Pov. ArkaHari ini adalah hari penting dimana akan ada meeting dengan investor dari sebuah perusahaan yang cukup besar. Aku sudah bangun pagi-pagi sekali dan bersiap, aku tidak mau terlambat untuk hari ini. Melly pun sedari tadi sudah sibuk berada di dapur untuk memasak sarapan kami.Semakin kesini Melly semakin pandai memasak, rasanya pun tidak kalah dengan masakan Rada dulu. Rumah juga selalu bersih dan wangi saat aku pulang kerja. Melly juga tidak berubah penampilannya, tetap cantik dan seksi, walaupun aku agak risih dengan pakaiannya yang selalu terbuka itu.Dia selalu berdalih toh aku sudah menjadi istrimu, Mas, begitu ujarnya setiap aku protes akan pakaiannya. Sebenarnya aku ingin memiliki anak darinya lagi, namun sepertinya istriku itu masih trauma setelah keguguran beberapa bulan yang lalu."Masak apa, Sayang?" tanyaku saat sudah berada di dapur sekaligus ruang makan karena memang menyatu. Melly terlihat menuangkan sayur kedalam mangkuk beling berwarna putih.Setelah resmi ber
Pov. Arka 2"Siapa, Pak, orang itu? Boleh saya tahu?" "Dia itu …."Baru saja mau menjawab tiba-tiba pintu dibuka dari luar dan disusul masuk Lea dengan membawa dua orang yang membuatku kaget luar biasa.Bagaimana mungkin? kenapa harus orang ini yang datang. Kenapa Rada bersama dengan Bapak-bapak yang ku permalukan waktu itu. Pak Hartono memperkenalkan dirinya dan juga aku sebagai manager atau orang kepercayaannya. Dengan sedikit kikuk aku ikut menyalami Bapak itu yang ternyata seorang Bos dari PT. Pelita Raya. Rada sendiri ternyata merupakan wakilnya di perusahaan itu. Sial ternyata jabatan Rada lebih tinggi dariku, pantas saja sekarang dia sangat cantik.Aku sengaja berlama-lama menggenggam tangannya saat bersalaman. Ku pandangi wajahnya yang semakin ayu, kulitnya putih bersih. Kalau begini caranya tidak menutup kemungkinan aku bisa jatuh cinta lagi padanya. Namun, Rada melepaskan tangannya dengan menarik sangat keras, sehingga mau tidak mau aku harus melepaskannya kalau tidak ingi
"Rin … Rini!" teriakku begitu kaki sudah mulai menapaki teras rumahnya. Tak sabar rasanya aku ingin segera bertanya, gegas aku masuk ke dalam rumah yang kebetulan pintunya tidak tertutup. Namun, orang yang ingin ku temui tak tampak batang hidungnya. Hanya ada Sinta yang tengah berbaring di depan televisi sambil memainkan ponsel ibunya.Aku membuang nafas kasar. Pantas saja teleponku tidak dijawabnya, ternyata ponsel sedang berada dalam kekuasaan Sinta."Sinta … mamamu kemana?" tanyaku tanpa basa basi."Mama masih mandi," jawabnya tanpa menoleh, matanya terus melihat ke arah ponsel yang sedang dipegangnya.Merasa dicuekin, aku memilih untuk duduk di sofa tak jauh dari tempat Sinta tengah berbaring. Bermaksud menunggu Rini walaupun hati sebenarnya sudah tidak karu-karuan rasanya."Eh, ada Ibu! Kapan datangnya, Bu?" tanya pembantu Rini. Imah, namanya. Dia datang membawa piring yang berisi makanan, sepertinya hendak menyuapi Sinta."Barusan. Aku panggil-panggil nggak ada yang jawab, jadi
"Cukup!! Lalu kamu itu ayah yang seperti apa?!" Aku tersenyum sinis sambil menatapnya. Kini kami sudah berdiri saling berhadapan. "Ayah yang meminta bayaran atas darah yang akan diberikannya, padahal dia darah dagingmu, Mas! Dimana otak kamu itu!""Bu-bunda … Ayah …!"Aku langsung menoleh begitu juga dengan Mas Arka. Musda sudah berdiri di ambang pintu yang menghubungkan antara ruang tamu dan ruang tengah. Wajahnya sudah berderai air mata. Aku melangkah mendekatinya."Sayang … kenapa menangis? Mana nenek?" tanyaku lembut sambil memegang wajahnya dan berusaha menghapus air mata."Kenapa Bunda marahin Ayah?" tanyanya dengan polos."Bunda nggak marahin ayah, kok, bunda hanya sedang berbicara dengan Ayah saja. Musda masuk lagi, ya, sama nenek!" "Nggak! Musda maunya sama Ayah, Musda masih kangen sama Ayah!Tanpa ku duga reaksi dari gadis kecilku itu justru melangkah mendekati ayahnya dan langsung memeluknya. Astaga! Kenapa jadi seperti ini. Aku memijit pelipisku yang tiba-tiba terasa pusi
"Pap, nggak seharusnya Papa menghina mas Arka segitunya!" dengan hati-hati aku menegur Papa setelah mendengar suara mobil meninggalkan halaman."Kenapa? Kamu masih cinta sama dia?!""Nggak, Pa! Nggak gitu. Aku cuma …,""Halah, kamu ini, laki-laki seperti itu kok masih dicintai, kayak nggak ada laki-laki yang baik saja," ucap Papa menyela perkataan ku."Bukan seperti itu, Pap!""Lalu apa?""Makanya dengerin dulu dong, orang mau bicara dari tadi dipotong melulu," gerutuku."Apa?""Aku takut mas Arka bakal melakukan sesuatu yang tidak bisa kita duga, Pap! Dia itu orangnya nekat!" ujarku setelah menjatuhkan bobot tubuhku ke atas sofa."Memangnya apa yang bisa dilakukannya? Papa pengen tahu!""Pap! Jangan sombong," Mama berusaha mengingatkan."Sudahlah, Papa mau makan dulu. Gara-gara habis marah sama mantanmu itu Papa jadi lapar sekarang!" ujar Papa sambil menunjukku dengan dagunya."Nggak mandi dulu, Pap? Udah hampir magrib, loh!" Ucap Mama sambil menunjuk jam yang menempel cantik di dind
Entah kenapa aku merasa ada yang aneh pada sikap Aldo malam ini. Namun, aku masih diam menanti dia meneruskan perkataannya."Kamu … mau nggak ….""Om Aldoo …." teriak Musda membuat kami kaget, seketika Aldo langsung terdiam tidak melanjutkan kata-katanya."Sayang, sudah selesai ngajinya?" tanyaku dengan tangan terulur ingin memeluknya, namun gadis kecilku itu justru mendekati Aldo."Om … kok diam saja, sih!" protes Musda menarik-narik tangan Aldo tatkala hanya mendapat respon diam tak menanggapi seperti biasanya."Oh, eh … kenapa, Sayang?" Aldo menjawab dengan tanya, sepertinya dia baru sadar dari tidurnya.Aku terkikik geli melihat Aldo yang kewalahan menghadapi Musda yang super aktif. Minta ini, minta itu, mengajak bermain dan entahlah apa lagi, aku saja kadang pusing menghadapinya yang super duper aktif itu.Musda menarik tangan Aldo menjauh dariku, entah akan dibawa kemana. Aku hanya melambaikan tangan sambil tertawa kecil. Setelah bayangan mereka berdua tidak terlihat, aku merenu
Hari ini adalah hari pertama aku akan berpindah kantor. Seperti biasa, aku berkeliling kompleks dengan berlari-lari kecil selepas subuh tadi. Setelah memutari gang dimana rumah orang tuaku berada, dan karena sudah merasa lelah juga. Aku memutuskan untuk kembali. Langit terlihat kemerahan, pertanda sang mentari sebentar lagi sudah akan muncul. Jalan yang tadinya sepi, kini mulai terlihat ramai. Bergegas aku lari agar segera sampai rumah. Malu rasanya kalau dilihat banyak orang, terlebih aku hanya sendirian.Ciiiiiììitt!Suara bunyi roda mobil yang beradu dengan aspal jalanan begitu memekakan telinga. Hampir saja mobil itu menabrak tubuhku yang sedang akan menyeberang. Tiba-tiba aku ingin makan bubur ayam, kebetulan tempat pedagangnya terletak di seberang aku berdiri. Hanya tinggal beberapa senti lagi bagian depan mobil itu menyentuh tubuhku. Aku yang kaget malah hanya berdiri saja ditempat. Untunglah pengendara mobil itu segera mengeremnya."Wooii … bisa minggir, nggak?! Gue tabrak b
Saat sedang serius mengecek laporan keuangan kantor ini, tiba-tiba pintu ruangan ada yang membuka dari luar membuatku terperanjat kaget."Pak Arka, ada apa? Kenapa tidak mengetuk pintu dulu!" ujarku dengan nada sedikit keras. Aku kesal karena dia tiba-tiba saja masuk tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Nggak sopan!"Bagaimana pekerjaanmu? Apakah sulit?" Tanyanya dengan nada meremehkan."Baru saja aku mempelajarinya dan belum selesai membacanya, tapi anda tiba-tiba masuk dengan tidak sopannya, membuat konsentrasiku menjadi terganggu!" balasku. Mas Arka tampak geram setelah mendengar jawabanku."Ada apa?" tanyaku sambil menutup berkas yang belum selesai aku baca."Jangan terlalu ngoyo bekerja disini. Serahkan saja semua padaku. Perusahaan ini baik-baik saja! Bahkan kami sebenarnya tidak membutuhkanmu disini,"ujarnya sambil mengambil duduk di depanku."Oh, ya? Baik-baik saja, ya!""Iya ….""Aku hanya melakukan tugas yang diperintahkan oleh pak Agus, lagi pula pak Hartono sendiri yang men