkejut dan menoleh ke belakang. “Oh hey, Gabriel. You just startled me,” jawab Humaira sambil tertawa kecil. Gabriel tertawa. “Why eat salad? What, do you want to follow me? Hahaha.” “Uh, what? I’m the first in line here. How come you’re behind me? Funny,” kata Humaira sambil melihat ke depan antrian. “I always eat salad every day. You never buy it, right? Why do you suddenly want to eat salad?” tanya Gabriel. Humaira menunjukkan kios halal food yang tutup tepat di samping kios salad. “Oh, okay. You think the salad here is halal, huh?” tanya Gabriel. “Isn’t it halal?” tanya Humaira sambil menengok kembali ke Gabriel. “Nope, the mayonnaise in this salad contains pork. You can’t eat food with pork, right?” jelas Gabriel. “Oh, okay. Thanks for the information. Well, where else can I get food? Okay, thanks. Bye,” kata Humaira sambil bergeser dari antrian. “Wait, Mey...” Gabriel membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa buah apel. “This is for you, for a booster stomach. You’re really hungry, right? Eat well, okay? Or do you want to eat together later after I get my salad?” “Oh, thanks. I’ll accept the fruit, but sorry, I can’t eat with you. I’m going to the library first. There’s something I left behind. Sorry. Bye,” kata Humaira sambil tersenyum dan menerima apel dari Gabriel sebelum pergi. Gabriel bergumam, “The girl is so very ‘Untouchable.’” Padahal sebenarnya, Humaira hanya berbohong. Dia menjaga jarak dengan lawan jenis sesuai pesan dari orang tuanya. Baginya, menjaga diri dari hal-hal yang melanggar batas adalah yang utama. **[TAMAN KAMPUS]** Humaira duduk di taman kampus, memakan apel sambil melamun. Saat sedang menikmati gigitan kedua, dia menerima notifikasi email dari kampus mengenai pengumuman praktik penelitian di negara lain. Humaira membuka email dan mencari namanya dengan penuh rasa ingin tahu. Setelah menemukan nama dan timnya, dia terkejut mengetahui bahwa dia akan ditempatkan di Maroko bulan depan. Yang lebih mengejutkan adalah timnya terdiri 6 orang salah satunya ada Clara dan Gabriel. “Huuhhhh... sudah mulai penelitian lapangan, di luar negeri lagi. Bismillah semoga lancar. Alhamdulillah sekelompok dengan teman baikku,” gumam Humaira sambil menghela napas dan melanjutkan makan apel sambil memandang taman. **[JAWA TIMUR, INDONESIA]** Di tempat yang jauh, di Jawa Timur, Indonesia, Arhab baru pulang dari masjid setelah melaksanakan shalat Isya. Dia duduk santai di sofa ruang tengah sambil menunggu istrinya yang sedang menyiapkan kopi. “Istriku, sini Sayang, aku mau ngobrol sama kamu. Jangan di dapur terus dong,” ucap Arhab dengan canda. “Bentar dong yang, aku lagi bikin kopi buat kamu. Sebentar ya,” jawab istrinya. Tak lama kemudian, Syarifah muncul dengan secangkir kopi cappuccino kesukaan Arhab. “Makasih banyak istriku, padahal tidak perlu repot-repot,” ucap Arhab sambil menerima kopi dari Syarifah. “Aku sedang menabung pahala, sayang. Jadi, ada apa yang mau kamu bicarakan?” tanya Syarifah. “Jadi begini, tadi aku kepikiran, gimana kalau bulan madu sekaligus merayakan anniversary kita yang ke satu bulan? Kita belum pernah bulan madu di luar. Bagaimana, mau tidak? Untuk quality time kita juga,” ucap Arhab. “Hmmm... boleh banget sih, cuma kamu ada waktunya? Terus mau ke mana?” tanya Syarifah. “Nanti aku atur jadwalnya. Untuk destinasi, kamu ada ide?” tanya Arhab. “Tidak, aku terserah kamu saja,” jawab Syarifah. “Bagaimana kalau ke Maroko? Di sana banyak destinasi wisata, dan aku ingin menunjukkan padamu jejak penelitianku waktu kuliah dulu. Aku pernah melakukan penelitian di Maroko,” ucap Arhab. “Oke, siap habib. Kita jalan-jalan ke Maroko,” kata Syarifah. “Noted,” ucap Arhab, menyetujui rencana tersebut. alasan lain arhab ingin ke Maroko karena ingin menemui seseorang, siapakah itu? --- Apakah Arhab dan Humaira akan bertemu di Maroko? Akankah perjalanan ini membawa kejutan lebih lanjut? Nantikan kelanjutannya di chapter berikutnya! Jangan lupa untuk mengikuti, memberi vote, atau komentar agar penulis semakin semangat. Terima kasih bagi yang sudah vote. Sampai jumpa!Arhab dan Aisha melangkah menuju rumah mereka, suasana siang menuju sore yang tenang terasa kontras dengan emosi yang bergelora di dalam hati masing-masing. Ketika mereka tiba di depan pintu, Aisha merasakan getaran di dadanya. Begitu pintu tertutup, tanpa bisa ditahan, air mata mulai mengalir di pipinya. Tangisnya pecah, bukan karena cemburu atau rasa sakit yang mendalam, tetapi karena kehilangan anak pertama mereka yang belum sempat lahir. "Aku minta maaf," ucap Arhab, suaranya bergetar saat dia memeluk Aisha erat-erat. Dia juga merasakan kesedihan yang menggerogoti, kesedihan yang tak kunjung reda sejak kejadian itu. "Semua ini… ini bukan salahmu." Aisha hanya bisa menangis dalam pelukan Arhab. Air mata itu menjadi saksi bisu dari perasaan sakit yang menggerogoti jiwa mereka. Sebenarnya, alibi Aisha tentang mengajar mengaji adalah cara dia melindungi diri dari rasa sakit yang terlalu dalam. Hari itu adalah ha
Humaira terbangun lebih awal dari biasanya, jauh sebelum cahaya matahari menyentuh langit pagi. Suara detak jam di dinding terdengar jelas di telinganya, menandakan waktu yang terus bergerak. Ia menoleh ke arah Arhab, suaminya, yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Rasa canggung yang selama ini ia rasakan tidak kunjung hilang, bahkan semakin hari semakin membebani. Bagaimana tidak? Pernikahan yang berlangsung begitu tiba-tiba dan bukan atas dasar cinta membuat Humaira terus-menerus meragukan perasaannya sendiri. Saat melihat jam, Humaira tersentak. Waktu Subuh hampir tiba, dan Arhab perlu segera bersiap untuk ke masjid. Dengan gerakan hati-hati, Humaira mengulurkan tangannya untuk membangunkan suaminya. Namun, ketika tangannya menyentuh bahu Arhab, keseimbangannya terganggu. Tanpa ia sadari, tangannya yang lemah terselip, dan tubuhnya terjatuh tepat di atas tubuh Arhab. Keduanya terkejut. Mata mereka bertemu dalam jarak yang begitu dekat.
Suasana malam itu di kamar terasa begitu canggung dan tegang. Setelah melewati acara resepsi yang cukup melelahkan, Humaira dan Arhab akhirnya tiba di kamar yang sudah disiapkan untuk mereka. Meski secara teknis mereka adalah suami-istri, namun hubungan ini terasa begitu aneh bagi keduanya. Humaira masih belum terbiasa dengan kenyataan bahwa dia kini adalah istri kedua dari Arhab, seorang habib yang sangat dihormati dan seorang suami yang ternyata sudah memiliki Aisha, seorang wanita yang begitu baik dan sabar. Humaira menarik napas panjang. Sepanjang hari itu, pikirannya terus berkecamuk. Bayangan Aisha yang menangis sendirian di belakang pesantren membuat Humaira merasa semakin bersalah. Ia tak sanggup membayangkan betapa hancurnya hati Aisha, sementara dirinya duduk di pelaminan, menerima ucapan selamat dari para tamu. Dan kini, ia harus tidur sekamar dengan suaminya, sementara hatinya dipenuhi dengan perasaan bersalah dan canggung. Arhab
Humaira duduk di tepi tempat tidur, memandangi langit-langit kamar dengan mata yang mulai lelah oleh air mata yang terlalu sering mengalir. Sejak resepsi pernikahannya dengan Arhab berlangsung seminggu lalu, perasaan campur aduk tak pernah meninggalkannya. Yang paling menyiksa adalah rasa bersalah yang terus-menerus menghantui setiap langkahnya. Ia terus terbayang wajah Aisha, istri pertama Arhab, yang selama ini selalu bersikap baik dan penuh pengertian. "Bagaimana mungkin dia bisa setabah itu?" gumam Humaira dalam hati. Kebaikan Aisha justru membuat Humaira merasa semakin tidak pantas berada dalam situasi ini. Bagaimana mungkin ia bisa menerima takdir sebagai istri kedua tanpa merasa bahwa dirinya adalah penyebab kesedihan orang lain? Pikirannya terus berkecamuk, dan perasaan tidak nyaman itu semakin menguat ketika Umma datang memberitahu bahwa mereka akan mengadakan resepsi pernikahan. Seminggu yang lalu, saat Umma mengutarakan niatnya, H
Humaira terbaring lemah di kasur, matanya masih terpejam saat Arhab membawanya ke kediaman keluarga. Di sekitar, suasana dipenuhi dengan kesedihan yang mendalam. Aroma bunga dan suara isak tangis mengisi ruangan. Saat Arhab menempatkan Humaira di ranjang, dia merasakan ada sesuatu yang aneh ketika melihat Aisha di ambang pintu. Aisha berdiri dengan tenang, meskipun hatinya bergetar. Melihat Humaira yang lemah dan Arhab yang cemas, ia berusaha meredakan ketegangan. Dengan langkah lembut, Aisha mendekat. "Bagaimana keadaan Humaira?" tanyanya dengan nada lembut, berusaha menjaga sikap tenangnya. Arhab yang masih khawatir menjawab, "Dia hanya butuh istirahat. Mungkin terlalu banyak yang terjadi." Suaranya bergetar, menandakan betapa bingung dan bersalahnya ia terhadap kedua wanita yang ada di hadapannya. Humaira membuka matanya perlahan. Dia melihat Aisha, dan entah mengapa, ada ketenangan dalam pandangan istr
Setelah Humaira pingsan, suasana di rumah keluarga Kyai berubah menjadi panik. Para ustadzah dan santri yang berada di sekitar halaman rumah segera berkerumun, berusaha melihat apa yang terjadi. Arhab, yang langsung membopong Humaira setelah ia jatuh, bergegas membawanya ke kamar di dalam rumah. Ustadzah-ustadzah yang tadinya hanya bisa berbisik, kini mulai berdoa lirih, berharap Humaira segera pulih. Sementara itu, Aisha berdiri di belakang mereka, matanya tetap terpaku pada suaminya yang tengah mengurus istri barunya. Ia berusaha keras menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya, tetapi ia tak bisa mengabaikan luka yang terus menganga di hatinya. Saat Arhab menaruh Humaira di ranjang dengan hati-hati, Umma bergegas masuk ke kamar, membawa semangkuk air dan kain basah untuk mengompres dahi putrinya. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran, namun ia berusaha tetap tenang. Ia tahu Humaira sedang berada dalam situasi yang berat, dan sebagai ibu, ia hanya bisa ber
Humaira tersentak ketika mendengar ketukan di jendela. Suara ketukan yang awalnya samar kini menjadi lebih jelas, mengusik ketenangan pikirannya. Ia melangkah perlahan ke arah jendela, menarik tirai dengan hati-hati, dan mendapati Arhab berdiri di luar. Wajah suaminya terlihat lelah, namun ketegasan masih tampak dari raut wajahnya. “Bisa tolong bukakan pintu?” suara Arhab terdengar datar namun tetap lembut, meminta untuk dibukakan pintu depan. “Oh, iya. Maaf, aku tidak mendengar ketukan pintu sebelumnya,” jawab Humaira sedikit tergagap. Ia segera berjalan ke pintu depan, membukanya, dan membiarkan Arhab masuk. Suasana di antara mereka tetap hening, tetapi Humaira merasakan sedikit kelegaan karena Arhab sudah pulang dengan selamat. Meski begitu, rasa canggung yang menyelimuti masih terasa tebal, terlebih setelah banyak hal terungkap antara mereka. Humaira menunduk, mencoba mengalihkan rasa canggung yang semakin membesar. “Mau ku siapkan air hangat? Untuk membersihkan diri setelah da
Ilham masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Matanya sayu, tubuhnya terasa remuk. Ketika pintu ruangan terbuka, matanya langsung tertuju pada sosok yang tak pernah ia sangka akan melihat di situasi seperti ini—Arhab, sahabatnya. "Arhab... kenapa kamu di sini?" tanyanya pelan, suaranya serak dan hampir tak terdengar. Arhab, yang berdiri di depan pintu dengan wajah serius, menarik napas panjang. Dia tahu situasi ini jauh lebih rumit dari apa yang terlihat. Dengan perlahan, dia mendekati Ilham dan menjawab, "Aku di sini karena…istriku Humaira, Ham." Kalimat itu seolah membelah ruang yang semula hening. Mata Ilham melebar, jantungnya berdegup kencang. Ia menatap Humaira yang berdiri di samping Arhab, wajahnya tertunduk dalam-dalam, seolah tak berani menatap langsung pada Ilham. "Ya, Kak Ilham," ucap Humaira dengan suara lemah. "Kami telah menikah... sebelum Abi meninggal. Di rumah sakit.""Inalillahi wa inalillahi Raji'un, ya Allah pak kyai"
Humaira langsung mengusap air matanya, menaruh handphone di meja samping, dan berdiri dari ranjang. Kamar yang seharusnya menjadi tempat ia menghabiskan malam pertama sebagai istri baru, kini terasa begitu sesak. Setiap sudutnya seolah menekan dada, membuat napas terasa berat. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan keluar dengan langkah tergesa. Berbagai perasaan berkecamuk dalam pikirannya—pertanyaan tanpa jawaban, kekecewaan yang menusuk, dan kesedihan yang tak tertahankan.Begitu sampai di depan kamar Umma, Humaira melihat ibunya tengah tidur, memeluk foto Abi. Gambar suaminya yang baru saja pergi menghadap Ilahi, kini menjadi satu-satunya penghibur di tengah kesedihan yang mendera. Humaira dengan lembut berbaring di samping Umma dan memeluknya dari belakang, mencari sedikit kehangatan di tengah rasa kehilangan yang dalam."Ada apa, Humaira?" tanya Umma dengan suara serak, setengah sadar.Humaira menarik napas panjang, berusaha mengendalikan perasaannya. "