MasukKanya berdiri di depan cermin, mengamati dirinya sendiri. Ia memilih gaun hitam ramping yang seakan dibuat untuk ruang sidang: elegan, berkelas, tetapi tanpa celah. Ia harus terlihat kuat malam ini, karena ia tidak sedang bersiap untuk kencan, melainkan untuk pertarungan informal.
Sesuai janji Adrian, ponsel Kanya berdering tepat pukul delapan malam. Adrian tidak menelepon—dia mengirimkan driver pribadinya. Kepercayaan diri Adrian yang tak terbatas bahwa Kanya akan menerima kencan itu sungguh menjengkelkan sekaligus memikat. Kanya dijemput dan dibawa ke sebuah speakeasy bar tersembunyi di kawasan Jakarta Pusat, tempat para petinggi politik dan bisnis bertemu di balik pintu baja. Adrian sudah menunggu di sudut ruangan, jauh dari kebisingan. Dia mengenakan kemeja gelap tanpa dasi, pakaian yang sedikit lebih santai dibandingkan setelan jasnya semalam, namun aura dominasinya justru semakin kuat. “Selamat datang, Nona Lawyer. Saya senang Anda menerima undangan saya,” sambut Adrian, berdiri dan menarik kursi untuk Kanya. “Saya datang untuk dessert yang Anda janjikan,” jawab Kanya, suaranya tajam. Ia bahkan tidak berusaha tersenyum. Adrian menangkap nada ketegasan itu. Senyumnya semakin lebar, tetapi matanya tetap dingin. “Tentu. Tiramisu dan segelas single malt yang paling halus di kota ini. Saya ingin malam ini menjadi permulaan yang manis.” “Atau permulaan yang pahit,” balas Kanya, duduk dan menatap lurus ke mata Adrian. “Mari kita lewati formalitasnya, Adrian. Saya tahu siapa Anda. Dan saya tahu apa yang sedang Anda lakukan.” Adrian menyandarkan bahunya ke belakang kursi, posturnya santai, seolah Kanya baru saja mengomentari cuaca. “Oh ya? Silakan. Saya suka kejujuran.” “Anda membeli perusahaan yang akan bangkrut. Itu adalah modus operandi investasi yang brutal. Dan yang lebih menarik,” Kanya berbisik, mendekatkan wajahnya di atas meja kecil, “Saya mewakili pihak yang akan Anda hancurkan di meja hijau.” Keheningan melingkupi meja mereka. Adrian tidak menyangkal. Ia hanya mengangkat gelasnya, menyesap sedikit whisky-nya, dan menatap Kanya dengan kekaguman yang nyaris menyakitkan. “Cepat sekali, Kanya. Saya kira saya akan punya waktu setidaknya seminggu sebelum Anda mengetahui nama holding saya. Jurnalis investigasi Anda pasti sangat efisien.” Kanya terkejut. Bagaimana dia tahu tentang Dara? Tembok pertahanan Kanya langsung runtuh satu lapis. “Anda memata-matai saya?” “Tidak perlu memata-matai. Saya tahu bagaimana seorang lawyer yang ambisius bekerja. Begitu Anda mencium konflik, naluri pertama Anda adalah mencari bukti. Dan Anda menemukannya,” jelas Adrian, nadanya tenang dan terkontrol, membuat Kanya merasa seperti anak kecil yang baru tertangkap basah. “Tawaran saya masih berlaku, Kanya. Bergabunglah. Kami akan memenangkan kasus ini, dan Anda akan mendapatkan bagian persentase dari keuntungan, alih-alih mencoba membela PT. Dharma Kencana yang sudah hampir mati.” “Saya tidak bisa mengkhianati klien saya,” tukas Kanya, marah. "Itu etika profesional." “Etika,” Adrian mendengus pelan, mencondongkan tubuh ke depan. “Di dunia ini, Kanya, etika adalah kemewahan yang hanya bisa dibeli oleh orang-orang yang sudah menang. Saya menawarkan Anda kemenangan dan kekuasaan. Ini adalah Titik Balik Anda. Mana yang lebih berharga: loyalitas kepada firma yang hanya melihat Anda sebagai mesin uang, atau menciptakan legacy Anda sendiri bersama saya?” Kanya menahan napas. Adrian telah memukulnya di titik terlemahnya—ambisi. Namun, Kanya memutuskan dia tidak akan memberinya kemenangan emosional ini. Ia tidak akan merengek tentang etika. “Anda benar, Adrian,” Kanya membalas, suaranya kini melunak dan berbahaya, seolah dia baru saja menjatuhkan senjatanya, hanya untuk mengeluarkan pisau yang lebih tajam. “Loyalitas saya mahal. Dan Anda baru saja menunjukkan bahwa Anda bersedia membayar mahal untuk menghancurkan musuh Anda.” Kanya memiringkan kepalanya, senyum tipis terukir di bibirnya. “Jika saya tidak bisa mengalahkan Anda, kenapa saya tidak mempelajari cara Anda bermain, bukan?” Ekspresi Adrian berubah, kejutan langka muncul di matanya yang dingin. Dia tidak menduga Kanya akan mengubah medan perang dari kasus hukum menjadi perang urat syaraf pribadi. Tepat saat ketegangan memuncak, pelayan meletakkan piring Tiramisu di antara mereka. Aroma kopi, cokelat, dan rum menyebar, sebuah persembahan manis di tengah konflik pahit. Adrian mengambil sendok kecil dan menyuapkan sedikit Tiramisu di hadapan Kanya. "Buka mulutmu," Adrian berbisik, nadanya kini penuh perintah dan gairah. "Ini dessert kita. Dan malam ini, kita tidak bicara tentang hukum. Kita bicara tentang batasan. Dan saya ingin tahu seberapa jauh Anda bersedia mendorongnya." Kanya menatap Tiramisu itu, lalu ke mata Adrian. Ini adalah pengkhianatan kecil pertamanya; makan dari tangannya, membiarkan musuh memberinya kesenangan. Kanya membuka mulut, dan saat Tiramisu itu menyentuh lidahnya, matanya terpejam sejenak. Manis, pahit, dan kuat—persis seperti Adrian. Adrian meletakkan sendok itu, senyum kemenangannya kini murni dan memabukkan. Dia tidak meraih tangan Kanya, melainkan rahangnya. Ibu jarinya membelai lembut kulit di bawah telinga Kanya, memutus semua pemikiran rasionalnya. “Anda cantik ketika Anda marah, Kanya. Tapi Anda sepuluh kali lebih berbahaya ketika Anda memutuskan untuk bermain,” desis Adrian, suaranya seperti sumpah. Dia menarik Kanya ke depan, dan ciuman yang seharusnya tidak pernah terjadi itu terjadi. Itu bukan ciuman manis janji-janji, tetapi ciuman percampuran hasrat dan pengkhianatan, yang menegaskan bahwa mereka adalah lawan yang terperangkap dalam gairah yang sama-sama berbahaya. Adrian menjauhkan dirinya, tapi hanya sejauh setengah inci, meninggalkan Kanya terengah. Matanya menantang. "Sekarang, kita punya masalah yang lebih besar daripada sengketa lahan, Nona Lawyer. Anda mencium musuh Anda." Napas Kanya bergetar. Dia tidak menyangkal. "Dan Anda baru saja mengajar saya cara menyeberangi garis batas, Tuan Investor." Adrian tersenyum, sebuah pemandangan langka. Ia mengambil dompetnya dan meletakkan beberapa lembar uang di meja, jauh lebih banyak dari tagihan. "Sudah waktunya. Saya sudah membuat Anda melakukan hal yang tidak etis malam ini. Saya tidak ingin Anda kehilangan klien Anda besok pagi." Adrian berdiri. Kanya mengikutinya, setiap gerakan terasa kaku karena ketegangan yang baru. Adrian tidak menyentuhnya lagi, tetapi Kanya bisa merasakan kekuatan yang sama seperti ciuman tadi di antara mereka. Di pintu speakeasy, Adrian memanggil driver dan menoleh ke belakang untuk memberikan pesan terakhir, nadanya kini kembali profesional, tetapi dengan sentuhan kepemilikan. "Sampai jumpa di ruang sidang, Kanya. Tapi sebelum itu, pikirkan tentang kesepakatan off-the-record yang baru saja kita segel malam ini." Kanya hanya mengangguk, lalu berbalik dan masuk ke mobil. Ia tahu dia telah kalah dalam pertarungan ini, tetapi entah kenapa, rasa kekalahan itu terasa lebih manis daripada kemenangan apa pun yang pernah ia raih di firma.Perjalanan singkat dari hotel menuju penthouse Adrian terasa seperti perpindahan dimensi. Keheningan di dalam mobil mewah itu bukanlah keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang mendidih. Kanya menyandarkan kepala ke jendela, menatap lampu-lampu jalan Jakarta yang melintas dengan cepat, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berlebihan. Namun, setiap sentuhan Adrian—jari-jarinya yang sesekali melingkari pergelangan tangannya, atau ibu jarinya yang mengusap punggung tangannya—mengkhianati usahanya.Adrian mengemudi dengan santai, seolah ia sedang mengantar pulang seorang teman lama, bukan seorang pengacara yang baru saja ia cium, dan yang baru saja ia paksakan untuk masuk ke dalam permainan terlarangnya.“Kau terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja melanggar semua etika profesionalnya,” ujar Kanya, suaranya sedikit serak.Adrian tertawa kecil, suara baritonnya bergetar di ruang sempit mobil. “Aku tidak melanggar etika. Aku hanya mendefinis
Kanya menatap ponselnya, yang tergeletak di meja marmer ruang rapat yang kini kosong. Pemberitahuan pop-up di layar, hanya berupa satu kalimat tanpa emotikon, terasa lebih mengancam daripada seluruh berkas gugatan yang baru saja ia menangkan.A: Malam ini. Delphine Bar, 9 malam. Kau tahu aturannya. Tanpa blazer.Adrian menuntut pembayarannya. Tepat waktu, dan tanpa ruang negosiasi.Jantung Kanya berdetak dua kali lebih cepat. Kemenangan arbitrase beberapa jam lalu, dan janji promosi yang baru saja ia paksakan dari Pak Bram, terasa hambar. Bukti yang ia gunakan memang memberinya kekuasaan, tetapi hutang personal ini memberikannya rasa terikat yang mengerikan pada pria itu.Dia bangkit, merapikan setelannya yang kusut. Kanya tahu dia tidak bisa menolak. Bukan karena ancaman, tapi karena rasa ingin tahu yang membakar. Dia ingin tahu apakah Adrian akan menjadi musuh atau lover saat dinding kantor mereka runtuh. Dan yang lebih mengganggunya, dia ingin
Jari-jari Kanya bergetar saat dia mencolokkan flash drive ke port laptopnya. Bukan karena takut ketahuan—ruang kerjanya di lantai 38 ini sudah sepi, hanya ditemani dengungan AC sentral dan lampu darurat Jakarta yang tersisa—tapi karena realisasi dari apa yang dia pegang. Ini bukan sekadar bukti. Ini adalah garis batas. Adrian, dalam negosiasi berbahaya di Bab 10, telah memberikan ini sebagai tanda trust yang paling mematikan. Adrian menukar kelemahannya dengan kelemahan Kanya: ia tahu Kanya akan menggunakan bukti ini untuk menghancurkannya, tetapi dengan menggunakannya, Kanya secara resmi memasuki permainan kotor Adrian. Jantung Kanya berdegup di telinganya. Dia menghela napas, menatap pantulan dirinya di layar laptop. Matanya lelah, tetapi ada kilatan yang asing, haus akan kemenangan. Ini bukan hanya tentang kasus Dharma Kencana lagi. Ini tentang membuktikan bahwa dia tidak akan pernah bisa dimanipulasi, bahkan oleh pria yang berhasil membuatnya kehilangan kenda
Kanya tiba di speakeasy bar yang sama persis tempat mereka bertemu pertama kali. Malam ini, ia tidak mengenakan gaun. Sesuai instruksi Adrian, ia mengenakan setelan celana abu-abu terbaiknya—tajam, profesional, dan kejam. Ia tidak ingin terlihat sebagai wanita yang tergoda; ia ingin terlihat seperti lawan yang setara. Adrian sudah menunggunya di sudut yang sama, di bawah cahaya temaram lampu gantung kuno. Ia mengenakan setelan jas abu-abu arang, tampak santai namun mematikan. Di depannya, tidak ada whisky, hanya segelas air mineral dan, anehnya, sebuah papan catur yang sudah tersusun rapi. "Saya senang Anda menerima undangan saya, Kanya," sapa Adrian, matanya menelusuri Kanya dari atas ke bawah, menilai baju perang yang ia kenakan. "Saya suka pakaian Anda. Ini menunjukkan Anda menganggap pertemuan ini serius." Kanya tidak duduk. Ia berdiri tegak di samping meja. "Jangan buang waktu saya, Adrian. Saya hanya punya 30 jam. Anda mengatakan Anda punya bukti
Kanya kembali ke kantor Wibisono & Partners dengan tubuh terasa seperti dihantam truk dan kemenangan parsial yang menipis. Pagi itu, kantor sudah tampak lebih rapi, tetapi ketegangan masih menggantung tebal seperti kabut. Dia hanya memiliki 48 jam untuk mengubah penangguhan pembekuan aset menjadi kemenangan penuh. Ia segera mengumpulkan timnya, yang sama lelahnya. "Tunda perayaan," perintah Kanya, suaranya serak. "Adrian (ia berhasil menahan diri untuk tidak menyebut nama itu) telah memberi kita 48 jam untuk berburu. Kita harus menemukan titik lemah legal yang digunakan The Vanguard Group untuk mengajukan mosi. Serangan mereka sangat efektif karena mereka tidak menyerang lahan, mereka menyerang dana. Artinya, basis hukum mereka tidak kuat, tapi strateginya yang licik." Kanya menghabiskan delapan jam berikutnya dalam mode autopilot, menganalisis struktur Aether Holdings dan The Vanguard Group secara terbalik, mencari inkonsistensi dalam dokumen arbitrase mereka. D
Malam itu, kantor Wibisono & Partners terasa seperti bunker perang. Kanya tidak tidur. Rambutnya diikat asal, blazernya dilepas, dan kemeja putihnya ternoda kopi dingin. Lima junior lawyer yang ia pimpin tampak sama putus asanya, dikelilingi tumpukan berkas undang-undang arbitrase dan preseden yang menggunung. Pukul 03.00 pagi, Kanya bersandar ke kursi, memejamkan mata sejenak. Keheningan yang singkat itu segera dipenuhi suara Adrian di kepalanya, "Bahaya adalah bagian dari kesenangan, Kanya." Ia menggelengkan kepala, meraih map merahnya. Rasa lelahnya adalah konsekuensi dari ciuman itu, dan ia akan mengubah kelelahan itu menjadi kemenangan. Pukul 06.00 pagi, setelah berjam-jam menyusun argumen dan menemukan celah yang rapuh, mosi arbitrase darurat Kanya selesai. Ia telah menyusun argumennya tidak hanya berdasarkan hukum, tetapi berdasarkan psikologi Adrian: Adrian akan berfokus pada efisiensi dan kerugian finansial, maka Kanya akan berfokus pada dampak reputasi







