LOGINKanya tidak tidur nyenyak. Malam itu, ia tidak dihantui oleh tenggat waktu atau dokumen hukum yang menumpuk, melainkan oleh suara rendah Adrian di telinganya dan bayangan senyumannya. Ia tahu ia hanya punya dua hari untuk memikirkan tawaran itu, tetapi pikirannya terasa seperti hard drive yang sudah penuh sejak ia melangkah keluar dari mobil Adrian.
Pagi ini, Kanya tiba di kantornya, di lantai eksekutif Wibisono & Partners, dengan tekad untuk membuang Adrian dari otaknya. Lingkungan kantor yang bersih, dingin, dan berbau kertas baru adalah satu-satunya tempat ia merasa 100% terkendali. Ia bahkan belum sempat menyeduh kopi keduanya ketika interkom mejanya berbunyi. Suara Pak Bram, Senior Partner yang disegani di firma itu, terdengar datar namun mendesak. "Kanya, langsung ke ruangan saya. Sekarang." Kanya segera merapikan blazernya dan bergegas. Ruangan Pak Bram adalah kuil kekuasaan. Dindingnya dihiasi dengan plakat penghargaan dan lukisan abstrak yang mahal. Pak Bram (55), dengan rambut yang mulai memutih dan setelan yang selalu rapi, duduk di kursinya, tatapannya tajam. Di hadapannya, tergeletak tiga map berwarna merah yang tebal. "Duduk, Kanya," ujar Pak Bram, tanpa basa-basi. "Saya punya kasus untukmu. Ini adalah kasus terbesar yang pernah kita tangani di kuartal ini. Dan saya tidak akan mempercayakan ini kepada orang lain." Kanya segera menarik kursi. Ini adalah pengakuan yang ia tunggu-tunggu. Ini adalah tiketnya menuju status Partner muda. "Kasus apa, Pak?" Tanya Kanya Dengan Raut Wajah Yang Penasaran. "Sengketa lahan. PT. Dharma Kencana, perusahaan developer raksasa, sedang digugat oleh sekelompok investor asing. Investor-investor itu mencoba mengambil alih perusahaan dengan dalih klaim sengketa lahan historis. Mereka ingin perusahaan itu bangkrut agar bisa mereka beli dengan harga sampah," jelas Pak Bram, mendorong salah satu map merah ke arah Kanya. Mendengar perkataan "ingin perusahaan itu bangkrut agar bisa mereka beli dengan harga sampah," jantung Kanya tiba-tiba berdebar. Telinganya berdenging, mengingatkannya pada kata-kata Adrian di mobil tadi malam, “Saya akan membeli sebuah perusahaan yang akan segera bangkrut karena sengketa lahan… Saya melihat sengketa sebagai peluang, bukan masalah.” Kanya memaksa dirinya untuk tenang. "Jadi, kita mewakili PT. Dharma Kencana untuk menggugurkan klaim sengketa lahan dari investor asing?" tanya kanya "Tepat. Kita harus menang, Kanya. Kehilangan kasus ini berarti kehilangan klien paling penting kita. Anggap ini adalah ujian terakhirmu. Menangkan ini, dan posisi Partner sudah ada di tanganmu," janji Pak Bram, matanya menunjukkan bahwa ini adalah pertaruhan besar. Kanya membuka map itu. Matanya langsung menyapu nama-nama investor asing yang tercantum sebagai penggugat. Tangan Kanya langsung dingin. Di antara nama-nama yang asing itu, satu nama entitas terdaftar sebagai pengelola dana utama, sebuah perusahaan holding investasi yang berafiliasi dengan nama yang ia kenal dari media bisnis: The Vanguard Group. Kanya mengangkat kepalanya, tatapannya kini dipenuhi kecurigaan. "Saya mengerti, Pak. Saya akan segera memimpin tim untuk meninjau semua klaim historis mereka." Kanya menerima map itu, merasakan dinginnya kertas di tangannya. Ia harus terlihat tenang. "Saya akan pastikan PT. Dharma Kencana tidak jatuh ke tangan siapa pun yang mencoba memanfaatkan kerentanan mereka." "Bagus," Pak Bram mengangguk puas. "Anda boleh keluar." Begitu Kanya kembali ke ruangannya, ia mengunci pintu. Darahnya berdesir—bukan karena kegembiraan mendapatkan kasus besar, melainkan karena perpaduan kemarahan dan ketakutan. Ia mengambil smartphone-nya dan segera mengirim pesan kepada Dara, sahabatnya yang jurnalis investigasi. Kanya Mengirim pesan singkat kepada dara, bahwa ia Butuh bantuan. Cek Vanguard Group dan semua direkturnya. Sangat mendesak. Jangan pernah telepon, hanya chat. Dara membalasnya dengan emoji mata lebar, menunjukkan bahwa ia mengerti. Selama satu jam berikutnya, Kanya tenggelam dalam due diligence rahasia. Ia menggunakan semua akses yang dimilikinya. Dan lima belas menit kemudian, laporan Dara datang. Tidak ada nama Adrian sebagai direktur resmi, tetapi laporan keuangan menunjukkan bahwa The Vanguard Group memiliki sub-perusahaan bernama Aether Holdings di Cayman Islands, dan Aether dikendalikan oleh seorang single shareholder yang namanya tersembunyi di balik perwalian. Namun, Dara berhasil menemukan satu detail penting, Aether Holdings baru-baru ini menyewa sebuah penthouse mewah di lokasi yang sama persis dengan alamat perusahaan investor yang Adrian sebutkan semalam. Kanya menjatuhkan smartphone-nya ke meja. Dia tidak butuh bukti hukum lagi. Secara etika, Adrian 99% berada di pihak yang berlawanan dengannya. Adrian tidak hanya mencari rekan kerja, ia mencari orang dalam untuk memuluskan akuisisi kotornya. Tepat saat Kanya menyadari pengkhianatan di depan mata, ponselnya bergetar lagi. Bukan dari Dara. Melainkan dari nomor tak dikenal, tetapi ia yakin siapa pengirimnya. > Nomor Tak Dikenal<" Saya tahu Anda sedang memikirkan tawaran saya. Jangan terlalu lama. Tiramisu dan malam yang lebih menarik menunggu. Adrian." Kanya menatap pesan itu. Pria itu begitu berani, begitu percaya diri, seolah dia tahu Kanya akan tergoda olehnya, bahkan ketika mereka berada di ambang peperangan. Ambisinya sendiri sekarang menjadi medan perang. Di satu sisi, ada posisi Partner yang ia impikan dan profesionalisme yang ia junjung tinggi. Di sisi lain, ada godaan Adrian, janji kekuasaan yang lebih besar, dan gairah yang baru ia rasakan. Kanya mengambil pulpen emasnya dan mencoret tebal nama The Vanguard Group di map merah. Tidak ada lagi keraguan. Tidak peduli seberapa menarik Adrian, ia tidak akan membiarkan dirinya menjadi pion dalam permainan gelapnya. Ia akan menerima kasus PT. Dharma Kencana, dan dia akan mengalahkan Adrian di meja hijau. Garis batas profesional telah ditarik, dan Kanya baru saja memilih sisi.Perjalanan singkat dari hotel menuju penthouse Adrian terasa seperti perpindahan dimensi. Keheningan di dalam mobil mewah itu bukanlah keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang mendidih. Kanya menyandarkan kepala ke jendela, menatap lampu-lampu jalan Jakarta yang melintas dengan cepat, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berlebihan. Namun, setiap sentuhan Adrian—jari-jarinya yang sesekali melingkari pergelangan tangannya, atau ibu jarinya yang mengusap punggung tangannya—mengkhianati usahanya.Adrian mengemudi dengan santai, seolah ia sedang mengantar pulang seorang teman lama, bukan seorang pengacara yang baru saja ia cium, dan yang baru saja ia paksakan untuk masuk ke dalam permainan terlarangnya.“Kau terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja melanggar semua etika profesionalnya,” ujar Kanya, suaranya sedikit serak.Adrian tertawa kecil, suara baritonnya bergetar di ruang sempit mobil. “Aku tidak melanggar etika. Aku hanya mendefinis
Kanya menatap ponselnya, yang tergeletak di meja marmer ruang rapat yang kini kosong. Pemberitahuan pop-up di layar, hanya berupa satu kalimat tanpa emotikon, terasa lebih mengancam daripada seluruh berkas gugatan yang baru saja ia menangkan.A: Malam ini. Delphine Bar, 9 malam. Kau tahu aturannya. Tanpa blazer.Adrian menuntut pembayarannya. Tepat waktu, dan tanpa ruang negosiasi.Jantung Kanya berdetak dua kali lebih cepat. Kemenangan arbitrase beberapa jam lalu, dan janji promosi yang baru saja ia paksakan dari Pak Bram, terasa hambar. Bukti yang ia gunakan memang memberinya kekuasaan, tetapi hutang personal ini memberikannya rasa terikat yang mengerikan pada pria itu.Dia bangkit, merapikan setelannya yang kusut. Kanya tahu dia tidak bisa menolak. Bukan karena ancaman, tapi karena rasa ingin tahu yang membakar. Dia ingin tahu apakah Adrian akan menjadi musuh atau lover saat dinding kantor mereka runtuh. Dan yang lebih mengganggunya, dia ingin
Jari-jari Kanya bergetar saat dia mencolokkan flash drive ke port laptopnya. Bukan karena takut ketahuan—ruang kerjanya di lantai 38 ini sudah sepi, hanya ditemani dengungan AC sentral dan lampu darurat Jakarta yang tersisa—tapi karena realisasi dari apa yang dia pegang. Ini bukan sekadar bukti. Ini adalah garis batas. Adrian, dalam negosiasi berbahaya di Bab 10, telah memberikan ini sebagai tanda trust yang paling mematikan. Adrian menukar kelemahannya dengan kelemahan Kanya: ia tahu Kanya akan menggunakan bukti ini untuk menghancurkannya, tetapi dengan menggunakannya, Kanya secara resmi memasuki permainan kotor Adrian. Jantung Kanya berdegup di telinganya. Dia menghela napas, menatap pantulan dirinya di layar laptop. Matanya lelah, tetapi ada kilatan yang asing, haus akan kemenangan. Ini bukan hanya tentang kasus Dharma Kencana lagi. Ini tentang membuktikan bahwa dia tidak akan pernah bisa dimanipulasi, bahkan oleh pria yang berhasil membuatnya kehilangan kenda
Kanya tiba di speakeasy bar yang sama persis tempat mereka bertemu pertama kali. Malam ini, ia tidak mengenakan gaun. Sesuai instruksi Adrian, ia mengenakan setelan celana abu-abu terbaiknya—tajam, profesional, dan kejam. Ia tidak ingin terlihat sebagai wanita yang tergoda; ia ingin terlihat seperti lawan yang setara. Adrian sudah menunggunya di sudut yang sama, di bawah cahaya temaram lampu gantung kuno. Ia mengenakan setelan jas abu-abu arang, tampak santai namun mematikan. Di depannya, tidak ada whisky, hanya segelas air mineral dan, anehnya, sebuah papan catur yang sudah tersusun rapi. "Saya senang Anda menerima undangan saya, Kanya," sapa Adrian, matanya menelusuri Kanya dari atas ke bawah, menilai baju perang yang ia kenakan. "Saya suka pakaian Anda. Ini menunjukkan Anda menganggap pertemuan ini serius." Kanya tidak duduk. Ia berdiri tegak di samping meja. "Jangan buang waktu saya, Adrian. Saya hanya punya 30 jam. Anda mengatakan Anda punya bukti
Kanya kembali ke kantor Wibisono & Partners dengan tubuh terasa seperti dihantam truk dan kemenangan parsial yang menipis. Pagi itu, kantor sudah tampak lebih rapi, tetapi ketegangan masih menggantung tebal seperti kabut. Dia hanya memiliki 48 jam untuk mengubah penangguhan pembekuan aset menjadi kemenangan penuh. Ia segera mengumpulkan timnya, yang sama lelahnya. "Tunda perayaan," perintah Kanya, suaranya serak. "Adrian (ia berhasil menahan diri untuk tidak menyebut nama itu) telah memberi kita 48 jam untuk berburu. Kita harus menemukan titik lemah legal yang digunakan The Vanguard Group untuk mengajukan mosi. Serangan mereka sangat efektif karena mereka tidak menyerang lahan, mereka menyerang dana. Artinya, basis hukum mereka tidak kuat, tapi strateginya yang licik." Kanya menghabiskan delapan jam berikutnya dalam mode autopilot, menganalisis struktur Aether Holdings dan The Vanguard Group secara terbalik, mencari inkonsistensi dalam dokumen arbitrase mereka. D
Malam itu, kantor Wibisono & Partners terasa seperti bunker perang. Kanya tidak tidur. Rambutnya diikat asal, blazernya dilepas, dan kemeja putihnya ternoda kopi dingin. Lima junior lawyer yang ia pimpin tampak sama putus asanya, dikelilingi tumpukan berkas undang-undang arbitrase dan preseden yang menggunung. Pukul 03.00 pagi, Kanya bersandar ke kursi, memejamkan mata sejenak. Keheningan yang singkat itu segera dipenuhi suara Adrian di kepalanya, "Bahaya adalah bagian dari kesenangan, Kanya." Ia menggelengkan kepala, meraih map merahnya. Rasa lelahnya adalah konsekuensi dari ciuman itu, dan ia akan mengubah kelelahan itu menjadi kemenangan. Pukul 06.00 pagi, setelah berjam-jam menyusun argumen dan menemukan celah yang rapuh, mosi arbitrase darurat Kanya selesai. Ia telah menyusun argumennya tidak hanya berdasarkan hukum, tetapi berdasarkan psikologi Adrian: Adrian akan berfokus pada efisiensi dan kerugian finansial, maka Kanya akan berfokus pada dampak reputasi







