Home / Romansa / HARGA PENGKHIANATAN / Bab 5 Pertarungan Di Pagi Hari

Share

Bab 5 Pertarungan Di Pagi Hari

Author: TnaBook's
last update Last Updated: 2025-11-23 12:59:18

Kanya terbangun dengan perasaan yang asing, campuran antara hangover karena single malt yang ia minum dan rasa bersalah yang panas. Bibirnya terasa perih, mengingatkannya pada ciuman yang seharusnya tidak pernah terjadi. Ciuman itu tidak hanya melanggar etika profesionalnya, tetapi juga merusak setiap batasan yang ia bangun selama bertahun-tahun. Adrian bukan sekadar pria yang ingin ia kencani; dia adalah ancaman yang ia cium.

Ia menghabiskan waktu lebih lama di depan cermin pagi ini, bukan untuk mengagumi penampilannya, tetapi untuk mencari jejak pengkhianatan di matanya. Ia menyamarkannya dengan eyeliner tajam, memilih setelan abu-abu gelap—baju perang—dan menyemprotkan parfum yang kuat, seolah bisa mencuci bersih aroma Tiramisu dan whisky yang melekat.

"Tarik napas, Kanya. Dia musuh," gumamnya, mengulanginya seperti mantra. "Dan kau akan menghancurkannya."

Tiba di kantor Wibisono & Partners, atmosfer terasa dingin dan hening, kontras dengan badai yang berkecamuk di dalam diri Kanya. Ia langsung menuju ruangannya, mengambil map merah kasus PT. Dharma Kencana, dan mulai merumuskan strategi. Kekhawatiran besarnya adalah: seberapa banyak Adrian tahu tentang strategi internal firma?

Pukul sembilan pagi, Kanya dipanggil kembali ke ruang Pak Bram. Kali ini, ruangannya terasa lebih sesak. Di sana sudah duduk Pak Wibisono (60-an), Managing Partner sekaligus pendiri firma, dan dua Senior Partner lainnya—bukti bahwa kasus ini memang pertaruhan hidup-mati bagi firma.

"Silakan, Kanya. Berikan update awal Anda tentang kasus Dharma Kencana," perintah Pak Bram, nadanya serius.

Kanya berdiri, memegang mapnya dengan mantap. Ia memproyeksikan suara sekeras dan sedingin yang ia bisa, seolah-olah ia sedang berpidato di ruang sidang.

"PT. Dharma Kencana memiliki aset lahan historis yang jelas. Gugatan investor asing—The Vanguard Group—berusaha menggagalkan proses akuisisi yang sedang berjalan dan memaksa likuidasi. Strategi saya fokus pada dua hal: Pertama, menyerang validitas klaim sengketa lahan historis itu sendiri. Mereka menggunakan celah hukum lama. Kedua, kami akan menuntut ganti rugi yang jauh lebih besar atas kerugian reputasi. Kita harus membuat The Vanguard Group membayar mahal untuk setiap langkah yang mereka ambil."

Kanya melihat Pak Wibisono mengangguk pelan, yang merupakan pujian besar. Namun, Pak Bram tidak terlihat lega.

"Masalahnya, Kanya," sela Pak Bram, suaranya mengandung nada kecemasan yang jarang ia tunjukkan. "Kami mendapat kabar dari intelijen pasar tadi pagi. The Vanguard Group telah merekrut konsultan litigasi baru, seorang ahli strategi yang sangat agresif. Dia adalah hantu. Tidak ada yang tahu persis namanya, tetapi kabar mengatakan dia tahu cara membalikkan kasus yang sudah mati. Kita harus bergerak lebih cepat, Kanya. Saya butuh kemenangan cepat, bukan pertarungan berlarut-larut."

Kanya merasakan dadanya sesak. Konsultan litigasi baru? Seorang ahli strategi yang 'hantu'? Meskipun Pak Bram tidak menyebut nama Adrian, Kanya tahu persis siapa orang itu. Adrian tidak hanya menggodanya secara personal, tetapi dia juga secara profesional mulai bergerak, menempatkan dirinya langsung sebagai musuh terbesarnya.

Kanya menarik napas, ini adalah saatnya mengambil risiko. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, wajahnya tampak berpikir keras. "Pak Bram, apakah 'hantu' ini dikenal karena fokus pada celah force majeure atau klausul arbitrase yang halus, dan bukan pada kasus utamanya?"

Pak Bram mengerutkan alis tebalnya. Para Senior Partner lainnya saling pandang. Pertanyaan Kanya terlalu spesifik.

"Kenapa Anda bertanya begitu?" tanya Pak Bram, nada curiga mulai terdengar. "Itu bukan informasi yang tersedia untuk umum, Kanya. Tapi ya, beberapa laporan mengatakan ahli strategi ini menghindari litigasi frontal. Mengapa?"

"Hanya... hipotesis," jawab Kanya cepat, menghindari kontak mata. Ia merasa jantungnya berdebar kencang di balik setelan abunya. "Jika dia adalah konsultan, dia pasti mengincar kerentanan klien kita di luar area hukum. Misalnya, reputasi atau kekurangan likuiditas. Kita tidak hanya melawan hukum, kita melawan strategi bisnis predatoris."

Kanya berhasil mengalihkan kecurigaan Pak Bram dari sumber informasinya ke kejeniusan analitisnya. Wajah Pak Wibisono kini tampak cerah. "Dia benar, Bram. Kanya punya insting. Kita harus memperkuat pertahanan non-litigasi kita juga."

Pak Bram mengangguk, namun matanya tetap fokus pada Kanya. "Baik. Lanjutkan dengan agresivitas itu, Kanya. Tetapi ingat: jika kasus ini gagal, bukan hanya klien yang akan kita rugikan. Peluang Partner Anda hangus. Seluruh kredibilitas firma ini dipertaruhkan. Jangan pernah bertindak di luar koridor yang saya berikan. Jelas?"

"Jelas, Pak," jawab Kanya. Ruang rapat dibubarkan, meninggalkan Kanya dengan beban tanggung jawab yang berat dan ancaman yang samar.

Kanya kembali ke ruangannya, menutup pintu. Ia tidak menyalakan lampu, membiarkan cahaya pagi yang mendung menembus jendela. Kanya bersandar di pintu, tangannya gemetar.

Ia telah berhasil menyembunyikan rahasianya, tetapi risikonya sudah dua kali lipat. Adrian tidak hanya ingin membeli perusahaan, dia ingin mengalahkannya secara pribadi dan profesional. Adrian telah memberikan Kanya ciuman sebagai janji pertarungan, dan kini, ia telah memberikan Kanya "hantu" sebagai lawan pertamanya. Rasa malu dari ciuman itu kini bercampur dengan rasa haus akan kemenangan. Setiap detail sentuhan Adrian, setiap bisikan tawarannya, kini menjadi data yang harus ia analisis, bukan lagi ingatan romantis. Ia tahu bagaimana pria itu berpikir, ia tahu kelemahan di balik kepercayaan diri yang sombong itu. Itu adalah keuntungan tersembunyi yang ia peroleh dari pengkhianatan kecilnya.

Kanya berjalan ke mejanya, mengambil map merah itu, dan membuka halaman sengketa lahan. Ia mencetak beberapa laporan berita lama tentang Aether Holdings dan menempelkannya di papan strateginya. Di sebelah laporan-laporan itu, ia menusuk foto Adrian dari pencarian G****e dengan pin merah.

"Anda ingin bermain, Adrian?" bisik Kanya, tatapannya menyala dingin, didorong oleh adrenalin, ambisi, dan sisa rasa Tiramisu yang terasa di tenggorokannya. "Permainan baru saja dimulai. Tapi di ruang sidang ini, Anda akan menghadapi saya sebagai musuh. Bukan sebagai kekasih." Kanya mengambil pulpennya, dan garis pertama di dokumen hukum itu adalah sebuah deklarasi perang pribadi.

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • HARGA PENGKHIANATAN   Bab 13 Retainer F*e

    Perjalanan singkat dari hotel menuju penthouse Adrian terasa seperti perpindahan dimensi. Keheningan di dalam mobil mewah itu bukanlah keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang mendidih. Kanya menyandarkan kepala ke jendela, menatap lampu-lampu jalan Jakarta yang melintas dengan cepat, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berlebihan. Namun, setiap sentuhan Adrian—jari-jarinya yang sesekali melingkari pergelangan tangannya, atau ibu jarinya yang mengusap punggung tangannya—mengkhianati usahanya.Adrian mengemudi dengan santai, seolah ia sedang mengantar pulang seorang teman lama, bukan seorang pengacara yang baru saja ia cium, dan yang baru saja ia paksakan untuk masuk ke dalam permainan terlarangnya.“Kau terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja melanggar semua etika profesionalnya,” ujar Kanya, suaranya sedikit serak.Adrian tertawa kecil, suara baritonnya bergetar di ruang sempit mobil. “Aku tidak melanggar etika. Aku hanya mendefinis

  • HARGA PENGKHIANATAN   Bab 12 Hutang Yang Terbayar

    Kanya menatap ponselnya, yang tergeletak di meja marmer ruang rapat yang kini kosong. Pemberitahuan pop-up di layar, hanya berupa satu kalimat tanpa emotikon, terasa lebih mengancam daripada seluruh berkas gugatan yang baru saja ia menangkan.A: Malam ini. Delphine Bar, 9 malam. Kau tahu aturannya. Tanpa blazer.Adrian menuntut pembayarannya. Tepat waktu, dan tanpa ruang negosiasi.Jantung Kanya berdetak dua kali lebih cepat. Kemenangan arbitrase beberapa jam lalu, dan janji promosi yang baru saja ia paksakan dari Pak Bram, terasa hambar. Bukti yang ia gunakan memang memberinya kekuasaan, tetapi hutang personal ini memberikannya rasa terikat yang mengerikan pada pria itu.Dia bangkit, merapikan setelannya yang kusut. Kanya tahu dia tidak bisa menolak. Bukan karena ancaman, tapi karena rasa ingin tahu yang membakar. Dia ingin tahu apakah Adrian akan menjadi musuh atau lover saat dinding kantor mereka runtuh. Dan yang lebih mengganggunya, dia ingin

  • HARGA PENGKHIANATAN   Bab 11 Memanfaatkan Bukti

    Jari-jari Kanya bergetar saat dia mencolokkan flash drive ke port laptopnya. Bukan karena takut ketahuan—ruang kerjanya di lantai 38 ini sudah sepi, hanya ditemani dengungan AC sentral dan lampu darurat Jakarta yang tersisa—tapi karena realisasi dari apa yang dia pegang. Ini bukan sekadar bukti. Ini adalah garis batas. Adrian, dalam negosiasi berbahaya di Bab 10, telah memberikan ini sebagai tanda trust yang paling mematikan. Adrian menukar kelemahannya dengan kelemahan Kanya: ia tahu Kanya akan menggunakan bukti ini untuk menghancurkannya, tetapi dengan menggunakannya, Kanya secara resmi memasuki permainan kotor Adrian. Jantung Kanya berdegup di telinganya. Dia menghela napas, menatap pantulan dirinya di layar laptop. Matanya lelah, tetapi ada kilatan yang asing, haus akan kemenangan. Ini bukan hanya tentang kasus Dharma Kencana lagi. Ini tentang membuktikan bahwa dia tidak akan pernah bisa dimanipulasi, bahkan oleh pria yang berhasil membuatnya kehilangan kenda

  • HARGA PENGKHIANATAN   Bab 10 Negosiasi Yang Berbahaya

    Kanya tiba di speakeasy bar yang sama persis tempat mereka bertemu pertama kali. Malam ini, ia tidak mengenakan gaun. Sesuai instruksi Adrian, ia mengenakan setelan celana abu-abu terbaiknya—tajam, profesional, dan kejam. Ia tidak ingin terlihat sebagai wanita yang tergoda; ia ingin terlihat seperti lawan yang setara. Adrian sudah menunggunya di sudut yang sama, di bawah cahaya temaram lampu gantung kuno. Ia mengenakan setelan jas abu-abu arang, tampak santai namun mematikan. Di depannya, tidak ada whisky, hanya segelas air mineral dan, anehnya, sebuah papan catur yang sudah tersusun rapi. "Saya senang Anda menerima undangan saya, Kanya," sapa Adrian, matanya menelusuri Kanya dari atas ke bawah, menilai baju perang yang ia kenakan. "Saya suka pakaian Anda. Ini menunjukkan Anda menganggap pertemuan ini serius." Kanya tidak duduk. Ia berdiri tegak di samping meja. "Jangan buang waktu saya, Adrian. Saya hanya punya 30 jam. Anda mengatakan Anda punya bukti

  • HARGA PENGKHIANATAN   bab 9 Kacaunya Kepercayaan

    Kanya kembali ke kantor Wibisono & Partners dengan tubuh terasa seperti dihantam truk dan kemenangan parsial yang menipis. Pagi itu, kantor sudah tampak lebih rapi, tetapi ketegangan masih menggantung tebal seperti kabut. Dia hanya memiliki 48 jam untuk mengubah penangguhan pembekuan aset menjadi kemenangan penuh. Ia segera mengumpulkan timnya, yang sama lelahnya. "Tunda perayaan," perintah Kanya, suaranya serak. "Adrian (ia berhasil menahan diri untuk tidak menyebut nama itu) telah memberi kita 48 jam untuk berburu. Kita harus menemukan titik lemah legal yang digunakan The Vanguard Group untuk mengajukan mosi. Serangan mereka sangat efektif karena mereka tidak menyerang lahan, mereka menyerang dana. Artinya, basis hukum mereka tidak kuat, tapi strateginya yang licik." Kanya menghabiskan delapan jam berikutnya dalam mode autopilot, menganalisis struktur Aether Holdings dan The Vanguard Group secara terbalik, mencari inkonsistensi dalam dokumen arbitrase mereka. D

  • HARGA PENGKHIANATAN   Bab 8 Di ujung malam

    Malam itu, kantor Wibisono & Partners terasa seperti bunker perang. Kanya tidak tidur. Rambutnya diikat asal, blazernya dilepas, dan kemeja putihnya ternoda kopi dingin. Lima junior lawyer yang ia pimpin tampak sama putus asanya, dikelilingi tumpukan berkas undang-undang arbitrase dan preseden yang menggunung. Pukul 03.00 pagi, Kanya bersandar ke kursi, memejamkan mata sejenak. Keheningan yang singkat itu segera dipenuhi suara Adrian di kepalanya, "Bahaya adalah bagian dari kesenangan, Kanya." Ia menggelengkan kepala, meraih map merahnya. Rasa lelahnya adalah konsekuensi dari ciuman itu, dan ia akan mengubah kelelahan itu menjadi kemenangan. Pukul 06.00 pagi, setelah berjam-jam menyusun argumen dan menemukan celah yang rapuh, mosi arbitrase darurat Kanya selesai. Ia telah menyusun argumennya tidak hanya berdasarkan hukum, tetapi berdasarkan psikologi Adrian: Adrian akan berfokus pada efisiensi dan kerugian finansial, maka Kanya akan berfokus pada dampak reputasi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status