"Menjadi wanita kedua dalam hidup seorang habib tidaklah mudah. Apalagi aku tidak mencintainya." Humaira, mahasiswi Cambridge University yang independen dan sulit diatur, kehidupan nya berubah 180° dan harus menikah dengan habib yang sudah beristri. Perjodohan atas dasar patuh pada orang tua. Sangatlah sulit. Apakah Humaira akan menerima perjodohan itu? dan bersedia menjadi istri kedua⁉️
View MoreCuaca di Inggris saat ini sangat indah. Musim semi akan segera tiba, dan aku berjalan dengan hati yang gembira sambil mendorong sepedaku menuju kampus. Udara segar yang membelai wajahku seolah mengingatkan bahwa hidup ini penuh warna. Di sepanjang jalan, aku melihat berbagai aktivitas orang-orang, mulai dari para pelajar yang sibuk dengan buku-buku mereka hingga pasangan lansia yang berjalan sambil bergandengan tangan. Kehangatan suasana ini membuat hariku semakin cerah.
Tahun 2019 ini adalah tahun ketiga aku merayakan tahun baru Hijriyah tanpa Abi dan Umma di pesantren. Kerinduan akan suasana bersama orang tua kerap menghampiri, namun di sisi lain, ada kebahagiaan tersendiri bisa menuntut ilmu di negeri orang—impian yang telah aku cita-citakan sejak lama. Tak terasa, satu tahun lagi aku akan menyelesaikan pendidikan dengan double degree di dua universitas ternama, Cambridge dan Oxford, di jurusan Antropologi dan sejarah. Namun, jujur saja, aku masih bingung apa yang akan kulakukan setelah lulus nanti. Aku termasuk mahasiswa yang asal masuk jurusan tanpa rencana jelas ke depannya. Alasan utama aku kuliah di sini adalah karena kesempatan beasiswa penuh yang diberikan oleh kedua universitas tersebut. Selain itu, aku juga ingin menghindar dari aturan ketat Abi dan Umma di pesantren. Jujur saja, kadang aku merasa jenuh dengan ajaran yang menurutku terlalu kolot dan membosankan. Meski begitu, aku tetap tak bisa membantah orang tuaku. Aku selalu memiliki seribu alasan untuk menghindari perintah mereka, meski pada akhirnya aku tetap patuh dalam hal adab dan batasan yang telah tertanam dalam diri sejak kecil. Namaku Humaira Qaireen binti Ayyub, atau sering dipanggil Humey. Aku di kenal yang keras kepala dan membuat mereka geleng-geleng kepala karena tingkahku yang kerap kali out of the box. Ya, aku memang keras kepala dan kekeuh dengan pilihan-pilihanku, tetapi mematuhi orang tua tetap menjadi prioritas utama, terutama dalam hal adab. Namun, pagi itu, saat aku tiba di depan kampus, aku melihat sesuatu yang membuat langkahku terhenti. Seorang pria dengan sorot mata yang tajam berdiri di gerbang, menatapku seolah-olah sudah mengenalku. Jantungku berdebar kencang. Siapa dia? Dan kenapa tatapannya seakan menyimpan rahasia yang tak kumengerti? *** Di belahan dunia yang berbeda, ada kisah lain yang begitu indah. Seorang habib dan seorang Syarifah, yang baru dua minggu menyandang status suami istri, tengah berbahagia membangun rumah tangga mereka. Pertemuan mereka dimulai melalui proses ta'aruf, dan hanya dalam waktu seminggu setelah pertemuan itu, mereka langsung melangsungkan pernikahan. Habib Arhab Ardhani bin Hafis dan istrinya, Syarifah Aisyah, adalah pasangan yang hidup di lingkungan Islami, penuh kebahagiaan dan canda tawa setiap hari. Setelah selesai melaksanakan salat Jumat di masjid, Arhab pulang dengan senyum merekah, melihat istrinya yang menunggunya di depan pintu sambil memegang secangkir teh. "Assalamualaikum, sayang," ucap Arhab sambil menghampiri istrinya dengan senyum manisnya. "Waalaikumsalam, Habib mudaku," jawab istrinya dengan senyum kalem, sambil meraih tangan suaminya untuk memberi salam dan terkekeh geli dengan ucapannya sendiri. Arhab kemudian mencium kening istrinya, membuatnya sedikit terkejut karena masih dalam proses pembiasaan. Istrinya pun menyerahkan secangkir teh yang ia pegang, dan mereka duduk bersama di teras rumah, menikmati obrolan hangat. Arhab tidak pernah bosan menatap wajah istrinya yang cantik dan adem, membuatnya tak henti-henti bersyukur kepada Allah SWT karena telah memberikan sosok yang begitu indah dalam hidupnya. "Semoga kita bisa bersama selamanya seperti ini, dunia akhirat, ya," ucap Arhab sambil memandang wajah istrinya. "Ehmm, sudah tidak jaim lagi nih mengungkapkan kata-kata indah," balas istrinya sambil tertawa kecil, meledek suaminya. "Apa sih, aku tidak pernah jaim, kamu saja kali," jawab Arhab dengan tawa yang ringan. Setelah tertawa bersama, mereka sejenak terdiam. "Aku beruntung sekali bisa bersamamu. Jangan pernah tinggalkan aku ya. Aku janji, kamu akan menjadi satu-satunya dalam hidupku, walaupun maut memisahkan kita. Semoga ikatan kita selalu diberkahi dan diridai oleh Allah SWT, menjadi pasangan hingga ke surga," ucap Arhab serius. "Aamiin, me too," jawab istrinya sambil tersenyum. "Lah, gitu aja?" Arhab terkejut dan tertawa kecil. "Iya, kamu tiba-tiba ngomong gitu, aku belum ada ide buat merangkai kata-kata. Kenapa sih tiba-tiba ngomong gitu, ada maksudnya ya? Mentang-mentang ini hari Jumat," balas istrinya, melontarkan humor. Arhab tertawa kecil dan menggoda istrinya, "Kalau hari Jumat gini, enaknya ngapain ya?" "Apa sih... aku cuma becanda tau," istrinya tertawa. "Aku mau istirahat dulu, nanti bangunin aku sebelum azan Asar ya. Sore ini aku ada kajian di masjid Ar-Rahman di pesantren Kyai Ayyub. Tolong banget ya, yang. Makasih banyak," kata Arhab sambil masuk ke dalam rumah. "Iya, siap Bib," jawab istrinya sambil menutup pintu kamar. Arhab pun langsung menuju tempat tidur, siap beristirahat sebelum melanjutkan aktivitasnya. Namun, saat ia baru saja memejamkan mata, teleponnya berdering. Melihat nama yang tertera di layar, senyumnya perlahan memudar. Ada apa ini? Panggilan dari seseorang yang tak seharusnya meneleponnya lagi. Dengan ragu, Arhab menjawab panggilan itu, dan suara di seberang sana membuatnya terdiam. "Arhab, ini aku. Kami ada di Maroko, dan kami menunggumu di sana." Suara itu tidak asing, tetapi mengapa sekarang? Apa yang sedang terjadi? Dan mengapa harus Maroko? *** Kisah cinta Habib dan Syarifah ini begitu romantis, tapi akankah ini bertahan lama? Dan bagaimana kehidupan si anak Inggris, Humey, di UK? Siapa pria misterius yang menatapnya di gerbang kampus? Dan apa hubungannya dengan lokasi di Maroko yang tiba-tiba disebutkan? Apakah ada kaitan antara perjalanan Arhab ke Maroko dan rahasia yang menyertainya? Semua pertanyaan ini akan terjawab di bab-bab berikutnya. Jangan lupa simpan cerita ini dan nantikan kelanjutannya di chapter selanjutnya. --Arhab dan Aisha melangkah menuju rumah mereka, suasana siang menuju sore yang tenang terasa kontras dengan emosi yang bergelora di dalam hati masing-masing. Ketika mereka tiba di depan pintu, Aisha merasakan getaran di dadanya. Begitu pintu tertutup, tanpa bisa ditahan, air mata mulai mengalir di pipinya. Tangisnya pecah, bukan karena cemburu atau rasa sakit yang mendalam, tetapi karena kehilangan anak pertama mereka yang belum sempat lahir. "Aku minta maaf," ucap Arhab, suaranya bergetar saat dia memeluk Aisha erat-erat. Dia juga merasakan kesedihan yang menggerogoti, kesedihan yang tak kunjung reda sejak kejadian itu. "Semua ini… ini bukan salahmu." Aisha hanya bisa menangis dalam pelukan Arhab. Air mata itu menjadi saksi bisu dari perasaan sakit yang menggerogoti jiwa mereka. Sebenarnya, alibi Aisha tentang mengajar mengaji adalah cara dia melindungi diri dari rasa sakit yang terlalu dalam. Hari itu adalah ha
Humaira terbangun lebih awal dari biasanya, jauh sebelum cahaya matahari menyentuh langit pagi. Suara detak jam di dinding terdengar jelas di telinganya, menandakan waktu yang terus bergerak. Ia menoleh ke arah Arhab, suaminya, yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Rasa canggung yang selama ini ia rasakan tidak kunjung hilang, bahkan semakin hari semakin membebani. Bagaimana tidak? Pernikahan yang berlangsung begitu tiba-tiba dan bukan atas dasar cinta membuat Humaira terus-menerus meragukan perasaannya sendiri. Saat melihat jam, Humaira tersentak. Waktu Subuh hampir tiba, dan Arhab perlu segera bersiap untuk ke masjid. Dengan gerakan hati-hati, Humaira mengulurkan tangannya untuk membangunkan suaminya. Namun, ketika tangannya menyentuh bahu Arhab, keseimbangannya terganggu. Tanpa ia sadari, tangannya yang lemah terselip, dan tubuhnya terjatuh tepat di atas tubuh Arhab. Keduanya terkejut. Mata mereka bertemu dalam jarak yang begitu dekat.
Suasana malam itu di kamar terasa begitu canggung dan tegang. Setelah melewati acara resepsi yang cukup melelahkan, Humaira dan Arhab akhirnya tiba di kamar yang sudah disiapkan untuk mereka. Meski secara teknis mereka adalah suami-istri, namun hubungan ini terasa begitu aneh bagi keduanya. Humaira masih belum terbiasa dengan kenyataan bahwa dia kini adalah istri kedua dari Arhab, seorang habib yang sangat dihormati dan seorang suami yang ternyata sudah memiliki Aisha, seorang wanita yang begitu baik dan sabar. Humaira menarik napas panjang. Sepanjang hari itu, pikirannya terus berkecamuk. Bayangan Aisha yang menangis sendirian di belakang pesantren membuat Humaira merasa semakin bersalah. Ia tak sanggup membayangkan betapa hancurnya hati Aisha, sementara dirinya duduk di pelaminan, menerima ucapan selamat dari para tamu. Dan kini, ia harus tidur sekamar dengan suaminya, sementara hatinya dipenuhi dengan perasaan bersalah dan canggung. Arhab
Humaira duduk di tepi tempat tidur, memandangi langit-langit kamar dengan mata yang mulai lelah oleh air mata yang terlalu sering mengalir. Sejak resepsi pernikahannya dengan Arhab berlangsung seminggu lalu, perasaan campur aduk tak pernah meninggalkannya. Yang paling menyiksa adalah rasa bersalah yang terus-menerus menghantui setiap langkahnya. Ia terus terbayang wajah Aisha, istri pertama Arhab, yang selama ini selalu bersikap baik dan penuh pengertian. "Bagaimana mungkin dia bisa setabah itu?" gumam Humaira dalam hati. Kebaikan Aisha justru membuat Humaira merasa semakin tidak pantas berada dalam situasi ini. Bagaimana mungkin ia bisa menerima takdir sebagai istri kedua tanpa merasa bahwa dirinya adalah penyebab kesedihan orang lain? Pikirannya terus berkecamuk, dan perasaan tidak nyaman itu semakin menguat ketika Umma datang memberitahu bahwa mereka akan mengadakan resepsi pernikahan. Seminggu yang lalu, saat Umma mengutarakan niatnya, H
Humaira terbaring lemah di kasur, matanya masih terpejam saat Arhab membawanya ke kediaman keluarga. Di sekitar, suasana dipenuhi dengan kesedihan yang mendalam. Aroma bunga dan suara isak tangis mengisi ruangan. Saat Arhab menempatkan Humaira di ranjang, dia merasakan ada sesuatu yang aneh ketika melihat Aisha di ambang pintu. Aisha berdiri dengan tenang, meskipun hatinya bergetar. Melihat Humaira yang lemah dan Arhab yang cemas, ia berusaha meredakan ketegangan. Dengan langkah lembut, Aisha mendekat. "Bagaimana keadaan Humaira?" tanyanya dengan nada lembut, berusaha menjaga sikap tenangnya. Arhab yang masih khawatir menjawab, "Dia hanya butuh istirahat. Mungkin terlalu banyak yang terjadi." Suaranya bergetar, menandakan betapa bingung dan bersalahnya ia terhadap kedua wanita yang ada di hadapannya. Humaira membuka matanya perlahan. Dia melihat Aisha, dan entah mengapa, ada ketenangan dalam pandangan istr
Setelah Humaira pingsan, suasana di rumah keluarga Kyai berubah menjadi panik. Para ustadzah dan santri yang berada di sekitar halaman rumah segera berkerumun, berusaha melihat apa yang terjadi. Arhab, yang langsung membopong Humaira setelah ia jatuh, bergegas membawanya ke kamar di dalam rumah. Ustadzah-ustadzah yang tadinya hanya bisa berbisik, kini mulai berdoa lirih, berharap Humaira segera pulih. Sementara itu, Aisha berdiri di belakang mereka, matanya tetap terpaku pada suaminya yang tengah mengurus istri barunya. Ia berusaha keras menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya, tetapi ia tak bisa mengabaikan luka yang terus menganga di hatinya. Saat Arhab menaruh Humaira di ranjang dengan hati-hati, Umma bergegas masuk ke kamar, membawa semangkuk air dan kain basah untuk mengompres dahi putrinya. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran, namun ia berusaha tetap tenang. Ia tahu Humaira sedang berada dalam situasi yang berat, dan sebagai ibu, ia hanya bisa ber
Humaira tersentak ketika mendengar ketukan di jendela. Suara ketukan yang awalnya samar kini menjadi lebih jelas, mengusik ketenangan pikirannya. Ia melangkah perlahan ke arah jendela, menarik tirai dengan hati-hati, dan mendapati Arhab berdiri di luar. Wajah suaminya terlihat lelah, namun ketegasan masih tampak dari raut wajahnya. “Bisa tolong bukakan pintu?” suara Arhab terdengar datar namun tetap lembut, meminta untuk dibukakan pintu depan. “Oh, iya. Maaf, aku tidak mendengar ketukan pintu sebelumnya,” jawab Humaira sedikit tergagap. Ia segera berjalan ke pintu depan, membukanya, dan membiarkan Arhab masuk. Suasana di antara mereka tetap hening, tetapi Humaira merasakan sedikit kelegaan karena Arhab sudah pulang dengan selamat. Meski begitu, rasa canggung yang menyelimuti masih terasa tebal, terlebih setelah banyak hal terungkap antara mereka. Humaira menunduk, mencoba mengalihkan rasa canggung yang semakin membesar. “Mau ku siapkan air hangat? Untuk membersihkan diri setelah da
Ilham masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Matanya sayu, tubuhnya terasa remuk. Ketika pintu ruangan terbuka, matanya langsung tertuju pada sosok yang tak pernah ia sangka akan melihat di situasi seperti ini—Arhab, sahabatnya. "Arhab... kenapa kamu di sini?" tanyanya pelan, suaranya serak dan hampir tak terdengar. Arhab, yang berdiri di depan pintu dengan wajah serius, menarik napas panjang. Dia tahu situasi ini jauh lebih rumit dari apa yang terlihat. Dengan perlahan, dia mendekati Ilham dan menjawab, "Aku di sini karena…istriku Humaira, Ham." Kalimat itu seolah membelah ruang yang semula hening. Mata Ilham melebar, jantungnya berdegup kencang. Ia menatap Humaira yang berdiri di samping Arhab, wajahnya tertunduk dalam-dalam, seolah tak berani menatap langsung pada Ilham. "Ya, Kak Ilham," ucap Humaira dengan suara lemah. "Kami telah menikah... sebelum Abi meninggal. Di rumah sakit.""Inalillahi wa inalillahi Raji'un, ya Allah pak kyai"
Humaira langsung mengusap air matanya, menaruh handphone di meja samping, dan berdiri dari ranjang. Kamar yang seharusnya menjadi tempat ia menghabiskan malam pertama sebagai istri baru, kini terasa begitu sesak. Setiap sudutnya seolah menekan dada, membuat napas terasa berat. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan keluar dengan langkah tergesa. Berbagai perasaan berkecamuk dalam pikirannya—pertanyaan tanpa jawaban, kekecewaan yang menusuk, dan kesedihan yang tak tertahankan.Begitu sampai di depan kamar Umma, Humaira melihat ibunya tengah tidur, memeluk foto Abi. Gambar suaminya yang baru saja pergi menghadap Ilahi, kini menjadi satu-satunya penghibur di tengah kesedihan yang mendera. Humaira dengan lembut berbaring di samping Umma dan memeluknya dari belakang, mencari sedikit kehangatan di tengah rasa kehilangan yang dalam."Ada apa, Humaira?" tanya Umma dengan suara serak, setengah sadar.Humaira menarik napas panjang, berusaha mengendalikan perasaannya. "
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments