Mag-log in“Tu–tuan Jeffreyan?”Netra Adri membola. Tamatlah dirinya.Alamat itu memang ia peroleh dari anak buah yang ditugaskan mengawasi Jeffreyan—tempat yang diduga menjadi lokasi Ana disekap. Namun sejak melewati gerbang, firasat Adri sudah memberi peringatan was-was. Namun sudah terlambat untuk mundur. Dirinya sudah terjebak. Kaki Adri terasa berat, seolah tertanam di tanah. Ia sadar, berlari hanya akan mempercepat kematian. Sepuluh pria bersenjata telah mengepungnya tanpa celah.“Kaget?”Suara itu tenang. Terlalu tenang.Jeffreyan berdiri dari kursinya. Gerakannya santai, nyaris malas. Tangan yang sejak tadi berada di saku dikeluarkan perlahan.Klik.Pistol berperedam itu kini tergenggam mantap di tangan kanannya.“Ternyata Eyang memelihara ular berbisa.”Nada Jeffreyan datar. Tidak ada kemarahan. Tidak pula ejekan. Justru ketenangan itulah yang membuat Adri merinding.Wajah Adri memucat. Namun sikapnya tenang, ini bukan situasi menegangkan pertama yang dia alami. Matanya bergerak, meng
Kondisi Ana menurun. Kulitnya pucat. Lingkaran hitam semakin pekat di bawah mata. Rambutnya kusut—rontok, menempel di bantal. Dengan berat badan yang terus turun. Tidak ada yang tahu Ana sering pingsan. Kadang karena terlalu lama digagahi. Kadang karena terlalu panik mendengar langkah kaki pria di depan pintu. Detak jantungnya berpacu tak terkendali. Napasnya berat. Dadanya sesak, seolah diikat sesuatu yang tak kasat mata. Aktifitas membersihkan rumah dan segala tugas rumahan sudah tidak lagi dibebankan pada Ana. Jangankan untuk beberes dan memasak, bangun pagi saja Ana merasa tubuhnya rontok semua. Yang paling menakutkan—kadang perutnya terasa nyeri, menusuk tiba-tiba. Ketika rasa perih itu datang, Ana hanya bisa membungkuk menahan sakit dengan tangan gemetar memeluk perut. Atau sambil mengigit bibir keras-keras agar tak menjerit. Kadang, di tengah rasa nyeri yang menusuk, Ana hanya bisa bergumam pelan. "Ayah, Ana takut yah..." Itu menjadi kalimat yang paling serin
"Saya tidak bisa!"Suara Alvian meletup, lebih keras daripada yang ia maksudkan. Habis sudah topeng tenang yang sejak tadi coba ia pertahankan. Pernikahan dipercepat? Apa-apaan ini.Alvian sudah digunakan kedua menaiki tangga ketika suara Papa mencegatnya naik. "Kita perlu bicara!"Disinilah mereka berempat duduk. Di ruang keluarga. Ada mama papa Opa dan juga dirinya. Papa Adhitama bersandar ke kursi, menatapnya seperti menatap bawahan yang membangkang."Umur kamu sudah cukup, Clara juga sudah memilih. Dia akan fokus dalam rumah tangga kalian. Bahkan perusahaan, dia relakan kamu yang kelola."Alvian mencibir kecil. Relakan? Sejak kapan Clara rela apa pun?"Ini permintaan Clara?" tanyanya, walau firasatnya sudah kuat. Ia yakin ini ada kaitannya dengan kedatangan Clara pagi tadi. Diamnya Papa dan Kakek—dua pria yang biasanya tak pernah sepakat dalam satu ruangan pun—justru menjadi jawaban paling jelas."Jadi benar," gumamnya. "Clara yang minta pernikahan ini dipercepat."Rahangnya me
Rapat berlangsung panjang. Pihak Jeffreyan cukup dominan pada setiap pembahasan. Khas pria itu sekali. Dan Alvian bisa membuktikan sendiri gaya berbisnis sang pangeran Wicaksana yang dikenal kejam memang berbeda. Kendati Alvian sama sekali tidak bisa fokus pada rapat. Pikirannya sedang memikirkan Ana. Beberapa kali dirinya terlihat melamun. Beruntung Jeffreyan sedang sangat sibuk. Jadi kedatangannya tadi hanya sebatas tanda tangan setelah itu kembali pergi, dan rapat dilanjutkan oleh pihak perwakilan yang sepanjang rapat lebih suka bertitah dari pada berdiskusi. Alvian yang sempat uring-uringan itu seperti dapat jackpot ketika mendengar salah seorang staff sedang berbincang ketika raoat mereka selesai. Bibirnya sudah gatal ingin mengorek informasi tentang Ana. Alvian sempat berdehem agak kuat untuk mentok atensi. "Saya pikir, salah satu perwakilan adalah Buk Ana."Dua pekerja itu menoleh. "Tidak Pak, Ana sudah resign dari perusahaan Wicaksana.""Bapak kenal Ana?"Alvian mengang
Jelita meremas kedua jemari di atas pangkuan. Ia nekat kembali menjumpai Gunawan lagi. Para detektif swasta yang dia sewa gagal mendapatkan informasi keberadaan putrinya itu. Bahkan adikya, Adri juga masih berusaha mencari, walau sampai saat ini belum mendapat informasi apa-apa. Keluarga Wicaksana memang paling mahir dalam hal begini. Dan dirinya juga salah satu orang yang dulunya pernah menghilang karena menjadi ancaman. "Tuan, anda belum dapat keberadaan Ana?" Gunawan mendesah pelan. Sebelah tangan memijat pelipis yang berdenyut keras. Jangankan memikirkan masalah orang lain, Gunawan saja sudah terdesak oleh para direktur untuk mengembalikan sejumlah uang yang dirinya gelapkan. Bantuan yang terakhir kali dia minta pada putranya hanya dimentahkan. Dan kedatangan Jelita hanya memperparah emosinya. "Tidak, mungkin putrimu tidak ada bersama Jeffreyan." "Tuan, saya yakin Jeffreyan pasti tahu dimana Ana-" "Kamu pikir urusan putrimu satu-atunya yang penting disin
Setelah pemanasan di liang hangat milik Ana dan cukup basah. Pria itu melesak memenuhi Ana. "Eunghhhh!" Desahnya begitu miliknya tertanam sempurna. Tangannya yang kekar menahan pinggul kecil Ana semakin erat. Sementara Ana masih terus berontak, pergelangan tangan Ana perih, nyaris mati rasa. Tubuhnya bergoyang seiring hentakan kasar yang menghujani. Pria itu terus bergerak mencari puncaknya sendiri. Ana meringis, air mata mengalir makin deras. “akh..pelan-pelan..sakit,” bisiknya lirih, hampir tak terdengar. Intinya terasa penuh dan sesak apalagi ketika batang keras yang sengaja didorong sangat dalam. Pria itu tetap membisu. Jemarinya kasar meremas dan menyentuh setiap jengkal bagian tubuh Ana terutama dada yang membusung naik turun. Tubuh telanjang Ana gemetar hebat. Ia mencoba menutup dadanya dengan siku. Namun oleh pria itu tangan Ana disatukan keatas kepala. “Jangan coba-coba tutupi. ” desisnya. Suara berat, parau. Lebih terdengar seperti perintah. Tubuhnya menindih. Ana







